"Di satu sisi ingin menolak, sisi yang lain memaksa untuk menerima."
°°°
"Berisik banget sih lo semua!" pekik Angel di tengah kantin kampus yang memang tidak pernah hening.
Pekikannya hanya sebagai pelampiasan atas kekesalan yang dialaminya. Ia pikir setelah mengikuti magang masalah hidupnya akan sedikit berkurang, tapi ternyata tidak semudah itu. Banyak sekali output tambahan yang diminta dosen pembimbing lapangan pada kelompok mereka.
Angel kembali mengerang sebelum menjatuhkan wajahnya ke atas meja kantin, menghentak-hentakkan kakinya kesal.
Adinda menatapnya khawatir, takut temannya gila hanya karena disuruh mengerjakan output dari dosen pembimbing lapangannya. Angel itu sulit sekali menahan emosinya, dia bisa memaki secara gamblang. Tidak pandang bulu siapa yang sedang dimaki atau diumpatinya.
"Temenmu 'kan tetap bantuin, Jel," kata Adinda lembut, mengusap rambut halus sahabatnya dengan sayang.
"Bantuin sih bantuin, tapi sama aja gue harus revisi lagi hasil kerja mereka. Capek di gue dong!" ucapnya tidak terima.
Satu hal yang kadang menyusahkan Angel, dia memiliki kepribadian yang perfeksionis. Kadang kala tuntutan di dalam otaknya untuk menjadi sempurna akan menjadi hambatan ketika mengerjakan sesuatu dalam sebuah tim. Dia memang akan puas ketika hasilnya sempurna, tapi akan merutuk juga tidak sesuai dengan keinginannya.
"Ya udah, nanti aku bantuin kamu ngerjain." Adinda menawarkan diri.
"Nggak ngerepotin? Lo 'kan harus bimbingan sama dosen PA," kata Angel tidak enak jika harus merepotkan sahabatnya.
"Terima aja napa sih kalau ditawarin bantuan tuh!" celetuk satu gadis lagi yang baru tiba di kantin, Ayara namanya.
Adinda terkekeh mendengar sahutan Ayara yang tiba-tiba. Jika Angel punya kepribadian yang perfeksionis, maka Ayara tipe orang yang cuek pada tugasnya. Ia punya sifat santai seperti seorang lelaki. Kadang dua orang itu adu mulut jika sudah membahas sifat yang saling bertolak belakang.
"Yee lo mah emang doyan nyusahin orang lain," cibir Angel. "Tapi, kalau memang lo mau bantuin boleh deh, Din, nanti kita kerjain bareng." Angel kemudian menambahkan.
"Mau juga 'kan lo!" sambar Ayara cepat.
Angel menatap tajam Ayara yang mulutnya nyinyir terus sejak tadi, didelikkannya mata yang sipit agar Ayara takut. Bukannya takut, sahabat laknatnya itu malah tertawa ngakak.
"Eh eh, gimana pertemuan lo sama calon suami?" tanya Ayara mengarahkan pembicaraan pada topik lain.
Adinda memang jarang, hampir tidak pernah, menyembunyikan sesuatu dari sahabat-sahabatnya. Dia gadis yang terbuka soal kehidupannya, memang tidak semua, tapi untuk beberapa hal gadis itu akan bercerita.
"Ketemu kemarin, tapi dia ngajuin beberapa syarat. Mana syaratnya aneh lagi, jadi aku tinggal aja sebelum pembicaraan selesai," jawabnya jujur.
Dahi Angel berkerut mendengarnya. "Emang apa syaratnya?" tanyanya kepo.
Nah, untuk yang satu ini Adinda tidak mungkin menceritakannya. Hal ini sangat sensitif, sahabatnya pasti akan langsung berkomentar jelek tentang pria itu dan syarat yang diajukannya.
"Ada deh." Hanya itu yang bisa Adinda katakan. Sahabatnya langsung mengangguk paham, mereka tahu kalau gadis itu selalu membuat batasan untuk hal-hal pribadi.
Meskipun bukan orang terkenal, setiap orang berhak memiliki privasi untuk kehidupan pribadinya.
Ditanya mengenai hal itu, Adinda jadi memikirkan ulang pertemuannya dengan Damian. Apa jangan-jangan keputusannya salah karena menyetujui permintaan Papa? Tapi, ia akan merasa sangat berdosa jika menolaknya.
Adinda juga belum membahas lagi tentang pertemuannya dengan Damian kemarin. Dia belum sempat menjenguk Papa di rumah sakit karena tugasnya menumpuk. Mungkin sepulang dari kampus nanti ia akan menjenguk Papanya dan membahas pertemuan kemarin jika memang kondisi Papa memungkinkan.
°°°
Rumah Sakit Medika tempat perawatan Papa. Adinda melangkah masuk ke dalam, ia menyapa beberapa perawat yang melintas. Langsung menuju lift tanpa bertanya nomor kamar karena dia sudah mengetahuinya.
Papa sudah dipindahkan ke ruang inap biasa tadi pagi, begitu informasi terbaru yang ia terima dari Mama. Setelah memastikan sekali lagi di lantai berapa dan kamar nomor berapa pada Mama, Adinda melangkah masuk ke dalam lift. Memencet angka empat tempat ruangan Papa dirawat.
Suara lift berdenting kemudian terbuka di lantai tujuan. Adinda keluar kotak besi tersebut, langsung berjalan menuju ruangan Papanya yang tidak jauh dari lift.
Gadis itu langsung masuk tanpa mengetuk, ia mendapati hanya Papa yang ada di dalam. Papa tersenyum menyambut anak tunggalnya, merentangkan tangan tanda ingin dipeluk.
"Papa ...," ucapnya lirih sembari memeluk erat tubuh Papa yang setengah berbaring.
"Anak Papa," kata Papa. Pria akhir lima puluhan itu mengusap punggung sempit putrinya.
Adinda melepaskan pelukan mereka, ia mengambil kursi agar bisa duduk di samping ranjang Papanya. Tangan mereka bertaut, mentransfer energi lewat genggaman tangan.
"Papa udah makan belum? Mama mana? Udah baikan 'kan, Pa?" tanya Adinda memberondong.
Papa tertawa mendengar pertanyaan Adinda yang bertubi-tubi. Ia menarik tangan anaknya untuk ia labuhkan kecupan. "Papa baru selesai makan dan sekarang Mama lagi ke kantin beli makanan buat dia, Papa juga udah baikan."
"Syukur deh, semoga Papa bisa cepat pulang!"
"Aamiin," sahut Papa cepat. "Oh iya, gimana pertemuan kamu sama Dami kemarin? Lancar 'kan? Jadi, kapan rencana kalian untuk nikah?" Kali ini gantian Papa yang memberondong Adinda dengan banyak pertanyaan.
Apa tadi pertanyaannya, menikah? Papa segitu yakinnya ya kalau semua akan berjalan mudah tanpa hambatan. Beliau memang tidak tahu kalau calon mantunya itu pikirannya dada sama selangkangan doang?
"Maaf ya, Pa. Kayaknya aku ngerusak semuanya deh, kemarin aku pergi sebelum pembicaraan selesai." Adinda tertunduk lesu, merasa bersalah.
Papa menautkan alisnya yang tebal. "Memangnya kenapa kok kamu pergi gitu aja? Kamu nggak suka Damian? Padahal setahu Papa dia lagi naik daun loh, fansnya yang cewek banyak. Masa kamu nggak tertarik?"
"Engh Mas Damian itu ... aneh, Pa."
"Aneh gimana?"
Adinda menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk menjelaskan pada Papanya.
"Dia ngajuin persyaratan. Padahal Papa dan Ayah Dirga cuma bilang kami nikah, enggak ada tuh disuruh 'gitu-gituan'. Aku nggak mau dong, aku merasa dicurangi kalau setuju sama syaratnya. Makanya aku pergi, Pa," jelas Adinda.
Papa dengan perhatian mengusap punggung tangan Adinda, menenangkan putrinya yang sedang berkecamuk. "Kamu tahu nggak apa kewajiban seorang istri?" tanya Papa.
Adinda mengangguk. "Tahu," katanya.
"Nah, pelayanan pada suami itu termasuk kewajiban seorang istri. Maka tanpa harus pakai persyaratan pun kamu memang harus melakukannya." Papa memberi penjelasan dengan bahasa yang menenangkan. "Papa pikir aneh apaan. Kalau ini mah normal, Sayang, bukan aneh."
Iya sih ini normal, tapi karena Adinda memang belum siap memberikan harta berharganya membuat dia jadi berpikir bahwa Damian mengambil kesempatan.
"Tapi, aku masih kuliah, Papa ih!" rengek Adinda manja.
Banyak sekali mimpi yang mau dicapainya setelah lulus kuliah nanti. Kalau dia melakukan itu dengan Damian dan menghasilkan bayi bukankah itu akan menghambat mimpinya? Adinda akan merasa tidak berguna karena sudah menghabiskan banyak duit, tapi tidak bisa menghasilkan duit untuk orang tuanya.
"Nggak masalah, Sayang. Mama dulu juga hamil kamu, tapi masih bisa buat scripwriter beberapa film nasional. Semua bisa kok kalau tekadmu memang kuat," kata Papa memberi pemahaman lain.
Mama memang penulis lakon yang hebat, beberapa filmnya pernah memenangkan penghargaan film nasional. Bahkan cita-citanya berasal dari kesuksesan yang diraih Mamanya. Adinda ingin seperti Mama, ah tidak tidak, Mama bilang Adinda harus lebih hebat darinya.
Kini hati Adinda berisik karena memiliki pendapat yang berbeda. Ia ingin menerima permintaan Papa yaitu menikah dengan Damian, tapi dia tidak ingin melakukan persyaratan yang Damian minta karena takut mimpinya akan terhambat.
Ya Allah, apa yang harus Adinda ambil? Bantu dirinya untuk menghasilkan keputusan terbaik.
__________b a t a s s u c i__________
Catatan Penulis:
'Pilihan terbaik adalah ketika sudah ditetapkan akan membuat hatimu nyaman.'
Kira-kira Adinda akan nikah sama Damian tidak ya? Kalau nikah apakah akan langsung nganu? Hehe.
Tetap ikutin kisah mereka ya! Dukung terus karya saya, kalau kalian baca dan kasih vote 'kan saya jadi senang😍
Salam sayang, Dee❤️
"Garis takdir memang tidak pernah bisa ditebak, sebagai manusia biasa kita hanya bisa mengusahakan yang terbaik."°°°Adinda tersenyum ketika melihat Bunda Amira—ibu Damian—masuk bersama Mama ke ruang inap Papa. Dia mendekati wanita itu dan Mama kemudian menyalim tangannya.Sementara Mama mendekati Papa dan bertanya keperluan suaminya, Adinda dan Amira memilih sofa panjang di dekat pintu masuk. Keduanya diam dalam kebisuan. Adinda yang masih memperhatikan interaksi kedua orang tuanya, sedangkan Amira melihat wajah gadis yang digadang-gadang akan menjadi menantunya itu."Gimana pertemuan kamu sama Damian kemarin?" tanya Bunda Amira yang kalau dihitung menjadi pertanyaan ketiga yang ditanyakan orang berbeda hari ini.Adinda memilin ujung kemeja tuniknya, sedang memilih jawaban yang kira-kira tidak membuat senyum di wajah Bunda Amira luntur.
"Meskipun bukan pertama kali bertemu tapi tatapannya tetap membuat salah tingkah."°°°Awalnya Damian menolak ketika disuruh Gilsa-manajernya-untuk ikut bersama Dedi Kuncoro-sutradara film terbarunya-mengisi kelas sebagai dosen tamu, tapi begitu Gilsa menyebutkan nama Universitas tujuan mereka jawabannya langsung berubah. IKJ, tempat Adinda menimba ilmu.Mungkinkah dia akan bertemu dengan gadis itu? Kira-kira bagaimana reaksinya saat melihat Damian? Terkejutkah atau senang?"Lo kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Dedi kepada artisnya itu.Damian diam seketika, senyum yang semula terkulum tipis mendadak lenyap tak berjejak. Masalahnya dia tidak mungkin mengatakan bahwa ada gadis yang ingin dijumpainya. Mau ditaruh kemana wajah tampannya jika orang lain tahu Damian sedang tergila-gila pada seorang gadis. Gadis yang bahkan jauh sekali dari kriteria idama
"Kadang bukan cewek doang yang susah ditebak, cowok juga bisa punya sifat kayak gitu."°°°Adinda berpamitan terlebih dahulu meninggalkan kantin, dia tidak tahan kalau harus berlama-lama di sana. Dedi mengiyakan, lagipula sejak tadi Adinda memang lebih banyak diam dan terlihat tidak nyaman, jadi daripada menahan-nahan gadis itu, Dedi memilih membiarkannya pergi.Dia melangkah agak tergesa menuju parkiran mobil, hari ini Papa mengizinkannya membawa mobil dengan alasan dirinya harus membawa beberapa barang untuk kegiatan pelantikan kepengurusan BEM baru.Pintu mobil yang sudah dibuka kembali tertutup saat lengan kokoh seseorang menahannya. Adinda berbalik untuk melihat siapa yang berani melakukan hal kurang ajar tersebut. Napasnya tercekat saat matanya berhadapan dengan dada seseorang yang terlapisi kaus warna putih.Dia ... Damian.
"Haruskah menyetujui opini yang tidak kita sukai?"°°°Damian senyum-senyum sendiri sejak tadi, membuat beberapa orang di sekitarnya bergidik ngeri. Bertanya-tanya alasan yang membuat pria itu tidak berhenti melengkungkan garis di bibirnya.Adriana—salah satu rekan artis—menyenggol lengan Damian, gadis itu mengambil duduk di kursinya sendiri. "Lo kenapa nyengir-nyengir mulu dari tadi? Kerasukan?" tanyanya kepo."Enak aja!" bantah Damian tidak terima. Dia sedang merasakan senang, bukan kerasukan. "Gue lagi bahagia, enak aja dibilang kerasukan!" sengitnya.Gadis itu semakin kepo saat mendengar jawaban Damian, pria yang selalu cuek menanggapi rumor baik itu merasakan bahagia? Memang hal apa yang mampu membuat Damian seolah berubah jadi sosok lain? Dapat proyek besar? Keluar negeri? Atau orang tuanya bagi-bagi warisan?Adriana
"Bisa tidak sih pinjam kantong Doraemon supaya mengecil atau bahkan lenyap sejenak dari bumi?"°°°Adinda membantu Papa untuk turun dari ranjang dan beralih pada kursi roda yang diberikan. Hari ini beliau sudah membaik, Mama meminta pada pihak rumah sakit untuk mengizinkan Papa pulang untuk dirawat di rumah."Hati-hati, Pa." Adinda kembali memperingati Papanya yang bergerak terlalu cepat. Dia khawatir Papanya akan terjatuh karena Adinda tidak bisa menahan seluruh berat badannya."Iya, Sayang."Mama masih membereskan baju-baju Papa di dekat lemari. Adinda memilih duduk di sofa menunggunya, membuka ponsel untuk memastikan jika hari ini dosennya tidak meminta kuliah dadakan.Setelah Mama selesai membereskan baju-baju Papa, Adinda mendorong kursi roda Papa keluar dari ruang inapnya. Mereka berjalan beriringan menuju lobby rumah sakit
"Katanya aku hanya perlu menjalani tanpa melakukan persiapan, dia yang akan mengurus sehalanya. Tapi, nyatanya setiap menit bertanya ini dan itu."°°°Tanggal pernikahan sudah ditetapkan, Damian berinisiatif untuk mengurus segala keperluan karena tahu kesibukan Adinda belakangan ini. Gadis itu harus mengurus pelantikan pengurus baru BEM di kampusnya.Adinda berpikir semua urusan akan terselesaikan dengan mudah, Damian akan menyewa WO dan semua ditangani oleh WO sampai hari H nanti. Namun, dugaannya salah. Damian seolah-olah membuat ini adalah pernikahan yang selama ini diinginkannya, seolah dia akan menikahi kekasih yang paling dicintai.Meskipun sudah menyewa WO ternama, pria itu tetap saja ikut mengontrol segala persiapannya. Mulai dari gedung, catering, sampai butik gaun pengantin yang akan membuatkan baju Adinda pun ia pantau sendiri.Awalnya Adi
"Menghalalkanmu bukan mimpi masa kecilku, tapi membahagiakanmu menjadi salah satu tujuanku saat ini." °°° Setelah hampir tiga bulan bersusah ria mengurus pernikahan, akhirnya hari itu tiba. Hari yang Damian persiapkan dengan matang, segala sesuatunya harus terlihat sempurna. Tangannya terulur menjabat penghulu, sementara di samping bapak penghulu itu ada Gautama—calon mertuanya, di sisi kanan Damian ada pendamping yang tidak lain adalah ayahnya. Dua saksi di kanan kiri yang merupakan ustaz di tempat pengajian calon ibu mertuanya. "Wah, saksinya aja ustaz, InsyaAllah pernikahannya diridhai oleh-Nya!" ujar si bapak penghulu dengan leluconnya, menghilangkan sejenak aura tegang yang melingkupi. Tepat pukul delapan pagi di hari Jum'at minggu ketiga bulan November, Damian menjabat tangan penghulu di depannya, menyebutkan nama seorang gadis yang akan dihalalk
"Mengejutkan. Aku tidak terbiasa dengan kehadiran seseorang di pagi hari." °°° Damian merasakan sinar lampu menyoroti wajahnya dari atap-atap kamar. Ia meraba sekitar, mencari guling untuk menutupi mata. Berdecak sebal saat tidak mendapati apa yang diinginkannya. Pria itu membuka sebelah matanya, mengintip keberadaan gulingnya. Namun, tersentak kaget saat mendapati wajah seseorang persis di hadapannya. Dia langsung bangkit duduk, matanya terbuka lebar—melotot—saat melihat ada orang lain di kamar, dialihkannya perhatian pada sekitar, yang ternyata bukan kamarnya. "Mas Damian kenapa? Kok kayak ngeliat hantu?" Dia merutuki kebodohannya. Memaki dirinya sendiri karena lupa sudah melakukan sesuatu bersejarah kemarin, menikah dengan gadis yang dijodohkan oleh orang tuanya. "Enggak. Kaget gue. Lo ngapain sih dekat-dekat kayak tadi?