Share

003 | Menata Ulang

"Garis takdir memang tidak pernah bisa ditebak, sebagai manusia biasa kita hanya bisa mengusahakan yang terbaik."

°°°

Adinda tersenyum ketika melihat Bunda Amira—ibu Damian—masuk bersama Mama ke ruang inap Papa. Dia mendekati wanita itu dan Mama kemudian menyalim tangannya. 

Sementara Mama mendekati Papa dan bertanya keperluan suaminya, Adinda dan Amira memilih sofa panjang di dekat pintu masuk. Keduanya diam dalam kebisuan. Adinda yang masih memperhatikan interaksi kedua orang tuanya, sedangkan Amira melihat wajah gadis yang digadang-gadang akan menjadi menantunya itu. 

"Gimana pertemuan kamu sama Damian kemarin?" tanya Bunda Amira yang kalau dihitung menjadi pertanyaan ketiga yang ditanyakan orang berbeda hari ini. 

Adinda memilin ujung kemeja tuniknya, sedang memilih jawaban yang kira-kira tidak membuat senyum di wajah Bunda Amira luntur. 

Belum selesai rencana di kepalanya, Papa sudah lebih dulu bersuara. Beliau menjawab pertanyaan Bunda Amira dengan tenang. 

"Kayaknya bakal gagal deh, Mir. Anakku ini masih polos banget ternyata," kata Papa. 

Adinda tidak pernah berpikir bahwa Papa akan menjawab demikian. Awalnya ia pikir Papa akan mengungkapkan seperti yang tadi ia ceritakan, ternyata dugaannya salah. Seberapa besar keinginan Papa memiliki menantu, rasa cintanya lebih besar kepada putrinya. 

"Oalah, kamu pasti ditakut-takuti Damian, ya?" 

Dahi Adinda mengernyit, begitu juga dengan kedua orang tuanya. Dia tidak paham maksud Bunda Amira. Ditakut-takuti? Adinda tidak merasa begitu, dia hanya merasa sedang diambil keuntungan dari kesiapannya menerima perjodohan ini. 

Mungkinkah persyaratan kemarin agar Adinda menolak tanpa Damian harus mengatakan penolakan pada orang tuanya? 

"Dia itu memang gitu, Din. Maaf nih ya, anakku emang agak maniak soal berhubungan itu, makanya aku sama Mas Dirga mau cepat-cepat nikahin dia." 

Jadi, perkataan Damian tentang dia yang punya kebutuhan biologis tinggi itu benar? Berarti bukan menakut-nakuti dong!

"Kalian mengambil keuntungan dari perjanjian itu, ya?" tanya Mama mulai ikut dalam pembinaan. 

Iya sih, sepertinya memang mereka sedang mencari keuntungan. Sudah tahu anaknya seperti itu masa mau diberikan pada anak gadis orang. Mana masih polos lagi. 

Bunda Amira langsung salah tingkah, ia menggerakkan telapak tangannya ke kanan dan kiri dengan gerakan cepat. "Bukan gitu, Jeng! Damian mulai kayak gitu baru belakangan ini, makanya aku mau dia nikah supaya kebiasaannya bisa ilang. Kalau punya istri 'kan jadi nggak suka 'jajan' diluar." 

Papa berdeham setelah penjelasan Bunda Amira selesai, Mama juga ikut terdiam salah tingkah. Kini Adinda yang dibuat bingung, kenapa sih? Ada apa dengan kedua orang tuanya? Aneh sekali tingkahnya!

"Bunda nggak akan maksa kamu, meskipun Bunda berharap kamu jadi mantu Bunda. Semua keputusan ada di tanganmu, Din, jangan dijadiin beban ya!" 

Gadis itu mengangguk. Dia juga akan memikirkan ulang keputusannya, tidak mau gegabah dalam bertindak. Masalahnya ini menyangkut masa depannya, seumur hidup sekali saja menjalaninya. Adinda tidak mau salah mengambil keputusan yang berakibat membuatnya menyesal di kemudian hari. 

°°°

Adinda mengeluarkan laptop dari dalam tas, meletakkannya ke atas meja belajar. Dia menyalakan laptopnya, kemudian beralih mengganti pakaian selama laptopnya memproses tampilan windows. 

Gadis itu memakai baju tidur dan jilbab instan warna pink pucat. Setelah memastikan semua pakaian kotor masuk ke tempatnya, gadis itu mendudukkan tubuh di depan laptop. 

Foto dirinya dan kedua orang tuanya menjadi background depan windows. Tangannya beralih membuka file dan membaca-baca ulang hasil pekerjaannya, kemudian melanjutkan menuliskan beberapa kalimat. 

Kalau Mama menjadi seorang scripwriter, maka Adinda bercita-cita ingin menjadi sutradara film. Tapi, seiring berjalannya waktu ia juga mendalami pekerjaan yang sama dengan Mama. Dia suka menulis skrip film yang ada di kepalanya. 

Denting ponselnya berbunyi ketika ia sedang asyik menuangkan ide ke dalam laptopnya. Ia melirik sekilas pada layar ponselnya yang menampilkan pop up pesan dari nomor tidak dikenal. 

Mengabaikan ketidakjelasan seseorang yang mengiriminya pesan, Adinda kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, tidak lama kemudian suara ponselnya tidak berhenti berdering. Pesan spam yang masuk berkali-kali membuat fokusnya pecah. 

Disambarnya benda pipih warna hitam itu kemudian membuka layar kunci. Adinda langsung beralih pada aplikasi chatting miliknya. Membuka pesan dari nomor asing. 

+62 812-2769-8xxx

[Ini gue Damian.]

[Bunda kasih nomor lo ke gue.]

[Lo ngadu ya kalau gue ngajuin syarat? Dasar tukang ngadu!]

[Eh, balas dong.]

[Aktif tapi nggak dibalas.]

[Cewek tuh emang suka gitu, ya? Harus bolak-balik di chat baru mau balas biar dicariin gitu?]

[Hei.]

[Sombong amat sih. Kayak artis lo.] 

[Adinds.]

[*Adinda. Maaf typo.]

[Eh bener kan nama lo Adinda?]

[Nanti kalau udah nikah lo panggil gue Kakanda nggak?]

Adinda tidak suka dikirimin pesan spam seperti ini, menggangu sekali menurutnya. Jika orang tidak kenal pasti langsung di blokirnya. 

Adinda:

[Mas nggak ada kerjaan, ya?]

[Gabut banget kayaknya nge-chat spam kayak gitu.]

Gadis itu segera mematikan ponselnya setelah menyimpan nomor Damian dalam daftar kontaknya. Dia harus fokus pada pekerjaannya selagi ide di dalam kepalanya mengalir lancar. 

Setengah jam kemudian kegiatannya kembali terusik, bukan karena dering ponselnya, melainkan ketukan di pintu. 

"Non, saya bawain susu buat Non Adin. Saya masuk, ya?" 

Itu suara Bi Ina, asisten rumah tangganya yang diizinkan Mama tinggal di sini karena beliau sebatang kara di Jakarta. Kisah hidup Bi Ina ini cukup tragis, dia diusir suaminya dari rumah karena tidak kunjung mengandung. Karena malu untuk kembali ke rumah, akhirnya Bi Ina ke Jakarta dan sekarang tinggal di rumah ini sebagai asisten rumah tangga. 

"Iya, Bi. Masuk aja, nggak aku kunci kok!"

Suara pintu terbuka membuat Adinda memutar kursi belajarnya. Ia melihat Bi Ina membawa nampan berisi segelas susu dan camilan ringan di atas piring. Wanita itu meletakkannya di meja kopi sebelah meja belajarnya. 

"Non matiin hape, ya? Tadi Ibu nelpon ke hape saya, katanya nomor Non Adin ndak bisa dihubungi." 

Astaga! Ini pasti karena pesan dari Damian yang membuatnya malas membuka ponsel. Adinda mengucapkan terima kasih pada Bi Ina yang sudah menyampaikan pesan dari Mama. Setelah Bi Ina keluar dari kamarnya barulah Adinda menyalakan ponselnya kembali. 

Kontan saja chat dari Damian masuk pada notifikasi paling atas. Mengabaikan pesan yang dikirim oleh Damian, Adinda langsung menghubungi nomor Mamanya. 

Panggilan diterima pada dering pertama. Mama langsung mengucap syukur begitu menerima panggilan dari anaknya. 

"Kenapa, Ma? Tadi hape memang aku matikan, ada yang mengganggu banget-banget!" ujarnya langsung menjelaskan sebelum Mama bertanya. 

"Mama pikir ada apa-apa! Jangan kebiasaan gitu ah, Din, matiin hape!" pekik Mama heboh dari seberang sana. 

Adinda terkekeh mendengar Mama mengomel, ini bukan karena dia mengejek Mamanya, Adinda hanya terlalu hafal kebiasaan Mama jika khawatir. Menghebohkan semua orang, habis itu sudah lupa apa yang pernah terjadi, jika terulang lagi maka akan mengungkit-ungkit kejadian lama. 

"Iya-iya, Ma, maaf ya."

"Ini tadi Damian kesini, cerita sama Mama katanya kamu nggak balas pesan dia, ya? Kamu kok gitu sih, Din? Kalau nolak itu bicara baik-baik, bukan malah menghindar kayak gini." 

Damian ... mengaduh? Kok kelakuannya seperti anak-anak sih! Kalau tidak dibalas ya tunggu dong, bukan malah main ngaduh-ngaduh begini. Lagian itu artis papan atas memangnya tidak punya pekerjaan sampai repot-repot mendatangi Mamanya? Benar-benar kurang kerjaan!

"Iya, Ma, nanti aku balas pesan dia. Udah 'kan itu aja?" Adinda ingin mengakhiri percakapan ini. 

"Kamu istirahat, minum susu buatan Bi Ina. Mama tutup teleponnya ya? Assalamualaikum!" 

Setelah menjawab salam dari Mamanya, Adinda kembali terdiam. Dia sudah memikirkan jawabannya, Adinda hanya berharap apa pun yang akan terjadi merupakan hal baik. Ia akan menata ulang niatnya ketika menerima perjodohan ini. 

Ya, semoga keputusannya menerima Damian menjadi suaminya bukan keputusan yang salah. 

__________b a t a s  s u c i__________

Catatan Penulis:

'Jika memang diputuskan setelah meminta petunjuk, semoga saja keputusan itu bukan sesuatu yang akan berakibat buruk. Bismillah, semua pasti bisa!'

Selamat menikmati ya, Dear. Semoga suka dan betah. 

Salam sayang, Dee❤️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status