BAB 207Citra tidak biasanya seperti ini. Namun, Dokter Ardian maklum karena ia akan pergi beberapa hari dan juga Citra dalam keadaan hamil.“Aku pergi, ya,” pamit Dokter Ardian lalu masuk ke dalam mobilnya dengan langkah berat. Ia tidak tega meninggalkan Citra dan Nizam.“Segera telepon kalau sudah sampai, Mas,” pesan Citra dengan menatap Dokter Ardian.“Iya, Sayang …, pasti,” balas Dokter Ardian dengan tersenyum.“Dada, Papa …,” ucap Ayu seraya mengayunkan tangan Nizam pada Dokter Ardian yang mulai melajukan mobilnya keluar dari halaman rumahnya. Dokter Ardian pun membalas lambaian tangan Nizam dengan tersenyum lebar.Citra menatap mobil Dokter Ardian dengan berurai air mata. Ia terduduk di lantai melepas kepergian Dokter Ardian.Ayu merasa kasihan pada Citra. Ia melihat seakan-akan ini adalah pertemuan terakhir mereka untuk selamanya. Dengan segera ia berjongkok dan memegang lengan Citra agar segera berdiri.“Ayo masuk, Mbak!” ajak Ayu dengan lembut.Citra pun patuh lalu segera ber
BAB 208Pagi-pagi sekali, tepatnya subuh, Citra segera menelepon Dokter Ardian. Ia sangat rindu dan tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sekaligus ia juga ingin membangunkan suaminya agar segera menunaikan ibadah salat subuh.Sayangnya, ponsel Dokter Ardian sedang dimatikan karena baterainya habis dan tengah di cas saat ini. Dokter Ardian juga sudah bangun dari tadi.Citra pun kecewa. Namun, ia juga merasa khawatir karena tidak tahu kabar dan keadaan suaminya yang jauh di sana. Tiba-tiba dadanya berdebar-debar hebat. Ia bingung harus bagaimana saat ini. Ia pun segera turun dari tempat tidur untuk mengambil wudu dan salat subuh. Ia akan mendoakan suaminya agar urusannya lancar, sehat, dan selalu dalam lindungan-Nya.Pagi hari setelah baterai ponselnya penuh, Dokter Ardian menelepon Citra. Namun, Citra tidak bisa menerima panggilan teleponnya karena Citra sedang berjalan-jalan pagi dan meninggalkan ponselnya di rumah.Akhirnya Dokter Ardian mengirimkan sebuah pesan karena ia harus segera be
BAB 209Di tengah perjalanan, Dokter Ardian merasa sedikit mengantuk. Akhir-akhir ini ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pagi-pagi sekali ia juga harus sudah bangun untuk mencari makan dan mengikuti acara seminar dan pelatihan. Acara selalu selesai pada malam hari. Ia jadi kurang istirahat beberapa hari ini.Ia ingin berhenti untuk istirahat sebentar, tapi rasa rindunya pada istri, anak, dan rumah mengalahkannya. Ia pun bertekad tetap melanjutkan perjalanannya.Tiba-tiba rasa kantuk yang teramat sangat mendera. Ia pun tertunduk dan tanpa sadar memejamkan matanya. Ketika tangannya sudah lemas untuk mengemudi dan jalan mobilnya sudah tidak stabil, sebuah mobil bus di hadapannya memencet klakson beberapa kali. Dokter Ardian terkejut dan segera membuka matanya. Pandangan matanya silau karena sorotan lampu dari mobil bus yang ada di hadapannya lalu membanting setir ke kiri. Mobilnya menabrak pembatas jalan dan akhirnya jatuh masuk ke dalam jurang.Citra yang tengah tertidur pun bermimpi a
BAB 210Setelah berbincang-bincang dengan Ayu dan Bik Yati, Dokter Amanda pun naik ke lantai dua di mana kamar Citra berada. Ia mengetuk pintu kamar Citra dan memanggil namanya.“Citra …,” panggil Dokter Amanda. Ada sedikit keraguan yang mendera hati dan pikirannya, tapi ia harus tetap menyampaikan kabar buruk ini pada istri Dokter Ardian.Citra pun mengernyitkan dahinya saat mendengar suara Dokter Amanda. Ia merasa heran dan bertanya-tanya. Kenapa Dokter Amanda datang ke rumahnya? Ia pun menengok jam yang tergantung di dinding kamarnya dan ia tidak salah lihat. Ini masih pagi, tepatnya setengah tuju pagi.Citra pun segera turun dari tempat tidur dengan pelan-pelan seraya memegangi perutnya yang besar. Kemudian ia membuka pintu kamarnya dan tampaklah Dokter Amanda di sana.“Kak Amanda?” Citra masih terkejut dengan kehadiran Dokter Amanda pagi-pagi di rumahnya.Dokter Amanda menatap Citra kemudian pandangannya turun ke bawah, tepatnya perut Citra yang membuncit. Ia pun tersenyum meskip
BAB 211Citra mengernyitkan keningnya. Tiba-tiba ia merasa pening pada kepalanya. Selain itu, ia juga merasa mual dan lemas. Tidak lama kemudian pandangannya kabur dan akhirnya gelap.Dokter Amanda, tiba-tiba merasakan tubuh Citra menjadi berat. Tangisan Citra pun sudah tidak terdengar lagi. Dengan segera ia mengurai pelukannya pada tubuh Citra untuk melihat keadaan Citra. Ketika tahu Citra pingsan, ia pun segera membaringkan tubuh Citra di atas tempat tidur. Inilah yang ditakutkan Dokter Amanda, yaitu Citra pingsan. Untungnya mereka berada di atas tempat tidur. Jadi, Dokter Amanda tinggal menaikkan kaki Citra ke atas tempat tidur.Setelah itu Dokter Amanda mengeluarkan minyak kayu putih dari dalam tasnya. Ia membalurkan minyak kayu putih itu pada telapak tangan, kaki, perut, dada serta mengangin-anginkannya di depan hidung Citra.Karena Citra tak kunjung sadar, Dokter Amanda pun memanggil ambulans Rumah Sakit Bunda. Ia tidak bisa membawa Citra ke rumah sakit sendirian dalam keadaan p
BAB 212Citra tengah terbaring di salah satu kamar VIP Rumah Sakit Bunda. Sebuah selang infus terpasang pada tangan kirinya.Bu Ratna sedang menggosok telapak tangan dan telapak kaki Citra secara bergantian dengan lembut. Beberapa kali ia menatap wajah Citra dan berharap Citra segera membuka matanya. Ia baru saja sampai di Rumah Sakit Bunda sepuluh menit yang lalu dan langsung mencari di mana Citra dirawat.Tidak lama kemudian Citra mengernyitkan keningnya. Ia memegangi kepalanya yang terasa pening.“Cit,” ujar Bu Ratna senang akhirnya Citra sadar juga.Citra pun membuka matanya dan melihat ibunya di samping tempat tidurnya. Kemudian ia melihat ke sekeliling ruangan itu dan ia pun sadar kalau sedang berada di rumah sakit.“Ibuk,” balas Citra lirih.“Mau minum?” Bu Ratna menawarkan seraya mengambil air minum dalam kemasan botol yang ada di atas meja. Namun, Citra menggelengkan kepalanya. Bu Ratna pun menaruh kembali botol itu.Citra menatap langit-langit ruangan itu dengan tatapan koso
BAB 213Satu minggu kemudianCitra berdiri di balkon kamarnya. Ia menatap ke halaman rumah dan berharap melihat Dokter Ardian pulang. Setiap hari, pagi, siang, dan malam, ia menunggu Dokter Ardian pulang. Ia berharap semua ini hanya mimpi dan prank dari suaminya.“Mas …, aku rindu,” lirih Citra dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. Setiap hari ia menangis merindukan Dokter Ardian.“Andai waktu bisa diulang, aku akan bilang ‘I love you’ setiap hari padamu, Mas. Aku belum pernah mengucapkan cintaku padamu. Andai waktu bisa terulang kembali, aku ingin bilang ‘Aku cinta kamu’ sejuta kali sehari pun aku akan melakukannya, Mas,” ucap Citra menyesali semuanya. Ia menyesal karena tidak pernah mengatakan cinta pada Dokter Ardian selama ini. Padahal waktu kebersamaan mereka sangat singkat.Mobil Dokter Ardian memang sudah diangkat dari jurang. Namun, di dalam mobil itu tidak ditemukan tubuh ataupun jenazah Dokter Ardian. Kemungkinan besar, tubuh Dokter Ardian terlempar keluar saat mobil
BAB 214 Mobil ambulans baru saja sampai di halaman rumah Dokter Ardian. Citra pun masuk ke dalam mobil ambulans dengan bantuan dua orang perawat. Ia masih bisa berjalan dan tidak mau naik brankar. Bu Ratna juga mengekor di belakang mereka sambil membawa tas yang berisi pakaian Citra dan calon bayinya. Sesampainya di Rumah Sakit Bunda, Citra dianjurkan segera masuk ke ruang bersalin karena Dokter Amanda sudah mengatur semuanya. Sambil berjalan, Citra menangis berlinang air mata. Bukan karena kesakitan, tapi karena rindu dan teringat Dokter Ardian. ‘Mana janjimu, Mas? Kamu bilang akan menemaniku saat melahirkan anak kita? Tapi, kenapa kamu malah pergi meninggalkan aku dan anak kita?’ raung Citra dalam hati. “Cit,” panggil Dokter Amanda saat melihat Citra di ambang pintu ruang bersalin. Ia pun tersenyum paksa meskipun hatinya menangis. Hatinya sangat sakit melihat Citra yang berlinang air mata di hadapannya. Ia tahu dan mengerti bagaimana rasanya jadi Citra saat ini. Citra pun melan