"Katanya aku hanya perlu menjalani tanpa melakukan persiapan, dia yang akan mengurus sehalanya. Tapi, nyatanya setiap menit bertanya ini dan itu."
°°°
Tanggal pernikahan sudah ditetapkan, Damian berinisiatif untuk mengurus segala keperluan karena tahu kesibukan Adinda belakangan ini. Gadis itu harus mengurus pelantikan pengurus baru BEM di kampusnya.
Adinda berpikir semua urusan akan terselesaikan dengan mudah, Damian akan menyewa WO dan semua ditangani oleh WO sampai hari H nanti. Namun, dugaannya salah. Damian seolah-olah membuat ini adalah pernikahan yang selama ini diinginkannya, seolah dia akan menikahi kekasih yang paling dicintai.
Meskipun sudah menyewa WO ternama, pria itu tetap saja ikut mengontrol segala persiapannya. Mulai dari gedung, catering, sampai butik gaun pengantin yang akan membuatkan baju Adinda pun ia pantau sendiri.
Awalnya Adi
"Menghalalkanmu bukan mimpi masa kecilku, tapi membahagiakanmu menjadi salah satu tujuanku saat ini." °°° Setelah hampir tiga bulan bersusah ria mengurus pernikahan, akhirnya hari itu tiba. Hari yang Damian persiapkan dengan matang, segala sesuatunya harus terlihat sempurna. Tangannya terulur menjabat penghulu, sementara di samping bapak penghulu itu ada Gautama—calon mertuanya, di sisi kanan Damian ada pendamping yang tidak lain adalah ayahnya. Dua saksi di kanan kiri yang merupakan ustaz di tempat pengajian calon ibu mertuanya. "Wah, saksinya aja ustaz, InsyaAllah pernikahannya diridhai oleh-Nya!" ujar si bapak penghulu dengan leluconnya, menghilangkan sejenak aura tegang yang melingkupi. Tepat pukul delapan pagi di hari Jum'at minggu ketiga bulan November, Damian menjabat tangan penghulu di depannya, menyebutkan nama seorang gadis yang akan dihalalk
"Mengejutkan. Aku tidak terbiasa dengan kehadiran seseorang di pagi hari." °°° Damian merasakan sinar lampu menyoroti wajahnya dari atap-atap kamar. Ia meraba sekitar, mencari guling untuk menutupi mata. Berdecak sebal saat tidak mendapati apa yang diinginkannya. Pria itu membuka sebelah matanya, mengintip keberadaan gulingnya. Namun, tersentak kaget saat mendapati wajah seseorang persis di hadapannya. Dia langsung bangkit duduk, matanya terbuka lebar—melotot—saat melihat ada orang lain di kamar, dialihkannya perhatian pada sekitar, yang ternyata bukan kamarnya. "Mas Damian kenapa? Kok kayak ngeliat hantu?" Dia merutuki kebodohannya. Memaki dirinya sendiri karena lupa sudah melakukan sesuatu bersejarah kemarin, menikah dengan gadis yang dijodohkan oleh orang tuanya. "Enggak. Kaget gue. Lo ngapain sih dekat-dekat kayak tadi?
"Dan yang paling menyebalkan adalah suasana canggung." °°° Adinda memaksa suaminya untuk ikut salat Isya ke masjid bersama Papa. Pria itu sangat keras kepala, mengatakan ia bisa melaksanakan salat di rumah, jadi memilih di rumah saja. Ya, memang boleh, tapi untuk laki-laki masjid adalah tempat terbaik melaksanakan salat lima waktu. Bahkan jika hujan turun, bukan badai kencang, seorang lelaki masih diharuskan untuk salat di masjid. Setelah mendapat sedikit siraman rohani dari sang istri, akhirnya Damian menurut. Jalan sendirian menuju masjid kompleks karena Papa sudah berangkat sebelum azan berkumandang. Dia menggerutu karena udara sehabis hujan terasa sangat dingin menusuk kulit. Banyak bapak-bapak yang menyapanya di masjid, seolah mengenal dirinya akrab. Damian jadi agak takut jika keputusan mereka merahasiakan pernikahan akan terbongkar hanya karena dirinya salat ke masjid. 
"Coba tanyakan lagi pada hatimu, apakah dia tetap ingin bersamaku?"°°°Adinda menemani Mama melihat orang sakit di blok sebelah saat Papa dan suaminya pergi mencari pakan untuk ikan hias Papa. Mereka berjumpa banyak teman arisan Mama, bertanya dengan siapa Adinda menikah dan kenapa pernikahannya hanya keluarga saja yang boleh tahu.Banyak spekulasi dari para ibu-ibu tentang pernikahannya, ada yang berpikir dia sudah hamil duluan, berpikir bahwa suaminya orang yang sudah tua renta, dan hal-hal buruk lainnya yang membuat Adinda harus mengucap istighfar banyak-banyak.Orang sekarang memang begitu, sukanya menyimpulkan sendiri daripada mencari tahu kebenaran atau mendapat info dari yang bersangkutan."Nggak udah didengerin, emak-emak zaman jigeum emang suka gitu mulutnya."Adinda menoleh saat mendengar suara seorang perempuan
"Yang paling menyakitkan itu memang berpisah dari orang yang kita sayangi." °°° Keesokan harinya, Adinda langsung diboyong ke apartemen milik Damian. Pria itu beralasan kalau ada panggilan syuting mendadak di dua hari berikutnya yang tidak bisa ditunda, jadilah Adinda menurut. Untungnya dia memang sudah berkemas dari kemarin. Gadis itu sedang menyusun baju-baju yang dibawanya pada walk in closed. Dia hanya membawa baju untuk kuliah hari Senin nanti dan beberapa potong baju tidur, sisanya masih tertinggal di rumah orang tuanya. Damian masuk ke kamar dengan berlembar-lembar kertas di tangannya, dia mengatakan itu kontrak-kontrak baru yang perlu dibaca terlebih dahulu sebelum ditandatangani. Sejak tiba di apartemen, pria itu sudah berkutat dengan pekerjaannya itu, mengabaikan jika ada satu makhluk lain yang butuh room tour singkat darinya. "Mas masih sibu
"Yang paling menyebalkan adalah ketika temanmu membicarakan sesuatu, tapi kamu tidak pahami." °°° Adinda tentu tidak sendirian saat belanja peralatan dapur di salah satu toko perkakas. Dia membawa serta dua sahabatnya yang tidak punya pekerjaan itu untuk menemani. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf karena menyembunyikan tentang pria yang akan menjadi suaminya. Dua gadis yang punya sifat berbeda itu meminta dibelikan banyak barang setelah ini, cari kesempatan. Mereka memilih penanak nasi, teflon, wajan, sodet, dua lusin piring dan gelas, sendok dan garpu, dan banyak lagi alat-alat dapur lainnya. Adinda benar-benar merasakan euforia menjadi pengantin baru karena kegiatan satu ini. Angel dan Ayara mengomel panjang lebar saat diceritakan bagaimana kondisi dapur di apartemen milik Damian. Mereka memiliki pikiran yang sama dengan Adinda, bagaimana Damian bisa bertahan menunggu makana
"Terkadang sebuah penjelasan pun tidak cukup menenangkan hati." °°° Three Musketeers Angelica Lania: [Adinda terima kasih traktirannya hari ini, sering-sering ya!] [Sampai ketemu lagi di Senin pagi.] Natasha Ayarashi: T[Thanks Din, semoga sehat selalu biar bisa sering kasih traktiran sama kami.] [Omongan tadi nggak usah dipikirin banget, lagian itu 'kan dulu Damian cipok-cipokannya. Semoga aja sekarang udah enggak.] Adinda menutup ruang obrolan antara dirinya dengan kedua sahabatnya. Gadis itu meletakkan ponsel di atas kitchen table, lalu kembali pada pekerjaannya—menyusun barang-barang yang baru dibelinya pada tempat yang semestinya. Dia menghentikan kegiatan saat azan Maghrib berkumandang, dibasuhnya tangan sebelum meraih ponsel dan beranjak dari dapur. Adinda melangkah menaiki
WARNING!!! HATI-HATI, SIAPKAN PIKIRAN AGAR TETAP JERNIH. BAHASA DIPERHALUS DENGAN MAKSUD YANG PASTI DIPAHAMI. °°° "Dan benar, jika suatu kewajiban memang harus tetap dikerjakan." °°° Adinda sudah merebahkan tubuhnya bahkan matanya sudah terpejam saat Damian masuk ke kamar dan mematikan lampu kamar, mengganti dengan lampu tidur di sisi ranjang. Gadis itu berpikir mereka akan langsung tidur seperti biasa, tapi tindakan Damian malam ini benar-benar diluar dugaan. Damian memeluk Adinda—untuk pertama kalinya selama pernikahan—dan menyusupkan kepalanya di ceruk leher sang istri. Bibirnya yang basah dan hangat mengecup ringan kulit Adinda yang masih berlapis jilbab instan. Ya, selama ini gadis itu memang masih menutup kepalanya ketika tidur, belum terbiasa memperlihatkan rambutnya kepada orang lain—termasuk Damian. Tang