"Dasar laki-laki, pikirannya cuma dada sama selangkangan!"
°°°
"Ahh...."
Damian langsung menyingkir dari atas wanita yang baru selesai dipakainya untuk memenuhi kebutuhan biologis. Pria itu melepas karet pembungkus senjatanya, membuangnya ke tong sampah terdekat sembari beranjak.
Memungut kembali celana jins yang dipakainya kemudian merapikan baju yang tadi sempat ditarik-tarik oleh wanita sewaannya.
Senyumnya tertarik sedikit saat melihat betapa kacaunya penampilan wanita dibalik selimut itu. Wanita itu juga memandangi Damian, pria yang bercinta dengan memakai topeng di kepalanya. Wanita itu penasaran pria seperti apa yang baru saja menggagahinya dengan liar. Kalau dilihat bentuk badannya sangat bagus, tapi wanita itu tidak bisa menebak bagaimana rupanya. Apakah tampan atau tidak. Tapi, terlepas dari itu yang terpenting dia puas, apalagi uang yang diberikan sangat berlimpah.
"Beristirahatlah," kata Damian sebelum keluar kamar. Ia masih ada janji lain.
Kakinya yang panjang membuat langkahnya lebih cepat mencapai lobby hotel. Petugas valet langsung bergegas mengambil mobilnya begitu Damian menyerahkan kartu akses, tidak lama dari itu mobilnya tiba di lobby. Damian mengangguk singkat, kemudian masuk ke dalam mobil. Setelah menjauh barulah ia membuka topeng yang semula menutupi wajahnya.
Jakarta macet seperti biasa, memang sudah seperti kewajiban. Damian memutar setir menuju tempat rental mobil. Ia harus mengembalikan mobil ini terlebih dahulu sebelum bertemu dengan seseorang.
Selesai dengan urusan mengembalikan mobil, Damian memesan taksi online dan langsung bergegas ke tempat pertemuan. Astaga, dia sudah telat setengah jam sebenarnya. Tapi, tidak masalah, toh ini bukan masalah serius menurutnya. Malah bagus kalau orang itu sudah pergi ketika dia sampai.
"Terima kasih, Pak!" ujar Damian pada sopir taksi setelah melakukan pembayaran lewat aplikasinya langsung.
Kali ini Damian memakai masker untuk menutupi wajahnya. Mau se-privasi apa pun tempat tujuannya, profesinya sebagai seorang artis terkenal akan membuat kericuhan seandainya dia bertemu dengan fans yang berisik. Itu juga akan menghambat jalannya dan memakan waktunya.
Sejujurnya Damian tidak terlalu suka beramah tamah dengan fans yang berisik. Kadang mereka mengganggu istirahatnya dan tidak menjaga kenyamanannya.
Dia berhenti di depan pintu VIP yang sudah disewa kedua orang tuanya dan orang tua wanita pilihan ayahnya. Damian mengembuskan napas panjang, malas sekali harus kembali memasang 'topeng' di depan orang lain.
Oh my God!
Damian nyaris mengumpat ketika melihat orang seperti apa yang ada di dalam ruangan tersebut. Ayahnya pasti ingin menghukumnya karena tidak setuju mengurus bisnis keluarga, jadi memberikan wanita seperti ini sebagai pasangan hidupnya.
Sialan! Akhirnya dia mengumpat juga.
"Ekhem!" dehamnya sembari melangkah masuk, Damian melepas masker yang dipakainya.
Gadis itu yang semula menatap layar ponselnya kini melihatnya. Dia tersenyum tipis dan beranjak berdiri, mempersilakan Damian untuk duduk.
Dia yang seingat Damian bernama ... "Mas Damian 'kan? Saya Adinda," katanya memperkenalkan diri. Nah itu, namanya Adinda.
Damian mengangguk singkat, dia duduk di depan Adinda dengan tatapan yang tidak lepas dari 'calon istrinya' itu. Gadis itu menunduk, membenarkan letak kerudungnya, menyamankan duduk, atau melakukan hal-hal lain. Tidak bisa diam. Grogi kah ditatap artis tampan seperti dirinya?
"Kuliah?" tanya Damian.
"Iya, Mas. Semester tujuh, jurusan Film dan Televisi di IKJ," jawabnya panjang lebar.
Damian manggut-manggut, tidak tahu mau bertanya apa lagi. Pelayan masuk membawa beberapa jenis makanan, Damian langsung menutup mulutnya dengan sebelah tangan—tidak sempat memakai maskernya kembali—dan menoleh ke sisi yang kosong.
"Selamat menikmati, Mas dan Mbak."
Adinda mengucapkan terima kasih mengiringi kepergian pelayan tadi. Damian ikut memperbaiki posisi duduknya, bersandar dengan angkuh pada kursi.
"Harusnya kita nggak ketemuan di restoran ya, Mas," komentar Adinda setelah melihat bagaimana Damian menghindari pandangan orang-orang.
Damian berdeham, ia melirik ke arah Adinda. Gadis itu benar-benar tidak menoleh ke arahnya sekalipun saat bicara, membuat Damian sedikit tersinggung. Memangnya dia tidak cukup tampan untuk membuat gadisnya—ah ralat, Adinda maksudnya—menatap ke arahnya? Mengesalkan!
"Lo kenapa mau menerima perjodohan ini? Lo 'kan masih kuliah," kata Damian mulai pembahasan, pada topik serius.
Adinda berdeham di tempatnya. "Papa punya riwayat penyakit jantung, beberapa hari lalu kumat, jadi beliau minta Adin untuk memenuhi perjanjian antara beliau dengan teman masa SMA-nya," jawabnya.
"Paling juga bokap lo pura-pura, kayak yang ada di sinetron," celetuk Damian asal.
Biasanya 'kan memang begitu. Penyakit yang dimiliki orang tua dijadikan bahan ancaman agar anak-anaknya mau menuruti permintaannya. Klasik sekali.
"Enggak ya, Mas! Bahkan kemarin banget Papa masuk RS, harus dirawat intensif," sanggah Adinda. "Papa bukan orang yang suka bohong," tambahnya lagi, menekankan.
Damian diam, tidak bisa menimpali lagi. Tidak mau menambah isi kepalanya dengan suuzan kepada orang tua, takut kualat.
"Tapi, kalau Mas nggak mau nerima, saya nggak masalah kok, Mas bisa nolak." Adinda kembali bersuara saat tidak mendapat balasan, ia tidak mau disangka terlalu ngebet menikah dengan Damian. Apalagi Damian ini artis, bisa saja dia berpikir Adinda ingin popularitas, padahal tidak sama sekali!
"Lo sih emang nggak masalah, yang masalah itu gue kalau nolak. Bisa dicoret dari KK yang ada," katanya sewot.
"Loh memangnya kenapa? Mas Damian 'kan emang susah dibilangin, jadi nggak apa-apa dong kalau dicoret dari KK. Lagian juga Mas mau apa? Warisan? Mas 'kan nggak mau ngurus perusahaan, ngapain ngarepin warisan?" ucap Adinda panjang lebar.
Damian langsung mendelik ke arah Adinda begitu mendengar perkataan panjang dari gadis di depannya. Tidak disangka bahwa mulutnya suka nyerocos juga. Damian pikir dia wanita kalem.
Adinda yang tanpa sadar menatap Damian langsung mengalihkan lagi pandangannya. Menatap meja berisi banyak makanan yang menjadi pembatas antara dirinya dan Damian.
"Heh, enak aja lo kalau ngomong, ya! Jadi, artis ini nggak bisa menjamin hidup lo tentram sampe tua! Lagian tahu dari mana sih lo kalau gue susah dibilangin?"
"Dari Bunda Amira, Bunda sering cerita soal Mas Damian kalau main ke rumah," jawabnya masih menunduk.
"Tukang gosip juga ternyata," gumam Damian pelan sekali, tapi karena suasana yang sunyi Adinda bisa mendengar gumaman tersebut.
"Enggak, ya! Bunda 'kan promosiin anaknya, jadi itu bukan gosip!"
Damian semakin tidak menyangka dengan gadis di depannya ini, terlebih pada Bundanya. Apa-apaan mempromosikan anaknya segala? Memang Bunda pikir dirinya tidak bisa mencari jodoh sendiri?
"Gue punya kesepakatan yang harus disetujui," kata Damian, menggumam, masih tidak yakin dengan ide konyolnya.
"Apa lagi?" tanya Adinda lelah. Ia pikir janjinya pada Papa sudah cukup, ternyata masih ada kesepakatan lainnya.
Damian berdeham, ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Membuka aplikasi catatan ponsel yang berisi kesepakatan buatannya. Damian menyodorkan ponselnya kepada Adinda untuk dibaca.
Gadis itu meskipun terlihat tidak ikhlas menerima ponsel dari Damian, tapi tetap membaca isinya. Matanya membulat di poin pertama, Damian bisa melihatnya dengan jelas ekspresi wanita itu.
Dia hendak protes, tapi Damian melarangnya, menyuruhnya melanjutkan membaca poin selanjutnya sampai habis.
"Apa-apaan ini?! Nggak bisa ya! Papa sama Ayah Mas udah janji kalau pernikahannya hanya sebatas ijab dan tercatat di catatan sipil, mereka nggak bilang kalau saya harus 'melayani' Mas juga!" pekik Adinda tidak terima.
Damian menampilkan senyum miring, setelah memasukkan kembali ponsel ke dalam saku ia mulai menatap Adinda tajam. "Lo nggak tahu alasan lain kenapa gue dijodohin ya?"
"Karena perjanjian Papa dan Ayah Mas 'kan?" Damian menggeleng sebagai jawaban membuat dahi Adinda berkerut. "Terus apa?" tanyanya penasaran.
Damian berdeham sebelum menjawab. "Gue punya kebutuhan biologis yang tinggi. Tapi, kalau lo ngggak mau menuhi ya bukan masalah, gue bisa 'jajan' diluar," jawabnya santai, seolah hal itu sudah biasa dibicarakan.
Melihat ekspresi Adinda saat ini sudah menjadi hiburan baru untuk Damian, ia suka saat mata gadis itu membulat dan melupakan kebiasaannya menunduk. Apalagi ketika ia berpikir, dahinya akan berkerut dan kebiasaannya menggigit bibir membuat Damian gemas.
"Kayaknya saya nggak bisa kalau kayak gini," ucapnya lirih.
Adinda memberesi barang-barangnya dan keluar dari ruangan itu tanpa halangan. Meninggalkan Damian yang terdiam di dalam sendirian. Barusan tadi ... dia ditolak?
__________b a t a s s u c i__________
Catatan Penulis:
Cinta bukan hanya sekadar kamu dan dia saling membahagiakan, cinta adalah ketika kamu dan dia sudah bisa saling memahami dan mengisi segala kekosongan.
Gimana? Suka 'kan? Masih pemanasan nih, ikuti terus ya! Doain semoga idenya lancar jaya💃
See you, soon!
Salam sayang, Dee❤️
"Di satu sisi ingin menolak, sisi yang lain memaksa untuk menerima."°°°"Berisik banget sih lo semua!" pekik Angel di tengah kantin kampus yang memang tidak pernah hening.Pekikannya hanya sebagai pelampiasan atas kekesalan yang dialaminya. Ia pikir setelah mengikuti magang masalah hidupnya akan sedikit berkurang, tapi ternyata tidak semudah itu. Banyak sekali output tambahan yang diminta dosen pembimbing lapangan pada kelompok mereka.Angel kembali mengerang sebelum menjatuhkan wajahnya ke atas meja kantin, menghentak-hentakkan kakinya kesal.Adinda menatapnya khawatir, takut temannya gila hanya karena disuruh mengerjakan output dari dosen pembimbing lapangannya. Angel itu sulit sekali menahan emosinya, dia bisa memaki secara gamblang. Tidak pandang bulu siapa yang sedang dimaki atau diumpatinya."Temenmu 'kan tetap
"Garis takdir memang tidak pernah bisa ditebak, sebagai manusia biasa kita hanya bisa mengusahakan yang terbaik."°°°Adinda tersenyum ketika melihat Bunda Amira—ibu Damian—masuk bersama Mama ke ruang inap Papa. Dia mendekati wanita itu dan Mama kemudian menyalim tangannya.Sementara Mama mendekati Papa dan bertanya keperluan suaminya, Adinda dan Amira memilih sofa panjang di dekat pintu masuk. Keduanya diam dalam kebisuan. Adinda yang masih memperhatikan interaksi kedua orang tuanya, sedangkan Amira melihat wajah gadis yang digadang-gadang akan menjadi menantunya itu."Gimana pertemuan kamu sama Damian kemarin?" tanya Bunda Amira yang kalau dihitung menjadi pertanyaan ketiga yang ditanyakan orang berbeda hari ini.Adinda memilin ujung kemeja tuniknya, sedang memilih jawaban yang kira-kira tidak membuat senyum di wajah Bunda Amira luntur.
"Meskipun bukan pertama kali bertemu tapi tatapannya tetap membuat salah tingkah."°°°Awalnya Damian menolak ketika disuruh Gilsa-manajernya-untuk ikut bersama Dedi Kuncoro-sutradara film terbarunya-mengisi kelas sebagai dosen tamu, tapi begitu Gilsa menyebutkan nama Universitas tujuan mereka jawabannya langsung berubah. IKJ, tempat Adinda menimba ilmu.Mungkinkah dia akan bertemu dengan gadis itu? Kira-kira bagaimana reaksinya saat melihat Damian? Terkejutkah atau senang?"Lo kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Dedi kepada artisnya itu.Damian diam seketika, senyum yang semula terkulum tipis mendadak lenyap tak berjejak. Masalahnya dia tidak mungkin mengatakan bahwa ada gadis yang ingin dijumpainya. Mau ditaruh kemana wajah tampannya jika orang lain tahu Damian sedang tergila-gila pada seorang gadis. Gadis yang bahkan jauh sekali dari kriteria idama
"Kadang bukan cewek doang yang susah ditebak, cowok juga bisa punya sifat kayak gitu."°°°Adinda berpamitan terlebih dahulu meninggalkan kantin, dia tidak tahan kalau harus berlama-lama di sana. Dedi mengiyakan, lagipula sejak tadi Adinda memang lebih banyak diam dan terlihat tidak nyaman, jadi daripada menahan-nahan gadis itu, Dedi memilih membiarkannya pergi.Dia melangkah agak tergesa menuju parkiran mobil, hari ini Papa mengizinkannya membawa mobil dengan alasan dirinya harus membawa beberapa barang untuk kegiatan pelantikan kepengurusan BEM baru.Pintu mobil yang sudah dibuka kembali tertutup saat lengan kokoh seseorang menahannya. Adinda berbalik untuk melihat siapa yang berani melakukan hal kurang ajar tersebut. Napasnya tercekat saat matanya berhadapan dengan dada seseorang yang terlapisi kaus warna putih.Dia ... Damian.
"Haruskah menyetujui opini yang tidak kita sukai?"°°°Damian senyum-senyum sendiri sejak tadi, membuat beberapa orang di sekitarnya bergidik ngeri. Bertanya-tanya alasan yang membuat pria itu tidak berhenti melengkungkan garis di bibirnya.Adriana—salah satu rekan artis—menyenggol lengan Damian, gadis itu mengambil duduk di kursinya sendiri. "Lo kenapa nyengir-nyengir mulu dari tadi? Kerasukan?" tanyanya kepo."Enak aja!" bantah Damian tidak terima. Dia sedang merasakan senang, bukan kerasukan. "Gue lagi bahagia, enak aja dibilang kerasukan!" sengitnya.Gadis itu semakin kepo saat mendengar jawaban Damian, pria yang selalu cuek menanggapi rumor baik itu merasakan bahagia? Memang hal apa yang mampu membuat Damian seolah berubah jadi sosok lain? Dapat proyek besar? Keluar negeri? Atau orang tuanya bagi-bagi warisan?Adriana
"Bisa tidak sih pinjam kantong Doraemon supaya mengecil atau bahkan lenyap sejenak dari bumi?"°°°Adinda membantu Papa untuk turun dari ranjang dan beralih pada kursi roda yang diberikan. Hari ini beliau sudah membaik, Mama meminta pada pihak rumah sakit untuk mengizinkan Papa pulang untuk dirawat di rumah."Hati-hati, Pa." Adinda kembali memperingati Papanya yang bergerak terlalu cepat. Dia khawatir Papanya akan terjatuh karena Adinda tidak bisa menahan seluruh berat badannya."Iya, Sayang."Mama masih membereskan baju-baju Papa di dekat lemari. Adinda memilih duduk di sofa menunggunya, membuka ponsel untuk memastikan jika hari ini dosennya tidak meminta kuliah dadakan.Setelah Mama selesai membereskan baju-baju Papa, Adinda mendorong kursi roda Papa keluar dari ruang inapnya. Mereka berjalan beriringan menuju lobby rumah sakit
"Katanya aku hanya perlu menjalani tanpa melakukan persiapan, dia yang akan mengurus sehalanya. Tapi, nyatanya setiap menit bertanya ini dan itu."°°°Tanggal pernikahan sudah ditetapkan, Damian berinisiatif untuk mengurus segala keperluan karena tahu kesibukan Adinda belakangan ini. Gadis itu harus mengurus pelantikan pengurus baru BEM di kampusnya.Adinda berpikir semua urusan akan terselesaikan dengan mudah, Damian akan menyewa WO dan semua ditangani oleh WO sampai hari H nanti. Namun, dugaannya salah. Damian seolah-olah membuat ini adalah pernikahan yang selama ini diinginkannya, seolah dia akan menikahi kekasih yang paling dicintai.Meskipun sudah menyewa WO ternama, pria itu tetap saja ikut mengontrol segala persiapannya. Mulai dari gedung, catering, sampai butik gaun pengantin yang akan membuatkan baju Adinda pun ia pantau sendiri.Awalnya Adi
"Menghalalkanmu bukan mimpi masa kecilku, tapi membahagiakanmu menjadi salah satu tujuanku saat ini." °°° Setelah hampir tiga bulan bersusah ria mengurus pernikahan, akhirnya hari itu tiba. Hari yang Damian persiapkan dengan matang, segala sesuatunya harus terlihat sempurna. Tangannya terulur menjabat penghulu, sementara di samping bapak penghulu itu ada Gautama—calon mertuanya, di sisi kanan Damian ada pendamping yang tidak lain adalah ayahnya. Dua saksi di kanan kiri yang merupakan ustaz di tempat pengajian calon ibu mertuanya. "Wah, saksinya aja ustaz, InsyaAllah pernikahannya diridhai oleh-Nya!" ujar si bapak penghulu dengan leluconnya, menghilangkan sejenak aura tegang yang melingkupi. Tepat pukul delapan pagi di hari Jum'at minggu ketiga bulan November, Damian menjabat tangan penghulu di depannya, menyebutkan nama seorang gadis yang akan dihalalk