Share

005 | Pembicaraan

"Kadang bukan cewek doang yang susah ditebak, cowok juga bisa punya sifat kayak gitu."

°°°

Adinda berpamitan terlebih dahulu meninggalkan kantin, dia tidak tahan kalau harus berlama-lama di sana. Dedi mengiyakan, lagipula sejak tadi Adinda memang lebih banyak diam dan terlihat tidak nyaman, jadi daripada menahan-nahan gadis itu, Dedi memilih membiarkannya pergi.  

Dia melangkah agak tergesa menuju parkiran mobil, hari ini Papa mengizinkannya membawa mobil dengan alasan dirinya harus membawa beberapa barang untuk kegiatan pelantikan kepengurusan BEM baru. 

Pintu mobil yang sudah dibuka kembali tertutup saat lengan kokoh seseorang menahannya. Adinda berbalik untuk melihat siapa yang berani melakukan hal kurang ajar tersebut. Napasnya tercekat saat matanya berhadapan dengan dada seseorang yang terlapisi kaus warna putih. 

Dia ... Damian. 

Adinda sudah akan mengeluarkan protesannya ketika kunci mobil di tangannya diambil alih, Damian dengan tidak tahu diri menyingkirkan Adinda dari samping pintu kemudi kemudian masuk ke dalamnya. 

Diketuknya pintu mobil tersebut, kacanya terbuka sedikit menampilkan wajah Damian yang sudah terbebas dari masker. Alis pria itu naik sebelah seolah bertanya 'ngapain sih ketok-ketok?' Hei! Bukankah yang harusnya protes di sini adalah Adinda? 

"Siapa suruh masuk mobil saya?" tanya Adinda ketus.

Bahu pria itu mengendik. "Mau pulang bareng nggak?" 

Orang lain kalau mengajak pulang bersama biasanya bawa kendaraan sendiri, meminta izin terlebih dahulu, tapi memang berbeda dengan Damian yang langsung masuk ke dalam mobilnya selayaknya milik sendiri. Benar-benar manusia aneh!

"Mau nggak?" ulang Damian. 

Dengan bersungut-sungut Adinda memutari mobilnya, agak kesal juga karena tidak bisa menolak. Gimana mau menolak kalau tubuh besar itu sudah lebih dulu masuk tanpa tahu malu?

Setelah memastikan Adinda duduk dengan nyaman di posisinya, Damian mulai menjalankan mobilnya—ralat, mobil Adinda yang sedang dikendarainya. Membelah jalanan Jakarta dengan kecepatan sedang. 

Bukannya langsung mengantar Adinda pulang ke rumah, Damian malah memutar arah menuju salah satu restoran langganannya. Protesan Adinda ia abaikan, perutnya lebih membutuhkan asupan. 

"Makan bentar, habis itu anterin gue ke lokasi syuting." Dia bertitah seenaknya. 

"Harusnya Mas anterin saya pulang, bukan saya yang anterin Mas syuting!" seru Adinda kesal. 

"Sama aja," katanya cuek. 

Adinda kembali melayangkan protes yang tetap diabaikan Damian, hari ini dia jadi orang budek. Begitu sampai di restoran tujuannya, Damian langsung masuk, mengantongi kunci mobil, tidak membiarkan Adinda membawa kabur mobil miliknya sendiri. Damian benar-benar memaksa Adinda untuk ikut bersamanya. 

Jalannya menghentak kesal sepanjang memasuki restoran, mulai pelan ketika beberapa pelanggan melihat ke arahnya. Ini Damian pergi kemana sih? Ngajak kesini, tapi ninggalin!

"Mbak temannya Mas Damian, ya? Mari saya antar ke ruangannya," kata seorang pelayan muda yang menghampirinya. 

Adinda mengikuti langkah kecil gadis itu, menuju lantai dua di mana ruangan-ruangan terpetak untuk dijadikan VIP. Mereka berhenti di ruangan paling ujung, tepat di dekat kamar mandi. 

"Silakan, Mbak. Mas Damian sudah ada di dalam," katanya lagi. 

"Makasih, ya!"

Begitu pintu dibuka Adinda mendapati Damian sudah sibuk dengan makanannya. Oh, dia sudah reservasi? Makanya bersikeras harus singgah kesini? 

Adinda duduk, tidak mau makan sebelum ditawari. Namun, sudah menunggu cukup lama, bibir Damian masih sibuk menyantap makanan, tidak sempat menyuruh Adinda untuk ikut menikmati hidangan bersamanya. 

Bah! Apa-apaan ini?

"Enak banget ya, Mas, makan sendiri," sindir Adinda. Sengaja. 

Damian mengangguk. "Iya, soalnya kayaknya teman yang diajak kesini nggak tertarik untuk makan. Dari tadi diam aja," ucapnya seolah tidak sadar sedang disindir. 

"Kalau nggak ditawari masa mau asal comot aja," desisnya tajam, menolak disalahkan. Lagi pula dia memang tidak salah 'kan?

Pria itu terkekeh, tangannya dengan sigap memindahkan beberapa lauk ke dalam piring, lalu menggeser ke hadapan Adinda. "Makan ya, Calon Istri." Dia menekankan pada dua kata terakhir. 

"Habis ini kita harus bicara ya, Mas!" 

Adinda tidak bisa menunggu terlalu lama untuk membicarakan ini, meskipun dengan ucapannya nanti akan membuat Damian semakin diatas langit. Dia pasti akan sangat bahagia karena 'kebutuhannya' akan terpenuhi. 

°°°

Damian mengelap mulutnya dengan sapu tangan yang disediakan. Matanya masih menatap Adinda yang sejak tadi terus menunduk dan menghela napas dalam. 

"Lo kenapa sih? Gelisah banget kayaknya," komentar Damian. Dia tidak bisa menahan lebih lama lagi untuk bertanya. 

Adinda tanpa mau repot-repot menatap ke arahnya langsung menjawab. "Saya mau bicara, Mas, sesuatu yang serius!" 

Damian menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tangan terlipat di dada. "Mau bahas apa emangnya?" tanya pria itu. 

"Tentang kita, syarat aneh Mas Dami lebih tepatnya!" ujarnya agak ngegas. 

Sebagai seorang pria yang selalu ditatap dengan pemujaan dan diajak bicara dengan suara lemah lembut, Damian kaget mendengar lontaran kalimat Adinda. Namun, kendati marah dan menatap tidak suka pada gadis di depannya, Damian justru terkekeh. Adinda itu hiburan untuknya. 

"Kenapa? Lo nerima syarat dari gue?" tanya Damian bersama kekehannya. 

"Iya. Kata Papa itu emang kewajiban, jadi ya ... saya terima," lirihnya. Jawaban yang membuat Damian langsung menegakkan tubuh. Dia tidak salah dengar 'kan? Seolah mendengar pertanyaan yang terlintas dalam benak pria itu, Adinda menjawab. "Saya serius nerima syarat Mas Dami, tapi ada beberapa yang harus direvisi," katanya menekankan. 

Damian mengangguk semangat, tidak masalah dengan revisi yang ada di kepala Adinda, yang terpenting keinginannya terpenuhi. Lagian, memang revisi seperti apa yang gadis itu inginkan?

"Saya mau melakukan kewajiban, tapi Mas Dami juga harus nahan diri untuk nggak buat saya hamil!" sengit Adinda ketika merasakan aura berbeda dari Damian. 

Dia sudah memikirkannya sejak semalam, bahwa keputusannya harus menguntungkan dua pihak. Jangan hanya membuat Damian enak saja, tapi pria itu juga harus diberi batasan. Setidaknya sampai Adinda bisa menangani beberapa proyek film ke depannya. 

Damian tercengang mendengar kalimat Adinda. "Maksudnya gimana? Lo minum pil, gitu ... 'kan?" 

Adinda menggeleng kuat. "Mas yang harus nahan diri untuk nggak keluar di dalam atau pakai pengaman!" sentaknya. 

Waw! Ini sama saja seperti melakukannya dengan para jalang. Bedanya jika dengan mereka Damian harus bersusah payah memakai pengaman. Masa sudah menikah harus tetap pakai benda itu juga sih?!

"Tapi, Din ...,"

"Saya masih kuliah, seperti yang Mas katakan di pertemuan kita sebelumnya, jadi Mas harus nahan diri untuk nggak mempermalukan saya karena disangka hamil diluar nikah." 

"Kenapa gitu? Kita 'kan nggak harus nyembunyiin pernikahan ini!" 

"Mas itu baru naik daun. Kalau tersiar kabar Mas sudah nikah, bukannya itu akan menghambat karir Mas Dami di perfilman? Jadi, demi kebaikan bersama lebih baik kita sembunyikan pernikahan ini." 

Damian nyaris mengumpat. Bagaimana bisa seorang gadis berpikiran untuk menyembunyikan pernikahannya? Bukankah biasanya di film-film seorang pria yang akan memberi penawaran seperti itu? Apakah Adinda malu menikah dengannya yang menjadi artis karena modal tampang dan koneksi? Tapi, dirinya 'kan sudah membuktikan dengan filmnya yang lalu keras, bahkan masuk box office!

"Gue bakal pikirin ulang soal ini," putus Damian tidak langsung menyetujui. 

__________b a t a s  s u c i_________

Catatan Penulis:

'Kadang kala suatu hubungan memang akan memberi dampak yang tidak baik jika dipertontonkan pada publik.'

Gimana nih sama bagian terbaru ini? Makin mau dong ikutin terus. Tungguin ya!

Sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status