Ejekan Asoka sekali lagi membuat Setya semakin marah. Pria berkuncir itu meminta parang milik Jalu dan Jalu pun melemparnya dari jauh.Kini, Setya menggunakan dua parang besar, sementara Asoka hanya pedang kecil dengan gagang berpendar putih keabu-abuan.“Bagus. Dia semakin marah. Aku bisa memulihkan energi sembari menghindari serangan si bodoh itu,” batin Asoka dalam hati.“Dalam hitungan detik, aku akan memenggal kepalamu, Bocah!”Setya mengubah kuda-kudanya. Dia menekuk kaki kanannya dan mendorong kaki kirinya ke belakang. “Putaran Parang Gerimis!”Asoka terkejut. Kaki kiri Setya ternyata digunakan sebagai tolakan agar dia bisa melesat cepat ke arah Asoka. Dua parang tersebut diputar dengan cepat dan membentuk baling-baling yang siap memotong apapun.“Tabrak dia, Soka!” Gatra berteriak kencang dalam tubuh Asoka. “Lari ke depan dan jatuhkan tubuhmu ke arah kiri.”Asoka menuruti permintaan Gatra. Dia berlari cepat seakan ingin menandingi putaran golok dari Setya. Semua yang ada di sa
Asoka sengaja memanggilnya bocah karena ngompol di celana. Dia terus bergerak mendekat dengan tatapan yang sudah lama tidak diperlihatkannya pada orang lain.Tatapan dewa kematian!Pemimpin perampok hutan gerimis celingukan mencari anak buahnya yang mungkin masih ada di sekitar markas. Begitu dia melihat mata Asoka, badannya seketika membatu karena takut.“Percuma saja kau minta bantuan! Mulutmu sudah terkunci. Suara apapun mustahil keluar dari mulutmu. Jangan harap kau bisa lolos dari kematianmu!”Asoka tidak ingin berlama membiarkan sosok iblis berbentuk manusia ini hidup. Meskipun harus membunuh satu orang, itu lebih baik dari pada meninggalkan ratusan korban karena kebiadaban perampok hutan gerimis.Dengan kecepatannya, Asoka secara mengejutkan berada di belakang Jalu. Dia mengambil pedangnya dan memegangnya dengan posisi terbalik.Sring!Satu kali sayatan pedang raksasa putih langsung memutus urat nadi Jalu. Tidak ada suara yang ditimbulkan. Sunyi, senyap, dan hening. Asoka sudah
Asoka terbangun dan mendapati dirinya di atas sebuah gerobak milik seseorang. Gerobak itu terparkir di sebuah dusun yang letaknya tidak diketahui Asoka. Kemarin malam dia terlalu capek dan perutnya belum terisi semenjak meninggalkan desa Pulungan, tempat tinggal Udin. Asoka beranjak keluar dan menanyakan pada lelaki yang sedang makan di kedai. “A-aku di mana, Paman?” “Rupanya kau sudah sadar, Kisanak. Kenalkan, namaku Mulyojoyo. Aku menemukanmu tertidur di pinggiran hutan gerimis.” “Terima kasih, Paman. Namaku Asoka.” Mulyo menyuruh Asoka duduk dan memesan makanan. Usai makan, si pemilik kedai meminta bayaran lebih kepada Mulyo dan tidak sesuai harga. “Bukannya ini semua hanya 11 keping perunggu? Kenapa aku disuruh membayar 20 keping?” Mulyo keheranan dan mencoba berdebat. “Karena kedaiku sepi, jadi harganya bisa berubah sewaktu-waktu. Berhubung kau pelanggan pertamaku hari ini, mungkin saja bisa jadi penglaris.” “Penglaris itu harusnya gratisan, bukan malah disuruh bayar!” Mul
Di sisi lain, Asoka bisa bernafas lega. Dia tidak lagi bingung untuk membagi-bagikan keping emas itu. Asal sudah menemukan orang yang cocok, dia yakin orang tersebut akan memegang amanatnya.Setelah agak jauh melangkah, dia baru sadar jika tidak tahu ke mana arah menuju gunung Arjuno. Terpaksa, dia kembali ke dusun dan bertanya kepada Mulyo.“Aduh!” Mulyo menepok jidatnya saat menyadari kekonyolan Asoka. “Udah tampan, baik hati, dermawan, tapi agak bodoh,” ujarnya lalu tertawa keras.Mulyo menunjuk arah Tenggara ke sebuah gunung di balik kabut. Asoka mengangguk. Dia berpamitan kepada Mulyo dan tersenyum tipis.Di tengah jalan, dia bertemu dengan seorang kakek tua membawa kereta kencana.“Kakek ingin pergi ke arah Tenggara,” tanya Asoka polos.Kakek penunggang kereta kuda berwajah polos. Tatapan matanya kosong dan wajahnya sangat pucat. Terlebih, bibir kakek itu sudah mulai membiru seperti mayat hidup.Asoka tidak menaruh curiga apapun padanya. Dia terus bertanya sampai tiga kali. Kake
Tidurnya terganggu akibat bau busuk itu.Kalau kata orang-orang yang memiliki mata batin kuat seperti Ki Langkir, bau busuk menandakan jika ada dedemit jahat ingin mengganggu kita. Dan yang paling penting, bau busuk adalah pertanda kalau dedemit atau setan belek itu sudah dekat.Sebaliknya, bau wangi seperti melati atau misk bisa jadi dua kemungkinan. Pertama, setan atau dedemit jahat yang posisinya masih jauh dengan manusia. Dan kedua, mereka berniat baik tapi tidak berani menampakkan diri.Sekuat mungkin Asoka mencoba untuk cuek, tapi bau itu terus membuatnya tidak nyaman. Terpaksa, dia buka tirai kehijauan di sampingnya tanpa permisi.“Huaaa,” teriaknya sangat keras saat mendapati ada sosok wanita yang tertidur.“Kenapa aku harus satu kereta dengan wanita secantik ini!”Keterkejutan Asoka membuat perempuan tersebut bangun. Dia tersenyum sinis, tapi tidak menunjukkan giginya. Asoka dibuat berdesir saat pandangan pertama, tapi tidak dengan Gatra.Gagak dalam tubuh Asoka tidak mimisan
“Kamu kenapa, Nak?” tanya lelaki setengah baya setelah Asoka membuka mata. Wajahnya was-was, dia prihatin terhadap kondisi Asoka yang sekarang, bagai orang linglung.Asoka hanya termenung. Pikirannya masih kacau balau. Kesadarannya juga belum sepenuhnya pulih. Sedari tadi, matanya tidak berhenti membelalak menatap ke depan.Pemuda berkuncir masih ingat betul bagaimana dia bisa duduk di kursi yang dikusiri oleh seorang siluman. Bau anyirnya masih terasa, tapi sebisa mungkin Asoka menghilangkan pikiran buruknya tentang itu.Bahkan, saat disapa lelaki paruh baya itu, Asoka seolah tidak sadar dia berhasil selamat dari kusir siluman dan pindah ke dunia nyata.Lelaki tersebut khawatir dan membopong Asoka ke pemukimannya.“Tolong... ada pemuda pingsan di tengah hutan!”Salah seorang warga melihat lurah mereka berlari membawa seorang lelaki dari atas gunung. Sontak, dia memukul kentongan dengan nada dua dua menandakan ada berita besar di desa.Di sana, para warga sudah berkumpul menunggu. Sep
“Aku juga merasa demikian, Mbok. Tapi aku belum bertanya ke mana tujuannya setelah ini.” Laki-laki paruh baya coba menjelaskan kepada Mbok Walijah yang dianggap sebagai sesepuh penghuni desa kecil sekitar Alas Lali Jiwo.Bisa dibilang, dia adalah juru kunci yang siap sedia membantu mereka yang diganggu oleh siluman penghuni alas.“Coba ajak dia bicara dan ceritakan sedikit tentang Alas Lali Jiwo. Kalaupun tujuannya memang ke puncak Arjuno, beritahu dia pantangan setiap pendaki yang ingin naik ke sana.”“Baik, Mbok.” Ando mengangguk dan pamit untuk menemui Asoka.“Tunggu, Ando,” lirih Mbok Walijan. Wajahnya seperti ragu dan khawatir.“Tiga hari lagi merupakan malam satu suro. Para dedemit dari seluruh penjuru akan berkumpul dan membuat perayaan besar. Yang pasti, akan ada seorang lelaki yang menjadi tumbal ‘ngunduh mantu’ mereka.”Ando mengangguk dan tidak berani bertanya lebih lanjut. Di pikirannya, dia masih bertanya-tanya tentang maksud dari kata mereka. Mereka siapa? Para penunggu
Pagi menyongsong. Asoka membantu Lurah Ando untuk memanen padi. Setelah itu, dia beristirahat di gubuk dan berkumpul dengan pemuda desa lain.“Bagaimana ceritanya kau bisa diculik oleh penunggu Alas Lali Jiwo?” Tanya seorang dengan perawakan lumayan besar.“Hanya keteledoranku. Untung ada Pak Lurah yang menolong.”“Wah bener itu, Soka. Coba saja tidak, kau pasti dijadikan mantu oleh raja siluman penunggu Alas Lali Jiwo.”“Maksudmu ngunduh mantu?” Tanya Asoka penasaran.“Benar. Apalagi lusa sudah masuk malam satu suro. Para dedemit akan mengadakan pesta pernikahan untuk putri raja. Jaga dirimu, putri raja siluman biasanya sangat cantik, lho!”“Halah, cantik tapi punya batang sama saja,” desis Asoka.“Gundulmu berbatang!”Sebenarnya tradisi ngunduh mantu sudah berlangsung lama dan sangat familiar di telinga orang Jawa pada umumnya. Semua paham jika malam satu suro adalah hari petaka. Oleh sebab itu, diadakan syukuran dan makan bersama.Tak lupa, sesajen dan suguhan tersebut diberikan ke