Share

Jodoh Pilihan Ayah
Jodoh Pilihan Ayah
Penulis: Mochallate

001 | Kesepakatan

"Dasar laki-laki, pikirannya cuma dada sama selangkangan!" 

°°°

"Ahh...."

Damian langsung menyingkir dari atas wanita yang baru selesai dipakainya untuk memenuhi kebutuhan biologis. Pria itu melepas karet pembungkus senjatanya, membuangnya ke tong sampah terdekat sembari beranjak. 

Memungut kembali celana jins yang dipakainya kemudian merapikan baju yang tadi sempat ditarik-tarik oleh wanita sewaannya. 

Senyumnya tertarik sedikit saat melihat betapa kacaunya penampilan wanita dibalik selimut itu. Wanita itu juga memandangi Damian, pria yang bercinta dengan memakai topeng di kepalanya. Wanita itu penasaran pria seperti apa yang baru saja menggagahinya dengan liar. Kalau dilihat bentuk badannya sangat bagus, tapi wanita itu tidak bisa menebak bagaimana rupanya. Apakah tampan atau tidak. Tapi, terlepas dari itu yang terpenting dia puas, apalagi uang yang diberikan sangat berlimpah. 

"Beristirahatlah," kata Damian sebelum keluar kamar. Ia masih ada janji lain. 

Kakinya yang panjang membuat langkahnya lebih cepat mencapai lobby hotel. Petugas valet langsung bergegas mengambil mobilnya begitu Damian menyerahkan kartu akses, tidak lama dari itu mobilnya tiba di lobby. Damian mengangguk singkat, kemudian masuk ke dalam mobil. Setelah menjauh barulah ia membuka topeng yang semula menutupi wajahnya. 

Jakarta macet seperti biasa, memang sudah seperti kewajiban. Damian memutar setir menuju tempat rental mobil. Ia harus mengembalikan mobil ini terlebih dahulu sebelum bertemu dengan seseorang. 

Selesai dengan urusan mengembalikan mobil, Damian memesan taksi online dan langsung bergegas ke tempat pertemuan. Astaga, dia sudah telat setengah jam sebenarnya. Tapi, tidak masalah, toh ini bukan masalah serius menurutnya. Malah bagus kalau orang itu sudah pergi ketika dia sampai. 

"Terima kasih, Pak!" ujar Damian pada sopir taksi setelah melakukan pembayaran lewat aplikasinya langsung. 

Kali ini Damian memakai masker untuk menutupi wajahnya. Mau se-privasi apa pun tempat tujuannya, profesinya sebagai seorang artis terkenal akan membuat kericuhan seandainya dia bertemu dengan fans yang berisik. Itu juga akan menghambat jalannya dan memakan waktunya.

Sejujurnya Damian tidak terlalu suka beramah tamah dengan fans yang berisik. Kadang mereka mengganggu istirahatnya dan tidak menjaga kenyamanannya. 

Dia berhenti di depan pintu VIP yang sudah disewa kedua orang tuanya dan orang tua wanita pilihan ayahnya. Damian mengembuskan napas panjang, malas sekali harus kembali memasang 'topeng' di depan orang lain. 

Oh my God!

Damian nyaris mengumpat ketika melihat orang seperti apa yang ada di dalam ruangan tersebut. Ayahnya pasti ingin menghukumnya karena tidak setuju mengurus bisnis keluarga, jadi memberikan wanita seperti ini sebagai pasangan hidupnya. 

Sialan! Akhirnya dia mengumpat juga.  

"Ekhem!" dehamnya sembari melangkah masuk, Damian melepas masker yang dipakainya. 

Gadis itu yang semula menatap layar ponselnya kini melihatnya. Dia tersenyum tipis dan beranjak berdiri, mempersilakan Damian untuk duduk. 

Dia yang seingat Damian bernama ... "Mas Damian 'kan? Saya Adinda," katanya memperkenalkan diri. Nah itu, namanya Adinda. 

Damian mengangguk singkat, dia duduk di depan Adinda dengan tatapan yang tidak lepas dari 'calon istrinya' itu. Gadis itu menunduk, membenarkan letak kerudungnya, menyamankan duduk, atau melakukan hal-hal lain. Tidak bisa diam. Grogi kah ditatap artis tampan seperti dirinya?

"Kuliah?" tanya Damian. 

"Iya, Mas. Semester tujuh, jurusan Film dan Televisi di IKJ," jawabnya panjang lebar. 

Damian manggut-manggut, tidak tahu mau bertanya apa lagi. Pelayan masuk membawa beberapa jenis makanan, Damian langsung menutup mulutnya dengan sebelah tangan—tidak sempat memakai maskernya kembali—dan menoleh ke sisi yang kosong.

"Selamat menikmati, Mas dan Mbak." 

Adinda mengucapkan terima kasih mengiringi kepergian pelayan tadi. Damian ikut memperbaiki posisi duduknya, bersandar dengan angkuh pada kursi. 

"Harusnya kita nggak ketemuan di restoran ya, Mas," komentar Adinda setelah melihat bagaimana Damian menghindari pandangan orang-orang. 

Damian berdeham, ia melirik ke arah Adinda. Gadis itu benar-benar tidak menoleh ke arahnya sekalipun saat bicara, membuat Damian sedikit tersinggung. Memangnya dia tidak cukup tampan untuk membuat gadisnya—ah ralat, Adinda maksudnya—menatap ke arahnya? Mengesalkan!

"Lo kenapa mau menerima perjodohan ini? Lo 'kan masih kuliah," kata Damian mulai pembahasan, pada topik serius.

Adinda berdeham di tempatnya. "Papa punya riwayat penyakit jantung, beberapa hari lalu kumat, jadi beliau minta Adin untuk memenuhi perjanjian antara beliau dengan teman masa SMA-nya," jawabnya. 

"Paling juga bokap lo pura-pura, kayak yang ada di sinetron," celetuk Damian asal. 

Biasanya 'kan memang begitu. Penyakit yang dimiliki orang tua dijadikan bahan ancaman agar anak-anaknya mau menuruti permintaannya. Klasik sekali. 

"Enggak ya, Mas! Bahkan kemarin banget Papa masuk RS, harus dirawat intensif," sanggah Adinda. "Papa bukan orang yang suka bohong," tambahnya lagi, menekankan. 

Damian diam, tidak bisa menimpali lagi. Tidak mau menambah isi kepalanya dengan suuzan kepada orang tua, takut kualat. 

"Tapi, kalau Mas nggak mau nerima, saya nggak masalah kok, Mas bisa nolak." Adinda kembali bersuara saat tidak mendapat balasan, ia tidak mau disangka terlalu ngebet menikah dengan Damian. Apalagi Damian ini artis, bisa saja dia berpikir Adinda ingin popularitas, padahal tidak sama sekali!

"Lo sih emang nggak masalah, yang masalah itu gue kalau nolak. Bisa dicoret dari KK yang ada," katanya sewot. 

"Loh memangnya kenapa? Mas Damian 'kan emang susah dibilangin, jadi nggak apa-apa dong kalau dicoret dari KK. Lagian juga Mas mau apa? Warisan? Mas 'kan nggak mau ngurus perusahaan, ngapain ngarepin warisan?" ucap Adinda panjang lebar. 

Damian langsung mendelik ke arah Adinda begitu mendengar perkataan panjang dari gadis di depannya. Tidak disangka bahwa mulutnya suka nyerocos juga. Damian pikir dia wanita kalem. 

Adinda yang tanpa sadar menatap Damian langsung mengalihkan lagi pandangannya. Menatap meja berisi banyak makanan yang menjadi pembatas antara dirinya dan Damian.

"Heh, enak aja lo kalau ngomong, ya! Jadi, artis ini nggak bisa menjamin hidup lo tentram sampe tua! Lagian tahu dari mana sih lo kalau gue susah dibilangin?" 

"Dari Bunda Amira, Bunda sering cerita soal Mas Damian kalau main ke rumah," jawabnya masih menunduk. 

"Tukang gosip juga ternyata," gumam Damian pelan sekali, tapi karena suasana yang sunyi Adinda bisa mendengar gumaman tersebut. 

"Enggak, ya! Bunda 'kan promosiin anaknya, jadi itu bukan gosip!" 

Damian semakin tidak menyangka dengan gadis di depannya ini, terlebih pada Bundanya. Apa-apaan mempromosikan anaknya segala? Memang Bunda pikir dirinya tidak bisa mencari jodoh sendiri? 

"Gue punya kesepakatan yang harus disetujui," kata Damian, menggumam, masih tidak yakin dengan ide konyolnya. 

"Apa lagi?" tanya Adinda lelah. Ia pikir janjinya pada Papa sudah cukup, ternyata masih ada kesepakatan lainnya. 

Damian berdeham, ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Membuka aplikasi catatan ponsel yang berisi kesepakatan buatannya. Damian menyodorkan ponselnya kepada Adinda untuk dibaca. 

Gadis itu meskipun terlihat tidak ikhlas menerima ponsel dari Damian, tapi tetap membaca isinya. Matanya membulat di poin pertama, Damian bisa melihatnya dengan jelas ekspresi wanita itu. 

Dia hendak protes, tapi Damian melarangnya, menyuruhnya melanjutkan membaca poin selanjutnya sampai habis. 

"Apa-apaan ini?! Nggak bisa ya! Papa sama Ayah Mas udah janji kalau pernikahannya hanya sebatas ijab dan tercatat di catatan sipil, mereka nggak bilang kalau saya harus 'melayani' Mas juga!" pekik Adinda tidak terima. 

Damian menampilkan senyum miring, setelah memasukkan kembali ponsel ke dalam saku ia mulai menatap Adinda tajam. "Lo nggak tahu alasan lain kenapa gue dijodohin ya?" 

"Karena perjanjian Papa dan Ayah Mas 'kan?" Damian menggeleng sebagai jawaban membuat dahi Adinda berkerut. "Terus apa?" tanyanya penasaran. 

Damian berdeham sebelum menjawab. "Gue punya kebutuhan biologis yang tinggi. Tapi, kalau lo ngggak mau menuhi ya bukan masalah, gue bisa 'jajan' diluar," jawabnya santai, seolah hal itu sudah biasa dibicarakan. 

Melihat ekspresi Adinda saat ini sudah menjadi hiburan baru untuk Damian, ia suka saat mata gadis itu membulat dan melupakan kebiasaannya menunduk. Apalagi ketika ia berpikir, dahinya akan berkerut dan kebiasaannya menggigit bibir membuat Damian gemas. 

"Kayaknya saya nggak bisa kalau kayak gini," ucapnya lirih. 

Adinda memberesi barang-barangnya dan keluar dari ruangan itu tanpa halangan. Meninggalkan Damian yang terdiam di dalam sendirian. Barusan tadi ... dia ditolak?

__________b a t a s  s u c i__________

Catatan Penulis:

Cinta bukan hanya sekadar kamu dan dia saling membahagiakan, cinta adalah ketika kamu dan dia sudah bisa saling memahami dan mengisi segala kekosongan. 

Gimana? Suka 'kan? Masih pemanasan nih, ikuti terus ya! Doain semoga idenya lancar jaya💃

See you, soon! 

Salam sayang, Dee❤️

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kasmariah Kadir
lanjut thoor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status