Limey, gadis cantik dengan mata biru dan rambut sebahu itu tampak memunguti ranting yang bertebaran di sekeliling hutan. Agar aman, Limey memilih mencari ranting tidak jauh dari tempat Amon istirahat.
Limey tidak ingin mencari resiko seperti ketika tadi dia dan kakaknya diserang, belum lama ini mereka baru saja berhasil lolos, dan Limey tidak ingin kejar-kejaran dengan para penjahat melukai Kinan lagi. di tempat yang agak jauh, tampak Kinan membantunya dengan susah payah mengumpulkan ranting. Gadis itu harus terseok seok membungkuk, karena kakinya yang bengkak membuatnya kesulitan dalam memposisikan diri.
“Kak, nggak usah bantu. Kakak masih sakit.” Cegah Limey ketika Kinan berusaha membantunya memunguti ranting.
“Biar aja.” Jawab Kinan sambil tetap memunguti ranting. Dia mencoba menahan sakit yang mendera di kakinya.
“Kak….” Limey memanggil lagi berusaha untuk membuat kakaknya tidak perlu membantunya, tapi Kinan berpura-pura tidak mendengar dan tetap sibuk memunguti ranting. Semakin cepat dia mengumpulkan ranting, maka mereka bisa segera kembali ke tempat Amon. Limey menghela napas lalu kemudian mendekat ke arah kakaknya dan membantunya.
“Maaf Mey…gara-gara kakak, kamu jadi begini.” Sahut Kinan ketika Limey sudah berjongkok di dekatnya. Limey memandang ke arah kakaknya, lalu tersenyum.
“Cuma mungutin ranting, bukan suruh membunuh harimau,” kelakar Limey yang disahuti dengan geraman tawa dari Kinan.
“Kalau saja nggak seperti ini jadinya, kalau saja kakak nggak ngambil kunci itu…kita nggak akan ada di sini.” Tambah Kinan seperti mengeluh.
“Tapi, kita pasti mati saat itu, hangus.” Limey menyahuti perlahan dan tenang. Teringat kejadian beberapa hari lalu yang menimpa keduanya.
“Tapi, kita nggak tahu sekarang ada di mana,” Kinan menambahkan.
Limey berdiri, tangannya sudah penuh dengan ranting. “Sebaiknya kita balik ke Amon kak, untuk jaga-jaga.” Ucap Limey.
Kinan mengangguk dan berjalan di samping Limey dengan terseok-seok. Luka di kakinya belum sembuh, tapi Kinan tidak sudi dekat-dekat dengan Amon. Pendekar sinting yang mata duitan. Diantara sekian kisah penyelamatan dalam banyak kisah, kenapa orang yang menyelamatkan mereka adalah Amon. Tidakkah tuhan mengirimkan penyelamat lain dari hidup keduanya?
“Ironis banget nasib kita,” ucap Kinan, “Lepas dari penjahat mesum, ketemu pendekar pelit. Sebenarnya dunia seperti apa tempat ini.”
Limey menghela napas, “Yang pasti, ini bukan dunia tempat kita berada kemarin kak.” Jawabnya.
Langit mulai perlahan-lahan gelap. Warna jingga yang menghiasi mega perlahan mulai memudar dan berganti kegelapan. Limey dan Kinan segera bergegas mendekat ke arah Amon sebelum semua menjadi gelap.
Amon menguap, tangannya diregangkan. Perlahan Amon membuka sebelah matanya dan melihat Limey sedang menyusun ranting-ranting. Kinan, di sisi lain sedang mengoleskan kakinya dengan dedaunan yang diberi Amon sebelumnya.
Luka beberapa hari lalu sudah kering, memarnya pun hampir hilang, walau sakitnya masih terasa. Amon menyuruh Kinan tetap memakai dedaunan tersebut sampai benar-benar pulih.
Amon kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik ikat pinggangnya, dua buah batu.
“Hei!” panggil Amon yang disahuti dengan pandangan dari Limey, Amon segera melemparkan dua batu tersebut. “Gunakan itu, untuk menyalakan api.” Seru Amon.
Limey memandangi dua batu itu. dia pernah membaca tentang manusia yang menggunakan dua batu yang digesekkan dan menciptakan api, dan tidak menyangka akan melihat benda tersebut sungguhan ada di depan matanya.
Gadis bermata biru itu tergoda untuk mencoba pengalaman pertama menggunakan batu tersebut. Dia menggesekkan kedua batu itu, tidak ada percikan api. Limey menjadi penasaran, kini dia menggosoknya dengan lebih kuat, dan kemudian terlihatlah percikan api, namun percikan itu langsung hilang.
Amon yang sedari tadi menyandarkan dirinya pada liukan akar pohon yang keluar dari tanah tampak memperhatikan tingkah Limey dan menjadi tidak sabar.
“Kau tidak bisa menggunakannya. Kemarikan padaku!” serunya kesal. Pemuda dengan rambut panjang itu segera bangkit berdiri dan mendekat ke arah Limey. “Bahkan pekerjaan yang beginian saja kamu enggak bisa. Padahal waktu kemarin kamu sesumbar akan menjadi pembantuku yang patuh!” keluh Amon.
Lalu setelah mengambil alih batu api tersebut, pemuda itu menjentikkannya. Dan kemudian terciptalah percikan nyala api. Amon segera melemparkan batu tersebut ke arah ranting yang sudah tersusun rapih. Batu yang menyala itu segera masuk menelusup diantara ranting, lantas ranting mendadak berkobar oleh api yang muncul dari tengah.
Limey terpesona. Alih-alih menciptakan korek api, di dunia yang tidak dikenalnya ini malah menggunakan cara menghidupkan api dengan cara yang unik.
Amon menaikkan punggungnya dan bersender dengan posisi enak sambil menikmati api dihadapannya. Dipandanginya Limey agak lama. Lalu kemudian terlintas ide jahil dalam kepalanya.
“Kamu, sini!” seru Amon pada Limey. Gadis tersebut langsung menghentikan kegiatannya, menaikkan wajahnya dan menunjuk dengan jarinya ke arah dadanya, matanya bertanya apa yang dimaksud Amon adalah dirinya.
“Iya, kamu!” ucap Amon mengulang ucapannya.
Limey mendekat, Amon segera menepuk-nepuk punggungnya, “Pijat punggungku!” perintahnya.
Kinan kaget, menghentikan kegiatannya melumuri bengkak dikakinya dan bergeser dengan wajah tidak suka.
Limey berjalan mendekat ke arah Amon, meraih pundak Amon dan mulai memijit. Amon tersenyum merasa senang. Raut wajah Kinan berubah, seakan seluruh wajahnya disulut api hingga panas. Tangan Kinan meremas-remas daun yang sudah ditumbuk itu hingga leleran air membasahi tangannya.
“Rasanya aneh aku memanggil ‘kamu’ harusnya aku memberi kamu nama ya,” ucap Amon sambil memejamkan matanya, dia merasa pijitan Limey terasa enak.
“Adikku sudah punya nama!” sela Kinan sambil berjalan mendekat, “Limey, namanya L-I-M-E-Y”.
“Aku suka nama Bin. Mulai sekarang aku memanggilmu Bin…” ucap Amon seperti melamun, tapi tampak senang dengan nama itu. pemuda itu tidak menggubris ucapan Kinan yang tajam padanya.
“Namanya Limey!” seru Kinan mengulang dengan emosi, “Jangan ganti seenaknya!!”
Tangan Amon bergerak, syal yang dikenakan Amon di leher yang entah mirip jubah itu bergerak, seakan Amon ingin menghentikan ucapan Kinan yang berapi-api. Limey diam saja, tidak bersuara. Tampak berpikir.
“Cerewet sekali kamu, bocah. Terserah aku mau memanggil dia ‘kamu’ atau ‘Bin’ atau ‘Cengkik’. Sesuai kesepakatan dulu, dia menjadi kacungku!” Ucap Amon dengan lagak sengak.
Kinan hendak berdiri, namun Limey sudah menengok ke arahnya dan menggerakkan jarinya seakan-akan menyuruh kakaknya untuk tenang.
Amon masih tampak memegang dagunya, tengah berpikir, lalu kemudian memukulkan tinjunya ke telapak tangannya yang terbuka, “Hm, baiklah, mulai sekarang aku panggil kamu, L!” seru Amon dan tetap dengan tingkah tidak meminta ijin. Amon merasa tidak memiliki kewajiban untuk meminta ijin siapapun atas tindakannya.
“Terserah tuan saja…” ucap Limey perlahan dan tenang.
Kinan, di sisi lain hanya terperangah. Wajahnya saat itu campuran antara tidak terima, dan tidak percaya. Matanya mengernyit.
Kinan adalah gadis berdarah panas dan cenderung bergerak dulu ketimbang berpikir. Rasa sayangnya pada adiknya, Limey sering jadi pemicu tindakannya spontannya. Namun, Kinan harus menahan amarahnya dan hanya membuang muka, padahal lelehan kemarahannya sudah seperti lahar panas yang mengelegak.
Amon mudah tertidur bila merasa enak, dan bagi pemuda itu pijitan Limey memabukkan dan bikin cepat tertidur. Melihat sang Tuan sombong tersebut tidur, Limey kini menggeser tubuhnya, pindah mendekati sang kakak.Api di dekat mereka meliuk-liuk dan memercikkan sekeping debu. Kinan duduk di satu akar yang menonjol keluar dari tanah. Wajahnya tampak kecewa dan hampa. Limey melemparkan potongan ranting ke dalam api.“Kenapa?” ucap Kinan dan kata-katanya mengambang. Limey menengok ke arah kakaknya, “Kenapa kita ada di sini? Kenapa harus kamu yang menerima penghinaan ini?!” suara Kinan tampak tidak berdaya, “Dan kenapa…kamu nggak membela diri?”“Kak..” Limey mendekat dan menyentuh pundak kakaknya perlahan, Kinan bergeming. Masih memandangi api yang meliuk-liuk indah. “Aku nggak apa-apa, sungguh. Nggak usah cemas…”“Bagaimana nggak cemas….kita bahkan tidak tahu kita seben
Dalam kondisi terikat, dan semua pengepung merasa menang, tampak seulas senyum terlintas di bibir Amon. Pemuda itu kemudian mengambil napas. Dan dengan satu suitan, pedang buntung di tangannya melesat ke atas, lepas dari lilitan benang tak terlihat. Pedang terhenti di udara, lalu menukik ke bawah dan siap menghantam tubuh Amon.Amon menarik napas kembali, sebelum membuat lesakan untuk melenting dengan tubuh penuh ikatan. Lima orang bercadar kaget karena tubuh mereka terbetot ke depan akibat gerakan Amon yang tiba-tiba.Kaki Amon bergerak, menendang ujung pedang buntungnya yang sudah siap sampai ke bawah. Pedang itu berubah arah akibat tendangan Amon, bergerak menyerang dengan cepat ke salah satu orang bercadar. Melihat kilau pedang yang melesat mengarah langsung, satu penyerang Amon panik.Dia segera memutar tangannya untuk menghalau pedang. Benang yang dipegangnya bergerak tidak teratur dan pegangan merenggang. Amon segera mengerahkan tenaga d
Pak tua tersebut tersenyum, lalu kemudian menepis tangan Amon perlahan. Amon tersentak, dia merasakan ada desakan yang kuat yang membuat tangannya menjadi lemah dan tidak berdaya. Lalu Pak tua itu pergi.Amon berdiri diam, tangannya yang disentuh oleh pak tua itu terasa kesemutan. Itu, aliran tenaga dalam, imdok tingkat tinggi. Walau sekejab, tapi aliran itu mengacaukan pembuluh darah Amon. Amon terkesiap, orang tua itu ternyata bukan orang sembarang.Sial! Bahkan di desa kecil ini ada jagoan tak bernama. Sebaiknya aku harus segera bergegas keluar dari tempat ini. gumam Amon dalam hati. Setelahnya, pemuda itu segera menarik tangan Limey. “Kita segera bergegas pergi dari tempat ini!” serunya.Limey yang ditarik Amon tampak bingung, namun Amon sudah membetotnya menjauh dari keramaian. Kinan pun mengekori dari belakang. Sebenarnya kinan merasa kesal, terlebih tadi Amon sempat menyebut adiknya Budak, namun Kinan tidak sempat menyemburkan kema
“Teh kotak, coklat trus apalagi ya…” Kinan sibuk memilih-milih snack dan memasukkannya ke dalam keranjang, “Mey, kamu mau beli apa?”“Kita nanti ketempat buah-buahan Kan Kak? aku mau beli anggur. Aduh, kakak dari tadi masukinnya cemilan melulu, gendut nanti!” cetus Limey ketika melihat betapa belanjaan mereka didominasi makanan kecil pilihan Kinan.“Ah, iya. Kamu kan suka anggur. Yok, sekarang aja, sekalian di kilo.” Kinan segera meraih lengan Limey dan menariknya menuju tempat buah-buahan, sepertinya tidak terlalu ambil pusing dengan komentar Limey yang sakartis.Ketika kedua anak itu sibuk memilih-milih anggur yang hendak mereka kilo di mesin khusus, mendadak terdengar suara ledakan tidak jauh dari tempat mereka. Keduanya kaget, tempat itu mengguncang, seperti gempa. Lalu, api mendadak menjilat-jilat pelataran supermarket tersebut. Suara-suara ribut mulai terdengar, bergegas orang-orang berlarian men
Limey menunjuk tangannya, “Belum yakin juga. tapi kita coba ke utara.”“Apa itu ke arah keluar? Bagaimana kamu tahu utara atau selatan?” tanya Kinan heran.Limey menghela napas, lalu berkata, “ Kita lihat sarang laba-laba saja.”“Kenapa dengan sarang laba-laba?”“Laba-laba suka membuat sarang menghadap selatan. Kita ambil arah sebaliknya.” Terang Limey kemudian.“Wow, aku baru tahu…” desis Kinan. Keduanya kemudian memandangi sekitar, mencari sarang laba-laba ditengah hutan dan rerumputan tinggi.Sekitar beberapa menit kemudian, mereka berhasil menemukan seekor laba-laba tengah berdiri dengan gagah ditengah sarang miliknya. Melihat hal tersebut, kemudian Kinan dan Limey mengambil arah sebaliknya dari arah sarang laba-laba itu.“Kamu yakin memilih utara, ad
Kinan merasa, kekuatannya tidak sanggup menyarangkan pukulan pada laki-laki berewok tersebut. Dan, tendangan terakhir dari laki-laki itu telak menghantam iga kiri Kinan, kontan tubuh Kinan terbanting ke samping sambil meringkuk kesakitan. Pukulan bagai beton raksasa tersebut memaksa Kinan terbaring dan melenguh kesakitan tanpa bisa kembali berdiri dengan benar.“Kak!!” Limey berlari memburu Kinan, memeriksa keadaan Kinan. Cidera dalam, agak memar, tapi tidak sampai pendarahan dalam.Berpikir….berpikir…segera berpikir! Limey memacu kerja otaknya, memikirkan cara agar lolos dari mulut buaya. Tapi, dengan keadaan Kinan yang terbaring tidak berdaya di tanah, Limey sudah tidak tahu lagi mesti bagaimana. Kini si brewok tersebut menghampiri Kinan yang masih meringkuk dan berusaha berdiri, tapi dengan kejam laki-laki itu menendang Kinan hingga jatuh tersungkur dan pingsan. Limey ingin menjerit, tapi matanya awas melihat 2 o
“Hei—di dunia ini tidak ada yang gratis, Nona… lima ribu ditambah dua ribu, jadi tujuh ribu Zeni. Aku ingin uang kontan! Bagaimana?” jawab Amon masih tidak bergerak di tempat. Limey tidak sanggup lagi menahan Kinan yang terlihat kepayahan dengan napas menderu, Limey mengangguk, “Baik, aku bayar. Tapi tolong kakakku….” “Nah, begitu!!” seru Amon berseri yang langsung memegang tubuh Kinan yang hampir ambruk karena tidak kuat berdiri. “Dudukkan dia!” ucap Amon yang segera dipatuhi Limey. Kinan di dudukkan dan disandarkan pada sebatang pohon. Amon memeriksa luka Kinan dan terutama kakinya yang bengkak, biru dan patah. Beberapa saat kemudian meraba kaki Kinan dan menariknya sehingga Kinan menjerit. Terdengar bunyi krak! Amon mengangguk. “Tulangnya sudah tersambung lagi. tinggal pendarahan dalam saja. Dengan obat, memarnya akan hilang beberapa hari. Tapi….” Amon memeriksa nadi
Limey tersenyum, “Saya tahu, maka itu saya akan membayarnya dengan sesuatu yang jauh lebih menguntungkan buat anda?” tawar gadis bermata biru itu. Amon tersenyum, agak mengejek, “Apa? kamu akan membayar dengan tubuhmu?” tanya Amon setengah mengejek. “Kau!!” Kinan hampir berdiri, tapi Limey yang ada di dekatnya mencegah dengan gerakan tangannya. “Jangan halangi aku Mei, dia sudah bicara kurang ajar sama kamu!!” “KAK!” mendadak Limey menyebut kata kakak yang membuat gerakan Kinan lagi-lagi terkunci. “tapi Mei….” Limey mengeleng, “Tenang…..” ucapnya perlahan. Amon memperhatian hal tersebut, tersenyum. Hebat juga, pikir Amon. Ketenangan Limey ketika diejek tidak menghilangkan kewarasan otaknya. Amon semakin tertarik dengan kedua bersaudari tersebut. “Memangnya kau mau membayarku dengan apa?” tanya Amon lagi dengan angkuh.