"Meskipun bukan pertama kali bertemu tapi tatapannya tetap membuat salah tingkah."
°°°
Awalnya Damian menolak ketika disuruh Gilsa-manajernya-untuk ikut bersama Dedi Kuncoro-sutradara film terbarunya-mengisi kelas sebagai dosen tamu, tapi begitu Gilsa menyebutkan nama Universitas tujuan mereka jawabannya langsung berubah. IKJ, tempat Adinda menimba ilmu.
Mungkinkah dia akan bertemu dengan gadis itu? Kira-kira bagaimana reaksinya saat melihat Damian? Terkejutkah atau senang?
"Lo kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Dedi kepada artisnya itu.
Damian diam seketika, senyum yang semula terkulum tipis mendadak lenyap tak berjejak. Masalahnya dia tidak mungkin mengatakan bahwa ada gadis yang ingin dijumpainya. Mau ditaruh kemana wajah tampannya jika orang lain tahu Damian sedang tergila-gila pada seorang gadis. Gadis yang bahkan jauh sekali dari kriteria idamannya selama ini.
"Lagi pengin aja," jawab Damian seadanya.
Dedi tidak langsung percaya dengan jawaban itu, Damian yang dikenalnya tidak akan membuang-buang waktu untuk melakukan hal yang tidak diinginkannya. Pasti ada alasan lain dibalik sikapnya saat ini. Namun, kendati bertanya kembali, pria akhir empat puluhan itu memilih mengangguk saja sebelum mengalihkan fokus menatap jalanan. Sebentar lagi mereka tiba, begitu seingatnya.
"Lo tahu nggak anaknya teman gue ada yang kuliah di IKJ, lo mungkin kenal orangnya." Dedi kembali bersuara begitu matanya menangkap gerbang besar Universitas tujuannya.
"Dia cantik, kalau ketemu dia lo bisa jatuh cintrong kayaknya." Dedi menambahkan kalimatnya.
Mobil yang membawa mereka berhenti di lobby, Damian segera memakai maskernya. Dedi turun lebih dulu, memantau keadaan sekitar. Mahasiswa cukup ramai pada pukul sepuluh pagi, semoga saja yang mengikuti kelasnya tak kalah ramai.
"Ayo, Dam, cepetan!"
Tangan Dedi membuka pintu tempat Damian duduk, menarik tangan kekar artisnya agar segera turun. Kalau menunggu Damian bersiap bisa-bisa dia telat menghadiri kelas. Dedi paling tidak suka membuat orang lain menunggu.
"Iya, sabar dong, Om!" pekik Damian kesal.
Mereka menjadi sorotan beberapa mahasiswa, beberapa yang mungkin mengidolakan Damian berbisik-bisik karena yakin bahwa yang ada di depan mereka adalah sang idol. Di depannya Dedi semakin mempercepat langkah, membuat Damian harus mengimbangi dan menghentikan tebar pesonanya sampai di sana.
Mereka masuk ke dalam Aula Jurusan Film dan Televisi, ada sekitar seratus kursi yang tersedia. Hampir semua kursi terisi Mahasiswa. Sepertinya mereka sangat antusias mengikuti kegiatan ini. Ya, memang kehadiran dosen tamu bisa menjadi refreshing. Damian pun dulu lebih rajin menghadiri kelas dosen tamu daripada kelas wajib yang diambilnya.
"Saya nggak sendirian loh, ada tamu spesial juga untuk kalian. Dam, ayo masuk! Buka dong maskernya!"
Dengan gerakan malas Damian masuk ke dalam Aula, ketika masker yang dipakainya terbuka terdengar pekikan dari banyak gadis di dalam ruangan. Para pemuda yang memutar bola mata malas merasa kesal karena pacarnya menyebut pemuda lain dengan heboh, ada juga yang menatap kagum sosok Damian yang terlihat sempurna.
Damian memberikan senyum tipis kepada mahasiswa di ruangan tersebut sambil meneliti setiap sudut—mencari sosok Adinda, ia dapati gadis itu duduk di kursi bagian tengah, matanya mendelik saat Damian memberi kedipan padanya.
°°°
Adinda risih sekali karena sejak tadi ditatapi oleh Damian, dia tidak terbiasa. Matanya sesekali mendelik ke arah pria itu, memberi peringatan agar pria itu berhenti menatap ke arahnya. Dia itu sedang menjadi pusat perhatian, bisa bahaya jika teman-temannya sadar kalau Damian sedang menatap objek lain. Lebih bahaya kalau mereka mengikuti arah pandang Damian dan mendapati dirinya.
Mau menjawab apa dia jika ditanya?
"Gue kok ngerasa Damian lagi melamun, ya?" bisik Angel di sebelah telinga Adinda.
Melamun? Begitu kah pemikiran orang terhadap sikap Damian saat ini? Bagus kalau memang begitu!
"Hah? Oh, mungkin sih. Bosan kali dia," kata Adinda memberi balasan.
"Tapi, kok gue ngerasa dia ngelihat ke arah kita? Masa ngeliatin gue?" Pertanyaan lain datang dari Ayara, gadis itu merupakan fans Damian, dia terlalu peka terhadap sikap seseorang. "Atau malah ... ngeliatin Adin?!" pekik Ayara tertahan.
Adinda melirik Ayara lewat sudut matanya, bisa dirasakannya sahabatnya itu sedang menatapnya lekat-lekat, mencari jawaban kebenaran pertanyaannya sendiri. Menatap Damian dan Adinda bergantian.
"Tuh kan! Bener deh dia ngeliatin elo, Din. Wah, ada apa ini? Apa Yayang gue itu terpesona sama sahabat gue sendiri? Cinta gue tertolak sebelum diperjuangkan," rengek Ayara dari tempatnya, kesal pada pemikirannya sendiri—yang memang adalah kebenaran.
"Apa sih? Ngadi-ngadi kamu kalau ngomong," desis Adinda, tidak suka dituduh seperti itu, meskipun yang Ayara katakan tidak salah.
"Iya-iya, setelah gue liat lagi ternyata dia emang ngeliatin kesini, ngeliat Adin! Tuh tuh, dia senyum-senyum sendiri!" Angel kembali berkomentar, kali ini setuju dengan pemikiran Ayara.
Rasanya Adinda tidak betah berlama-lama mengikuti kelas ini. Dia mengerang dalam hati, kapan sih kelasnya selesai?!
°°°
"Ternyata benar, memang Adin!" pekik Dedi heboh begitu langkahnya semakin dekat dengan anak dari temannya. "Ini Dam yang saya bilang tadi, anaknya teman gue!" ujarnya pada Damian.
Pria itu tersenyum simpul menanggapi ucapan Dedi, terlebih saat ini ia berhadapan dengan Adinda dan dua gadis lainnya. Matanya meneliti Adinda dari atas sampai bawah, gadis itu tidak menatapnya, padahal sejak kelas tadi terus-menerus memberi pelototan tajam padanya. Dia ... punya kepribadian ganda ya?
"Halo, Pak!" sapa Adinda ramah, dia kenal dosen tamu hari ini, salah satu sutradara kondang dan teman Mama.
"Kok Pak, sih? Biasanya juga manggil Om," dengkus Dedi tidak suka. "Santai aja, Din, kelasnya udah selesai kok!" timpalnya.
Adinda mengangguk sopan, ia memperkenalkan dua sahabatnya pada Dedi. Angel yang merupakan fans Dedi dan Ayara yang mengidolakan Damian. Dedi mengajak tiga gadis itu ikut bersamanya ke kantin, katanya ingin mencoba makanan di almamaternya itu.
Mereka jadi pusat perhatian, tentu karena ada Damian di tengah-tengah mereka. Dedi geleng-geleng kepala melihat antusias para gadis menyambut artisnya. Agak menyesal karena eksistensinya tenggelam jika berjalan bersama Damian.
"Bapak emang sering ajak artis kalau jadi dosen tamu?" tanya Angel penasaran. Sejak tadi ia terus bertanya, kenapa Dedi membawa artis? Padahal itu agak melenceng dari pelajaran yang mereka terima.
Dedi tertawa sebelum menjawabnya. "Saya tadi niatnya mau menjelaskan bagaimana sikap salah satu artis jika bertemu sutradara dan bagaimana kita akan merespons mereka, tapi karena sepertinya perhatian mahasiswa lebih fokus pada Damian daripada ke saya, maka saya batalkan. Nyesal juga bawa Damian, tapi tidak menghasilkan apa-apa," jelasnya.
Angel tertawa mendengar penjelasan tersebut. Dia akui bahwa fokusnya memang terpecah saat di kelas tadi. Satu sisi menyimak materi yang Dedi bawakan, sisi yang lain memikirkan alasan kenapa ada Damian di sana.
"Bang Damian beneran masih sendiri, ya?" Kali ini pertanyaan datang dari Ayara, si fans garis keras Damian.
Pria itu terkekeh pelan, matanya melirik Adinda yang fokus pada minumannya sebelum berkata. "Sampai tadi malam iya, tapi sekarang sudah tidak. Saya mau menikah, tapi ini rahasia kita aja, ya?" Ia mengedip pada Ayara.
Sebagai fans yang berharap bahwa artisnya akan menjadi pasangannya—meskipun kecil kemungkinan—merasa patah hati mendengar itu. Ia memastikan sekali lagi jika hal itu hanya bercandaan, tapi Damian kembali menjawab sama. Dia sudah mau menikah.
"Kok nggak ada bilang ke gue, Dam?" tanya Dedi, agak tersinggung karena tidak diberitahu.
"Belum resmi, nanti aja kalau udah mau dibawa ke depan umum ya, Om!"
Dedi kembali geleng-geleng melihat tingkah bocah yang tiga tahun ini banyak terlibat kerja sama dengannya. Penasaran gadis seperti apa yang akan menjadi sial nasibnya karena memilih Damian.
Satu gadis lain mendadak bisu, ia panas dingin mendengar jawaban Damian. Pria itu ... kenapa bisa percaya diri sekali Adinda mau menerima dirinya menjadi suami?
Apalagi sekarang pria itu curi-curi pandang ke arahnya. Dia tidak takut ya? Damian itu artis yang sedang naik daun, apakah dengan tersiarnya kabar pernikahannya tidak membuat karirnya meredup?
__________b a t a s s u c i__________
Catatan Penulis:
'Kadang ada satu orang yang walaupun bertemu berkali-kali tetap bisa menggetarkan hati.'
Halo, kembali lagi dengan Damian-Adinda. Semoga betah dan mau lanjut baca yaa.
Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
"Kadang bukan cewek doang yang susah ditebak, cowok juga bisa punya sifat kayak gitu."°°°Adinda berpamitan terlebih dahulu meninggalkan kantin, dia tidak tahan kalau harus berlama-lama di sana. Dedi mengiyakan, lagipula sejak tadi Adinda memang lebih banyak diam dan terlihat tidak nyaman, jadi daripada menahan-nahan gadis itu, Dedi memilih membiarkannya pergi.Dia melangkah agak tergesa menuju parkiran mobil, hari ini Papa mengizinkannya membawa mobil dengan alasan dirinya harus membawa beberapa barang untuk kegiatan pelantikan kepengurusan BEM baru.Pintu mobil yang sudah dibuka kembali tertutup saat lengan kokoh seseorang menahannya. Adinda berbalik untuk melihat siapa yang berani melakukan hal kurang ajar tersebut. Napasnya tercekat saat matanya berhadapan dengan dada seseorang yang terlapisi kaus warna putih.Dia ... Damian.
"Haruskah menyetujui opini yang tidak kita sukai?"°°°Damian senyum-senyum sendiri sejak tadi, membuat beberapa orang di sekitarnya bergidik ngeri. Bertanya-tanya alasan yang membuat pria itu tidak berhenti melengkungkan garis di bibirnya.Adriana—salah satu rekan artis—menyenggol lengan Damian, gadis itu mengambil duduk di kursinya sendiri. "Lo kenapa nyengir-nyengir mulu dari tadi? Kerasukan?" tanyanya kepo."Enak aja!" bantah Damian tidak terima. Dia sedang merasakan senang, bukan kerasukan. "Gue lagi bahagia, enak aja dibilang kerasukan!" sengitnya.Gadis itu semakin kepo saat mendengar jawaban Damian, pria yang selalu cuek menanggapi rumor baik itu merasakan bahagia? Memang hal apa yang mampu membuat Damian seolah berubah jadi sosok lain? Dapat proyek besar? Keluar negeri? Atau orang tuanya bagi-bagi warisan?Adriana
"Bisa tidak sih pinjam kantong Doraemon supaya mengecil atau bahkan lenyap sejenak dari bumi?"°°°Adinda membantu Papa untuk turun dari ranjang dan beralih pada kursi roda yang diberikan. Hari ini beliau sudah membaik, Mama meminta pada pihak rumah sakit untuk mengizinkan Papa pulang untuk dirawat di rumah."Hati-hati, Pa." Adinda kembali memperingati Papanya yang bergerak terlalu cepat. Dia khawatir Papanya akan terjatuh karena Adinda tidak bisa menahan seluruh berat badannya."Iya, Sayang."Mama masih membereskan baju-baju Papa di dekat lemari. Adinda memilih duduk di sofa menunggunya, membuka ponsel untuk memastikan jika hari ini dosennya tidak meminta kuliah dadakan.Setelah Mama selesai membereskan baju-baju Papa, Adinda mendorong kursi roda Papa keluar dari ruang inapnya. Mereka berjalan beriringan menuju lobby rumah sakit
"Katanya aku hanya perlu menjalani tanpa melakukan persiapan, dia yang akan mengurus sehalanya. Tapi, nyatanya setiap menit bertanya ini dan itu."°°°Tanggal pernikahan sudah ditetapkan, Damian berinisiatif untuk mengurus segala keperluan karena tahu kesibukan Adinda belakangan ini. Gadis itu harus mengurus pelantikan pengurus baru BEM di kampusnya.Adinda berpikir semua urusan akan terselesaikan dengan mudah, Damian akan menyewa WO dan semua ditangani oleh WO sampai hari H nanti. Namun, dugaannya salah. Damian seolah-olah membuat ini adalah pernikahan yang selama ini diinginkannya, seolah dia akan menikahi kekasih yang paling dicintai.Meskipun sudah menyewa WO ternama, pria itu tetap saja ikut mengontrol segala persiapannya. Mulai dari gedung, catering, sampai butik gaun pengantin yang akan membuatkan baju Adinda pun ia pantau sendiri.Awalnya Adi
"Menghalalkanmu bukan mimpi masa kecilku, tapi membahagiakanmu menjadi salah satu tujuanku saat ini." °°° Setelah hampir tiga bulan bersusah ria mengurus pernikahan, akhirnya hari itu tiba. Hari yang Damian persiapkan dengan matang, segala sesuatunya harus terlihat sempurna. Tangannya terulur menjabat penghulu, sementara di samping bapak penghulu itu ada Gautama—calon mertuanya, di sisi kanan Damian ada pendamping yang tidak lain adalah ayahnya. Dua saksi di kanan kiri yang merupakan ustaz di tempat pengajian calon ibu mertuanya. "Wah, saksinya aja ustaz, InsyaAllah pernikahannya diridhai oleh-Nya!" ujar si bapak penghulu dengan leluconnya, menghilangkan sejenak aura tegang yang melingkupi. Tepat pukul delapan pagi di hari Jum'at minggu ketiga bulan November, Damian menjabat tangan penghulu di depannya, menyebutkan nama seorang gadis yang akan dihalalk
"Mengejutkan. Aku tidak terbiasa dengan kehadiran seseorang di pagi hari." °°° Damian merasakan sinar lampu menyoroti wajahnya dari atap-atap kamar. Ia meraba sekitar, mencari guling untuk menutupi mata. Berdecak sebal saat tidak mendapati apa yang diinginkannya. Pria itu membuka sebelah matanya, mengintip keberadaan gulingnya. Namun, tersentak kaget saat mendapati wajah seseorang persis di hadapannya. Dia langsung bangkit duduk, matanya terbuka lebar—melotot—saat melihat ada orang lain di kamar, dialihkannya perhatian pada sekitar, yang ternyata bukan kamarnya. "Mas Damian kenapa? Kok kayak ngeliat hantu?" Dia merutuki kebodohannya. Memaki dirinya sendiri karena lupa sudah melakukan sesuatu bersejarah kemarin, menikah dengan gadis yang dijodohkan oleh orang tuanya. "Enggak. Kaget gue. Lo ngapain sih dekat-dekat kayak tadi?
"Dan yang paling menyebalkan adalah suasana canggung." °°° Adinda memaksa suaminya untuk ikut salat Isya ke masjid bersama Papa. Pria itu sangat keras kepala, mengatakan ia bisa melaksanakan salat di rumah, jadi memilih di rumah saja. Ya, memang boleh, tapi untuk laki-laki masjid adalah tempat terbaik melaksanakan salat lima waktu. Bahkan jika hujan turun, bukan badai kencang, seorang lelaki masih diharuskan untuk salat di masjid. Setelah mendapat sedikit siraman rohani dari sang istri, akhirnya Damian menurut. Jalan sendirian menuju masjid kompleks karena Papa sudah berangkat sebelum azan berkumandang. Dia menggerutu karena udara sehabis hujan terasa sangat dingin menusuk kulit. Banyak bapak-bapak yang menyapanya di masjid, seolah mengenal dirinya akrab. Damian jadi agak takut jika keputusan mereka merahasiakan pernikahan akan terbongkar hanya karena dirinya salat ke masjid. 
"Coba tanyakan lagi pada hatimu, apakah dia tetap ingin bersamaku?"°°°Adinda menemani Mama melihat orang sakit di blok sebelah saat Papa dan suaminya pergi mencari pakan untuk ikan hias Papa. Mereka berjumpa banyak teman arisan Mama, bertanya dengan siapa Adinda menikah dan kenapa pernikahannya hanya keluarga saja yang boleh tahu.Banyak spekulasi dari para ibu-ibu tentang pernikahannya, ada yang berpikir dia sudah hamil duluan, berpikir bahwa suaminya orang yang sudah tua renta, dan hal-hal buruk lainnya yang membuat Adinda harus mengucap istighfar banyak-banyak.Orang sekarang memang begitu, sukanya menyimpulkan sendiri daripada mencari tahu kebenaran atau mendapat info dari yang bersangkutan."Nggak udah didengerin, emak-emak zaman jigeum emang suka gitu mulutnya."Adinda menoleh saat mendengar suara seorang perempuan