Lagi-lagi aku teringat kejadian itu. Kejadian tiga tahun yang lalu. Kenapa sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan bayang-bayangnya. Aku berusaha membuka hati untuk menyakinkan hati, bahwa aku tak mau sendiri. Tapi trauma yang kau ciptakan sangat membekas dihatiku. Sudah cukup sebenarnya aku merasakan rasa sakit. Aku bahkan lupa bagaimana caranya tersenyum, lupa bagaimana caranya Bahagia, bahkan air mataku sudah kering untuk menangisinya. Tapi lagi-lagi aku bodoh, aku terlalu sayang sampai aku belum bisa menemukan penggantinya. Bukan. Belum menemukan tepatnya. Aku selalu menutup hati bagi siapapun yang akan masuk. Jangankan untuk masuk, baru mengetuk saja aku sudah tidak meresponnya.
Ya Tuhan kenapa dengan aku ini?
Apa ini sebuah karma?
Tidak! aku yakin bisa menemukan penggantinya. Di saat yang tepat, di waktu yang tepat, dan di saat hati ini sudah bisa tertata seperti sedia kala.
******
Aku lupa caranya bersyukur. Aku selalu mengeluh tentang perasaan ini yang masih terikat Namanya. Bahkan diatas mejaku saat ini sudah ada undangan nikah yang aku dapat satu minggu yang lalu. Aku sebenarnya tau siapa yang akan menikah, tapi aku enggan untuk memukanya.
“Undangan dari siapa May?” Sapa Gadis.
Dia sahabatku sejak SMA. Bahkan saat ini kita jadi teman kerja di sebuah penerbit micro yang ada di Yogyakarta. Kita sama-sama jadi editor. Kita kuliah dengan jurusan sama tapi universitas berbeda.
Aku hanya melihat Mayang sambil ngedikkan bahu.
“Yakin gak tau? Aku lihat seminggu ini kamu melihat undangan itu terus tanpa ada niat untuk membuka?” Gadis berusaha mencecar aku sampai aku berterus terang tentang isi undangan itu.
“Aku malas bahas undangan itu Dis, kalau kamu butuh buat kamu aja.” Aku langsung keluar dari ruangan.
“Mayang mau kemana, aku kan hanya pengen tau aja. Ada a__?”Belum selesai Gadis menyelesaikan kalimatnya terdengar suara pintu tertutup keras. Ralat. Dibanting.
Brakk… aku menutup kasar pintu ruangan.
Aku tidak ingin Gadis merasa kasihan kepadaku.
Sudah cukup perhatian Gadis ke aku, tapi aku belum bisa menerima kenyataan bahwa sebentar lagi dia akan menikah.
Aku masih belum bisa melupakan semua kenangan dia. Aku terlalu pengecut.
Aku benci diriku saat ini.
Saat aku menyesap kopi sambil mencium aroma yang kas. Suara pintu pantry terbuka. Aku lihat Gadis dengan peluh di wajahnya.
“Kenapa lo?”
“Sumpah May, tadi aku lihat Pak Edi marah-marah sama Danu karena hasil editan dia ditolak sama penulis, katanya kurang rapi. Lo tau sendiri kan gimana kalau Pak Edi sudah marah?” Gadis menceritakan sambil ngos-ngosan.
Pak Edi adalah atasan kami dibidang editor, sebelum naskah di cek ulang sama penulis dan siap terbit. Pak Edi lebih dulu mengeceknya. Dia sangat perfeksionis. Sebenarnya dia baik, tapi kalau sudah melakukan kesalahan sekecil apapun itu langsung tiada ampun. Makanya anak-anak tidak heran jika diusianya yang sudah cukup matang dia belum punya pendamping. Seharusnya laki-laki diusia 35 tahun sudah memiliki anak, tapi selama ini aku melihat Pak Edi selalu gila kerja. Ehh malah ngomongin pak Edi.
“Terus sekarang Danu dimana? Dia gak papa kan?” Aku bertanya khawatir sama Gadis. Karena kita bertiga sudah sangat dekat semenjak masuk kerja di sini. Dua tahun yang lalu tepatnya.
“Aku lihat tadi dia gak papa sih, tap ikan kita gak tau perasaannya May.”
Aku tidak lagi menggubris ucapan Gadis, aku langsung keluar pantry dan masuk ke ruangan. Mencari keberadaan Danu. Menyakinkan dia apakah dia baik-baik saja atau tidak.
“Dan, lo gak papa kan?” Aku menghampiri Danu yang masih fokus di depan laptop. Aku yakin kalau dia baru revisi.
“Gak papa ko. Tenang aja. Udah biasa kan Pak Edi marah-marah.” Danu menjawab tanpa melihat ke arahku.
Aku yakin dibalik kata gak papa yang Danu ucapkan, dia menahan rasa sakit yang luar biasa.
*****
Untuk menghibur Danu, pulang kerja aku dan Gadis mengajak Danu nonton film di bioskop. Karena ini tanggal tua, maka kami memutuskan cari mall yang harga nontonnya terjangkau. Kami memutuskan ke Lippo Mall yang jaraknya 20 menit dari kantor kami. Kantor kami terletak di jalan taman siswa, sedangkan Lippo Mall di jalan Solo. Selain tiket bioskopnya yang murah makanan di sini juga murah-murah. Makanya kami sering ke sini untuk menghilangkan penat dengan tumpukan pekerjaan.
Kami janjian di Cinemax karena kami berangkat sendiri-sendiri, kecuali Gadis yang hari ini nebeng Danu. Sebenarnya mereka itu dekat, saling perhatian tetapi mereka belum mau mengungkapkan perasaan karena bagi mereka persahabatan lebih dari segalanya.
Pukul 17.00 kami sudah sampai di cinemax, karena kami mengambil jam 19.00 untuk nonton maka kami memutuskan untuk makan dulu di Seven Sky. Aku memilih makan Takoyaki dan minum jasmine tea, karena aku belum begitu lapar. Entah kenapa akhir-akhir ini aku gak nafsu makan.
“May, yakin cuma makan itu?” Danu kaget saat pesananku datang.
“Iya, aku gak begitu laper. Nanti aja kalau sampai rumah pasti makan lagi. Kalau pengen.” Aku berusaha berasalan yang logis agar mereka tidak curiga. Sebernya yang membuat aku gak nafsu makan karena undangan yang seminggu lalu hadir di meja kerjaku. Lancang sekali itu undangan. Aku sebenarnya gak butuh. Untuk apa dia memberikan undangan kalau bukan untuk pamer!
“Bukan gara-gara undangan yang kamu terima seminggu yang lalu kan?” Danu bertanya pelan-pelan agar tidak menyinggung perasaanku.
“Emang undangan dari siapa sih Dan?” Gadis bertanya ke Danu karena sejak di kantor tadi, dia selalu bertanya kepadaku tapi tidak aku jawab. Males bahas orang gak penting.
“Lo gak tau Dis?” Tanya Danu kaget.
“Heh, bego kalau aku tau mana mungkin aku tanya sama Lo, lagian dari tadi Mayang aku tanya gak jawab.” Gadis dengan santai mengunyah nasi goreng yang dia pesan.
“Gak usah Ngatain bego, kita sama-sama bego.” Danu gak terima dikatain bego.
“Kalian kenapa malah ribut sih, aku dari tadi biasa aja.”
“Hati lo yang gak biasa May.” Ucapan Danu langsung membuat aku berhenti nguyah. Tiba-tiba saja mataku terasa panas. Apa benar yang Danu katakan kalau hatiku belum bisa menerima.
“Dari siapa sih? Jangan bikin penasaran deh Dan.”
“Dari Rifki mantannya Mayang. Dia mau nikah seminggu lagi. Sama Diana.”Danu menjawab pertanyaan Gadis karena aku gak sanggung mendengar tiba-tiba saja air mataku netes. Kurang ajar ini air mata. Kenapa juga aku masih nangisin laki macam dia.
Gadis langsung menatapku. Tangan yang tadi memegang sendok saat ini sudah beralih mengenggam tanganku.
“May, udah. Sampai kapan kamu mau seperti ini. Kamu tau kan kalau dia itu gak pantas buat kamu, dia itu bangsat. Gak pantes kamu tangisin. Apalagi kamu masih menyimpan Namanya. Aku tau selama ini kamu sudah menahan dan berusaha untuk melupakan dia, tapi itu gak mudah bagi untuk kamu. Aku selalu lihat kamu melamun bahkan tiba-tiba nangis. Udah tiga tahun May, saatnya kamu buat move on. Coba kamu pelan-pelan buka hati. Siapa tau ada laki-laki yang benar-benar mau serius sama kamu. Diusia kita yang sekarang bukan saatnya lagi cari pacar, tapi cari pendamping. Kalau menurutku lupakan dia, tutup semua kenangannya. Lupakan semua apapun tentang dia dari ingatanmu. Aku yakin lo pasti bisa.” Gadis menenangkanku sambil terus mengelus-elus tanganku.
“Busyet, tiga tahun lo belum bisa move on May, hati lo terbuat dari apa sih? Lupakan cowok bangsat kayak dia, gak pantes singgah dihatimu. “ Damu tak kalah emosi juga.
Mungkin ini saatnya aku benar-benar melupakan dia. Pelan-pelan. Pasti aku bisa.
Yogyakarta, 25 Juli 2021
Malam ini aku selalu teringat kata-kata Danu. Harusnya aku memang sudah bisa melepasnya apalagi seminggu lagi status dia akan berubah. Aku tidak bisa lagi membayangkan dia untuk bisa Kembali lagi bersamaku semua mustahil. Aku sendiri merasa heran kenapa aku susah sekali melupakan dia, bahkan room chat tiga tahun yang lalu pun masih aku simpan. Dengan penuh keyakinan aku membuka room chat dan menghapus semua pesannya. Dengan begitu semua kisah ini benar-benar aku tutup. Aku ingin membuka lembaran baru. Dia bisa mudah melupakanku, seharusnya aku pun begitu.Sampai pukul dua belas aku tetap belum bisa tidur yang kulakukan hanya membukan media sosial dan merenung. Saat ini aku baru menyesali semua kejadian yang aku ingat selama tiga tahun. Ternyata sia-sia. Tidak ada satu kata pun yang dia kirimkan setelah kalimat yang dia kirimkan.*****“Sial… aku telat nih. Udah jam Sembilan kenapa alarm ku gak bunyi. Aku langsung negc
Kedatangan atasan baru yang super baik nih. Semoga selalu baik ya. Bukan karena ada maksud tertentu. Selamat membaca.“Ini alamat rumahmu mana Yang, kamu belum kasih tau dari tadi.” Pak Rendra bertanya tapi tatapannya masih lurus.Apa tadi dia panggil aku Yang, wahh bisa baper ini. Tapi ya memang namaku kan Mayang. Hahaha gak boleh baper.“Ohh Jalan Parangtritis pak, daerah ISI. Nanti saya arahin aja Pak.”Pak Rendra hanya menggut-manggut.Laki-laki yang saat ini di sampingku ini fokus lurus tanpa banyak bicara. Suasana di dalam mobil Kembali hening setelah dia memuji kalau suaraku bagus. Saat mobil sudah memasuki jalan Parangtritis aku sadar kalau sabunku habis, jadi lebih baik aku minta tolong Pak Rendra untuk berhenti di Meimart yang terletak di jalan Parangtritis.“Pak, di Meimart depan nanti berhenti saja ya, saya turun
Semoga hati Mayang baik-baik saja.Tepat pukul setengah delapan bel rumah berbunyi, tanpa bertanya-tanya aku sudah tau kalau yang datang itu Pak Rendra. Aku segera keluar kamar dan membuka pintu. Aku kaget Ketika Pak Rendra berdiri depan pintu sambaing memamerkan kresek yang aku Yakini isinya martabak.Penampilan beliau mala mini benar-benar seperti anak muda. Dia memakai celana pendek warna mocca dan kaos warna putih. Gila kelihatan ganteng banget. Ehh ingat Cuma atasan.“Mau berdiri di sini minum kopinya?” Suara Pak Rendra membuyarkan lamunanku.“Ehh silakan masuk pak,” Aku geser sedikit agar Pak Rendra bisa masuk “kenapa repot-repot bawa makanan segala pak.” Aku merasa sungkan Ketika atasan masuk rumahku, jelas-jelas hubungan hanya bawahan dan atasan. Tapi kalau seperti ini malah kesannya seperti sedang pendekatan. Halu doang sih.“Mau ngopi di depan, di ruang tamu ap
“Selamat pagi Mayang” Sapa Pak Rendra saat aku mengunci pintu rumah hendak ke kantor.“Pagi juga Pak” aku menundukkan kepala sambil tersenyum.Pak Rendra jalan keluar membuka gerbang “Mau ke kantor kan? Mau bareng? Kan kita di kantor yang sama?” Pak Rendra menawarkan untuk aku bisa bareng lagi dengan beliau, tapi aku tau diri.“Tidak Pak terima kasih, saya bisa berangkat sendiri. Kemarin karena kesiangan aja sampai harus naik ojol” Aku menolak halus dan membuka pintu gerbang rumah. “Saya duluan ya pak.” Aku langsung masuk mobil setelah pintu gerbang sudah yakin terkunci.Pagi ini jalan menuju kantor selalu ramai. Untuk memecah kebosananku, aku memutar lagi yang ada di flasdisk mobil. Lagu dari Happy Asmara kali ini yang baru viral membuat aku geleng-geleng sambil menyetir. Menikmati syair lagu yang begitu pas. Apalagi menggunakan Bahasa Jawa yang maknanya lebih mengena karena aku sendiri
Suasana kantor pagi ini masih terlihat sepi. Aku memang sengaja berangkat lebih pagi biar tidak ditawari berangkat bareng dengan Pak Rendra. Aku memasuki lobi kantor pukul tujuh, baru OB yang terlihat dan masih mengepel lantai.“Selamat pagi Pak Hadi” Aku menyapa Pak Hadi yang terlihat sedang menggosok lantai.Pak Hadi terlihat kaget melihat aku datang sepagi ini “Pagi Mbak Mayang, tumben jam segini sudah sampai kantor mbk, biasanya mepet.” Pak Hadi cekikian.Pak Hadi tau kalau aku selalu berangkat mepet jam kerja.“Iya Pak, tadi bangunnya kepagian terus bingung di rumah mau ngapain.” Jawabku bohong.“Makanya segera cari pendamping mbak, biar kalau pagi tidak bingung mau ngapain.”“Doain segera dapat ya Pak.”Pak Hadi memang paling baik dan ramah, aku Sudah menganggapnya sebagai orang tuaku karena dia selalu baik dan perhatian denganku. Aku langsung ke ruang ker
RendraMenggantikan Papa memimpin penerbit yang telah Papa dirikan dua puluh tahun yang lalu awalnya membuat aku ingin menolak. Aku tidak mau langsung menjabat sebagai CEO. Aku hanya ingin memimpin di bagian editor yang sesuai dengan pasion ku. Awalnya aku juga menolak, masak aku kerja di kantor Papa. Nanti aku tidak ada usaha. Tapi Mama memaksa aku untuk mencobanya dulu selama satu bulan. Akhirnya aku memenuhi permintaan Papa.Tepat hari ini aku dikenalkan dengan semua karyawan khususnya bagian editor, tapi ada satu nama yang hari ini belum hadir. Ada satu nama yang membuat aku bertanya tanya “Clarissa Mayang” nama itu seperti tidak asing bagiku. Hingga aku meminta Pak Edi untuk menyuruh Clarissa Mayang datang ke ruangan beliau. Aku yakin kalau dia akan haidr hari ini. Dan aku yakin nama itu sama dengan perempuan yang selama ini aku cari.Ketika dia masuk ke ruangan Pak Edi, dia tidak sadar kalau aku ini a
RendraPagi ini aku keluar rumah mendapati rumah Mayang sudah sepi, bahkan mobilnya pun juga sudah tidak ada. Aku yakin kalau dia berangkat sengaja pagi untuk hari ini. Sebenarnya secara terang-terangan aku belum menunjukkan kalau aku suka dengan dia. Aku masih menyimpannya sendiri. Terlalu cepat jika aku mengatakan. Aku akan mengikuti alur yang Mayang pilih, jalur apa yang akan dia tempuh. Apakah dia akan menyadari kalau aku sayang dengan dia cepat atau lambat? Aku hanya ingin membuktikan itu.Pagi ini aku ingin sarapan tongseng ayam jawa yang deket dengan pasar Bantul, walau jaraknya lumayan jauh dari rumah dan tidak searah denganku ke kantor tapi aku tetap sarapan di sana. Toh saat ini masih pukul tujuh kurang lima belas, masih banyak waktu untuk aku bisa sarapan di sana.Tongseng ini sangat legendaris yang terletak di pojok selatan pasar Bantul. Menu tongseng ayam dan tempe koro nya yang membuat aku ketagihan makan di sini. Aku memesan tongseng
Mayang Siang ini aku ijin kerja setengah hari karena aku harus pulang ke Solo. Sejak tadi pagi Mama sudah meneror ku dengan puluhan pesan dan telepon. Aku tau kalau keluargaku sangat rindu denganku. Mana ada yang tidak rindu dengan anak gadis satu-satunya. Sebelumnya aku belum cerita tentang keluargaku. Aku tiga bersaudara. Kakakku yang nomor satu sudah menikah dan tinggal dengan istrinya di Karanganyar dekat dengan tempat kerja kakakku. Aku nomor dua dan yang nomor tiga adikku laki-laki saat ini baru kuliah semester empat di Universitas Malang. Awalnya aku meminta adikku mendaftar di Jogja biar bisa tinggal denganku, tapi dia tidak tertarik lebih tertarik kuliah di Malang. Mama dan Papa ku yang saat ini hanya tinggal berdua. Dulu keinginan Mama ketika aku lulus kuliah aku bisa kembali dan bekerja di Solo, tapi aku lebih betah tinggal di kota ini. Mama kesehariannya jualan di Pasar Klewer sedangkan Papa seorang sekretaris desa tempat kami tingg