Ketika sampai di depan pintu kamar Citra, Dokter Ardian segera membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Kebetulan Citra juga tidak mengunci pintu kamarnya.
Citra pun terkejut saat mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Ia segera menoleh pada pintu kamarnya dan tampaklah Dokter Ardian berdiri di sana.“Kenapa dia menangis?” tanya Dokter Ardian sembari berjalan mendekat ke arah Citra lalu mengambil alih bayi itu dari tangan Citra.“Mungkin dia merindukan Mamanya, Dok,” jawab Citra dengan ragu. Sedari tadi ia sudah berusaha merawat dan menjaga anak Dokter Ardian agar tidak sampai menangis kencang.“Apa kamu sudah mengganti popoknya?” tanya Dokter Ardian seraya meraba diapers yang dipakai anaknya.“Sudah, Dok. Bahkan susu pun baru saja ia habiskan,” jawab Citra menjelaskan.Dokter Ardian pun berusaha menenangkan bayi itu dengan menimang-nimangnya. Namun, hasilnya nihil. Ia pun berpikir bagaimana caranya membuat bayi itu berhenti menangis. Tiba-tiba terbesit sebuah ide yang mungkin bisa dikatakan ide gila, tapi apa salahnya mencoba, pikir Dokter Ardian.“Coba susui dia,” ujar Dokter Ardian seraya mendekati Citra.“Apa, Dok? Susui?” ulang Citra untuk memastikan ia tidak salah dengar dengan mengerutkan keningnya.“Iya. Mungkin dia pengen nenen,” balas Dokter Ardian seraya memberikan bayinya pada Citra.“Tapi, Dok, saya kan bukan ibunya. Saya juga tidak punya ASI,” tutur Citra berusaha menolak permintaan Dokter Ardian. Bagaimana pun ia masih perawan. Tubuhnya belum pernah dijamah siapapun. Masa iya, bayi Dokter Ardian yang akan menjamah tubuhnya untuk pertama kalinya. Tentu saja ia tidak rela. Apalagi bayi itu bukan anaknya.Karena tangisan bayi itu semakin keras, Dokter Ardian pun segera meraih kancing atas piama Citra untuk segera membukanya. Ia tidak tega melihat anaknya menangis seperti itu.“Dokter!” jerit Citra seraya menepis tangan Dokter Ardian dengan kasar dari dadanya.Dokter Ardian pun melihat tangannya sendiri yang ditepis Citra. Ia menyesal telah berlaku kurang ajar pada Citra.“Maaf,” ucap Dokter Ardian dengan pasrah dan menundukkan kepalanya.Citra pun mengerti dan menyesal karena sudah berteriak pada Dokter Ardian.“Saya akan melakukannya, tapi tolong Dokter keluar dulu dari kamar ini,” tutur Citra akhirnya mengalah. Ia juga tidak tega melihat bayi itu menangis terus menerus.“Oke, baiklah. Kalau kamu butuh bantuan apapun, kamarku ada di sebelah kamar ini,” ujar Dokter Ardian lalu keluar dari kamar Citra dan menutup pintunya.Setelah Dokter Ardian keluar dari kamarnya, Citra membuka kancing atas piamanya dan mengeluarkan buah dadanya. Meskipun agak ragu, ia akan mencoba menyusui bayi itu untuk pertama kalinya. Memang tidak mengeluarkan ASI, paling tidak bayi itu bisa mengempeng tanpa kembung dan kekenyangan.Tidak lama kemudian tangisan bayi itu sudah tidak terdengar lagi. Dokter Ardian yang berdiri di depan pintu kamar Citra pun tersenyum dan merasa lega. Setelah itu ia masuk ke dalam kamarnya kembali.Sementara itu Citra di dalam kamarnya sedang menyusui bayi Dokter Ardian dengan menahan sakit karena bayi itu menyedotnya dengan sangat kuat.“Cepat tidur ya, Sayang …,” gumam Citra seraya membelai kepala bayi itu. Ia merasa kasihan pada bayi itu karena sejak lahir sudah tidak bisa melihat wajah Ibunya.***Keesokan harinyaPagi-pagi sekali Widia sudah datang ke rumah Dokter Ardian dengan membawa banyak belanjaan di tangannya. Kemudian ia menuju dapur untuk memasak sebelum Dokter Ardian turun ke lantai bawah untuk sarapan.Setelah semua masakannya matang, Widia menata makanan itu di atas meja makan sambil menunggu Dokter Ardian turun.Tidak berapa lama kemudian Dokter Ardian menuruni anak tangga sambil mengancingkan lengan kemejanya. Hari ini ia akan mulai bekerja seperti biasa. Di rumah sakit sudah banyak pasien yang menunggunya.Widia yang melihat Dokter Ardian menuruni anak tangga, dengan segera ia membenahi pakaian dan merapikan rambutnya. Kemudian ia menyambut Dokter Ardian di anak tangga terakhir.“Selamat pagi, Kak …,” sapa Widia dengan tersenyum riang.“Pagi,” balas Dokter Ardian singkat seraya melewati Widia dan berjalan menuju meja makan.Widia pun cemberut lalu mengikuti Dokter Ardian menuju meja makan.“Aku sudah memasak semua ini untuk Kak Ardian loh. Biar aku ambilkan, ya,” tutur Widia menawarkan diri seraya mengambil piring yang ada di depan Dokter Ardian. Ia ingin menggantikan pekerjaan Nadia mengurus Dokter Ardian saat ini.“Terima kasih, tapi aku bisa mengambilnya sendiri. Mulai besok t
Setelah menghabiskan sarapannya, Widia buru-buru mencari Dokter Ardian. Ia sudah tidak betah berlama-lama berhadapan dengan Citra di meja makan. Ia merasa kehadiran Citra sangat mengancam posisinya yang ingin menggantikan Kakaknya menjadi istri Dokter Ardian. Namun, ia harus bersabar. Tanah kuburan Kakaknya masih belum kering. Tidak mungkin ia membicarakan pernikahan di saat semua orang masih berduka.Citra baru saja menghabiskan makanannya. Ia bingung harus mencari Dokter Ardian ke mana. Ia baru sampai di rumah ini kemarin dan belum sempat berjalan-jalan untuk mengetahui denah tata letak rumah ini. Ia pun pergi ke dapur untuk menanyakannya pada Bik Yati. Kebetulan Bik Yati sedang mencuci piring.“Bik, di mana Dokter Ardian?” tanya Citra pada Bik Yati.Bik Yati pun menoleh dan tersenyum pada Citra. “Ada di taman belakang, Mbak,” jawab Bik Yati.“Oh iya. Terima kasih, Bik,” balas Citra lalu mencari pintu yang menuju ke taman belakang.Ketika Citra sudah menemukan pintu itu, ia mendengar
Dokter Ardian baru saja sampai di rumah sakit. Setelah keluar dari dalam mobilnya, ia berjalan menyusuri area parkir menuju ruang poli kandungan.Sepanjang perjalanan, semua mata yang berpapasan dengan Dokter Ardian merasa heran. Mereka tidak menyangka Dokter Ardian akan masuk bekerja secepat ini. Istrinya baru saja meninggal dua hari yang lalu, tapi Dokter Ardian terlihat tegar.Selama Dokter Ardian tidak masuk bekerja, Dokter Amanda lah yang menggantikannya memeriksa pasien di rumah sakit. Dokter Amanda adalah kakak kandung Dokter Ardian.Dokter Amanda biasanya bekerja di Rumah Sakit Bunda. Sedangkan Dokter Ardian bekerja di Rumah Sakit Husada. Ketika Dokter Ardian tidak masuk bekerja karena kematian istrinya kemarin, Dokter Amanda harus membagi waktunya bekerja di dua rumah sakit untuk menggantikan Dokter Ardian sementara.Ketika Dokter Ardian masuk ke dalam ruang poli kandungan, Dokter Amanda sedang memeriksa seorang pasien dengan alat USG.“Maaf, aku datang terlambat,” ucap Dokter
Usai mandi, Dokter Ardian keluar dari dalam kamarnya lalu masuk ke dalam kamar Citra.Di sana tampak Citra sedang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.“Di mana anakku?” tanya Dokter Ardian ketika melihat Citra tidak memangku anaknya.“Ada di tempat tidurnya, Dok,” jawab Citra sembari menyimpan ponselnya ketika melihat Dokter Ardian masuk ke dalam kamarnya.“Mm … maaf ya, untuk yang tadi malam,” ucap Dokter Ardian merasa tidak enak pada Citra.“Tidak apa-apa, Dok. Saya mengerti,” balas Citra dengan sopan.Di depan pintu kamar Citra, Widia mendengarkan pembicaraan mereka dan mengernyitkan dahinya.‘Apa yang terjadi di antara mereka tadi malam?’ batin Widia. Ia pun semakin penasaran ada hubungan apa antara Dokter Ardian dan Citra.Widia pun masuk ke dalam kamar Citra dengan membawa secangkir kopi untuk Dokter Ardian.“Ini, aku buatkan kopi khusus untuk Kak Ardian,” ucap Widia seraya menaruh secangkir kopi di atas meja.“Terima kasih,” balas Dokter Ardian.“Saya mau ke kamar dulu,” pa
BAB 11Minggu, 07 Juni 20xxHari ini suamiku libur bekerja. Aku pun mengajak-nya untuk berbelanja keperluan calon bayi kami. Tentu saja suamiku sangat antusias karena ini anak pertamanya.Dia terlihat sangat senang saat memilih pakaian dan keperluan bayi. Aku bisa melihat kebahagiaan terpancar di wajahnya.Dokter Ardian membaca buku diary milik Nadia dengan menitikkan air mata. Saat ini, ia sangat merindukan istri yang setiap hari menemani hari-harinya itu.Ia pun menatap tempat tidur yang ada di sampingnya, tampaklah kenangan saat Nadia berbaring dan tersenyum padanya.Biasanya Nadia akan berbaring sembari mengelus perutnya yang buncit dan mengajak bicara janin yang ada di dalam kandungannya.Kemudian Dokter Ardian membelai bantal yang biasa dipakai Nadia. Ia mencium bau bantal itu. Wangi rambut dan tubuh Nadia masih melekat di bantal itu. Ia pun mengambil bantal itu lalu meremas dan memeluknya.“Kenapa kamu pergi secepat ini?” gumam Dokter Ardian dengan tubuh bergetar dan menangis di
BAB 13Sesampainya di lantai dua, Dokter Ardian masuk ke dalam kamar Citra untuk menidurkan Nizam. Di sana, Citra sedang merapikan kamarnya dan mainan Nizam. Dokter Ardian pun bisa melihat bahwa Citra lebih tulus dari pada Widia.***Empat bulan kemudianKarena selalu didesak, akhirnya Dokter Ardian pun setuju untuk menikah lagi. Ia melakukan semua itu untuk Nizam.Kini Nizam sudah berusia enam bulan. Dokter Ardian pun mengajaknya berziarah ke makam istrinya, dengan mengajak Citra tentunya.Setelah mengaji dan berdoa, Dokter Ardian pun membelai batu nisan almarhumah Nadia.“Apa kabarmu, Sayang?” tanya Dokter Ardian.“Apa kamu baik-baik saja di sana? Aku harap demikian. Setiap malam aku selalu berdoa semoga kamu bahagia di sana,” imbuh Dokter Ardian. “Hari ini aku mengajak anak kita. Dia sudah besar sekarang,” tutur Dokter Ardian seraya menatap Nizam di gendongan Citra.“Oh iya, Papa menyuruhku menikah lagi. Apa kamu setuju kalau aku menikah dengan dia?” tanya Dokter Ardian meskipun ia
BAB 15 Citra pun terpaksa menyetujuinya untuk menghormati para tamu yang sudah datang. Dua jam berlalu. Para tamu sudah pulang ke rumah masing-masing. Kini tinggallah keluarga Dokter Ardian dan Bu Ratna, tapi Bu Ratna tidak bisa tinggal lebih lama lagi karena ia datang dengan mobil sewaan beserta sopirnya. “Yan, bisa jelaskan tentang semua ini?” tanya Pak Aryo. Sedari tadi ia juga ingin mendengarkan penjelasan dari Dokter Ardian, tapi ia tahan dan bersabar menunggu para tamu undangan pulang. “Ardian lelah, Pa. Ardian janji akan menjelaskan semuanya, tapi tidak sekarang,” balas Dokter Ardian lalu naik ke atas di mana kamarnya berada. Sedangkan Citra sudah naik ke atas terlebih dahulu untuk menidurkan Nizam yang rewel karena mengantuk. Pak Aryo pun mendesah pelan. Setelah itu ia pun memutuskan pulang ke rumahnya untuk beristirahat. Setelah Nizam tertidur, Citra mencubit pipi dan punggung tangannya sendiri. Ia mengira ini semua hanyalah mimpi. Namun, setelah ia mencubit pipi dan pu
BAB 17 Saat akan berganti pakaian di dalam kamar, ia pun teringat akan kamera CCTV yang ada di dalam kamarnya. Ia melirik kamera itu lalu mengambil pakaian dari dalam almari. Setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi lagi untuk berganti pakaian. Ia tidak mau Dokter Ardian melihat tubuhnya yang telanjang melalui kamera CCTV yang ada di dalam kamarnya. Setelah berganti pakaian, Citra keluar dari dalam kamarnya dan turun menuju meja makan. Sedangkan Nizam, sudah ia titipkan pada Bik Yati sebelum mandi. Di meja makan, Dokter Ardian sudah menunggu Citra untuk sarapan bersama seperti biasanya. Namun, kali ini ada rasa canggung di antara mereka karena sudah berstatus suami istri. Citra bingung harus bersikap bagaimana. Mau menyiapkan makanan, tapi sudah disiapkan Bik Yati semua. Begitu juga dengan Dokter Ardian, ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan pada Citra yang kini sudah menjadi istrinya. “Mm ….” Dokter Ardian dan Citra hendak membuka pembicaraan hampir bersamaan setelah menghabis