Rendra
Pagi ini aku keluar rumah mendapati rumah Mayang sudah sepi, bahkan mobilnya pun juga sudah tidak ada. Aku yakin kalau dia berangkat sengaja pagi untuk hari ini. Sebenarnya secara terang-terangan aku belum menunjukkan kalau aku suka dengan dia. Aku masih menyimpannya sendiri. Terlalu cepat jika aku mengatakan. Aku akan mengikuti alur yang Mayang pilih, jalur apa yang akan dia tempuh. Apakah dia akan menyadari kalau aku sayang dengan dia cepat atau lambat? Aku hanya ingin membuktikan itu.
Pagi ini aku ingin sarapan tongseng ayam jawa yang deket dengan pasar Bantul, walau jaraknya lumayan jauh dari rumah dan tidak searah denganku ke kantor tapi aku tetap sarapan di sana. Toh saat ini masih pukul tujuh kurang lima belas, masih banyak waktu untuk aku bisa sarapan di sana.
Tongseng ini sangat legendaris yang terletak di pojok selatan pasar Bantul. Menu tongseng ayam dan tempe koro nya yang membuat aku ketagihan makan di sini. Aku memesan tongseng ayam, tempe koro, dan es teh. Menu yang berat untuk sarapan. Biasanya aku hanya sarapan dengan teh dan roti, tapi hari ini ingin makan yang banyak biar tenagaku bisa menghadapi Mayang yang semakin hari semakin cantik.
Perjalanan ke kantor di dalan Bantul utara lampu merah masjid agung ada toko bunga yangs udah buka. Masjid Agung Manunggak Bantul adalah masjid agung kebanggan masyarakat di Kab.Bantul D.I Yogyakarta. Masjid ini memiliki arsitekstur bergaya jawa yang serupa dengan Masjid Agung Demak dengan atap berbentuk Joglo, empat tiang penyangga berlapis kayu jati ukir dan pintu masuk berbentuk gunungan. Aku membeli bunga mawar merah dua tangkai dengan tulisan penyemangat hari ini, agar Mayang selalu semangat setiap harinya. Entah hal gila apa yang membuat aku memberanikan diri untuk memberikannya bunga.
Pukul delapan kurang lima belas menit aku sampai kantor. Saat aku melewati ruang Mayang masih kosong, padahal tasnya sudah ada di sana. Bahkan meja Danu dan Ganis pun juga kosong, aku menaruh bunga yang tadi sudah aku beli. Aku terus berjalan ke pantry. Sayup-sayup aku mendengar percakapan laki-laki dan perempuan. Aku mendengar terkait pernikahan-pernikahan, karena aku penasaran, aku semakin mendekat. Ternyata perbincangan antara Danu dan Mayang. Semakin mendekat ke pantry aku semakin paham arah pembicaraan mereka. Aku jadi tau kalau Mayang ditinggalin pacarnya menikah, kenapa nasib Mayang sungguh malang sekali. Aku jadi paham kenapa Mayang sekarang aku dekatin seperti menghindar. Aku tau kalau dia berusaha melupakan mantannya. Aku juga iri dengan kedekatan dia dengan Danu. Merasa iri saja mereka bisa sedekat itu. Aku kan tetap memantau Mayang jangan sampai dia memiliki pengganti mantannya selain aku.
Siang ini ketika aku keluar ruangan Mayang, Danu, dan Gadis sudah tidak terlihat di meja kerjanya. Ruangan mereka terlihat sepi. Padahal niat awal ingin mengajak Mayang makan siang, tapi karena dia sudah pergi aku harus mencari teman untuk menemani makan siang. Akhirnya aku mengajak Clara sepupuku karena dia jeda kuliah, kebetulan kampusnya juga dekat dengan kantor. Clara mengajak makan di Yamie Panda, sebenarnya aku tidak begitu suka dengan makanan yang dominan mie, tapi karena Clara memaksa akhirnya aku ikut saja.
Ternyata aku melihat Mayang, Danu, dan Gadis juga makan di sana. Tetapi mereka sudah ingin pulang. Rasa kecewa karena hanya sebentar melihat Mayang. Aku juga menyesal kenapa dengan Clara ke sini nya, pasti Mayang mengira kalau Clara pacarku. Aku sengaja menghampiri meja mereka, karena samping meja mereka masih kosong. Tatapan Mayang sangat beda saat melihatku. Aku langsung duduk sedangkan Clara di depanku.
“Kak, mau pesan apa?”
Untung Clara memanggilku Kakak, coba kalau seperti biasanya memanggil Mas, bisa berabe kan. Pasti Mayang akan salah paham.
“Samakan aja”. Karena aku bingung mau makan apa, aku juga gak terlalu suka makan mie.
“Uangnya Kak, buat bayar.” Tangan Clara di depanku.
“Kamu ya, yang ngajak-ngajak tapi minta dibayarin. Dasar bocil.”
Sepuluh menit kemudian Mayang, Danu, dan Gadis pamit duluan karena jam makan siang juga sudah selesai. Aku masih melanjutkan makan dengan Clara. Gadis ini memang paling dekat dengan aku. Padahal dia punya kakak laki-laki tapi lebih cocok cerita denganku.
“Yang tadi cantik gak Ra?” Aku sengaja tanya ke Clara karena selera dia memang jauh di atas ku.
“Yang mana Kak?”
“Tadi yang di meja sebelah, yang pakai baju warna mocca” Aku menjelaskan ke Clara.
“Ohh yang itu, Kakak suka?”
Bukannya menjawab malah menambah pertanyaan. Aku tidak menjawab pertanyaan Clara karena makanan yang kami pesan sudah datang.
Pukul setengah dua aku kembali ke kantor, Clara kembali ke kampusnya. Aku melewati ruangan Mayang, dia masih fokus dengan pekerjaanya. Aku melihat bunga mawar yang tadi aku letakkan di meja, ternyata sama Mayang diletakkan di vas sebagai hiasan meja. Dalam hatiku tersenyum melihat hal tersebut, walaupun hanya sepele tapi membuat hatiku senang.
Mayang Siang ini aku ijin kerja setengah hari karena aku harus pulang ke Solo. Sejak tadi pagi Mama sudah meneror ku dengan puluhan pesan dan telepon. Aku tau kalau keluargaku sangat rindu denganku. Mana ada yang tidak rindu dengan anak gadis satu-satunya. Sebelumnya aku belum cerita tentang keluargaku. Aku tiga bersaudara. Kakakku yang nomor satu sudah menikah dan tinggal dengan istrinya di Karanganyar dekat dengan tempat kerja kakakku. Aku nomor dua dan yang nomor tiga adikku laki-laki saat ini baru kuliah semester empat di Universitas Malang. Awalnya aku meminta adikku mendaftar di Jogja biar bisa tinggal denganku, tapi dia tidak tertarik lebih tertarik kuliah di Malang. Mama dan Papa ku yang saat ini hanya tinggal berdua. Dulu keinginan Mama ketika aku lulus kuliah aku bisa kembali dan bekerja di Solo, tapi aku lebih betah tinggal di kota ini. Mama kesehariannya jualan di Pasar Klewer sedangkan Papa seorang sekretaris desa tempat kami tingg
Masih di Solo dan masih mengingat semua kenangan yang sampai saat ini masih terikat jelas. Sabtu pagi ini aku ingi gowes sampai Pasar Klewer. Pasar Klewer adalah pasar tekstil terbesar di Kota Surakarta. Pasar yang letaknya bersebelahan dengan Keraton Surakarta ini juga merupakan pusat perbelanjaan kain batik yang menjadi rujukan para pedagang dari Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan kota-kota lain di Pulau Jawa. Pasarini juga pusat batik yang menjadi tempat kulakan para pedagang di wilayah Solo dan sekitarnya bahkan di Jawa Tengah. Berdiri sejak tahun 1970,Pasar Klewertetap menarik untuk dikunjungi.Berangkat dari rumah pukul enam dan sampai di Pasar Klewer pukul tujuh, seharusnya tidak selama ini karena aku snegaja mengayuh sangat pelan. Gowes sendiri itu rasanya gabut banget. Tidak ada yang diajak ngobrol. Sampai di Pasar Klewer aku istrirahat sejenak sebelum nanti sarapan. Tak pernah ketinggalan ketika aku pulang ke
Rendra Pagi ini aku keluar rumah mendapati rumah Mayang sudah sepi, bahkan mobilnya pun juga sudah tidak ada. Aku yakin kalau dia berangkat sengaja pagi untuk hari ini. Sebenarnya secara terang-terangan aku belum menunjukkan kalau aku suka dengan dia. Aku masih menyimpannya sendiri. Terlalu cepat jika aku mengatakan. Aku akan mengikuti alur yang Mayang pilih, jalur apa yang akan dia tempuh. Apakah dia akan menyadari kalau aku sayang dengan dia cepat atau lambat? Aku hanya ingin membuktikan itu. Pagi ini aku ingin sarapan tongseng ayam jawa yang deket dengan pasar Bantul, walau jaraknya lumayan jauh dari rumah dan tidak searah denganku ke kantor tapi aku tetap sarapan di sana. Toh saat ini masih pukul tujuh kurang lima belas, masih banyak waktu untuk aku bisa sarapan di sana. Tongseng ini sangat legendaris yang terletak di pojok selatan pasar Bantul. Menu tongseng ayam dan tempe koro nya yang membuat aku ketagihan makan di sini. A
“Ma, Pa, Mayang balik ke Jogja dulu ya.” Aku pamitan dengan kedua orang tuaku, gak tega sebenarnya meninggalkan mereka.“Hati-hati ya Nduk, kalau tidak ada teman gak usah datang ke nikahan Rifki.” Papa mengingatkanku.Aku hanya mengangguk dan segera menyalami mereka. Aku memeluk mereka. Harus kuat dan ga boleh nangis. Aku meninggalkan mereka yang masih menatapku sampai mobil yang aku kendarai menghilang.Suasana dalam mobil sangat sepi. Aku menyalakan musik dari flasdisk. Tak pernah kudugaSemuanya berubahSaat kau memandangkuBergetar hati iniKau berikan harapan tentang oh..Warna warni harikuSemenjak ada dirimuDunia terasa indahnyaSemenjak kau ada disiniKu mampu melupakannyaKini aku tak sabarIngin hati kau untukkuKat
Memandang hotel yang saat ini menjadi tempat resepsi Rifki dan istrinya membuat hatiku pilu. Seharusnya aku yang mengadakan pesta tapi kenyataan berkata lain. Saat ini aku dan Danu masih di antri salaman dengan pengantin. Aku diam sejak berangkat tadi. Danu pun tidak berani menggangguku, biasanya dia akan membully ku habis-habisan jika menyangkut Rifki. Padahal hanya beberapa kali Danu dan Gadis bertemu dengan Rifki. Itu dulu waktu Rifki masih jadi pengangguran dan sering menjemputku di Jogja. Ahh sudah lupakan. Saatnya melupakan dia dan mencari yang serius.Danu menepuk bahuku saat antrian semakin menipis. “Yakin siap? Kalau gak siap kita bisa langsung pulang?”Aku hanya mengangguk. Beberapa among tamu juga masih saudara Rifki yang masih mengingatku. Bahkan ketika mereka menatapku pun seperti ada tatapan kekecewaan. Aku belum bertemu dengan Mbak Sinta, kakak Rifki yang nomor satu. Mbak Sinta lah yang tidak bisa terima saat Rifki memutuskan hubunga
Aku terbangun saat mendengar ketukan pintu berkali-kali. Mataku enggan untuk membuka, badanku rasanya berat, bahkan mataku terasa panas. Aku mengucek-ucek mata sebelum membuka pintu siapa yang berani membangunkan tidurku pagi ini. Jelas-jelas ini masih sangat pagi. Mungkin bisa dibilang habis subuh. Aku kaget ketika melihat jam ternyata sudah pukul setengah delapan. Aku sangat bersyukur ada orang yang mengetuk pintu pagi ini. Tapi ketika aku menginjakkan kaki di lantai badanku terasa mau jatuh. Mataku semakin panas dan mengeluarkan air mata. Aku menempelkan tangan ke dahi, ternyata aku demam. Pantas saja badanku terasa berat. Aku jalan pelan-pelan untuk membuka pintu. Tanpa cuci buka dan mengucir rambutku biar terlihat rapi aku langsung jalan ke depan. Begitu membuka pintu aku kaget ternyata yang datang Pak Rendra. Penampilan Pak Rendra sangat rapi. Ya jelaslah karena ma uke kantor. Pak REndra menatapku dari atas sampai bawah. Dia heran melihat penampilanku pagi ini.
Malam ini ketika aku nontn drama korea yang aku sambungkan ke televisi. Suara ketukan pintu membuat aku penasaran karena malam ini aku tidak ada janji dengan siapa-siapa. Ternyata Pak Rendra yang datang. Tidak heran lagi ketika Pak Rendra sering datang ke sini malam-malam atau saat libur kerja. Dia seperti tidak punya kerjaan.Pak Rendra langsung duduk di sampingku “Nonton apa Yang?”“Suspecious partner, pak.” Pak Rendra mengerutkan kening. Aku tau kalau dia tidak bakal suka dengan drama korea. Malam ini aku mengulang drama tersebut, karena aku belum bosan dengan dramanya dan bingung mau nonton drama apa.“Drama korea, Pak.”“Ohh..” Hanya jawaban ohh yang Pak Rendra keluarkan. Dia langsung membuka toples iki kacang mete. Dia memang sudah tidak sungkan lagi bahkan rumah ini sudah seperti rumah ke dua bagi dia. Dia langsung jalan ke dapur dan mengambil air kemasan yang ada di kulkas.
Minggu pagi ini aku ingin olaraga, sehingga sejak sholat subuh tadi aku tidak tidur lagi. Pukul setengah enam aku mengeluarkan sepeda dan gowes keliling Jogja sekalian mampir beli sarapan. Aku melihat rumah depanku lampunya masih menyala, tandanya Rendra masih tidur. Aku cuek saja. Aku langsung mengayuh sepedaku hingga keluar kompleks. Aku menyesuri jalan Parangtritis. Niatku pagi ini akan gowes sampai alun-alun kidul nanti pulangnya mampir sarapan sop ayam Klaten Pak Min.Aku mengayuh sepeda santai, karena tujuanku juga untuk mengurangi pikiran yang dari kemarin kepikiran Rendra. Sampai Alun-Alun Kidul suasana ramai sekali. Banyak yang jogging. Bahkan ada juga yang hanya sekedar sarapan soto. Memang hari Minggu ini kota Jogja akan terlihat ramai tidak seperti hari biasanya. Aku duduk di bawah pohon untuk istirahat sejenak, minum air mineral tadi tadi aku bawa dari rumah. Udara pagi seperti ini yang aku suka sejak dulu, tapi sekarang sudah bany