Share

Kereta penjemputan

    Zhang Yuan, anak kedua dari jenderal Zhang Jin sudah terkenal dengan kehidupan bebas dan santai. Dia bahkan tak peduli jika setiap hari harus berdebat dengan ayahnya karena hanya mabuk-mabukan. Keberanian ini dia dapatkan dari Wu Huan yang selalu menuruti keinginan dan membela setiap tindakkan salah yang dilakukan oleh Zhang Yuan.

    “Apa maksud Ayah?” Zhang Yuan menoleh lagi ke samping di mana papan roh yang bertuliskan nama jenderal muda Zhang Fei membuat matanya berkaca-kaca.

    Tamparan dari Zhang Jin sepertinya telah menyadarkan dia dari pengaruh alkohol. Sosok kakak yang selalu pulang dengan kemenangan peperangan kali ini hanya membawa tubuh tanpa jiwa.

   Zhang Yuan berjalan kaku. Dia tersungkur di samping Wu Huan yang sedang terisak menahan tangis. 

    “Ibu ... apa dia benar kakakku?” Zhang Yuan menoleh ke samping dan menoleh lagi melihat kediamannya yang dipenuhi dengan suasana duka.

    “Tidak! Ini tidak mungkin! Kakakku petarung yang hebat, dia jenderal muda yang berbakat. Tidak mungkin meninggal!”

    Zhang Yuan menguatkan diri dan berdiri menghampiri peti mati di hadapannya. Dengan cepat dia membuka tutup peti dan mendapati tubuh sang kakak yang sudah memucat dan tak bernapas lagi.

    “Kakak!” Teriakkan Zhang Yuan diiringi dengan tangisnya yang pecah. Dia tersungkur di bawah peti sambil memukul lantai yang keras. Rasa sakit di tangannya bahkan tak terasa lagi saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya.

   Bayangan wajah Zhang Fei muncul dalam benaknya dengan rupa pahlawan yang pemberani. Bahkan lelucon yang sering dia lakukan di hadapannya muncul bagai kenangan yang hanya bisa diingat dalam pikiran.

    “Pelayan! Bawa Tuan muda kedua ke kamarnya dan bersihkan segala kekotoran yang menempel di tubuhnya. Aku tak mau aroma busuk tercium di samping peti mati jenderal muda!” pinta Zhang Jin dengan wajah datar.

    Usai pemakaman anak tertua dari jenderal Zhang Jin, suasana duka masih menyelimuti kediaman. Zhang Yuan duduk bersujud sambil memandang papan roh Zhang Jin dengan mata yang sembab.

    “Tak ada gunanya kau berlutut di sini. Bahkan sampai air matamu habis, kakakmu tak akan pernah kembali!”  Zhang Jin yang sudah beberapa kali datang menemuinya malah menjadi kesal melihat air mata Zhang Yuan yang terlalu berlarut. Baginya seorang prajurit yang mati di medan perang adalah kemuliaan yang sangat besar. Meski dalam hati dia begitu merasa kehilangan dengan anak kebanggaannya, tapi sebagai jenderal besar dia telah tahu akan ada hal ini yang menimpa anaknya.

    Zhang Yuan tak membalas perkataan ayahnya, dia membungkam hingga sang ayah tak tahan melihat sikapnya dan pergi dari sana.

    Kematian sang kakak membuat Zhang Yuan berpikir kalau ayahnya pasti akan meminta dia untuk bergabung dengan prajurit, karena sang kakak telah tiada maka dia satu-satunya anak yang harus mengangkat martabat keluarga jenderal besar kerajaan Song.

    ***

    “Di mana anak itu?!” 

    “Suamiku, dia belum terbiasa bangun di jam seperti ini. Lagi pula ini masih terlalu pagi baginya,” bujuk Wu Huan dengan suara pelan sambil menyuguhkan secangkir teh ke hadapan Zhang Jin untuk menenangkan kekesalannya.

    Pagi ini entah sudah berapa kali pelayan membangunkan Zhang Yuan, tapi jawaban mereka tetap sama. Zhang Yuan malah memarahi mereka dan menutup pintunya dari dalam kamar. Wajar saja emosi Zhang Jin meluap-luap karena tingkah laku Zhang Yuan telah melewati batas.

    “Pelayan!” teriak Zhang Yuan membanting cangkir yang baru saja dia pegang ke atas meja hingga membuat Wu Huan mengerjapkan matanya karena terkejut.

    “Dobrak pintu kamar anak tak bermoral itu dan seret dia kemari! Jika kali ini kau tidak membawa anak durhaka itu kemari, maka kepalamu akan kupisahkan dari tubuh!”

    Bahkan seorang pelayan yang mendengar pinta dari Zhang Jin menjadi gemetar ketakutan. Lelaki itu pergi dengan cepat menemui Zhang Yuan. Pintu kamar Zhang Yuan didobrak sesuai dengan perintah Zhang Jin.

    “Hei! Ada apa ini? Siapa yang memberikanmu keberanian untuk mendobrak kamarku? Apa kau ingin mati?!”

    “Tu-tuan muda kedua, Tuan jenderal telah berkali-kali memanggilmu. Kali ini Tuan sangat geram dan memintaku untuk mendobrak pintu kamar dan menyeret Tuan muda.”

    Zhang Yuan yang masih berbaring sontak bangun dan duduk di tempat tidur dengan menopangkan tangannya di atas lutut. “Menyeretku? Kau berani?” tanya Zhang Yuan menatapnya tajam.

    “Maaf Tuan muda, aku terpaksa harus melakukannya jika Tuan muda tak mau.”

    Zhang Yuan masih berdiam diri dengan wajah angkuh hingga membuat pelayan lelaki itu berjalan menghampirinya.

    “Jika kau melangkah sekali lagi maka aku akan membunuhmu!”

    “Tuan muda, ampuni aku. Aku hanya mengikuti perintah jenderal besar. Nyawaku juga terancam di sana sini,” ucap sang pelayan dengan berlutut dan membungkuk.

    “Berdirilah! Aku akan pergi sendiri!” Tak ingin menghabisi nyawa seseorang, terpaksa Zhang Yuan pergi menemui ayahnya tanpa berpakaian dengan sempurna.

    Begitu sampai di hadapan kedua orang tuanya, Zhang Yuan menguap dan memberi salam dengan asal-asalan di hadapan mereka. “Ayah, Ibu, aku datang.”

    “Bagus, kau masih menganggapku sebagai ayahmu! Kalau begitu, mandi dan bersiaplah. Kereta sudah menunggu di depan gerbang,” ucap Zhang Jin dengan wajah datar.

    “Kereta? Kita mau ke mana?” tanya Zhang Yuan yang bingung, sebab ayahnya tak pernah mengajaknya untuk bepergian.

     

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Herry Yorie
cerita yang bagus dan menarik
goodnovel comment avatar
Chaihusni
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status