Share

Bab 2 Dua Adik Kakak yang Misterius

Limey, gadis cantik dengan mata biru dan rambut sebahu itu tampak memunguti ranting yang bertebaran di sekeliling hutan. Agar aman, Limey memilih mencari ranting tidak jauh dari tempat Amon istirahat.

Limey tidak ingin mencari resiko seperti ketika tadi dia dan kakaknya diserang, belum lama ini mereka baru saja berhasil lolos, dan Limey tidak ingin kejar-kejaran dengan para penjahat melukai Kinan lagi. di tempat yang agak jauh, tampak Kinan membantunya dengan susah payah mengumpulkan ranting. Gadis itu harus terseok seok membungkuk, karena kakinya yang bengkak membuatnya kesulitan dalam memposisikan diri.

“Kak, nggak usah bantu. Kakak masih sakit.” Cegah Limey ketika Kinan berusaha membantunya memunguti ranting.

“Biar aja.” Jawab Kinan sambil tetap memunguti ranting. Dia mencoba menahan sakit yang mendera di kakinya.

“Kak….” Limey memanggil lagi berusaha untuk membuat kakaknya tidak perlu membantunya, tapi Kinan berpura-pura tidak mendengar dan tetap sibuk memunguti ranting. Semakin cepat dia mengumpulkan ranting, maka mereka bisa segera kembali ke tempat Amon. Limey menghela napas lalu kemudian mendekat ke arah kakaknya dan membantunya.

“Maaf Mey…gara-gara kakak, kamu jadi begini.” Sahut Kinan ketika Limey sudah berjongkok di dekatnya. Limey memandang ke arah kakaknya, lalu tersenyum.

“Cuma mungutin ranting, bukan suruh membunuh harimau,” kelakar Limey yang disahuti dengan geraman tawa dari Kinan.

“Kalau saja nggak seperti ini jadinya, kalau saja kakak nggak ngambil kunci itu…kita nggak akan ada di sini.” Tambah Kinan seperti mengeluh.

“Tapi, kita pasti mati saat itu, hangus.” Limey menyahuti perlahan dan tenang. Teringat kejadian beberapa hari lalu yang menimpa keduanya.

“Tapi, kita nggak tahu sekarang ada di mana,” Kinan menambahkan.

Limey berdiri, tangannya sudah penuh dengan ranting. “Sebaiknya kita balik ke Amon kak, untuk jaga-jaga.” Ucap Limey.

Kinan mengangguk dan berjalan di samping Limey dengan terseok-seok. Luka di kakinya belum sembuh, tapi Kinan tidak sudi dekat-dekat dengan Amon. Pendekar sinting yang mata duitan. Diantara sekian kisah penyelamatan dalam banyak kisah, kenapa orang yang menyelamatkan mereka adalah Amon. Tidakkah tuhan mengirimkan penyelamat lain dari hidup keduanya?

“Ironis banget nasib kita,” ucap Kinan, “Lepas dari penjahat mesum, ketemu pendekar pelit. Sebenarnya dunia seperti apa tempat ini.”

Limey menghela napas, “Yang pasti, ini bukan dunia tempat kita berada kemarin kak.” Jawabnya.

Langit mulai perlahan-lahan gelap. Warna jingga yang menghiasi mega perlahan mulai memudar dan berganti kegelapan. Limey dan Kinan segera bergegas mendekat ke arah Amon sebelum semua menjadi gelap.

Amon menguap, tangannya diregangkan. Perlahan Amon membuka sebelah matanya dan melihat Limey sedang menyusun ranting-ranting. Kinan, di sisi lain sedang mengoleskan kakinya dengan dedaunan yang diberi Amon sebelumnya.

Luka beberapa hari lalu sudah kering, memarnya pun hampir hilang, walau sakitnya masih terasa. Amon menyuruh Kinan tetap memakai dedaunan tersebut sampai benar-benar pulih.

Amon kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik ikat pinggangnya, dua buah batu.

“Hei!” panggil Amon yang disahuti dengan pandangan dari Limey, Amon segera melemparkan dua batu tersebut. “Gunakan itu, untuk menyalakan api.” Seru Amon.

Limey memandangi dua batu itu. dia pernah membaca tentang manusia yang menggunakan dua batu yang digesekkan dan menciptakan api, dan tidak menyangka akan melihat benda tersebut sungguhan ada di depan matanya.

Gadis bermata biru itu tergoda untuk mencoba pengalaman pertama menggunakan batu tersebut. Dia menggesekkan kedua batu itu, tidak ada percikan api. Limey menjadi penasaran, kini dia menggosoknya dengan lebih kuat, dan kemudian terlihatlah percikan api, namun percikan itu langsung hilang.

Amon yang sedari tadi menyandarkan dirinya pada liukan akar pohon yang keluar dari tanah tampak memperhatikan tingkah Limey dan menjadi tidak sabar.

“Kau tidak bisa menggunakannya. Kemarikan padaku!” serunya kesal. Pemuda dengan rambut panjang itu segera bangkit berdiri dan mendekat ke arah Limey. “Bahkan pekerjaan yang beginian saja kamu enggak bisa. Padahal waktu kemarin kamu sesumbar akan menjadi pembantuku yang patuh!” keluh Amon.

Lalu setelah mengambil alih batu api tersebut, pemuda itu menjentikkannya. Dan kemudian terciptalah percikan nyala api. Amon segera melemparkan batu tersebut ke arah ranting yang sudah tersusun rapih. Batu yang menyala itu segera masuk menelusup diantara ranting, lantas ranting mendadak berkobar oleh api yang muncul dari tengah.

Limey terpesona. Alih-alih menciptakan korek api, di dunia yang tidak dikenalnya ini malah menggunakan cara menghidupkan api dengan cara yang unik.

Amon menaikkan punggungnya dan bersender dengan posisi enak sambil menikmati api dihadapannya. Dipandanginya Limey agak lama. Lalu kemudian terlintas ide jahil dalam kepalanya.

“Kamu, sini!” seru Amon pada Limey. Gadis tersebut langsung menghentikan kegiatannya, menaikkan wajahnya dan menunjuk dengan jarinya ke arah dadanya, matanya bertanya apa yang dimaksud Amon adalah dirinya.

“Iya, kamu!” ucap Amon mengulang ucapannya.

Limey mendekat, Amon segera menepuk-nepuk punggungnya, “Pijat punggungku!” perintahnya.

Kinan kaget, menghentikan kegiatannya melumuri bengkak dikakinya dan bergeser dengan wajah tidak suka.

Limey berjalan mendekat ke arah Amon, meraih pundak Amon dan mulai memijit. Amon tersenyum merasa senang. Raut wajah Kinan berubah, seakan seluruh wajahnya disulut api hingga panas. Tangan Kinan meremas-remas daun yang sudah ditumbuk itu hingga leleran air membasahi tangannya.

“Rasanya aneh aku memanggil ‘kamu’ harusnya aku memberi kamu nama ya,” ucap Amon sambil memejamkan matanya, dia merasa pijitan Limey terasa enak.

“Adikku sudah punya nama!” sela Kinan sambil berjalan mendekat, “Limey, namanya L-I-M-E-Y”.

“Aku suka nama Bin. Mulai sekarang aku memanggilmu Bin…” ucap Amon seperti melamun, tapi tampak senang dengan nama itu. pemuda itu tidak menggubris ucapan Kinan yang tajam padanya.

“Namanya Limey!” seru Kinan mengulang dengan emosi, “Jangan ganti seenaknya!!”

Tangan Amon bergerak, syal yang dikenakan Amon di leher yang entah mirip jubah itu bergerak, seakan Amon ingin menghentikan ucapan Kinan yang berapi-api. Limey diam saja, tidak bersuara. Tampak berpikir.

“Cerewet sekali kamu, bocah. Terserah aku mau memanggil dia ‘kamu’ atau ‘Bin’ atau ‘Cengkik’. Sesuai kesepakatan dulu, dia menjadi kacungku!” Ucap Amon dengan lagak sengak.

Kinan hendak berdiri, namun Limey sudah menengok ke arahnya dan menggerakkan jarinya seakan-akan menyuruh kakaknya untuk tenang.

Amon masih tampak memegang dagunya, tengah berpikir, lalu kemudian memukulkan tinjunya ke telapak tangannya yang terbuka, “Hm, baiklah, mulai sekarang  aku panggil kamu, L!” seru Amon dan tetap dengan tingkah tidak meminta ijin. Amon merasa tidak memiliki kewajiban untuk meminta ijin siapapun atas tindakannya.

“Terserah tuan saja…” ucap Limey perlahan dan tenang.

Kinan, di sisi lain hanya terperangah. Wajahnya saat itu campuran antara tidak terima, dan tidak percaya. Matanya mengernyit.

Kinan adalah gadis berdarah panas dan cenderung bergerak dulu ketimbang berpikir. Rasa sayangnya pada adiknya, Limey sering jadi pemicu tindakannya spontannya. Namun, Kinan harus menahan amarahnya dan hanya membuang muka, padahal lelehan kemarahannya sudah seperti lahar panas yang mengelegak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status