Share

Telinga Persembahan

Fajar menyongsong. Hujan turun dengan derasnya. Air hujan menyapu bersih darah yang berserakan di desa Buncitan, mengalirkannya lewat parit misterius di dekat pohon beringin.

Asoka terbangun saat genangan air mengelilingi tubuhnya. Dia membuka mulutnya lebar-lebar demi bisa mengais serpihan air hujan. Kepalanya terlampau pening. Tubuhnya terbaring di sebuah kubangan yang airnya berwarna cokelat kemerahan.

“Di mana ini?” tanyanya kebingungan.

“Apa aku sudah mati? Apa sudah waktuku menyusul bapak dan ibu ke alam baka? Jika memang begitu, aku bisa bersyukur. Aku mati tanpa rasa sakit. Tulang-tulangku juga tidak ada yang bermasalah.”

“Tapi sebentar, ini bukan mimpi, ini nyata! Apa yang terjadi denganku?”

Bingung membuat Asoka mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hutan belantara. Tidak ada rumah ataupun jejak kaki yang nampak. Asoka sadar dia masih hidup walau badannya penuh dengan luka. Saat menoleh ke belakang, dia terkejut bukan main.

Lubang setinggi satu hasta seperti ingin melahap Asoka hidup-hidup.

Kala matahari perlahan naik, Asoka mendengar derap langkah kaki yang menginjak dedaunan kering di sisi kirinya. Jaraknya lumayan jauh, tapi Asoka bisa merasakan kehadiran tiga orang di sini.

Ingin sekali Asoka berteriak minta tolong, tapi dia teringat pembantaian yang dilakukan Elang Hitam malam kemarin.

Bermodal satu pisau yang dililitkan di celana belakang, Asoka mulai masuk menjelajahi hutan. Namun baru beberapa langkah dia berjalan, terasa hembusan nafas yang membuat bulu kuduk lehernya berdiri.

“Mau pergi ke mana kau? Aku bisa merasakan nafasmu. Sejauh apapun kau bersembunyi, sejauh apapun kau menghindari kami, kami tetap bisa menemukanmu!”

Asoka memberanikan diri untuk menoleh. Seorang lelaki jangkung berdiri dengan pedang siap diayunkan. Tanpa basa-basi, Asoka menusukkan pisau tumpulnya ke pinggang lelaki itu.

Ugh!

Pria jangkung melepas cengkeramannya di leher Asoka setelah pisau tumpul itu menusuk pinggang kanannya. Darah mengalir deras walaupun pisaunya tidak begitu lancip.

Memanfaatkan kesempatan yang ada, Asoka lari menjauhi si pria jangkung yang ternyata adalah Bono.

“Jangan kabur kau, Bocah! Aku akan membunuhmu!” Bono berteriak. “Cepat kejar bocah itu, jangan biarkan dia lolos!”

Saat tengah berlari menyusuri hutan, sebilah pisau melayang dan menancap di pohon pisang. Jika saja Asoka tidak menghentikan langkahnya, pisau itu bisa membelah kepalanya.

“Bukankah sudah kubilang, kau tidak bisa kabur dariku? Penciuman pendekar tingkat langit tidak bisa diremehkan. Aku memang tidak ahli dalam ilmu berpedang atau jurus-jurus seperti pendekar pada umumnya. Tapi penciuman ini yang jadi andalanku dalam bertarung!”

Setelah memuji dirinya sendiri, Bono bergerak mendekati Asoka. “Aku akan menyiksamu lebih dulu. Kau tidak boleh mati sebelum merasakan rasa sakit yang amat pedih!”

Asoka hanya bisa diam dan membatin. ‘Ibu, Bapak, maafkan aku. Asoka tidak bisa memenuhi keinginan kalian untuk jadi pendekar sejati.’

Doa dan harapan belum selesai dibatinkan, tapi tiba-tiba terdengar suara auman harimau dari sisi kiri.

Bono memanggil dua anak buahnya. Tiga kali memanggil, tetap tidak ada jawaban. Bono semakin yakin anak buahnya mati diterkam dua harimau yang mengaum-ngaum itu.

Semak-semak di bagian kiri bergetar. Tiga muka harimau muncul dari balik sana. Ketiganya mengincar Bono karena Asoka melakukan kamuflase, seakan-akan Asoka tidak ingin mengusik harimau itu.

Pedang lancip tentu menarik perhatian sang harimau. Mereka mengeluarkan cakar-cakar tajam, bergantian melompat ke arah Bono.

Jleb!

Jleb!

Bono berhasil melumpuhkan dua ekor harimau.

Melihat ada kesempatan, Asoka memaksakan diri menerobos ilalang tinggi yang ada di sisi kanan. Lengannya berdarah tersayat ilalang, tapi dia bersyukur. Dia berhasil kabur dari kematian.

“Hahaha… kau tidak bisa kabur, Bocah!” suara Bono tiba-tiba terdengar padahal Asoka sudah lari secepat mungkin. “Jangan kira tiga harimau tadi bisa membunuhku!”

Pisau tumpul di tangan Bono berlumuran darah. Pisau itu digunakan untuk menikam harimau terakhir. Dan sekarang, Bono ingin menggunakannya untuk menguliti Asoka, menyiksanya sampai bocah itu mati mengenaskan.

Asoka bergetar. Dia ketakutan, berjalan mundur dengan langkah gontai. Saat pisau itu diayunkan, Asoka reflek memejamkan mata.

Ting!

Bunyi gesekan dua besi terdengar nyaring di telinga.

Asoka masih belum membuka matanya. Dia terlampau takut hingga pikirannya kacau. Dia terus membatin, apakah aku sudah mati? Tapi kenapa tidak ada rasa sakit?

Membuka mata karena penasaran, Asoka melihat pisau bermata dua beradu tepat di depan matnaya. Telat sepersekian detik saja, pisau tumpul tadi sudah menyayat pipi Asoka yang masih mulus.

Seorang kakek tua berjenggot abu-abu datang menolong Asoka.

“Berita tentang perburuan anak dalam ramalan ternyata benar. Aku tidak menyangka Serikat Zhang Ze akan menyuruh Wusasena melakukan pembantaian ini. Yang lebih parah, kalian membantai semua orang demi membunuh seorang bocah?”

“Perguruan Elang Hitam terkanal buas akan kekuatan murid-muridnya, terkenal kuat dan tak tertandingi di pulau ini. Tapi tingkahnya sungguh memalukan!” Kakek itu mendorong tubuh Bono hingga dia hampir jatuh.

Bono mundur beberapa langkah dan berhasil menyeimbangkan tubuhnya lagi. “Ka-kau kan… kenapa kau ada di sini?” ujar Bono dengan mulut gemetar.

“Hahaha, ini adalah kebetulan yang sudah dirancang Dewata, kau dan aku tidak bisa mencegahnya. Aura bocah ini sangat kuat sampai-sampai aku bisa merasakannya dari tempat yang sangat jauh.” Kakek tua itu terkekeh ringan. “Silakan, kau boleh pergi!”

Asoka melihat kakek tua itu maju beberapa langkah. Dia memotong telinga kanan Bono dan Bono tidak memberikan perlawanan sedikitpun. “Persembahkan ini pada ketuamu! Katakan padanya, Seno Aji masih hidup dan melindungi sang anak dalam ramalan!”

“Mustahil. Aku pasti mati kehabisan darah,” kata Bono.

“Lihat telingamu, hanya sedikit darah yang mengalir dari sana! Aku mengalirkan energi alam di pedang ini. Karena itulah, darahmu tidak akan mengucur sebelum kau sampai di perguruan.”

“Tapi kenapa tidak ada rasa sakit?”

“Baiklah, ini rasa sakitnya,” kata Seno Aji sambil menjetikkan jemarinya.

Teriakan rasa sakit terdengar nyaring. Asoka tidak mau menyiakan kesempatan. Dia kabur karena takut dengan keberingasan si kakek. Namun langkah kakinya terlalu lambat. Telunjuk sang kakek lebih cepat menyentuh leher Asoka.

Bocah itu tiba-tiba pingsan.

***

Asoka merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tangan dan kakinya tidak bisa digerakkan. Efek dari totokan si kakek tua membuatnya lumpuh. Ingin rasanya dia bunuh diri dan segera menyusul orang tuanya ke alam baka.

Terdengar suara langkah kaki dari balik air terjun. Sang kakek keluar sembari menyunggingkan senyum,

“Siapa kau!” Asoka membentak kakek tua itu. “Jika kau ingin membunuhku, maka lakukanlah! Jangan siksa aku seperti ini!”

Kakek tua itu tidak bergeming. Dia tetap duduk sambil mengelus-elus jenggot abuabunya. Di tangannya terdapat sebuah pedang kecil berukuran telunjuk manusia.

“Cepat bunuh aku, Kek! Gunakan pedangmu untuk menggorok leherku! Biarkan semua dunia tahu kalau keluargaku ditakdirkan mati mengenaskan di tangan orang-orang aliran hitam!” Asoka berteriak hingga membuat air terjun di sampingnya bergetar.

Shaat!

Sang kakek mendekati Asoka sambil menggenggam pedang kecilnya erat-erat. Asoka hanya bisa melihat pedang itu berayun cepat ke lehernya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status