Share

Bagian 1

Lagi-lagi aku teringat kejadian itu. Kejadian tiga tahun yang lalu. Kenapa sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan bayang-bayangnya. Aku berusaha membuka hati untuk menyakinkan hati, bahwa aku tak mau sendiri. Tapi trauma yang kau ciptakan sangat membekas dihatiku. Sudah cukup sebenarnya aku merasakan rasa sakit. Aku bahkan lupa bagaimana caranya tersenyum, lupa bagaimana caranya Bahagia, bahkan air mataku sudah kering untuk menangisinya. Tapi lagi-lagi aku bodoh, aku terlalu sayang sampai aku belum bisa menemukan penggantinya. Bukan. Belum menemukan tepatnya. Aku selalu menutup hati bagi siapapun yang akan masuk. Jangankan untuk masuk, baru mengetuk saja aku sudah tidak meresponnya.

Ya Tuhan kenapa dengan aku ini?

Apa ini sebuah karma?

Tidak! aku yakin bisa menemukan penggantinya. Di saat yang tepat, di waktu yang tepat, dan di saat hati ini sudah bisa tertata seperti sedia kala.

******

Aku lupa caranya bersyukur. Aku selalu mengeluh tentang perasaan ini yang masih terikat Namanya. Bahkan diatas mejaku saat ini sudah ada undangan nikah yang aku dapat satu minggu yang lalu. Aku sebenarnya tau siapa yang akan menikah, tapi aku enggan untuk memukanya.

“Undangan dari siapa May?” Sapa Gadis.

Dia sahabatku sejak SMA. Bahkan saat ini kita jadi teman kerja di sebuah penerbit micro yang ada di Yogyakarta. Kita sama-sama jadi editor. Kita kuliah dengan jurusan sama tapi universitas berbeda.

Aku hanya melihat Mayang sambil ngedikkan bahu.

“Yakin gak tau? Aku lihat seminggu ini kamu melihat undangan itu terus tanpa ada niat untuk membuka?” Gadis berusaha mencecar aku sampai aku berterus terang tentang isi undangan itu.

“Aku malas bahas undangan itu Dis, kalau kamu butuh buat kamu aja.” Aku langsung keluar dari ruangan.

“Mayang mau kemana, aku kan hanya pengen tau aja. Ada a__?”

Belum selesai Gadis menyelesaikan kalimatnya terdengar suara pintu tertutup keras. Ralat. Dibanting.

Brakk… aku menutup kasar pintu ruangan.

Aku tidak ingin Gadis merasa kasihan kepadaku.

Sudah cukup perhatian Gadis ke aku, tapi aku belum bisa menerima kenyataan bahwa sebentar lagi dia akan menikah.

Aku masih belum bisa melupakan semua kenangan dia. Aku terlalu pengecut. 

Aku benci diriku saat ini.

Saat aku menyesap kopi sambil mencium aroma yang kas. Suara pintu pantry terbuka. Aku lihat Gadis dengan peluh di wajahnya.

“Kenapa lo?”

“Sumpah May, tadi aku lihat Pak Edi marah-marah sama Danu karena hasil editan dia ditolak sama penulis, katanya kurang rapi. Lo tau sendiri kan gimana kalau Pak Edi sudah marah?” Gadis menceritakan sambil ngos-ngosan.

Pak Edi adalah atasan kami dibidang editor, sebelum naskah di cek ulang sama penulis dan siap terbit. Pak Edi lebih dulu mengeceknya. Dia sangat perfeksionis. Sebenarnya dia baik, tapi kalau sudah melakukan kesalahan sekecil apapun itu langsung tiada ampun. Makanya anak-anak tidak heran jika diusianya yang sudah cukup matang dia belum punya pendamping. Seharusnya laki-laki diusia 35 tahun sudah memiliki anak, tapi selama ini aku melihat Pak Edi selalu gila kerja. Ehh malah ngomongin pak Edi.

“Terus sekarang Danu dimana? Dia gak papa kan?” Aku bertanya khawatir sama Gadis. Karena kita bertiga sudah sangat dekat semenjak masuk kerja di sini. Dua tahun yang lalu tepatnya.

“Aku lihat tadi dia gak papa sih, tap ikan kita gak tau perasaannya May.”

Aku tidak lagi menggubris ucapan Gadis, aku langsung keluar pantry dan masuk ke ruangan. Mencari keberadaan Danu. Menyakinkan dia apakah dia baik-baik saja atau tidak.

“Dan, lo gak papa kan?” Aku menghampiri Danu yang masih fokus di depan laptop. Aku yakin kalau dia baru revisi.

“Gak papa ko. Tenang aja. Udah biasa kan Pak Edi marah-marah.” Danu menjawab tanpa melihat ke arahku.

Aku yakin dibalik kata gak papa yang Danu ucapkan, dia menahan rasa sakit yang luar biasa.

*****

Untuk menghibur Danu, pulang kerja aku dan Gadis mengajak Danu nonton film di bioskop. Karena ini tanggal tua, maka kami memutuskan cari mall yang harga nontonnya terjangkau. Kami memutuskan ke Lippo Mall yang jaraknya 20 menit dari kantor kami. Kantor kami terletak di jalan taman siswa, sedangkan Lippo Mall di jalan Solo. Selain tiket bioskopnya yang murah makanan di sini juga murah-murah. Makanya kami sering ke sini untuk menghilangkan penat dengan tumpukan pekerjaan.

Kami janjian di Cinemax karena kami berangkat sendiri-sendiri, kecuali Gadis yang hari ini nebeng Danu. Sebenarnya mereka itu dekat, saling perhatian tetapi mereka belum mau mengungkapkan perasaan karena bagi mereka persahabatan lebih dari segalanya.

Pukul 17.00 kami sudah sampai di cinemax, karena kami mengambil jam 19.00 untuk nonton maka kami memutuskan untuk makan dulu di Seven Sky. Aku memilih makan Takoyaki dan minum jasmine tea, karena aku belum begitu lapar. Entah kenapa akhir-akhir ini aku gak nafsu makan.

“May, yakin cuma makan itu?” Danu kaget  saat pesananku datang.

“Iya, aku gak begitu laper. Nanti aja kalau sampai rumah pasti makan lagi. Kalau pengen.” Aku berusaha berasalan yang logis agar mereka tidak curiga. Sebernya yang membuat aku gak nafsu makan karena undangan yang seminggu lalu hadir di meja kerjaku. Lancang sekali itu undangan. Aku sebenarnya gak butuh. Untuk apa dia memberikan undangan kalau bukan untuk pamer!

“Bukan gara-gara undangan yang kamu terima seminggu yang lalu kan?” Danu bertanya pelan-pelan agar tidak menyinggung perasaanku.

“Emang undangan dari siapa sih Dan?” Gadis bertanya ke Danu karena sejak di kantor tadi, dia selalu bertanya kepadaku tapi tidak aku jawab. Males bahas orang gak penting.

“Lo gak tau Dis?” Tanya Danu kaget.

“Heh, bego kalau aku tau mana mungkin aku tanya sama Lo, lagian dari tadi Mayang aku tanya gak jawab.” Gadis dengan santai mengunyah nasi goreng yang dia pesan.

“Gak usah Ngatain bego, kita sama-sama bego.” Danu gak terima dikatain bego.

“Kalian kenapa malah ribut sih, aku dari tadi biasa aja.”

“Hati lo yang gak biasa May.” Ucapan Danu langsung membuat aku berhenti nguyah. Tiba-tiba saja mataku terasa panas. Apa benar yang Danu katakan kalau hatiku belum bisa menerima.

“Dari siapa sih? Jangan bikin penasaran deh Dan.”

“Dari Rifki mantannya Mayang. Dia mau nikah seminggu lagi. Sama Diana.”Danu menjawab pertanyaan Gadis karena aku gak sanggung mendengar tiba-tiba saja air mataku netes. Kurang ajar ini air mata. Kenapa juga aku masih nangisin laki macam dia.

Gadis langsung menatapku. Tangan yang tadi memegang sendok saat ini sudah beralih mengenggam tanganku.

“May, udah. Sampai kapan kamu mau seperti ini. Kamu tau kan kalau dia itu gak pantas buat kamu, dia itu bangsat. Gak pantes kamu tangisin. Apalagi kamu masih menyimpan Namanya. Aku tau selama ini kamu sudah menahan dan berusaha untuk melupakan dia, tapi itu gak mudah bagi untuk kamu. Aku selalu lihat kamu melamun bahkan tiba-tiba nangis. Udah tiga tahun May, saatnya kamu buat move on. Coba kamu pelan-pelan buka hati. Siapa tau ada laki-laki yang benar-benar mau serius sama kamu. Diusia kita yang sekarang bukan saatnya lagi cari pacar, tapi cari pendamping. Kalau menurutku lupakan dia, tutup semua kenangannya. Lupakan semua apapun tentang dia dari ingatanmu. Aku yakin lo pasti bisa.” Gadis menenangkanku sambil terus mengelus-elus tanganku.

“Busyet, tiga tahun lo belum bisa move on May, hati lo terbuat dari apa sih? Lupakan cowok bangsat kayak dia, gak pantes singgah dihatimu. “ Damu tak kalah emosi juga.

Mungkin ini saatnya aku benar-benar melupakan dia. Pelan-pelan. Pasti aku bisa.

Yogyakarta, 25 Juli 2021

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status