Share

BAB 10 Hubungan Tuan dan Pelayan

Limey tersenyum, “Saya tahu, maka itu saya akan membayarnya dengan sesuatu yang jauh lebih menguntungkan buat anda?” tawar gadis bermata biru itu.

Amon tersenyum, agak mengejek, “Apa? kamu akan membayar dengan tubuhmu?” tanya Amon setengah mengejek.

“Kau!!” Kinan hampir berdiri, tapi Limey yang ada di dekatnya mencegah dengan gerakan tangannya. “Jangan halangi aku Mei, dia sudah bicara kurang ajar sama kamu!!”

“KAK!” mendadak Limey menyebut kata kakak yang membuat gerakan Kinan lagi-lagi terkunci.

“tapi Mei….”

Limey mengeleng, “Tenang…..” ucapnya perlahan.

Amon memperhatian hal tersebut, tersenyum. Hebat juga, pikir Amon. Ketenangan Limey ketika diejek tidak menghilangkan kewarasan otaknya. Amon semakin tertarik dengan kedua bersaudari tersebut.

“Memangnya kau mau membayarku dengan apa?” tanya Amon lagi dengan angkuh.

“Dengan diri saya. Tapi bukan tubuh. Saya akan memberikan tenaga dan pikiran saya pada pada anda. Dengan kata lain, saya menjadi pelayan anda.”

Amon tersentak, lalu memandangi Limey seolah-olah perempuan dihadapannya tengah memuntahkan darah berwarna biru. Suasana hening sejenak, lalu kemudian Amon tertawa. Tertawa dengan begitu keras hingga burung-burung yang ada disekeliling mereka terganggu dengan cara tawa Amon.

“Pelayan katamu? Memangnya kamu bisa apa?” tanyanya di sela-sela tawa dan terlihat lelah karena tertawa cukup lama.

“Saya cukup punya kepercayaan diri untuk memberikan kecerdasan dan keahlian saya untuk melayani anda. Sebagai ganti atas pengawalan anda kepada kami keluar dari hutan ini dan menjadikan kakak saya sebagai murid anda. Saya rasa tidak ada penawaran yang lebih baik dari ini.” terang Limey penuh kepercayaan diri.

“Percaya diri sekali, memangnya kamu sangat hebat sampai bisa punya kepercayaan diri seperti itu?”

“Saya mempercayai diri saya dan kemampuan saya. Saya tidak akan melakukan penawaran sebaik ini pada siapa pun.” Ucap Limey dengan tegas dan penuh percaya diri.

Amon terperangah, tidak disangka gadis kecil dihadapannya berani melakukan tawar menawar padanya. Dipandanginya Limey dan Kinan bergantian. Menarik…pikir pemuda itu.

Baru kali ini Amon bertemu gadis penuh percaya diri seperti Limey. Baru kali ini dia melihat keberanian dan kenekatan pada sorot mata Limey yang berwarna biru.

“Hahahahaha, menarik!” suara tawa Amon bergetar di udara, dia merasa geli sendiri oleh kekagumannya. Amon telah terpikat oleh kecerdasan perempuan kecil dihadapannya. “Baiklah bocah, sesuai keinginanmu, aku setuju. Lagipula aku tidak pernah punya pelayan, sepertinyaitu akan sangat menarik sekali. Aku akan mengawal kalian keluar dan mengajari bocah yang satu lagi beladiri.”

“Baik, kita sepakat kalau begitu…..” tambah Limey.

“Sepakat, dan mulai sekarang, kau harus memanggilku tuan.” Ucap Amon.

“Limey!!!” Kinan hampir protes.

“Ada apa bocah, kamu keberatan? Tapi perjanjian sudah dibuat, dan mulai sekarang kamu harus memanggilku guru, bocah. Karena mulai sekarang aku akan mengajarimu ilmu bela diri, mengerti!!” Amon mendelik ke arah Kinan.

“Siapa sudi jadi muridmu kalau harus menjadikan adikku pelayanmu!!” sentak Kinan marah.

“Hahahaha! Tidak apa-apa kau tidak mau belajar silat dariku, tapi tetap saja adikmu jadi pelayanku. Tidak terlalu berpengaruh padaku kok…..”

“Kau!!” tubuh Kinan bergetar karena marah, tapi mendadak Limey membelai tangan Kinan sambil menggeleng lembut.

“Kak, tenanglah…….”

“Tapi…..”

“Maaf tuan, bolehkan saya berbicara berdua saja dengan kakak saya?” Limey segera meminta ijin pada Amon.

“Terserah saja……” Amon segera memutar tubuhnya dan mendadak dia melenting menjauh. Kini tinggal Kinan dan Limey yang duduk berduaan di tengah naungan sebatang pohon. Angin berhembus semilir, menerbangkan rambut Limey yang panjang.

“Kak….mengertilah….” ucap Limey setelah Amon pergi.

“Apanya yang harus dimengerti. Bagaimana mungkin kamu merendahkan diri dihadapan cowok aneh yang gila uang itu!!” seru Kinan emosi.

“Kak, tolong pahami. Setelah situasi tadi kita tidak bisa di sini terus berkeliaran. Kita sekarang ada di dunia lain yang tidak kita mengerti. Ini bukan dunia kita. Entah bagaimana, tapi sepertinya kunci tersebut membukakan pintu untuk ke dunia lain.”

“Hah? Maksudmu kita terlempar ke ‘dunia lain’”

“Mungkin itu nama yang pas. Tapi, di mana pun kita terlempar, ini bukan dunia yang ‘aman’. Sebelum kita tahu di mana ini paling tidak kita harus punya informasi yang tepat. Amon adalah sumberi informasi yang tepat. Aku memintanya menjadi guru kakak agar kita punya waktu untuk mengorek informasi, juga pelindung bagi kita yang tidak mengerti apa-apa. kakak mengerti kan?”

“Tapi, kenapa kamu harus jadi pelayan. Kalau itu biar aku saja….”

Limey menggeleng, “Nggak kak. Aku punya kesabaran lebih besar dalam menghadapi laki-laki itu, sedang kakak enggak. Lagipula kalau kakak belajar ilmu beladiri padanya suatu saat nanti kalau terjadi apa-apa, aku bisa mengandalkan kakak.”

“Limey!” Kinan segera memeluk Limey, adiknya, “Padahal aku ingin menjagamu. Tapi kenapa jadi begini…..”

“Nggak apa-apa. yang penting kita bisa selamat. Walau harus pakai cara licik sekalipun, aku ingin memastikan bahwa kita selamat.” Limey menatap kakaknya. Kinan hanya diam. Sorot mata Limey begitu kuat, di dalamnya ada tekat yang kuat.

***

Kinan benar-benar menjadi ‘agak’ patuh. Setelah Amon kembali. Dia segera menunduk meminta maaf, setelah itu memanggilnya dengan sebutan ‘guru’ yang sampai membuat Kinan harus menahan buncahan kemarahan di dalam kepalanya. Apalagi ketika Amon secara semena-mena menetapkan bahwa Limey harus memanggilnya tuan.

Setelah luka Kinan agak membaik—Amon tidak bersedia menunggu hingga membaik benar—mereka kini melanjutkan perjalanan.

“Ini adalah hutan setan. Termasuk hutan yang angker. kalau tidak hapal jalan di sini, kita bisa tersesat. Persis seperti disembunyikan setan kan?” Amon tampak bersikap hendak menakut-nakuti, tapi ditanggapi dengan dingin oleh ke dua adik kakak tersebut, Amon memalingkan muka agak jengkel.

“Setelah keluar dari hutan ini, kita akan tiba di mana tuan?”

“Desa para penjiarah. Namanya memang aneh, tapi itu termasuk desa yang ramai. Kalau kita terus ke arah selatan desa, kita bisa masuk ke gerbang batu. Perbatasan kota pelabuhan. Tentu saja tempat itu terkenal karena di sana adalah surga para pedagang. Makanannya enak, banyak barang-barang bagus dan segalanya. Tapi tampaknya kita tidak akan bisa cepat tiba di desa, butuh waktu dua hari penuh dengan jalan seperti ini untuk keluar dari hutan.”

Kinan merasa agak kesal, merasa seakan kata-kata itu menyindirnya.

“Kamu punya sesuatu yang menarik di balik tasmu itu?” Amon menunjuk pada tas milik Limey. Limey melihat ke arah tasnya.

“Hanya makanan kecil, dan beberapa perlengkapan.”

Mendadak Amon terhenti, lalu kemudian memandang ke arah Limey dan Kinan bergantian.

“Ada apa tuan?” tanya Limey heran.

“Kalian ini sebenarnya berasal dari mana?” tanya Amon kemudian.

“Itu….”

“Jangan membodohiku. ingat, kau siapa sekarang. PE-LA-YAN-KU!” Amon mengucapkan kata pelayan dengan persatu suku kata untuk menegaskan posisi Limey. Kinan yang melihat tampak mengepalkan tangannya dengan emosi yang seperti menggelegak di kepala.

Limey diam, matanya melirik ke arah Kinan yang berjalan di sisinya. Kinan mengangkat bahu, menyerahkan semua keputusan pada Limey.

“Kami berasal dari sebuah pulau...” ucap Limey.

“Pulau? Pulau mana?”

Langit Biru

novel akan diposting setiap JUmat dan MInggu, pantengin terus ya

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status