Share

Pembantaian Elang Hitam

“Sekarang musim hujan ya, Pak? Asoka ingin hujan-hujan, tapi Asoka harus pergi dari sini. Asoka sedih harus pisah sama Bapak saat hujan seperti ini.”

Yang di atas memanglah hujan, tapi bukan hujan biasa. Ratusan anak panah melesat bagai air hujan. Darmono yang mengetahui hal tersebut, langsung melingkarkan tubuhnya ke tubuh anaknya.

Crat!

Darah mengucur begitu sebuah anak panah menusuk punggung Darmono hingga tembus sampai ke perut. Ada cairan hijau di ujung panah, menandakan panah ini sudah dilumuri racun mematikan.

“Pergilah temui ibumu!” kata Darmono, suaranya semakin lemah. “Bapak sudah tidak kuat lagi. Hanya ini yang bisa Bapak lakukan untuk melindungimu. Pengorbanan Bapak jangan kau sia-siakan, Asoka!”

“Tapi Bapak dulu pernah bilang ingin melihatku jadi pendekar sejati. Kenapa Bapak malah melukai diri seperti ini?”

“Nak, dengarkan Bapak! Kamu harus pergi sekarang. Temui ibumu dan peluk dia sampai puas! Bapak tidak bisa bergerak lagi. Racun panah ini terlalu kuat. Kaki dan tangan Bapak sudah mati rasa. Cepat pergi ke rumah dan ajak ibumu pergi!”

Asoka berbalik badan dan lari menuju ujung desa. Tangis mengiringi langkah kakinya meninggalkan Darmono yang terduduk lesu. Belasan anak panah beracun menembus tubuh lelaki paruh baya itu. Padahal dia tidak ingin mati sebelum melihat anaknya menjadi pendekar sejati.

Tanpa memperdulikan bapaknya, Asoka terus berlari hingga sampai di perbatasan desa.

Desa Buncitan terbagi jadi dua wilayah. Selatan tempat khusus untuk bekerja dan Utara adalah rumah sebenarnya. Bila ada penyerangan, maka musuh harus melewati gerbang Selatan untuk mencapai rumah-rumah warga.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Darmono menatap punggung anaknya yang semakin menjauh. Tubuhnya semakin lemas dan kaku, bahkan rongga mulutnya terasa seperti dicekik dua orang sekaligus. Pandangannya gelap. Dia mati.

“Kenapa jembatan penyeberangannya roboh?” Asoka berbicara dengan dirinya sendiri. “Padahal tadi pagi jembatan ini masih berdiri kokoh.”

“Ada apa di sana?” Asoka terkejut saat mendengar tebaran debu dari balik bukit Selatan. “Oh Dewata, aku mohon, lindungi desaku. Jika memang ini takdirnya, setidaknya beri aku kesempatan melihat ibu untuk yang terakhi kalinya.”

Asoka berenang melewati sungai yang alirannya lumayan deras. Dari balik hutan, dia mendengar suara derapan kaki. Puluhan orang bergerak jauh lebih cepat dari Asoka.

Hal yang tidak pernah terduga sebelumnya terjadi. Desa bagian Selatan dikepung oleh puluhan pendekar dengan ikat kepala hitam. Mereka membabi-buta, membunuh tiap warga tanpa belas kasihan.

Pertempuran tidak bisa dielakkan. Darah bertebaran di mana-mana. Suara tangisan rasa sakit seringkali bersahutan dengan suara tawa yang menyeringai.

Saat tengah berlari menuju rumahnya, leher Asoka diincar oleh seorang pemanah. Panah itu melesat sangat kencang. Asoka berhasil menghindari panah itu, tapi seorang lelaki mencegatnya.

“Mau lari ke mana kau, Bocah? Ketua kami menginginkan nyawamu. Jika kami berhasil mendapatkan kepalamu, perguruan kami akan diakui oleh Serikat Zhang Ze,” kata lelaki itu.

Asoka dua kali menghindari ayunan pedang dan berhasil menendang titik sensitif sang lelaki hingga merintih kesakitan. Asoka tidak membuang kesempatan. Dia menggigit lengan lelaki itu hingga berdarah.

Satu pendekar lain marah melihat rekannya dilukai. Dia lari ke arah Asoka lalu mengayunkan pedangnya dengan sangat cepat.

Trang!

Sebelum pedang itu menebas punggung Asoka, seorang lelaki paruh baya berjenggot putih datang menangkisnya. Dia adalah Manan, tetangga sebelah rumah Asoka.

“Pulanglah dan segera temui ibumu!” kata Manan.

“Ta-tapi…”

“Tidak ada tapi! Ibumu sudah menunggu di rumah. Cepat temui dia dan dengarkan pesan-pesan terakhirnya! Sudah tidak ada waktu untuk berkata tapi, semua pendekar Elang Hitam sedang mengincar nyawamu!”

“Ba-baik, aku akan pergi. Terima kasih, Paman.”

Asoka lari hingga sampai di ujung desa, dekat gerbang Utara yang berbatasan langsung dengan hutan berantara.

Saat pintu dibuka, Asoka menyaksikan ibunya disiksa hingga berdarah-darah. Patmi, ibu Asoka, ditidurkan di atas ranjang dengan tangan dan kaki terikat. Bayangkan ketika anak 13 tahun melihat ibunya sendiri dikuliti oleh 3 orang lelaki tepat di depan mata!

Ketiganya tertawa saat mendengar rintihan Patmi. Bukan rintihan nikmat, tapi rintihan rasa sakit karena mereka menyiksanya dengan sangat brutal. Patmi tidak bisa melawan keberingasan orang-orang itu.

Kletak!

Patmi sadar ada yang membuka pintu. Dia menoleh dan melihat Asoka mengintip dari celah kecil pintu rumahnya. Melihat anaknya menangis, Patmi langsung tersenyum dan menghentikan tangisannya.

“Cepat pergi dari sini, jangan pedulikan ibu!” Patmi menggerakkan mulutnya dan berujar tanpa suara.

Asoka tidak peduli. Dia membuka pintu lebar-lebar hingga tiga lelaki tadi menoleh ke arahnya. Seorang lelaki dengan ikat kepala putih mendekati Asoka.

“Ibumu sangat cantik, apa kau tidak mau jadi anak angkatku?” tanya Bono, pemimpin regu B yang menyerbu desa bagian Utara.

“TIDAK!” Teriakan Asoka membuat kayu-kayu gubuk itu retak. Getarannya sangat kuat hingga langit pun bergetar mendengarnya. “Aku tidak sudi menjadikanmu bapak!”

“Yaa terserah, itu pilihanmu. Jika kau tidak mau, maka ibumu akan kusiksa seperti ini!”

Kengerian itu dipertontonkan Bono tepat di depan mata Asoka. Asoka melihat sendiri seberapa bengisnya Bono, memperlakukan Patmi seperti boneka yang bisa dimainkan sepuasanya.

“Cepat pergi!” Patmi membentak Asoka.

“Tidak, Ibu, aku harus menyelamatkanmu dari penderitaan ini. Aku akan menolong warga desa. Aku akan menolong semua orang baik di dunia ini!”

“Hahahaha…”

Tiga pendekar Elang Hitam tertawa terbahak-bahak. Bagaimana mungkin seorang bocah bisa mengalahkan pendekar Elang Hitam yang rata-rata sudah berada di tingkatan pendekar langit.

“Tidak ada waktu lagi!”

“Jangan bicara!’ Bono menampar pipi Patmi sangat keras.

“Apa? Kau ingin membunuhku? Lakukan selagi kau bisa melakukannya! Tapi jangan salahkan aku jika anakku nanti yang akan membalasnya!”

Bono melirik Patmi dengan tatapan sinis.

Juih!

Patmi meludahi wajah Bono dan membuat Bono naik pitam. Pisau dikeluarkan Bono untuk menikam perut Patmi tiga kali.

“Cepat pergi, Nak, ibu selalu mendoakanmu!” ujar Patmi.

“Mau mati saja masih berisik!”

“Bu-bunuh aku, cepat!”

“Baiklah jika itu yang kau inginkan.” Bono mencabut pisaunya dan menusukkannya ke leher Patmi. “Lebih baik kau mati dari pada suaramu mengganggu kesenangan kami bertiga!”

Asoka lari terbirit-birit melewati gerbang Utara desa. Dia mencari parit yang pernah ditunjukkan bapaknya dulu. Tapi sayang, parit itu sudah tertutup semak dan rerumputan tinggi.

Di belakang, Bono dan dua kawannya mengejar Asoka dengan pedang terhunus.

Berlari dengan pandangan kosong, Asoka tidak tahu harus bagaimana. Dia tidak peduli apapun, bahkan tidak merasakan sakit saat duri dan ilalang menggores kakinya.

“Jangan kabur atau kubunuh kau!” teriak Bono.

Asoka terus berlari hingga dia menginjak dedaunan kering yang ada di samping daun beringin. Itu adalah beringin terbesar yang sudah hidup 200 tahun lalu. Asoka tiba-tiba hilang dan hanya tersisa…

Aaaaaaaa!

Bocah itu jatuh ke dalam parit yang sangat dalam.

Konon, parit itu dibuat untuk menjebak penyusup yang ingin menerobos masuk melalui gerbang Utara desa. Tidak ada jaminan hidup bagi siapapun yang jatuh ke dalamnya.

“Mungkin bocah itu sudah mati karena jatuh dari lubang setinggi ini,” lirih Bono.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status