“Tidak! Ini tidak mungkin!”
Siang hari itu utusan istana datang membawa pesan dari medan peperangan. Surat yang baru saja dilihat oleh lelaki bertubuh besar dan berwajah tegas membuat mata yang tajam itu berkaca-kaca. Tubuhnya menjadi lemas dan tersungkur pasrah di atas kursi. “Ada apa, suamiku? Apa yang terjadi pada Zhang Fei?” Melihat ekspresi dari suaminya, Wu Huan yang adalah nyonya besar kediaman Jenderal Zhang Jin merasa khawatir dengan anaknya yang ada di medan pertempuran. “Istriku ... Zhang Fei, telah gugur di medan tempur.” Wu Huan yang tak bisa menahan kesedihannya malah jatuh pingsan saat mendengar anak sulung mereka meninggal di medan perang. Sedangkan Zhang Jin hanya menahan tangisnya di dalam hati, karena sejak awal dia telah tahu risiko menjadi seorang jenderal muda ada di antara ketenaran dan kematian. “Pelayan! Cepat panggilkan tabib dan bawa Nyonya ke kamarnya!” Berita tentang kematian jenderal muda Zhang Fei telah tersebar ke seluruh kerajaan. Semua pelayan yang ada di kediaman Jenderal besar turut merasakan kepergian sosok pemuda yang mereka segani. Dalam sekejap kediaman mereka telah dihiasi dengan hiasan putih yang menggantung. Altar untuk menyambut jenazah sang jenderal muda juga sudah dipersiapkan dengan mewah. “Istriku, kau sudah sadar?” Jenderal Zhang Jin yang sejak tadi menunggu Wu Huan sadar sedikit tenang melihat sang istri telah membuka matanya. Dia membantu Wu Huan untuk duduk bersandar di pinggiran tempat tidur. “Zhang Fei, anakku yang malang,” Wu Huan bergumam dengan tangisannya. “Istriku, Zhang Fei adalah anak yang berbakti, dia adalah pahlawan yang sebenarnya.” “Aku tidak percaya! Zhang Fei adalah pemuda yang berbakat, tidak mungkin dia meninggal di medan perang, benar kan, suamiku?” “Itu benar, istriku. Kaisar telah meminta kita untuk menjemputnya di gerbang kerajaan. Kita akan berangkat besok untuk menyambutnya.” “Ini semua salahmu! Aku sudah bilang padamu kalau anak-anak kita tidak boleh ke medan perang! Kau sudah membawa mereka menemui maut. Aku membencimu!” Wu Huan kembali menyalahkan Zhang Jin dalam tangisan. Sedangkan Zhang Jin hanya bisa menenangkannya dengan merangkul Wu Huan dan membiarkan tubuhnya kena beberapa pukulan. “Sekarang aku hanya punya satu putra, kau jangan memaksanya lagi mengikuti keinginanmu!” “Ia-ia, aku menuruti kehendakmu sekarang.” “Di mana dia? Di mana Zhang Yuan?” “Kau tahu sendiri anak itu. Kau yang memanjakannya.” “Zhang Jin, sekarang yang tersisa hanya Zhang Yuan. Kau jangan memaksanya.” “Ia-ia, aku tahu. Tenangkan dirimu dan beristirahatlah.” Keesokan harinya jalanan kerajaan Song dipenuhi dengan prajurit-prajurit yang baru saja pulang dari medan peperangan. Di depan barisan itu terdapat kereta dorong yang memuat peti berisikan mayat dari Zhang Fei. Zhang Jin yang dikagumi dengan jenderal perkasa yang membunuh semua musuh tanpa belas kasihan kini meratapi tubuh anaknya yang sudah tak bernyawa. Isak tangis terdengar di dalam kediaman. Menurut laporan dari medan perang, Zhang Fei di bunuh oleh anak panah yang mengenai tepat ke jantungnya. Meski hal itu mustahil bagi Zhang Jin karena Zhang Fei sangat pandai dalam menghindar tapi dia hanya bisa pasrah melihat kenyataan yang sebenarnya. “Fei’er ... Fei’er ....” Wu Huan terisak, duduk di depan peti mati anaknya dengan pakaian putih dan kain penutup kepala sebagai simbol kedukaan. Di luar kediaman seorang lelaki tampan yang penampilannya acak-acakan berjalan terkatung-katung memasuki gerbang kediaman. “Oh tidak! Apa aku salah masuk kediaman?” gumamnya sambil melihat pemandangan hiasan putih yang bergelantungan di pintu gerbang. Lelaki itu mundur kembali dan menengok ke atas untuk melihat papan nama kediaman. “Ini benar rumahku. Ha ha ha ... mereka menyambut kepulanganku dengan kemegahan!” ucapnya lagi dengan senyuman mabuk. Dalam pengaruh alkohol dia berjalan memasuki kediaman itu. Tampak dari jauh dia melihat sebuah peti, tapi pikirannya sama sekali tidak sadar akan apa yang terjadi di dalam rumah. “Aku pulang!” teriaknya dengan lantang hingga membuat Zhang Jin berbalik dan menatapnya tajam. “Kenapa kalian menyambutku dengan tangisan? Ibu ayolah anakmu ini pulang dengan selamat, bukankah kau harus bahagia menyambutku?” Zhang Jin geram mendengar perkataan yang dilontarkan oleh pemuda yang mabuk itu. Dia berdiri dengan wajah dingin dan memelototi lelaki yang tak punya sopan santun. “Aku merindukanmu A—“ PLAK! Satu tamparan keras membuat lelaki itu nyaris terjatuh ke lantai. Semua orang yang melihat jenderal Zhang Jin yang murka menundukkan kepala dan tak mau ikut campur. “Apa kau sudah sadar!” bentak Zhang Jin dengan suara lantang. Kehadiran lelaki itu dalam suasana kedukaan adalah aib bagi keluarga mereka. Apalagi dia datang dengan keadaan mabuk dan tidak menghormati jenazah yang ada di hadapan mereka. “Ayah? Kenapa kau menamparku? Apa kau tak suka aku pulang ke rumah?” lelaki itu memelototi Zhang Jin dengan kesal karena satu tamparan keras yang telah membuat pipinya memerah. “Aku lebih baik kehilangan seorang anak yang tak bermoral sepertimu daripada harus kehilangan satu anak yang sangat berbakti bagiku dan kerajaan! Pergi kau!” Teriak Zhang Jin dengan suara murka yang bergema di dalam kediaman.
Zhang Yuan, anak kedua dari jenderal Zhang Jin sudah terkenal dengan kehidupan bebas dan santai. Dia bahkan tak peduli jika setiap hari harus berdebat dengan ayahnya karena hanya mabuk-mabukan. Keberanian ini dia dapatkan dari Wu Huan yang selalu menuruti keinginan dan membela setiap tindakkan salah yang dilakukan oleh Zhang Yuan. “Apa maksud Ayah?” Zhang Yuan menoleh lagi ke samping di mana papan roh yang bertuliskan nama jenderal muda Zhang Fei membuat matanya berkaca-kaca. Tamparan dari Zhang Jin sepertinya telah menyadarkan dia dari pengaruh alkohol. Sosok kakak yang selalu pulang dengan kemenangan peperangan kali ini hanya membawa tubuh tanpa jiwa. Zhang Yuan berjalan kaku. Dia tersungkur di samping Wu Huan yang sedang terisak menahan tangis. “Ibu ... apa dia benar kakakku?” Zhang Yuan menoleh ke samping dan menoleh lagi melihat kediamannya yang dipenuhi dengan suasana duk
“Ke barak militerku!” Zhang Yuan terperangah mendengar perkataan ayahnya. Hal yang paling dia tidak mau adalah pergi ke tempat membosankan yang hanya dihuni oleh semua pria dan tidak ada arak. “Tidak mau!” bantah Zhang Yuan membalikkan badannya. “Suamiku, tidak boleh!” sambung Wu Huan memegang lengan Zhang Jin dengan wajah memelas. “Keputusanku sudah bulat. Meski kau memohon tak ada gunanya.” Zhang Jin menatap lurus ke depan dengan wajah dingin. Keputusannya kali ini agar Zhang Yuan bisa mengubah seluruh perilakunya yang buruk. “Zhang Jin! Aku sudah kehilangan satu anakku, apa kau mau aku kehilangan anakku yang terakhir?” Wu Huan membentak dengan tangisannya yang mengingat bagaimana Zhang Fei meninggal di medan perang. “Zhang Jin, aku mohon. Jangan memaksa Zhang Yuan, dia tidak terbiasa dengan kehidupan yang keras seperti itu.”
“Aku setuju!” teriaknya sekeras mungkin untuk membuang rasa terpaksa. Tangan Zhang Yuan segera dilepaskan begitu dia telah setuju untuk ikut dengan ayahnya. Dengan wajah yang babak belur dia berjalan mengikuti Zhang Jin dan masuk ke dalam kereta. Di dalam kereta wajah bersalah Zhang Jin terlihat jelas saat memperhatikan Zhang Yuan yang mengelus-ngelus lebam di wajahnya. “A-apa itu sakit?” tanya Zhang Jin kaku. Zhang Yuan menatapnya kesal dan membuang pandangan tak ingin melihat sosok kasar dan jahat terhadap anak sendiri. “Tidak perlu bertanya, Ayah cukup melihatnya saja sudah tahu, bukan?” Zhang Jin menarik napas agar tenang. Mungkin saat ini tidak baik untuk bercerita dengan Zhang Yuan yang masih kesal dengan perlakuannya tadi. “Tak peduli bagaimana kau menilaiku aku tetap akan terima, karena semua yang aku l
Zhang Yuan tersentak, dia hanya memandang Jing Lei dengan santai sambil menunjukkan telunjuk ke arahnya sendiri, “aku?” “Zhang Yuan! Keluar dari barisanmu!” Dengan wajah tak bersalah Zhang Yuan keluar dari barisan itu dan berjalan meninggalkan lapangan. “Berhenti!” Zhang Yuan berbalik dan menatapnya kesal. “Bersihkan kamar mandi dan penuhi bak air! Itu hukumanmu,” lanjut Jing Lei dengan wajah tegas. Zhang Yuan hanya mengangguk, menyetujui lalu meninggalkan Jing Lei dengan napas kesalnya mengatasi anak jenderal besar mereka. Selama pelatihan di luar, Zhang Yuan hanya tertidur. Dia bangun kembali saat hari mulai sore dan pergi ke sudut perbatasan kamp. Di sana dia menemui pelayan pribadinya yang datang membawa uang dan sesuatu di dalam kereta. Sebelumnya dia juga sudah memerintahkan pelayan itu untuk melaksanakan hukuman yang seharusnya dia lakukan. “Apa yang kau bawa? Kenapa kemari meng
“Baik! Jika aku berhasil melewati hukuman ini, maka tidak ada alasan lagi untuk menahanku di sini. Jangankan tiga hari, bahkan empat hari bisa aku lakukan jika kau berani menepati janjimu!" tantang Zhang Yuan dengan lantang. Dari jauh, Zhang Jin tertawa keras mendengar keberanian anaknya menantang di luar batasannya sendiri. Dia tahu kalau tubuh yang tak terlatih dari Zhang Yuan pasti hanya akan tahan sampai besok hari. “Janji seorang lelaki adalah mutlak! Berhati-hatilah saat membuat janji, Zhang Yuan. Jangan sampai kau harus menjilati ludah yang sudah kau buang!” “Langit menjadi saksi! Aku akan melewati empat hari di sini!” Untuk melepaskan rasa kesalnya terhadap sang ayah, Zhang Yuan telah bertekad agar bisa melewati hukuman yang baru saja dijatuhi oleh ayahnya sendiri. Dia ingin terbebas dari penjara neraka yang mengurungnya. Dua hari telah berlalu. Apa yang mustahil bagi pandangan
Titah yang baru saja didengarkan membuat semua jantung terpukul. Semua pelayan yang ada di dalam kediaman saling melemparkan pandangan seakan tak percaya jika jenderal besar mereka melakukan pengkhianatan. Berbeda dengan Zhang Jin, dia sama sekali tidak berekspresi dengan hukuman eksekusi tersebut. Sorot mata kosong itu hanya memaku ke depan tanpa berkedip. “Jenderal Zhang Jin, apa kau tidak mau menerima titah kaisar?” Pandangan mata Zhang Jin kini menengadah ke atas melihat tajam ke arah kasim yang tersenyum samping memandangnya. Dia mengangkat tangannya sambil mengeraskan rahang untuk menahan semua kegeraman yang tak sanggup untuk dia lampiaskan. “Ayah! Tidak! Jangan menerimanya!” Zhang Yuan yang sejak tadi tak percaya jika hari-hari bahagianya akan berakhir memberanikan dirinya untuk menyela utusan kaisar. “Ayahku adalah jenderal besar k
Pedang terlempar ke tanah begitu saja karena sambaran satu batu kerikil kecil yang kuat dari arah lain. Mata Zhang Yuang terbuka menyadari dirinya masih hidup. Di depan gerbang, Zhang Jin berdiri dengan wibawanya sebagai jenderal besar. Semua prajurit pengawas yang tadinya begitu angkuh menertawakan Zhang Yuan kini terdiam dengan wajah gugup. “Je-jenderal, kami hanya menerima perintah dari kaisar untuk membunuh setiap orang yang mencoba untuk keluar dari kediamanmu.” “Titah kaisar ada di tanganku, apa ucapanmu lebih penting dari titah yang tertulis? ... lagi pula aku melihatmu sendiri menyeretnya keluar,” ucap Zhang Jin membuat prajurit menundukkan wajah mereka, menahan kesal yang bercampur takut. “Bahkan sampai sekarang aku masih jenderal besar kerajaan Song. Aku bisa mengambil kepala kalian jika tidak melepaskannya sekarang juga!&r
“Tunggu!” teriak Zhang Jin menghentikan ayunan pedang yang hampir memisahkan bagian tubuh istrinya. Atas perintah dari sang kaisar dengan tangan yang terangkat, eksekusi itu dijeda. Kedua orang yang berdiri di sampingnya terlihat begitu tak senang dengan penjedaan itu. “Saya mohon kaisar memberikan kemurahan hati terhadap keturunanku yang terakhir, mengingat akan kontribusiku terhadap kerajaan dan janji lisan yang diberikan kaisar sebelumnya untuk memberikan pengampunan terhadap keturunan terkahirku jika di masa depan didapati ada kesalahan yang aku lakukan,” jelas Zhang Jin membuat semua yang mendengar berbisik-bisik menganggukkan kepala. Memang sebelumnya, Zhang Jin adalah jenderal yang membantu kaisar terdahulu naik takhta. Oleh sebab itu kaisar mengucapkan janjinya di hadapan semua mentri dan bahkan hal ini telah diketahui oleh seluruh kerajaa