Share

Sang Panglima Perang
Sang Panglima Perang
Author: Cristi Rottie

Kematian jenderal muda

    “Tidak! Ini tidak mungkin!”

 

   Siang hari itu utusan istana datang membawa pesan dari medan peperangan. Surat yang baru saja dilihat oleh lelaki bertubuh besar dan berwajah tegas membuat mata yang tajam itu berkaca-kaca. Tubuhnya menjadi lemas dan tersungkur pasrah di atas kursi.

    “Ada apa, suamiku? Apa yang terjadi pada Zhang Fei?” Melihat ekspresi dari suaminya, Wu Huan yang adalah nyonya besar kediaman Jenderal Zhang Jin merasa khawatir dengan anaknya yang ada di medan pertempuran.

    “Istriku ... Zhang Fei, telah gugur di medan tempur.”

    Wu Huan yang tak bisa menahan kesedihannya malah jatuh pingsan saat mendengar anak sulung mereka meninggal di medan perang. Sedangkan Zhang Jin hanya menahan tangisnya di dalam hati, karena sejak awal dia telah tahu risiko menjadi seorang jenderal muda ada di antara ketenaran dan kematian.

    “Pelayan! Cepat panggilkan tabib dan bawa Nyonya ke kamarnya!”

    Berita tentang kematian jenderal muda Zhang Fei telah tersebar ke seluruh kerajaan. Semua pelayan yang ada di kediaman Jenderal besar turut merasakan kepergian sosok pemuda yang mereka segani.

    Dalam sekejap kediaman mereka telah dihiasi dengan hiasan putih yang menggantung. Altar untuk menyambut jenazah sang jenderal muda juga sudah dipersiapkan dengan mewah.

    “Istriku, kau sudah sadar?” 

    Jenderal Zhang Jin yang sejak tadi menunggu Wu Huan sadar sedikit tenang melihat sang istri telah membuka matanya. Dia membantu Wu Huan untuk duduk bersandar di pinggiran tempat tidur.

    “Zhang Fei, anakku yang malang,” Wu Huan bergumam dengan tangisannya.

    “Istriku, Zhang Fei adalah anak yang berbakti, dia adalah pahlawan yang sebenarnya.”

    “Aku tidak percaya! Zhang Fei adalah pemuda yang berbakat, tidak mungkin dia meninggal di medan perang, benar kan, suamiku?”

    “Itu benar, istriku. Kaisar telah meminta kita untuk menjemputnya di gerbang kerajaan. Kita akan berangkat besok untuk menyambutnya.” 

    “Ini semua salahmu! Aku sudah bilang padamu kalau anak-anak kita tidak boleh ke medan perang! Kau sudah membawa mereka menemui maut. Aku membencimu!”

    Wu Huan kembali menyalahkan Zhang Jin dalam tangisan. Sedangkan Zhang Jin hanya bisa menenangkannya dengan merangkul Wu Huan dan membiarkan tubuhnya kena beberapa pukulan.

    “Sekarang aku hanya punya satu putra, kau jangan memaksanya lagi mengikuti keinginanmu!”

    “Ia-ia, aku menuruti kehendakmu sekarang.”

    “Di mana dia? Di mana Zhang Yuan?”

    “Kau tahu sendiri anak itu. Kau yang memanjakannya.”

    “Zhang Jin, sekarang yang tersisa hanya Zhang Yuan. Kau jangan memaksanya.”

    “Ia-ia, aku tahu. Tenangkan dirimu dan beristirahatlah.”

    Keesokan harinya jalanan kerajaan Song dipenuhi dengan prajurit-prajurit yang baru saja pulang dari medan peperangan. Di depan barisan itu terdapat kereta dorong yang memuat peti berisikan mayat dari Zhang Fei. 

    Zhang Jin yang dikagumi dengan jenderal perkasa yang membunuh semua musuh tanpa belas kasihan kini meratapi tubuh anaknya yang sudah tak bernyawa. Isak tangis terdengar di dalam kediaman.

    Menurut laporan dari medan perang, Zhang Fei di bunuh oleh anak panah yang mengenai tepat ke jantungnya. Meski hal itu mustahil bagi Zhang Jin karena Zhang Fei sangat pandai dalam menghindar tapi dia hanya bisa pasrah melihat kenyataan yang sebenarnya.

    “Fei’er ... Fei’er ....” Wu Huan terisak, duduk di depan peti mati anaknya dengan pakaian putih dan kain penutup kepala sebagai simbol kedukaan.

    Di luar kediaman seorang lelaki tampan yang penampilannya acak-acakan berjalan terkatung-katung memasuki gerbang kediaman.

    “Oh tidak! Apa aku salah masuk kediaman?” gumamnya sambil melihat pemandangan hiasan putih yang bergelantungan di pintu gerbang.

    Lelaki itu mundur kembali dan menengok ke atas untuk melihat papan nama kediaman. “Ini benar rumahku. Ha ha ha ... mereka menyambut kepulanganku dengan kemegahan!” ucapnya lagi dengan senyuman mabuk.

    Dalam pengaruh alkohol dia berjalan memasuki kediaman itu. Tampak dari jauh dia melihat sebuah peti, tapi pikirannya sama sekali tidak sadar akan apa yang terjadi di dalam rumah.

    “Aku pulang!” teriaknya dengan lantang hingga membuat Zhang Jin berbalik dan menatapnya tajam.

    “Kenapa kalian menyambutku dengan tangisan? Ibu ayolah anakmu ini pulang dengan selamat, bukankah kau harus bahagia menyambutku?”

    Zhang Jin geram mendengar perkataan yang dilontarkan oleh pemuda yang mabuk itu. Dia berdiri dengan wajah dingin dan memelototi lelaki yang tak punya sopan santun.

    “Aku merindukanmu A—“

    PLAK!

    Satu tamparan keras membuat lelaki itu nyaris terjatuh ke lantai. Semua orang yang melihat jenderal Zhang Jin yang murka menundukkan kepala dan tak mau ikut campur.

    “Apa kau sudah sadar!” bentak Zhang Jin dengan suara lantang.

    Kehadiran lelaki itu dalam suasana kedukaan adalah aib bagi keluarga mereka. Apalagi dia datang dengan keadaan mabuk dan tidak menghormati jenazah yang ada di hadapan mereka.

    “Ayah? Kenapa kau menamparku? Apa kau tak suka aku pulang ke rumah?” lelaki itu memelototi Zhang Jin dengan kesal karena satu tamparan keras yang telah membuat pipinya memerah.

    “Aku lebih baik kehilangan seorang anak yang tak bermoral sepertimu daripada harus kehilangan satu anak yang sangat berbakti bagiku dan kerajaan! Pergi kau!” Teriak Zhang Jin dengan suara murka yang bergema di dalam kediaman.  

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Alva Istoning
cuma mau tanya yg nulis udah brkluarga blm y..?? .........
goodnovel comment avatar
Galing
update......?
goodnovel comment avatar
Yuna lie lie
pasti mati fi tangan Cao Cao ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status