"Bisa tidak sih pinjam kantong Doraemon supaya mengecil atau bahkan lenyap sejenak dari bumi?"
°°°
Adinda membantu Papa untuk turun dari ranjang dan beralih pada kursi roda yang diberikan. Hari ini beliau sudah membaik, Mama meminta pada pihak rumah sakit untuk mengizinkan Papa pulang untuk dirawat di rumah.
"Hati-hati, Pa." Adinda kembali memperingati Papanya yang bergerak terlalu cepat. Dia khawatir Papanya akan terjatuh karena Adinda tidak bisa menahan seluruh berat badannya.
"Iya, Sayang."
Mama masih membereskan baju-baju Papa di dekat lemari. Adinda memilih duduk di sofa menunggunya, membuka ponsel untuk memastikan jika hari ini dosennya tidak meminta kuliah dadakan.
Setelah Mama selesai membereskan baju-baju Papa, Adinda mendorong kursi roda Papa keluar dari ruang inapnya. Mereka berjalan beriringan menuju lobby rumah sakit, sopir rumahnya sudah menunggu di bawah.
Pak Jeki langsung mengambil alih tas berisi baju Papa dari tangan Mama, sedangkan dua wanita lainnya membantu Papa masuk ke dalam mobil. Adinda menyimpan kursi roda Papa ke bagasi belakang, Mama langsung masuk dan membenahi duduk Papa.
Gadis itu memastikan semuanya sudah siap, segera ia melangkah menuju jok depan, duduk di samping Pak Jeki yang menyetir mobil menuju rumah mereka.
"Kamu udah ngomong sama Damian 'kan, Din?" tanya Mama setelah mobil berjalan lambat membelah kemacetan.
"Udah, kemarin sepulang kampus Adin ngomongin masalah ini sama Mas Damian," jawab gadis itu.
"Soal syaratnya itu, kamu nerima dong?" Papa ikut bertanya.
"Iya. Tapi, Adin minta beberapa revisi juga dari syarat yang Damian ajukan, maksudnya biar kami sama-sama untung. Masa mau dia doang yang enak?"
Papa berdecak di tempatnya. "Papa nggak paham sama kalian, menikah kok main untung-rugi. Kalian pikir lagi jualan?" sengitnya.
Adinda tidak berpikir seperti itu, dia hanya tidak ingin Damian bisa dengan mudah mendapatkannya sedangkan dia tidak mendapat apa-apa. Lagian, syarat yang diberikannya itu demi masa depannya sendiri. Kalau Adinda tidak mengajukan syaratnya dan benih Damian tumbuh dalam tubuhnya 'kan yang kena cibiran juga keluarganya. Adinda menghindari hal itu.
"Udahlah, Pa, Mama yakin kok Adin nggak mungkin ngasih syarat juga ke Damian tanpa pertimbangan matang." Mama menengahi anak dan suaminya. Dia yakin putrinya sudah besar, pasti bisa menentukan keputusan yang benar.
°°°
Ketika mobil yang membawa Adinda dan orang tuanya tiba di pekarangan rumah, sudah ada mobil lain yang terparkir di sana. Adinda mengernyitkan dahi bingung, tidak mengenali mobil siapakah itu.
"Itu mobil Bunda Amira," bisik Mama sebelum turun mengambil kursi roda.
Mobil Bunda? Ganti baru maksudnya? Adinda ini bukannya tidak tahu yang mana mobil Bunda Amira, dia hapal betul beserta plat nomornya. Jadi, mustahil jika Bunda tidak ganti mobil, kecuali ... ya, Damian yang memilikinya ternyata.
Terlihat pria itu turun dari jok kemudi, melangkah mendekati mobil mereka, dan membantu Papa. Pria itu bahkan repot-repot mendorong kursi roda Papa masuk ke dalam rumah. Mau caper?
"Adin! Ayo masuk!" pekik Mama kembali melongokkan kepala ke dalam mobil.
Adinda mengangguk kaku, membuka pintu mobil dengan lemah. Ia pikir hari ini bisa menghabiskan waktu bersama orang tuanya tanpa gangguan, tapi ternyata ekspetasi tidak pernah sesuai dengan yang terjadi.
Bi Ina menyambutnya di pintu dengan cengiran lebar, wanita itu bahkan mengikutinya masuk ke dalam sambil berceloteh. Katanya calon suaminya itu tampan sekali, lebih tampan dari yang pernah ia lihat di televisi—meskipun jarang main sinetron, tapi Damian dikontrak untuk beberapa iklan dari brand ternama, terlihat gagah dan penuh sopan santun.
Ya, ya, Adinda setuju jika Damian itu tampan sekali, seperti yang Bi Ina katakan. Tapi, sopan? Bah! Belum tahu saja Bi Ina bagaimana kelakuan pria itu diluar sana.
Namun, kendati protes dan membeberkan sesuatu yang harus jadi rahasia, gadis itu lebih memilih mengangguk. Mereka berpisah di sekat antara ruang keluarga dan dapur, Bi Ina berpamitan ingin membuat minuman dan membawa camilan seperti yang majikannya perintahkan.
"Aduh anak Bunda. Sini sayang!" panggil Bunda Amira dengan semangat, suaminya bahkan geleng-geleng melihat kelakuan sang istri.
Adinda menurut, berjalan mendekat ke arah 'calon ibu mertuanya' tersebut. Bunda Amira yang memang memiliki sifat ceria dan mudah lengket dengan orang-orang yang disukainya langsung memeluk Adinda, mengucapkan terima kasih berkali-kali pada gadis muda itu.
Di sisi lain Damian juga mendapat perhatian yang sama. Papa yang memang berkeinginan punya seorang putra langsung menjatuhkan cintanya pada Damian, besar harapannya pria itu bisa membahagiakan putrinya.
"Kalian kapan mau nikah?" tanya Papa pada Damian.
Pria itu terdiam sesaat, matanya melirik Adinda yang masih bercengkerama pada Bundanya, seolah hanya ada mereka berdua di tempat itu.
"Kalau soal itu saya ikut aja, Om, tapi lebih cepat lebih baik sih menurut saya."
Aditya Gautama tertawa mendengar jawaban Damian, perhatian yang lain langsung teralih padanya. Adinda sampai mengerutkan dahi saat melihat Papanya begitu bahagia mengobrol dengan Damian, sampai tertawa seperti itu. Ia merengut, tidak suka kalau Papa lebih menyukai orang lain daripada dirinya.
"Anakmu ada-ada aja, Dirga, ditanya kapan nikah mau pasrah, tapi juga menawarkan supaya lebih cepat terlaksana." Aditya kembali tertawa, sekarang diikuti oleng tiga orang lainnya.
Para orang tua yang suka mengceng-cengi anaknya.
"Udah nggak sabar dia, Tam!" timpal Dirga menyetujui perkataan sahabat semasa mudanya.
"Kalau Adin mau nikah kapan?" tanya Dirga kembali bersuara, menatap calon menantunya lekat.
Adinda membasahi terlebih dahulu tenggorokannya yang terasa kering sebelum menjawab. "Adin ikut aja, mana yang terbaik."
"Nggak minta supaya lebih cepat juga?" tanya Papa menawarkan dengan nada menggoda yang membuat pipi Adinda bersemu.
Damian tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Adinda yang terlihat menggemaskan karena rona merah di wajahnya. Ketika Adinda menatap ke arahnya, Damian seolah kehilangan oksigen. Rasanya sesak. Adinda se-berpengaruh itu dalam hidupnya kini.
"Udah dong ngeliatin anak Om, nanti matamu keluar loh karena nggak kedip-kedip," goda Aditya ketika tanpa sengaja melihat tatapan Damian. "Kalau lapar makan, Dam, jangan ngeliatin Adin!" tambahnya lagi.
Mendengar kalimat-kalimat Papanya membuat Adinda memerah, ia tidak menyangka bahwa Papa yang baru keluar dari rumah sakit langsung bisa mengucapkan godaan-godaan seperti itu. Lagi-lagi karena adanya Damian. Se-berpengaruh itu ya Damian dalam hidup mereka sekarang ini?
Kegiatan mereka terinterupsi oleh kedatangan Bi Ina dan satu asisten rumah tangga yang lebih muda, mereka membawakan camilan dan minuman. Si wanita yang lebih muda melirik-lirik ke arah Damian. Semua orang melihatnya, terutama Damian yang jadi semakin besar kepala.
"Udah dong ngeliatinnya, Saras, nanti anak saya cemburu kamu ngeliat calon suaminya kayak gitu!" peringat Papa pada asisten rumah tangga mereka yang bernama Saras.
Wanita itu salah tingkah, kemudian pamit undur diri mengikuti Bi Ina yang terkekeh geli. Damian menatap Adinda, gadis itu diam di tempatnya.
"Boleh saya ajak Adinda bicara, Om?" izin Damian pada Aditya Gautama.
"Tentu! Silakan, tapi jangan diajak macam-macam ya! Sana, di halaman belakang biar bisa dipantau Bi Ina!"
Pipi Adinda terasa panas ketika Papa bicara seperti itu, dia yakin bahwa kini warna merah jambu terlihat sangat jelas di kedua daging pipinya. Papa tuh ... kenapa suka sekali menggodanya sih?!
__________b a t a s s u c i__________
Catatan Penulis:
'Pipi merah jambumu membuat diriku gemas. Ingin menyentuh, tapi sadar diri ini belum diberikan hak tersebut.'
Hai! Gimana? Semoga suka ya. Senang banget bisa nulis sejauh ini.
Ditunggu komentarnya❤️
Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
"Katanya aku hanya perlu menjalani tanpa melakukan persiapan, dia yang akan mengurus sehalanya. Tapi, nyatanya setiap menit bertanya ini dan itu."°°°Tanggal pernikahan sudah ditetapkan, Damian berinisiatif untuk mengurus segala keperluan karena tahu kesibukan Adinda belakangan ini. Gadis itu harus mengurus pelantikan pengurus baru BEM di kampusnya.Adinda berpikir semua urusan akan terselesaikan dengan mudah, Damian akan menyewa WO dan semua ditangani oleh WO sampai hari H nanti. Namun, dugaannya salah. Damian seolah-olah membuat ini adalah pernikahan yang selama ini diinginkannya, seolah dia akan menikahi kekasih yang paling dicintai.Meskipun sudah menyewa WO ternama, pria itu tetap saja ikut mengontrol segala persiapannya. Mulai dari gedung, catering, sampai butik gaun pengantin yang akan membuatkan baju Adinda pun ia pantau sendiri.Awalnya Adi
"Menghalalkanmu bukan mimpi masa kecilku, tapi membahagiakanmu menjadi salah satu tujuanku saat ini." °°° Setelah hampir tiga bulan bersusah ria mengurus pernikahan, akhirnya hari itu tiba. Hari yang Damian persiapkan dengan matang, segala sesuatunya harus terlihat sempurna. Tangannya terulur menjabat penghulu, sementara di samping bapak penghulu itu ada Gautama—calon mertuanya, di sisi kanan Damian ada pendamping yang tidak lain adalah ayahnya. Dua saksi di kanan kiri yang merupakan ustaz di tempat pengajian calon ibu mertuanya. "Wah, saksinya aja ustaz, InsyaAllah pernikahannya diridhai oleh-Nya!" ujar si bapak penghulu dengan leluconnya, menghilangkan sejenak aura tegang yang melingkupi. Tepat pukul delapan pagi di hari Jum'at minggu ketiga bulan November, Damian menjabat tangan penghulu di depannya, menyebutkan nama seorang gadis yang akan dihalalk
"Mengejutkan. Aku tidak terbiasa dengan kehadiran seseorang di pagi hari." °°° Damian merasakan sinar lampu menyoroti wajahnya dari atap-atap kamar. Ia meraba sekitar, mencari guling untuk menutupi mata. Berdecak sebal saat tidak mendapati apa yang diinginkannya. Pria itu membuka sebelah matanya, mengintip keberadaan gulingnya. Namun, tersentak kaget saat mendapati wajah seseorang persis di hadapannya. Dia langsung bangkit duduk, matanya terbuka lebar—melotot—saat melihat ada orang lain di kamar, dialihkannya perhatian pada sekitar, yang ternyata bukan kamarnya. "Mas Damian kenapa? Kok kayak ngeliat hantu?" Dia merutuki kebodohannya. Memaki dirinya sendiri karena lupa sudah melakukan sesuatu bersejarah kemarin, menikah dengan gadis yang dijodohkan oleh orang tuanya. "Enggak. Kaget gue. Lo ngapain sih dekat-dekat kayak tadi?
"Dan yang paling menyebalkan adalah suasana canggung." °°° Adinda memaksa suaminya untuk ikut salat Isya ke masjid bersama Papa. Pria itu sangat keras kepala, mengatakan ia bisa melaksanakan salat di rumah, jadi memilih di rumah saja. Ya, memang boleh, tapi untuk laki-laki masjid adalah tempat terbaik melaksanakan salat lima waktu. Bahkan jika hujan turun, bukan badai kencang, seorang lelaki masih diharuskan untuk salat di masjid. Setelah mendapat sedikit siraman rohani dari sang istri, akhirnya Damian menurut. Jalan sendirian menuju masjid kompleks karena Papa sudah berangkat sebelum azan berkumandang. Dia menggerutu karena udara sehabis hujan terasa sangat dingin menusuk kulit. Banyak bapak-bapak yang menyapanya di masjid, seolah mengenal dirinya akrab. Damian jadi agak takut jika keputusan mereka merahasiakan pernikahan akan terbongkar hanya karena dirinya salat ke masjid. 
"Coba tanyakan lagi pada hatimu, apakah dia tetap ingin bersamaku?"°°°Adinda menemani Mama melihat orang sakit di blok sebelah saat Papa dan suaminya pergi mencari pakan untuk ikan hias Papa. Mereka berjumpa banyak teman arisan Mama, bertanya dengan siapa Adinda menikah dan kenapa pernikahannya hanya keluarga saja yang boleh tahu.Banyak spekulasi dari para ibu-ibu tentang pernikahannya, ada yang berpikir dia sudah hamil duluan, berpikir bahwa suaminya orang yang sudah tua renta, dan hal-hal buruk lainnya yang membuat Adinda harus mengucap istighfar banyak-banyak.Orang sekarang memang begitu, sukanya menyimpulkan sendiri daripada mencari tahu kebenaran atau mendapat info dari yang bersangkutan."Nggak udah didengerin, emak-emak zaman jigeum emang suka gitu mulutnya."Adinda menoleh saat mendengar suara seorang perempuan
"Yang paling menyakitkan itu memang berpisah dari orang yang kita sayangi." °°° Keesokan harinya, Adinda langsung diboyong ke apartemen milik Damian. Pria itu beralasan kalau ada panggilan syuting mendadak di dua hari berikutnya yang tidak bisa ditunda, jadilah Adinda menurut. Untungnya dia memang sudah berkemas dari kemarin. Gadis itu sedang menyusun baju-baju yang dibawanya pada walk in closed. Dia hanya membawa baju untuk kuliah hari Senin nanti dan beberapa potong baju tidur, sisanya masih tertinggal di rumah orang tuanya. Damian masuk ke kamar dengan berlembar-lembar kertas di tangannya, dia mengatakan itu kontrak-kontrak baru yang perlu dibaca terlebih dahulu sebelum ditandatangani. Sejak tiba di apartemen, pria itu sudah berkutat dengan pekerjaannya itu, mengabaikan jika ada satu makhluk lain yang butuh room tour singkat darinya. "Mas masih sibu
"Yang paling menyebalkan adalah ketika temanmu membicarakan sesuatu, tapi kamu tidak pahami." °°° Adinda tentu tidak sendirian saat belanja peralatan dapur di salah satu toko perkakas. Dia membawa serta dua sahabatnya yang tidak punya pekerjaan itu untuk menemani. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf karena menyembunyikan tentang pria yang akan menjadi suaminya. Dua gadis yang punya sifat berbeda itu meminta dibelikan banyak barang setelah ini, cari kesempatan. Mereka memilih penanak nasi, teflon, wajan, sodet, dua lusin piring dan gelas, sendok dan garpu, dan banyak lagi alat-alat dapur lainnya. Adinda benar-benar merasakan euforia menjadi pengantin baru karena kegiatan satu ini. Angel dan Ayara mengomel panjang lebar saat diceritakan bagaimana kondisi dapur di apartemen milik Damian. Mereka memiliki pikiran yang sama dengan Adinda, bagaimana Damian bisa bertahan menunggu makana
"Terkadang sebuah penjelasan pun tidak cukup menenangkan hati." °°° Three Musketeers Angelica Lania: [Adinda terima kasih traktirannya hari ini, sering-sering ya!] [Sampai ketemu lagi di Senin pagi.] Natasha Ayarashi: T[Thanks Din, semoga sehat selalu biar bisa sering kasih traktiran sama kami.] [Omongan tadi nggak usah dipikirin banget, lagian itu 'kan dulu Damian cipok-cipokannya. Semoga aja sekarang udah enggak.] Adinda menutup ruang obrolan antara dirinya dengan kedua sahabatnya. Gadis itu meletakkan ponsel di atas kitchen table, lalu kembali pada pekerjaannya—menyusun barang-barang yang baru dibelinya pada tempat yang semestinya. Dia menghentikan kegiatan saat azan Maghrib berkumandang, dibasuhnya tangan sebelum meraih ponsel dan beranjak dari dapur. Adinda melangkah menaiki