Pak tua tersebut tersenyum, lalu kemudian menepis tangan Amon perlahan. Amon tersentak, dia merasakan ada desakan yang kuat yang membuat tangannya menjadi lemah dan tidak berdaya. Lalu Pak tua itu pergi.
Amon berdiri diam, tangannya yang disentuh oleh pak tua itu terasa kesemutan. Itu, aliran tenaga dalam, imdok tingkat tinggi. Walau sekejab, tapi aliran itu mengacaukan pembuluh darah Amon. Amon terkesiap, orang tua itu ternyata bukan orang sembarang.Sial! Bahkan di desa kecil ini ada jagoan tak bernama. Sebaiknya aku harus segera bergegas keluar dari tempat ini. gumam Amon dalam hati. Setelahnya, pemuda itu segera menarik tangan Limey. “Kita segera bergegas pergi dari tempat ini!” serunya.Limey yang ditarik Amon tampak bingung, namun Amon sudah membetotnya menjauh dari keramaian. Kinan pun mengekori dari belakang. Sebenarnya kinan merasa kesal, terlebih tadi Amon sempat menyebut adiknya Budak, namun Kinan tidak sempat menyemburkan kemarahannya. Dia sedang belajar untuk bersabar.Ketiganya melewati pasar budak. Kali ini pedagang budak tengah menjual seorang perempuan cantik, bajunya demikian seksi. Kinan dan Limey memandang sekilas, Amon tidak, dia tetap berjalan lurus. Kerumunan orang berkumpul di tempat pasar budak tersebut, saling berdesak-desakan melihat dan tergiur oleh penampilan beberapa perempuan budak yang dijual.“Silahkan lihat, dia cantik, namanya Mayu, silahkan, dimulai dari 10000 Zeni. Ada yang menawar tinggi!” teriak penjaja budak.Mereka melewati pasar budak hingga sampai di sebuah penginapan. Amon masuk dan memesan satu kamar untuk mereka bertiga. Kinan kaget, bertiga?! Pendekar pelit ini sungguh kikir sekali.Pelayan penerima tamu sempat melirik ke arah Limey dan Lea, tampak tersenyum mesum, dalam pikirannya terbesit iri karena ada seorang lelaki dapat sekamar dengan dua perempuan, cantik pula. Ketika dia melirik ke arah Kinan, gadis itu melotot galak, “Apa lihat-lihat!” serunya kesal. Sang pelayan buru-buru menyembunyikan pandangan karena takut dengan semburan api kemarahan dari pandangan mata Kinan.“Kalau tuan ada perlu apa-apa, saya…” belum sempat si pelayan selesai bicara, pintu segera didorong Amon hingga tertutup, tepat satu senti dari wajah sang pelayan yang melongo karena diperlakukan kasar oleh pengunjung.“Pelayan itu mesum!” seru Kinan akhirnya setelah pintu tertutup. Amon berjalan mendekat ke arah meja, membuka kendi dan menuangkan air. “Dan tempat apa ini? sampai ada perdagangan budaknya!”“Kalian juga hampir menjadi seperti perempuan-perempuan tadi!” ucap Amon setelah menenggak minumannya.“Kami tidak—tidak akan pernah begitu!” Kinan membantah.“Hampir. Kalau aku tidak datang saat itu!” tambah Amon seakan tengah mengingatkan jasanya pada Kinan.“Kau!” Kinan berteriak tertahan, tapi Amon sudah mendelik dan Kinan merasa mata Amon seperti ancaman. Pemuda itu sedang tidak ingin beradu argumen dan bertukar kata-kata kecaman dengan Kinan, pikirannya sedang penuh oleh penampakan orang tua yang tadi ditemuinya dipasar dan meramalkan dirinya dan Limey. Jauh dalam ingatannya dia samar-samar mengingat tentang sebuah kisah seorang peramal sakti, namun itu kisah yang didengarnya waktu kecil.“L, kau urus di sini, dan kau bocah, tutup mulutmu. Aku akan pergi keluar sebentar!” Amon segera bergegas keluar kamar. Kinan dan Limey memandang. Kinan merasa kesal, ditendangnya dipan hingga kakinya terasa sakit.“Brengsek!!!” teriaknya, “Kenapa kita harus ketemu orang menyebalkan seperti itu!!!”Limey duduk di satu bangku, diam dan berpikir sejenak. Kinan menjadi gelisah, tangannya terkepal-kepal marah.“AAAAAARG!” Kinan berteriak dan membanting dirinya di atas dipan. Terbayang di matanya semua kejadian lima hari yang lalu.**Kinan meneliti kunci yang diterimanya tadi dari orang tua yang ditolongnya. Sebenarnya itu bukan sesuatu yang serius, namun sempat juga jadi pikirannya. Sebelumnya seorang tua hampir saja tertabrak mobil, namun dengan kesigapan Kinan, gadis itu berhasil menyelamatkan satu nyawa. Pak tua yang ditolongnya mengucapkan terimakasih, lalu kemudian memberikannya sebuah kunci.Dengan perasaan heran, Kinan pun menerima kunci tersebut, kunci tua yang lusuh. Namun gadis itu tidak sampai hati menolak pemberian bapak tua itu yang sepertinya memaksa Kinan untuk menerima kunci itu. dengan ramah Kinan menerimanya, walau dia sendiri bingung untuk apa benda itu.Pak tua itu tampak lega telah memberikan kunci tersebut pada Kinan. Lalu dengan suara bergetar berkata, “Gunakan ketika kamu sangat membutuhkannya untuk membuka tempat yang terkunci. Kunci itu akan menolongmu.” Pesan pak tua itu sebelum pergi.Kinan memandang Limey yang ada di dekatnya, adiknya tersebut tersenyum lalu berkata, “simpan saja, siapa tahu benar benar berguna pada suatu saat.”Kini, Kinan memikirkan kembali kunci aneh yang panjang dengan ujung berbentuk bulat, kunci yang biasa saja, dan bodohnya lagi, kok dia mau menerima kunci seperti itu. Limey memandang Kinan yang sibuk membolak-balik kunci tersebut di tangannya.“Kenapa Kak?” tanya Limey.“Ini Cuma kunci biasa, kenapa juga tadi diterima ya?” tanya Kinan sambil memandang Limey.“Coba lihat.”Kinan menyerahkan kunci tersebut pada Limey, dan kini Limey yang memandangnya dengan seksama. Kunci berbentuk panjang, dengan gerigi di sisinya. Panjang kunci itu persis jari telunjuk, dengan bulat di atasnya yang hanya terisi lobang kecil yang bahkan tidak bisa disangkutkan gantungan. Warna kunci itu lebih menarik lagi, sisi satu berwarna perak dan sisi lainnya kuning emas.“Nggak ada yang aneh kan. Cuma kunci biasa. Tapi warnanya memang agak menyolok. Belum pernah ada kunci warna selang-seling begitu, tapi idih, bisa-bisanya aku dibohongi pak tua itu,” sungut Kinan penuh sesal.“Memang orang tua itu bilang apa?”“Dia bilang kunci ini bisa membuka pintu yang terkunci, kayak kunci all you can take. Akkkh, kenapa aku percaya begitu saja ya!!” Kinan mengacak-acak rambutnya sendiri yang pendek sebahu, “mana ada yang begituan!” celetuk Kinan sambil terus mengepal-ngepalkan jari-jemarinya.“Ya, begitulah kakak…” ucap Limey sambil menghembuskan napasnya.“Padahal pak tua itu kan enggak musti bohong. Aku kan nolong dia iklas, eh dia malah ngasih kunci ini. Semula kupikir emang bentuknya sedikit aneh, tapi pas dilihat-lihat ternyata biasa-biasa saja.”Limey menyerahkan kunci itu kembali pada Kinan, Kinan memandangnya lalu bersiap untuk membuangnya, tapi mendadak Limey mencegah, “Jangan Kak. Pak tua itu sudah ngasih barang itu, siapa tahu berguna, siapa tahu seperti yang dia katakan. Kalau begitu, pasti seru.” Alis Limey bergerak seperti menggoda.“Berguna. Iya, kali bisa membobol bank…” ucap Kinan sambil mengedip jahil pada Limey lalu menurunkan tangannya yang sudah bersiap melempar. Kemudian dimasukkannya kunci tersebut ke dalam saku celana panjangnya.“Jadi belanjanya?” tanya Limey lagi.“Terserah, Kalau jadi oke, enggak juga enggak apa-apa.”“Ya udah, jadi aja. Kita ke supermarket sebentar ya,” ajak Limey sambil menunjuk satu gedung besar di depan mereka.“Teh kotak, coklat trus apalagi ya…” Kinan sibuk memilih-milih snack dan memasukkannya ke dalam keranjang, “Mey, kamu mau beli apa?”“Kita nanti ketempat buah-buahan Kan Kak? aku mau beli anggur. Aduh, kakak dari tadi masukinnya cemilan melulu, gendut nanti!” cetus Limey ketika melihat betapa belanjaan mereka didominasi makanan kecil pilihan Kinan.“Ah, iya. Kamu kan suka anggur. Yok, sekarang aja, sekalian di kilo.” Kinan segera meraih lengan Limey dan menariknya menuju tempat buah-buahan, sepertinya tidak terlalu ambil pusing dengan komentar Limey yang sakartis.Ketika kedua anak itu sibuk memilih-milih anggur yang hendak mereka kilo di mesin khusus, mendadak terdengar suara ledakan tidak jauh dari tempat mereka. Keduanya kaget, tempat itu mengguncang, seperti gempa. Lalu, api mendadak menjilat-jilat pelataran supermarket tersebut. Suara-suara ribut mulai terdengar, bergegas orang-orang berlarian men
Limey menunjuk tangannya, “Belum yakin juga. tapi kita coba ke utara.”“Apa itu ke arah keluar? Bagaimana kamu tahu utara atau selatan?” tanya Kinan heran.Limey menghela napas, lalu berkata, “ Kita lihat sarang laba-laba saja.”“Kenapa dengan sarang laba-laba?”“Laba-laba suka membuat sarang menghadap selatan. Kita ambil arah sebaliknya.” Terang Limey kemudian.“Wow, aku baru tahu…” desis Kinan. Keduanya kemudian memandangi sekitar, mencari sarang laba-laba ditengah hutan dan rerumputan tinggi.Sekitar beberapa menit kemudian, mereka berhasil menemukan seekor laba-laba tengah berdiri dengan gagah ditengah sarang miliknya. Melihat hal tersebut, kemudian Kinan dan Limey mengambil arah sebaliknya dari arah sarang laba-laba itu.“Kamu yakin memilih utara, ad
Kinan merasa, kekuatannya tidak sanggup menyarangkan pukulan pada laki-laki berewok tersebut. Dan, tendangan terakhir dari laki-laki itu telak menghantam iga kiri Kinan, kontan tubuh Kinan terbanting ke samping sambil meringkuk kesakitan. Pukulan bagai beton raksasa tersebut memaksa Kinan terbaring dan melenguh kesakitan tanpa bisa kembali berdiri dengan benar.“Kak!!” Limey berlari memburu Kinan, memeriksa keadaan Kinan. Cidera dalam, agak memar, tapi tidak sampai pendarahan dalam.Berpikir….berpikir…segera berpikir! Limey memacu kerja otaknya, memikirkan cara agar lolos dari mulut buaya. Tapi, dengan keadaan Kinan yang terbaring tidak berdaya di tanah, Limey sudah tidak tahu lagi mesti bagaimana. Kini si brewok tersebut menghampiri Kinan yang masih meringkuk dan berusaha berdiri, tapi dengan kejam laki-laki itu menendang Kinan hingga jatuh tersungkur dan pingsan. Limey ingin menjerit, tapi matanya awas melihat 2 o
“Hei—di dunia ini tidak ada yang gratis, Nona… lima ribu ditambah dua ribu, jadi tujuh ribu Zeni. Aku ingin uang kontan! Bagaimana?” jawab Amon masih tidak bergerak di tempat. Limey tidak sanggup lagi menahan Kinan yang terlihat kepayahan dengan napas menderu, Limey mengangguk, “Baik, aku bayar. Tapi tolong kakakku….” “Nah, begitu!!” seru Amon berseri yang langsung memegang tubuh Kinan yang hampir ambruk karena tidak kuat berdiri. “Dudukkan dia!” ucap Amon yang segera dipatuhi Limey. Kinan di dudukkan dan disandarkan pada sebatang pohon. Amon memeriksa luka Kinan dan terutama kakinya yang bengkak, biru dan patah. Beberapa saat kemudian meraba kaki Kinan dan menariknya sehingga Kinan menjerit. Terdengar bunyi krak! Amon mengangguk. “Tulangnya sudah tersambung lagi. tinggal pendarahan dalam saja. Dengan obat, memarnya akan hilang beberapa hari. Tapi….” Amon memeriksa nadi
Limey tersenyum, “Saya tahu, maka itu saya akan membayarnya dengan sesuatu yang jauh lebih menguntungkan buat anda?” tawar gadis bermata biru itu. Amon tersenyum, agak mengejek, “Apa? kamu akan membayar dengan tubuhmu?” tanya Amon setengah mengejek. “Kau!!” Kinan hampir berdiri, tapi Limey yang ada di dekatnya mencegah dengan gerakan tangannya. “Jangan halangi aku Mei, dia sudah bicara kurang ajar sama kamu!!” “KAK!” mendadak Limey menyebut kata kakak yang membuat gerakan Kinan lagi-lagi terkunci. “tapi Mei….” Limey mengeleng, “Tenang…..” ucapnya perlahan. Amon memperhatian hal tersebut, tersenyum. Hebat juga, pikir Amon. Ketenangan Limey ketika diejek tidak menghilangkan kewarasan otaknya. Amon semakin tertarik dengan kedua bersaudari tersebut. “Memangnya kau mau membayarku dengan apa?” tanya Amon lagi dengan angkuh.
“Salah satu pulau di wilayah sini.” Jawab Kinan segera. Mendadak Amon menghentikan lagi langkahnya, dan kemudian memutar tubuhnya kembali menghadap ke arah dua saudara tersebut, matanya menyipit tidak suka. “Kamu anggap aku bodoh ya? Mau coba-coba berbohong padaku!” Amon mendelik, “sekedar pemberitahuan, itu—“ tunjuk Amon pada mata Limey, Limey mengerutkan keningnya, bingung. “Memangnya ada manusia yang punya mata berwarna seperti itu? Apa kalian monster, atau jangan-jangan penghuni hutan ini?” Kinan tidak suka sebutan terakhir yang diucapkan Amon, dia merasa sebutan itu seakan mengejek tentang Limey. Limey menghela napas, “Apa benar tidak pernah ada orang yang bermata sepertiku?” tanyanya dengan heran. “Begitulah…” Limey melirik ke arah Kinan sekilas, lalu tersenyum simpul, “Mungkin tuan benar, saya adalah siluman yang tersesat di hutan ini.” &n
“Itu masalahnya…” Limey menghela napas, “Karena itu, kita tidak bisa pulang, kak.” Kinan sekali lagi mengacak rambutnya, “AAARG, tahu begitu tadi harusnya aku ambil lagi kuncinya!!!” Limey tersenyum, merasa geli melihat gaya kesal Kinan. “Tapi itu nggak mungkin kak. Mana kita sempat kepikiran akan seperti ini jadinya. Aku malah sempat berpikir akan mati kebakar.” “Sialan! Kalau saja enggak ada kebakaran itu?! kalau aja nggak ada ledakan brengsek itu, kita pasti udah senang-senang!!!” Kinan segera bangkit, mengepal tangannya dengan emosi. Mendadak pintu menjeblak terbuka. Amon masuk dengan tampang senang. “Kita ada kerjaan!” seru Amon. “Kerjaan?” Limey bertanya heran. “Ya, kerjaan, dan latihan buatmu bocah!” “Jangan panggil aku bocah!!” Amon mendekat ke arah Kinan, lalu mengacak-a
“Kenapa Tuan mengajarkan ilmu berbahaya itu?” Amon berdiri, “Dengar L, Dengan kemampuan kakakmu, butuh setengah tahun hanya untuk menguasai imdok level pertama. Kita tidak punya waktu untuk menunggu selama itu, kita akan berburu uang.” “Tuan tidak perlu menyuruhnya untuk ikut kan?” Amon tersenyum, “Salah..ini akan jadi latihan yang baik untuk bocah itu!” Limey hendak berbicara lagi, tapi tangan Amon sudah mengulur mencegah, “dengar L, aku masih ingat perjanjian kita. aku akan menjadikan bocah itu muridku, seperti yang kamu minta. Aku gurunya, aku tahu yang terbaik!” lalu Amon segera mengambil pedang buntungnya, memandang ke arah Limey yang masih memandangnya dengan mata seperti memohon. Pemuda itu mendesah, rasanya semakin merepotkan membawa perempuan dalam hidupnya. Lalu, dengan bersikap cuek, Amon pun pergi keluar. Di depan pintu Amon bertemu Kinan yang baru selesai mandi dan hendak naik ke atas, tangan Amon langsung meraih lengan Kinan. Kin