Share

002 | Konflik Batin

"Di satu sisi ingin menolak, sisi yang lain memaksa untuk menerima." 

°°°

"Berisik banget sih lo semua!" pekik Angel di tengah kantin kampus yang memang tidak pernah hening. 

Pekikannya hanya sebagai pelampiasan atas kekesalan yang dialaminya. Ia pikir setelah mengikuti magang masalah hidupnya akan sedikit berkurang, tapi ternyata tidak semudah itu. Banyak sekali output tambahan yang diminta dosen pembimbing lapangan pada kelompok mereka. 

Angel kembali mengerang sebelum menjatuhkan wajahnya ke atas meja kantin, menghentak-hentakkan kakinya kesal. 

Adinda menatapnya khawatir, takut temannya gila hanya karena disuruh mengerjakan output dari dosen pembimbing lapangannya. Angel itu sulit sekali menahan emosinya, dia bisa memaki secara gamblang. Tidak pandang bulu siapa yang sedang dimaki atau diumpatinya. 

"Temenmu 'kan tetap bantuin, Jel," kata Adinda lembut, mengusap rambut halus sahabatnya dengan sayang. 

"Bantuin sih bantuin, tapi sama aja gue harus revisi lagi hasil kerja mereka. Capek di gue dong!" ucapnya tidak terima. 

Satu hal yang kadang menyusahkan Angel, dia memiliki kepribadian yang perfeksionis. Kadang kala tuntutan di dalam otaknya untuk menjadi sempurna akan menjadi hambatan ketika mengerjakan sesuatu dalam sebuah tim. Dia memang akan puas ketika hasilnya sempurna, tapi akan merutuk juga tidak sesuai dengan keinginannya. 

"Ya udah, nanti aku bantuin kamu ngerjain." Adinda menawarkan diri. 

"Nggak ngerepotin? Lo 'kan harus bimbingan sama dosen PA," kata Angel tidak enak jika harus merepotkan sahabatnya. 

"Terima aja napa sih kalau ditawarin bantuan tuh!" celetuk satu gadis lagi yang baru tiba di kantin, Ayara namanya. 

Adinda terkekeh mendengar sahutan Ayara yang tiba-tiba. Jika Angel punya kepribadian yang perfeksionis, maka Ayara tipe orang yang cuek pada tugasnya. Ia punya sifat santai seperti seorang lelaki. Kadang dua orang itu adu mulut jika sudah membahas sifat yang saling bertolak belakang. 

"Yee lo mah emang doyan nyusahin orang lain," cibir Angel. "Tapi, kalau memang lo mau bantuin boleh deh, Din, nanti kita kerjain bareng." Angel kemudian menambahkan. 

"Mau juga 'kan lo!" sambar Ayara cepat. 

Angel menatap tajam Ayara yang mulutnya nyinyir terus sejak tadi, didelikkannya mata yang sipit agar Ayara takut. Bukannya takut, sahabat laknatnya itu malah tertawa ngakak. 

"Eh eh, gimana pertemuan lo sama calon suami?" tanya Ayara mengarahkan pembicaraan pada topik lain. 

Adinda memang jarang, hampir tidak pernah, menyembunyikan sesuatu dari sahabat-sahabatnya. Dia gadis yang terbuka soal kehidupannya, memang tidak semua, tapi untuk beberapa hal gadis itu akan bercerita. 

"Ketemu kemarin, tapi dia ngajuin beberapa syarat. Mana syaratnya aneh lagi, jadi aku tinggal aja sebelum pembicaraan selesai," jawabnya jujur.

Dahi Angel berkerut mendengarnya. "Emang apa syaratnya?" tanyanya kepo. 

Nah, untuk yang satu ini Adinda tidak mungkin menceritakannya. Hal ini sangat sensitif, sahabatnya pasti akan langsung berkomentar jelek tentang pria itu dan syarat yang diajukannya. 

"Ada deh." Hanya itu yang bisa Adinda katakan. Sahabatnya langsung mengangguk paham, mereka tahu kalau gadis itu selalu membuat batasan untuk hal-hal pribadi. 

Meskipun bukan orang terkenal, setiap orang berhak memiliki privasi untuk kehidupan pribadinya. 

Ditanya mengenai hal itu, Adinda jadi memikirkan ulang pertemuannya dengan Damian. Apa jangan-jangan keputusannya salah karena menyetujui permintaan Papa? Tapi, ia akan merasa sangat berdosa jika menolaknya. 

Adinda juga belum membahas lagi tentang pertemuannya dengan Damian kemarin. Dia belum sempat menjenguk Papa di rumah sakit karena tugasnya menumpuk. Mungkin sepulang dari kampus nanti ia akan menjenguk Papanya dan membahas pertemuan kemarin jika memang kondisi Papa memungkinkan. 

°°°

Rumah Sakit Medika tempat perawatan Papa. Adinda melangkah masuk ke dalam, ia menyapa beberapa perawat yang melintas. Langsung menuju lift tanpa bertanya nomor kamar karena dia sudah mengetahuinya. 

Papa sudah dipindahkan ke ruang inap biasa tadi pagi, begitu informasi terbaru yang ia terima dari Mama. Setelah memastikan sekali lagi di lantai berapa dan kamar nomor berapa pada Mama, Adinda melangkah masuk ke dalam lift. Memencet angka empat tempat ruangan Papa dirawat. 

Suara lift berdenting kemudian terbuka di lantai tujuan. Adinda keluar kotak besi tersebut, langsung berjalan menuju ruangan Papanya yang tidak jauh dari lift. 

Gadis itu langsung masuk tanpa mengetuk, ia mendapati hanya Papa yang ada di dalam. Papa tersenyum menyambut anak tunggalnya, merentangkan tangan tanda ingin dipeluk. 

"Papa ...," ucapnya lirih sembari memeluk erat tubuh Papa yang setengah berbaring. 

"Anak Papa," kata Papa. Pria akhir lima puluhan itu mengusap punggung sempit putrinya. 

Adinda melepaskan pelukan mereka, ia mengambil kursi agar bisa duduk di samping ranjang Papanya. Tangan mereka bertaut, mentransfer energi lewat genggaman tangan. 

"Papa udah makan belum? Mama mana? Udah baikan 'kan, Pa?" tanya Adinda memberondong. 

Papa tertawa mendengar pertanyaan Adinda yang bertubi-tubi. Ia menarik tangan anaknya untuk ia labuhkan kecupan. "Papa baru selesai makan dan sekarang Mama lagi ke kantin beli makanan buat dia, Papa juga udah baikan."

"Syukur deh, semoga Papa bisa cepat pulang!" 

"Aamiin," sahut Papa cepat. "Oh iya, gimana pertemuan kamu sama Dami kemarin? Lancar 'kan? Jadi, kapan rencana kalian untuk nikah?" Kali ini gantian Papa yang memberondong Adinda dengan banyak pertanyaan. 

Apa tadi pertanyaannya, menikah? Papa segitu yakinnya ya kalau semua akan berjalan mudah tanpa hambatan. Beliau memang tidak tahu kalau calon mantunya itu pikirannya dada sama selangkangan doang?

"Maaf ya, Pa. Kayaknya aku ngerusak semuanya deh, kemarin aku pergi sebelum pembicaraan selesai." Adinda tertunduk lesu, merasa bersalah. 

Papa menautkan alisnya yang tebal. "Memangnya kenapa kok kamu pergi gitu aja? Kamu nggak suka Damian? Padahal setahu Papa dia lagi naik daun loh, fansnya yang cewek banyak. Masa kamu nggak tertarik?" 

"Engh Mas Damian itu ... aneh, Pa." 

"Aneh gimana?" 

Adinda menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk menjelaskan pada Papanya. 

"Dia ngajuin persyaratan. Padahal Papa dan Ayah Dirga cuma bilang kami nikah, enggak ada tuh disuruh 'gitu-gituan'. Aku nggak mau dong, aku merasa dicurangi kalau setuju sama syaratnya. Makanya aku pergi, Pa," jelas Adinda. 

Papa dengan perhatian mengusap punggung tangan Adinda, menenangkan putrinya yang sedang berkecamuk. "Kamu tahu nggak apa kewajiban seorang istri?" tanya Papa. 

Adinda mengangguk. "Tahu," katanya. 

"Nah, pelayanan pada suami itu termasuk kewajiban seorang istri. Maka tanpa harus pakai persyaratan pun kamu memang harus melakukannya." Papa memberi penjelasan dengan bahasa yang menenangkan. "Papa pikir aneh apaan. Kalau ini mah normal, Sayang, bukan aneh." 

Iya sih ini normal, tapi karena Adinda memang belum siap memberikan harta berharganya membuat dia jadi berpikir bahwa Damian mengambil kesempatan. 

"Tapi, aku masih kuliah, Papa ih!" rengek Adinda manja. 

Banyak sekali mimpi yang mau dicapainya setelah lulus kuliah nanti. Kalau dia melakukan itu dengan Damian dan menghasilkan bayi bukankah itu akan menghambat mimpinya? Adinda akan merasa tidak berguna karena sudah menghabiskan banyak duit, tapi tidak bisa menghasilkan duit untuk orang tuanya. 

"Nggak masalah, Sayang. Mama dulu juga hamil kamu, tapi masih bisa buat scripwriter beberapa film nasional. Semua bisa kok kalau tekadmu memang kuat," kata Papa memberi pemahaman lain. 

Mama memang penulis lakon yang hebat, beberapa filmnya pernah memenangkan penghargaan film nasional. Bahkan cita-citanya berasal dari kesuksesan yang diraih Mamanya. Adinda ingin seperti Mama, ah tidak tidak, Mama bilang Adinda harus lebih hebat darinya. 

Kini hati Adinda berisik karena memiliki pendapat yang berbeda. Ia ingin menerima permintaan Papa  yaitu menikah dengan Damian, tapi dia tidak ingin melakukan persyaratan yang Damian minta karena takut mimpinya akan terhambat. 

Ya Allah, apa yang harus Adinda ambil? Bantu dirinya untuk menghasilkan keputusan terbaik. 

__________b a t a s  s u c i__________

Catatan Penulis:

'Pilihan terbaik adalah ketika sudah ditetapkan akan membuat hatimu nyaman.'

Kira-kira Adinda akan nikah sama Damian tidak ya? Kalau nikah apakah akan langsung nganu? Hehe. 

Tetap ikutin kisah mereka ya! Dukung terus karya saya, kalau kalian baca dan kasih vote 'kan saya jadi senang😍

Salam sayang, Dee❤️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status