Share

006 | Memikirkan

"Haruskah menyetujui opini yang tidak kita sukai?"

°°°

Damian senyum-senyum sendiri sejak tadi, membuat beberapa orang di sekitarnya bergidik ngeri. Bertanya-tanya alasan yang membuat pria itu tidak berhenti melengkungkan garis di bibirnya. 

Adriana—salah satu rekan artis—menyenggol lengan Damian, gadis itu mengambil duduk di kursinya sendiri. "Lo kenapa nyengir-nyengir mulu dari tadi? Kerasukan?" tanyanya kepo.

"Enak aja!" bantah Damian tidak terima. Dia sedang merasakan senang, bukan kerasukan. "Gue lagi bahagia, enak aja dibilang kerasukan!" sengitnya. 

Gadis itu semakin kepo saat mendengar jawaban Damian, pria yang selalu cuek menanggapi rumor baik itu merasakan bahagia? Memang hal apa yang mampu membuat Damian seolah berubah jadi sosok lain? Dapat proyek besar? Keluar negeri? Atau orang tuanya bagi-bagi warisan?

Adriana menggelengkan kepalanya, menepis kemungkinan-kemungkinan itu karena hal seperti itu tidak mungkin bisa membuat Damian seperti orang gila. Dia sudah sering ditawari proyek besar, bahkan syuting film luar, tapi ekspresinya tidak pernah sesenang ini. Untuk harta warisan? Bukankah Damian memang punya saham di perusahaan orang tuanya? Jadi, tidak ada yang perlu disenangi. 

"Emang apaan yang buat lo berubah jadi orgil kayak gini?" tanya Adriana memastikan. 

Damian menatapnya cepat, matanya memicing tajam. "Kepo banget sih!" katanya berubah ketus. 

"Dia mau nikah, Na!" umum satu suara dari balik tubuh Damian. 

Mata Adriana langsung membulat begitu Dedi—sutradara film mereka—mengucapkan fakta yang tidak disangkal Damian. Benarkah demikian? Adriana selama ini berpikir Damian merupakan jenis pria bebas yang tidak mau memiliki ikatan, tapi ternyata dugaannya salah. 

"S-serius, Dam? Cewek sial mana yang mau lo jadiin istri?" tanya Adriana tidak habis pikir. 

Damian mendelik. "Sial kepalamu! Dia malah beruntung bisa nikah sama cowok ganteng kayak gue!" 

Adriana memutar bola mata malas. "Ganteng doang, tapi berengsek. Gue kalau ditawarin nikah sama lo juga ogah, Dam!" nyinyirnya. 

"Emang lo pikir gue mau nawarin lo nikah? Enggak lah ya, sorry, selera gue tinggi!" 

Skakmat!

Meski Adriana memang tidak mengharapkan Damian seperti yang dikatakannya tadi, tapi balasan Damian cukup menyakitinya. Iya, siapa juga yang mau dengan gadis tomboy seperti dirinya? 

"Sialan lo, Buaya Buntung!" maki Adriana kesal, ia melempar bantal di pangkuannya ke arah Damian. 

Pria itu malah tertawa saat melihat amarah Adriana, paling tahu jika rekan artisnya itu sumbu pendek. Menggoda Adriana membuat Damian terhibur, setidaknya dia punya teman yang bisa diajak bercanda. Meski dia agak sangsi, apakah Adriana menganggap kelakuannya selama ini hanya candaan semata?

"Jangan baperan dong! Gitu aja ngamuk!" 

"Punya hati makanya baperan! Lagian orang sekarang kenapa sih, semenjak kenal kata baperan lupa kalau manusia itu punya sifat perasa, mudah tersinggung, terlebih karena manusia punya hati, tempat menyimpan segala rasa. Jadi, kesal gue sama kata baperan ini!" erang Adriana kesal. 

"Yee dia curhat," cibir Damian tidak merasa bersalah sama sekali. 

"Lo nggak boleh biarin sifat berengsek lo ini bertahan ketika udah nikah nanti, lo harus mempertimbangkan apa keinginan bini lo, jangan seenaknya aja. Bisa hancur kalo lo masih egois gini," ujar Adriana memberi nasihat. 

Mendengar nasihat dari Andriana, Damian jadi kembali teringat dengan pembicaraannya bersama Adinda ketika di restoran tadi. Tentang permintaan gadis itu yang menyuruhnya menahan diri. Haruskah Damian turuti? Tapi, mereka 'kan sudah sah, tidak enak sekali kalau harus mengeluarkan di luar! 

"Ngelamun aja lo! Dipanggil tuh, disuruh take!" seru Adriana tepat di depan wajah Damian, membuat pria itu mendengkus sembari bangkit dari duduknya. 

Adinda ... gadis itu memang seperti rentenir, suka berkeliaran dan menghantui pikiran, tapi dalam konteks berbeda. Ah, sialan!

°°°

"Iya, Bun. Nanti aku pulang ya," ujar Damian lembut kepada sang Bunda. 

Amira menghela napas panjang di seberang sana, takut kembali dibohongi oleh putra semata wayangnya. Pasalnya ini bukan pertama kalinya Damian memberi janji akan pulang, tapi sudah berkali-kali, dan nahasnya janji itu tidak pernah ditepati. Alasannya banyak sekali, mulai capek, ada syuting tambahan, atau pertemuan dadakan, dan lain sebagainya yang Amira hapal luar kepala. 

"Kamu udah janji harus ditepati loh, Damian. Nggak baik ngingkari janji kayak gitu!" katanya memberi peringatan. 

"Iya, Bun, kali ini janji bakal pulang. Bahkan sekarang aku udah di jalan, nih." 

Damian juga bukan sengaja ingin mengingkari janji, tapi pekerjaan memaksanya untuk tetap stay. Meskipun harusnya perintah Ibu didahulukan, tapi ia tidak bisa juga melakukannya jika karir menjadi ancaman. Anggaplah dia anak durhaka karena jarang sekali menemui orang tuanya, tapi sungguh ia tidak dengan sengaja melakukannya. 

"Oke, kalau begitu Bunda tunggu ya! Bunda tutup teleponnya, mau buat makanan kesukaan kamu. Assalamualaikum!" 

Setelah mendapat ucapan salam dari Damian, barulah Amira memutus sambungan telepon. Damian menyandarkan tubuh lelahnya pada jok belakang mobilnya. 

"Kita ke rumah ya, Pak!" perintah Damian pada sopir pribadinya. 

Pria akhir enam puluhan itu mengangguk sesaat ketika mendengar perintah tuannya, ia kembali fokus pada pekerjaannya. Sedangkan di kursi belakang Damian sedang memijat batang hidungnya karena merasakan nyut-nyutan. 

Damian kembali memikirkan permintaan Adinda, pemikiran itu terus bermunculan disaat Damian sedang tidak sibuk seperti ini, mengakibatkan kepalanya jadi berdenyut. Adinda selain membuatnya gemas juga bisa membuat Damian stres. 

Mobil yang ditumpanginya akhirnya tiba di pekarangan rumah orang tuanya. Damian turun di depan beranda rumahnya, kemudian mobil dibawa ke tempat parkir oleh sopir. 

Sambutan heboh dia dapati dari sosok wanita yang sudah merawatnya itu, Amira langsung memeluk anaknya erat-erat. Tangannya yang sudah mulai keriput mengusap kepala Damian dengan sayang. 

"Bunda kangen banget sama kamu, Dami!" pekiknya girang. 

"Me too, Ibunda."

Damian digiring masuk oleh Amira, sepanjang perjalanan memasuki rumah wanita itu tidak berhenti bicara. Banyak sekali yang dibahasnya, mulai dari taman bunganya yang mulai ditumbuhi bunga-bunga indah, Adinda yang baru menelepon memberi kabar tentang penerimaannya, sampai topik yang paling malas Damian dengar—Ayah yang meminta Damian untuk bergabung mengurus perusahaan. 

"Aku udah bilang dari awal 'kan, Bun, aku nggak tertarik sama perusahaan," katanya malas. 

Helaan napas Bunda terdengar berat. "Terus siapa yang mau ngurusin perusahaan setelah Ayah dan Bunda nggak ada nanti?" tanyanya sarkas. 

"Ayah pasti punya orang kepercayaan, kasih aja sama orang itu. Kenapa harus berharap sama aku sih?" 

"Percuma punya anak kalau mengandalkan orang lain!" ujar Bunda Amira menohok Damian. 

Percuma punya anak.

Percuma. 

Damian tertawa miris setelah Bunda beranjak menuju dapur. Ia merasa tidak berguna jika sudah seperti ini, tapi tidak mungkin menerima permintaan Ayah dengan paksaan. 

"Kamu dipaksa nikah sama Adin mau, masa ngurus perusahaan nggak mau! Dasar anak aneh!" seru Bunda dari arah dapur, masih kesal dengan putranya. 

Hah! Iya juga. Kenapa menikah dengan Adinda dirinya mau, sedangkan bertahun-tahun dibujuk untuk mengurus bisnis keluarga masih saja menolak? Apakah Damian tidak berminat sama sekali? Atau hanya alibi karena tidak sanggup menjalankan perusahaan? 

__________b a t a s  s u c i__________

Catatan Penulis:

'Ada satu keputusan yang sebenarnya kita ingin, hanya butuh dorongan lebih keras agar kita percaya diri mengambilnya.'

Ikuti terus ya kisah mereka!

Ajak teman-teman kalian untuk baca juga. 

Salam sayang, Dee❤️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status