Suasana kantor pagi ini masih terlihat sepi. Aku memang sengaja berangkat lebih pagi biar tidak ditawari berangkat bareng dengan Pak Rendra. Aku memasuki lobi kantor pukul tujuh, baru OB yang terlihat dan masih mengepel lantai.
“Selamat pagi Pak Hadi” Aku menyapa Pak Hadi yang terlihat sedang menggosok lantai.
Pak Hadi terlihat kaget melihat aku datang sepagi ini “Pagi Mbak Mayang, tumben jam segini sudah sampai kantor mbk, biasanya mepet.” Pak Hadi cekikian.
Pak Hadi tau kalau aku selalu berangkat mepet jam kerja.
“Iya Pak, tadi bangunnya kepagian terus bingung di rumah mau ngapain.” Jawabku bohong.
“Makanya segera cari pendamping mbak, biar kalau pagi tidak bingung mau ngapain.”
“Doain segera dapat ya Pak.”
Pak Hadi memang paling baik dan ramah, aku Sudah menganggapnya sebagai orang tuaku karena dia selalu baik dan perhatian denganku. Aku langsung ke ruang kerja meletakkan tas dan HP. Selanjutnya aku ke pantry untuk minum kopi dan sarapan roti bakar yang tadi sempat aku bikin. Ku tuang kopi dari termos yang sudah aku sedu di rumah. Ku letakkan termos di meja dan aku duduk sendiri di sini. Merenung kenyataan yang aku alami saat ini. Tiba-tiba Pak Rendra dekat denganku walau hanya dua hari menjabat jadi atasanku. Dan memikirkan dengan siapa hari minggu besok aku pergi ke nikahan Rifki. Pusing memikirkan membuat kepala ini migren. Jumat sore sudah janji meu pulang ke Solo, pasti di sana akan ditanya kapan nikah? Sudah umur, sudah tua. Ahhhh muak dengan semua pertanyaan itu.
Aku memainkan pinggiran cangkir, tangan aku letakkan di bawah dagu. Melamun. Ya, memang paling nikmat di pagi hari itu melamun. Tanpa aku sadari pintu pantry terbuka dan Danu sudah duduk di depanku. “Heh, pagi-pagi udah bengong, mikirin apa?”
Aku langsung menatap Danu “Gak ada, Cuma lagi pengen aja.” Jawabku bohong.
Seolah Danu tau kalau aku sedang berbohong kalimat andalan dia ucapkan “Gak percaya, kalau lo bilang gak ada dan gak papa, itu tandanya kamu ada sesuatu. Gak usah bohong sama aku May, kamu gak bisa bohong ya kalau sama aku.”
Aku menautkan alis, sok kepedean ini anak, tapi memang benar apa yang dia katakana sih “Beneran, gak ada apa-apa. Aku hanya kepikiran saja besok minggu mau berangkat apa tidak. Kalau berangkat sendiri kelihatan banget kalau aku belum bisa move on. Pengen dating tapi gak ada pasangan.” Aku menjawab pertanyaan Danu tanpa melihat eskpresi wajahnya.
“Aku temenin mau? Tenang gratis ko gak bayar, kalau lo baper bahu ku siap menopang tubuhmu.” Danu menahan tawa. Kampret ini anak. Dari dulu gak pernah bener kalau ngomong.
“Heh kunyuk, enak aja belum move on. Aku udah move on ya. Cuma aku belum mau komitmen sama orang aja, belum siap merasakan pengkhianatan lagi.” Aku langsung menyesap kopi.
“Bagi dong May.” Danu langsung menuang kopiku yang masih di termos.
“Itu Namanya ngambil, lo baru minta ijin aku belum ngijinin udah lo tuang.”
Danu hanay tertawa terus berdiri. “Minggu malam aku temenin, gak usah khawatir sekarang sudah saatnya kerja, yuk.” Danu mengajakku tapi aku masih enggan untuk meninggalkan pantry.
Aku masih betah di sini sampai pukul delapan lebih lima belas menit aku baru masuk ke ruangan. Suasana ruangan hening karena semua pada fokus dengan laptopnya masing-masing. Saat aku duduk di meja kubikelku ada kertas dan bunga. Semangat untuk hari ini. Jangan pikirkan hatimu tapi pikirkan masa depanmu. Aku menoleh ke Danu dan Gadis.
“Dis, siapa yang ngasih ini?”
Gadis hanya mengedikkan bahu. Aku lanjut menoleh ke Danu.
“Siapa Dan?”
“Ye mana aku tau, tadi sampai ruangan sudah ada. Dari penggemarmu kali.”
“Halah ampas, pengemar apaan.”
Danu dan Gadis langsung tertawa kera. Tuh anak memang gak ada akhlak. Aku langsung fokus ke laptop yang mengacuhkan kertas dan bunga tersebut. Tidak mau memikirkan siapa yang mengirim hal konyol kayak gini.
Sepuluh menit sebelum jam istirahat aku mengajak Gadis dan Danu untuk makan di Yamie Panda. Baru pengen makan mie.
“Yuk, cuss.” Aku berdiri dan ngajak mereka.
“Jalan kaki aja ya, kan Cuma deket.” Kali ini Gadis yang bilang.
Aku dan Danu langsung mengangguk. Ku ambil ponsel dan uang yang aku selipkan di belakang ponsel.
Kami memutuskan untuk duduk di ruangan yang ber AC agar tidak terlalu panas.
Gadis menyodorkan menu “Kalian mau pesan apa? Aku yamie manis kriuk minumnya es jeruk.”
“Aku sama kayak kamu Dis” Suara Danu terdengar sambil fokus dengan ponselnya. “Kamu apa May?” Tanya Danu.
Memikir menu apa yang enak dimakan siang ini aku memutuskan milih yamie manis bakso goreng.
“Yamie manis bakso goreng minumnya es the tawar.” Jawabku.
Selama menunggu makanan datang, kami sibuk dengan ponselnya masing-masing. Hari ini aku baru mager ngobrol, gak tau kenapa. Sepuluh menit kemudian makanan kami datang, kami menikmati makanan satu sama lain. Tiba-tiba Gadis bilang “Gaes, itu sepertinya Pak Rendra, sama siapa itu? Ganteng juga ya?” Pernyataan Gadis berhasil membuat aku dan Danu nengok kebelakang, karena kebetulan dudukku membelakangi pintu. Aku dan Danu kompak mengedikkan bahu. Lanjut kita menghabiskan makan siang.
“Gaes, Pak Rendra senyum ke aku. Kayaknya dia mau masuk sini deh.”
“Biar aja Dis, toh kita juga sudah mau selesai kan, jam makan siang juga sudah mau habis” Danu menjawab pernyataan Gadis. Aku masih asyik mengunyah yamie yang tinggal seperempat mangkuk. Saat aku menandaskan yamie Pak Rendra duduk di sampingku sambil berbisik “Selesai jam kantor jangan langsung pulang ya, ke ruangan saya sebentar, ada yang pengen saya tanyakan.”
Aku kaget kira-kira apa yang akan dibicarakan ya, padahal baru dua hari jadi atasan. “Baik Pak” aku terpaksa menjawab daripada penasaran.
****
Sesuai jam yang disampaikan Pak Rendra tadi, aku akan mampir keruangannya sebelum pulang kantor, tapi sampai jam empat kerjaanku masih lumayan numpuk. Aku harus menyelesaikannya hari ini karena besok aku akan pulang ke Solo, jadi gak mau aku lembur untuk besok. Gadis dan Danu langsung pulang karena tau kalau aku mau menyelesaikan pekerjaanku hari ini. Tapi sampai pukul lima pekerjaanku belum selesai. Pak Rendra juga belum keluar ruangan, sampai waktu menunjukkan pukul enam kurang sepuluh menit. Aku lihat Pak Rendra keluar dari ruangan, tetapi aku pura-pura tidak melihat beliau.
Pak Rendra berjalan dan menuju kubikel ku “Kirain Sudah pulang Yang.”
“Eh Bapak, belum Pak. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan hari ini, biar besok saya tidak lembur.” Aku menatap matanya, gak sopan kalau aku menjawab pertanyaan beliau tapi tanpa melihat.
“Besok mau ke mana? Sampai harus selesai hari ini?”
“Saya besok mau pulang ke Solo Pak, jadi biar tidak lembur, saya usahakan pekerjaan saya selesai hari ini.”
Pak Rendra tidak lagi menanyakan suatu hal, dia hanya mengangguk.
“Bapak mau pulang?” Tanyaku sopan. Bukan maksud mengusir dari sini, tapi akua gak risih kalau dilihatin dari tadi.
“Nungguin kamu, tadi saya di dalam nungguin kamu. Saya kira kamu sudah pulang.”
“Saya bisa pulang sendiri pak, saya bawa kendaraan ko.” Aku berusaha mengusir beliau agar tidak terjadi suasana hening yang terlalu lama.
Aku tidak lagi melanjutkan percakapanku dengan Pak Rendra. Pak Rendra akhirnya menungguku dengan duduk di kursi Danu tepat di depanku. Hingga suara azan terdengar pekerjaanku selesai. Aku segera membereskan dan pergi ke mushola yang terletak di pojok ruangan untuk sholat maghrib.
“Saya sudah selesai Pak, tapi mau sholat dulu. Kalau Bapak ingin pulang, saya persilakan Pak.”
Pak Rendra tidak menjawab tapi beliau mengikutiku dan menjadi imam sholatku. Selesai sholat kami pulang sebelumnya Pak Rendra menawarkan untuk makan malam dulu, tapi aku menolaknya dnegan alasan terlalu capek dan pengen segera istirahat. Akhirnya Pak Rendra memahami dan kita pun pulang dengan mobil masing-masing.
Bahkan tujuan Pak Rendra menyuruh aku menemuinya sebleum pulang kerja pun dia lupa. Aku juga gak tau apa yang akan di bicarakan, karena menurutku taka da yang akan dibicarakan. Kerjaan akan dia cek besok pagi. Tapi entahlah apa yang membuat beliau seperti itu.
Yogyakarta, 5 Agustus 2021
RendraMenggantikan Papa memimpin penerbit yang telah Papa dirikan dua puluh tahun yang lalu awalnya membuat aku ingin menolak. Aku tidak mau langsung menjabat sebagai CEO. Aku hanya ingin memimpin di bagian editor yang sesuai dengan pasion ku. Awalnya aku juga menolak, masak aku kerja di kantor Papa. Nanti aku tidak ada usaha. Tapi Mama memaksa aku untuk mencobanya dulu selama satu bulan. Akhirnya aku memenuhi permintaan Papa.Tepat hari ini aku dikenalkan dengan semua karyawan khususnya bagian editor, tapi ada satu nama yang hari ini belum hadir. Ada satu nama yang membuat aku bertanya tanya “Clarissa Mayang” nama itu seperti tidak asing bagiku. Hingga aku meminta Pak Edi untuk menyuruh Clarissa Mayang datang ke ruangan beliau. Aku yakin kalau dia akan haidr hari ini. Dan aku yakin nama itu sama dengan perempuan yang selama ini aku cari.Ketika dia masuk ke ruangan Pak Edi, dia tidak sadar kalau aku ini a
RendraPagi ini aku keluar rumah mendapati rumah Mayang sudah sepi, bahkan mobilnya pun juga sudah tidak ada. Aku yakin kalau dia berangkat sengaja pagi untuk hari ini. Sebenarnya secara terang-terangan aku belum menunjukkan kalau aku suka dengan dia. Aku masih menyimpannya sendiri. Terlalu cepat jika aku mengatakan. Aku akan mengikuti alur yang Mayang pilih, jalur apa yang akan dia tempuh. Apakah dia akan menyadari kalau aku sayang dengan dia cepat atau lambat? Aku hanya ingin membuktikan itu.Pagi ini aku ingin sarapan tongseng ayam jawa yang deket dengan pasar Bantul, walau jaraknya lumayan jauh dari rumah dan tidak searah denganku ke kantor tapi aku tetap sarapan di sana. Toh saat ini masih pukul tujuh kurang lima belas, masih banyak waktu untuk aku bisa sarapan di sana.Tongseng ini sangat legendaris yang terletak di pojok selatan pasar Bantul. Menu tongseng ayam dan tempe koro nya yang membuat aku ketagihan makan di sini. Aku memesan tongseng
Mayang Siang ini aku ijin kerja setengah hari karena aku harus pulang ke Solo. Sejak tadi pagi Mama sudah meneror ku dengan puluhan pesan dan telepon. Aku tau kalau keluargaku sangat rindu denganku. Mana ada yang tidak rindu dengan anak gadis satu-satunya. Sebelumnya aku belum cerita tentang keluargaku. Aku tiga bersaudara. Kakakku yang nomor satu sudah menikah dan tinggal dengan istrinya di Karanganyar dekat dengan tempat kerja kakakku. Aku nomor dua dan yang nomor tiga adikku laki-laki saat ini baru kuliah semester empat di Universitas Malang. Awalnya aku meminta adikku mendaftar di Jogja biar bisa tinggal denganku, tapi dia tidak tertarik lebih tertarik kuliah di Malang. Mama dan Papa ku yang saat ini hanya tinggal berdua. Dulu keinginan Mama ketika aku lulus kuliah aku bisa kembali dan bekerja di Solo, tapi aku lebih betah tinggal di kota ini. Mama kesehariannya jualan di Pasar Klewer sedangkan Papa seorang sekretaris desa tempat kami tingg
Masih di Solo dan masih mengingat semua kenangan yang sampai saat ini masih terikat jelas. Sabtu pagi ini aku ingi gowes sampai Pasar Klewer. Pasar Klewer adalah pasar tekstil terbesar di Kota Surakarta. Pasar yang letaknya bersebelahan dengan Keraton Surakarta ini juga merupakan pusat perbelanjaan kain batik yang menjadi rujukan para pedagang dari Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan kota-kota lain di Pulau Jawa. Pasarini juga pusat batik yang menjadi tempat kulakan para pedagang di wilayah Solo dan sekitarnya bahkan di Jawa Tengah. Berdiri sejak tahun 1970,Pasar Klewertetap menarik untuk dikunjungi.Berangkat dari rumah pukul enam dan sampai di Pasar Klewer pukul tujuh, seharusnya tidak selama ini karena aku snegaja mengayuh sangat pelan. Gowes sendiri itu rasanya gabut banget. Tidak ada yang diajak ngobrol. Sampai di Pasar Klewer aku istrirahat sejenak sebelum nanti sarapan. Tak pernah ketinggalan ketika aku pulang ke
Rendra Pagi ini aku keluar rumah mendapati rumah Mayang sudah sepi, bahkan mobilnya pun juga sudah tidak ada. Aku yakin kalau dia berangkat sengaja pagi untuk hari ini. Sebenarnya secara terang-terangan aku belum menunjukkan kalau aku suka dengan dia. Aku masih menyimpannya sendiri. Terlalu cepat jika aku mengatakan. Aku akan mengikuti alur yang Mayang pilih, jalur apa yang akan dia tempuh. Apakah dia akan menyadari kalau aku sayang dengan dia cepat atau lambat? Aku hanya ingin membuktikan itu. Pagi ini aku ingin sarapan tongseng ayam jawa yang deket dengan pasar Bantul, walau jaraknya lumayan jauh dari rumah dan tidak searah denganku ke kantor tapi aku tetap sarapan di sana. Toh saat ini masih pukul tujuh kurang lima belas, masih banyak waktu untuk aku bisa sarapan di sana. Tongseng ini sangat legendaris yang terletak di pojok selatan pasar Bantul. Menu tongseng ayam dan tempe koro nya yang membuat aku ketagihan makan di sini. A
“Ma, Pa, Mayang balik ke Jogja dulu ya.” Aku pamitan dengan kedua orang tuaku, gak tega sebenarnya meninggalkan mereka.“Hati-hati ya Nduk, kalau tidak ada teman gak usah datang ke nikahan Rifki.” Papa mengingatkanku.Aku hanya mengangguk dan segera menyalami mereka. Aku memeluk mereka. Harus kuat dan ga boleh nangis. Aku meninggalkan mereka yang masih menatapku sampai mobil yang aku kendarai menghilang.Suasana dalam mobil sangat sepi. Aku menyalakan musik dari flasdisk. Tak pernah kudugaSemuanya berubahSaat kau memandangkuBergetar hati iniKau berikan harapan tentang oh..Warna warni harikuSemenjak ada dirimuDunia terasa indahnyaSemenjak kau ada disiniKu mampu melupakannyaKini aku tak sabarIngin hati kau untukkuKat
Memandang hotel yang saat ini menjadi tempat resepsi Rifki dan istrinya membuat hatiku pilu. Seharusnya aku yang mengadakan pesta tapi kenyataan berkata lain. Saat ini aku dan Danu masih di antri salaman dengan pengantin. Aku diam sejak berangkat tadi. Danu pun tidak berani menggangguku, biasanya dia akan membully ku habis-habisan jika menyangkut Rifki. Padahal hanya beberapa kali Danu dan Gadis bertemu dengan Rifki. Itu dulu waktu Rifki masih jadi pengangguran dan sering menjemputku di Jogja. Ahh sudah lupakan. Saatnya melupakan dia dan mencari yang serius.Danu menepuk bahuku saat antrian semakin menipis. “Yakin siap? Kalau gak siap kita bisa langsung pulang?”Aku hanya mengangguk. Beberapa among tamu juga masih saudara Rifki yang masih mengingatku. Bahkan ketika mereka menatapku pun seperti ada tatapan kekecewaan. Aku belum bertemu dengan Mbak Sinta, kakak Rifki yang nomor satu. Mbak Sinta lah yang tidak bisa terima saat Rifki memutuskan hubunga
Aku terbangun saat mendengar ketukan pintu berkali-kali. Mataku enggan untuk membuka, badanku rasanya berat, bahkan mataku terasa panas. Aku mengucek-ucek mata sebelum membuka pintu siapa yang berani membangunkan tidurku pagi ini. Jelas-jelas ini masih sangat pagi. Mungkin bisa dibilang habis subuh. Aku kaget ketika melihat jam ternyata sudah pukul setengah delapan. Aku sangat bersyukur ada orang yang mengetuk pintu pagi ini. Tapi ketika aku menginjakkan kaki di lantai badanku terasa mau jatuh. Mataku semakin panas dan mengeluarkan air mata. Aku menempelkan tangan ke dahi, ternyata aku demam. Pantas saja badanku terasa berat. Aku jalan pelan-pelan untuk membuka pintu. Tanpa cuci buka dan mengucir rambutku biar terlihat rapi aku langsung jalan ke depan. Begitu membuka pintu aku kaget ternyata yang datang Pak Rendra. Penampilan Pak Rendra sangat rapi. Ya jelaslah karena ma uke kantor. Pak REndra menatapku dari atas sampai bawah. Dia heran melihat penampilanku pagi ini.