Menjelang pagi, Baron Broke dengan semangat menuju kediaman Duke Alantoin, kakak kandung Ratu sekaligus seseorang yang berada di balik layar pernikahan Pangeran Hitam dan Amanda White. Pria tua itu berencana menagih sisa imbalan yang akan ia terima ketika putrinya telah dipersunting oleh Pangeran Hitam.
Baron Broke mulai berbasa-basi saat tuan rumah sudah berada satu ruangan dengannya. Duke Alantoin duduk dengan kepala mendongak dan kaki terlipat, mengacuhkan kata apa pun yang keluar dari mulut pria dengan janggut tebal itu. Sedikit kesal mendapat perlakuan tak hormat, Baron Broke langsung menyatakan tujuan sebenarnya kesini, “Duke Alantoin, aku akan mengambil sisa imbalanku, pengorbanan anakku butuh biaya yang tak sedikit.”
Duke Alantoin menaikkan sebelah alisnya “Pengorbanan anakmu? Dia sudah mati?”
Baron Broke menelan salivanya, “Be-belum ... .“
“Belum? Berarti Pangeran Hitam membawanya serta?” tanya Duke Alantoin kembali.
Baron Broke menggeleng kemudian tersenyum kaku di balik janggut lebatnya.
“Sejauh yang aku tahu Pangeran Hitam kemarin malam langsung pergi ke perbatasan, tepat di malam pernikahannya. Jadi bagian mana dari pengorbanan anakmu yang harus aku hargai, Baron?” tanya sang tuan rumah yang masih duduk dengan kaki terlipat.
“Ta-tapi Tuan mengatakan jika anakku menikahi Pangeran Hitam maka kekayaan dan gelar Duke akan segera aku dapatkan,” rajuk Baron Broke mengingatkan.
Duke Alantoin terkekeh pelan. “Siapa yang hendak kau tipu, Baron Broke? Perjanjiannya, anakmu mati di tangan Pangeran Hitam atau menikah dengannya ‘dan’ tinggal bersamanya,” tandas kakak kandung Ratu itu sambil menekankan kata ‘dan’ pada ucapannya.
Baron Broke gelagapan. “T-tapi P-pangeran yang tak mau mengajak serta putriku,” sahutnya bingung, berharap pembelaanya barusan diterima oleh lawan bicaranya.
Duke Alantoin mendekatkan diri ke muka Baron Broke. “Andaikata pangeran membunuh putrimu atau membawa sertanya ke istananya, maka aku akan menghargai pengorbananmu, tapi nyatanya ia tak membunuh juga tak mengajak serta putrimu,” papar Duke Alantoin. “Bukannya itu berarti putrimu tak cukup menarik untuk pangeran? Atau mungkin putrimu terlalu menjijikan untuk dia bunuh? Dan yang aku tahu dia bukanlah putrimu yang selalu berpenampilan menor di perjamuan minum teh ‘kan?” tanya sang Duke dengan sinis.
Baron Broke pucat pasi, lututnya semakin lemas saat pertanyaan terakhir dari mulut Duke Alantoin langsung ditembakkan kepadanya. “Sial! Bagaimana ia bisa tahu?” batin pria tua itu.
“Kau mencoba menipuku dengan menukar putrimu, Baron sialan! Cepat pergi sebelum aku mengambil semuanya yang sudah aku berikan berikut nyawamu!”
Tergesa-gesa Baron Broke kembali ke kediamannya. Ia takut jika lebih lama lagi berada di mansion Duke Alantoin, ancaman yang ia terima barusan benar-benar akan terjadi. Dan sepanjang perjalanan pulang, rasa takutnya telah berganti amarah yang siap ditumpahkan pada putri sulungnya, Amanda White.
“Hanya karena anak sialan itu belum mati juga, aku mendapat kesialan seperti ini! Memang sepanjang hidupnya anak itu hanya membawa nasib buruk untuk hidupku! Jika Pangeran tak membunuhnya maka aku yang akan membunuhnya!” geram ayah Amanda, dengan muka memerah pria itu langsung menuju puri tempat Amanda tinggal.
Tamparan dan pukulan bertubi-tubi mendarat di tubuh Amanda. Kali ini siksaan itu bukan berasal dari ibu atau adik tirinya melainkan dari satu-satunya orang di dunia ini yang masih memiliki hubungan darah dengannya. Ayahnya kandungnya, Ben Broke.
“Gadis bodoh sepertimu harusnya mati saja!” umpat pria tua itu setengah mabuk. “Kenapa tak kau susul saja ibumu?!”
“Andaikata kau terlahir normal, pasti Pangeran akan membawamu ke istananya. Bukannya malah membiarkan kau sendiri di sini,” ujar Baron Broke yang kerap kali menyinggung keunikan Amanda.
“Kenapa pula Pangeran sialan itu tak membunuhmu?! Ah! Bahkan ia pun jijik akan menyentuhmu saat membunuhmu! Pasti itu alasannya, bukan karena kau beruntung!” umpat kepala keluarga Broke itu kembali.
“Ma-maaf ... maaf ... ma ... akh! Am-ampun ... akh!! Maaf ....” Hanya kata ‘maaf’ dan ‘ampun’ serta jerit kesakitan yang terus keluar dari bibir mungil Amanda.
Sumpah serapah lain masih terus dilontarkan oleh Baron Broke kepada putri sulungnya. Matanya memerah sedangkan tangan kanannya memegang botol minuman keras. Pria tua dengan penyakit gula itu tampak sangat mabuk, tapi kakinya masih tak henti menendang Amanda yang sudah sedari tadi tersungkur di lantai.
“Pelayan!” panggil Baron Broke dengan kasar, tak lama tampak seorang pelayan datang dengan tergesa-gesa. “Dia bukan lagi putriku! Sekarang ia hanya salah satu pelayan di kediaman ini tak ada bedanya dengan kalian!” Pelayan itu kemudian menggangguk patuh penuh ketakutan.
Amanda White tak sadarkan diri saat ayahnya pergi meninggalkan puri tempatnya tinggal. Keadaan gadis bersurai putih itu sangat parah, pipinya bengkak dan basah akibat tamparan dan air mata, bibirnya juga berdarah, Dan jangan tanya sekujur tubuhnya lebam membiru akibat pukulan dan tendangan.
Pelayan yang bernama Nesa itu bergidik ngeri ketika melihat keadaan gadis itu. Amanda benar-benar tampak mengenaskan. Dengan pelan Nesa menaruh kepala Amanda di pangkuannya, sambil membersihkan sisa-sisa darah di wajah Amanda, ia seraya berkata, “Lady kau seorang princess, istri sah seorang pangeran, tapi kenapa kau biarkan seorang Baron menginjak-injak kepalamu?”
Dan waktu terus berjalan, tetapi siksaan dari ayah kandungnya tak pernah reda, begitu pun dari ibu dan adik tirinya. Mereka merasa Amanda adalah aib besar di keluarga Broke, selain karena gadis itu yang terlahir berbeda dari kebanyakan orang, ia juga ditinggal begitu saja setelah malam pernikahannya dengan Pangeran Hitam seolah menambah daftar panjang kenapa Amanda White begitu dibenci seluruh keluarga Broke.“Sepertinya sudah mulai memudar,” gumam Amanda, bukan merujuk pada noda hitam yang sudah tersingkir pada pantat kuali yang ia gunakan untuk bercermin melainkan pada luka memar di atas tulang pipinya. “Ayah tak pernah seperti ini. Ayah tak pernah memukulku, walau ia tak menyukaiku.”Amanda sadar, sejak lama Baron Broke seakan kehabisan napas ketika harus satu ruangan dengan dirinya. Tapi hanya saat mereka berdua, begitu ibu kandung Amanda masuk ke ruangan yang sama, suasana jadi begitu berbeda, hangat dan penuh cinta, seperti keluar
“Oh ...,” jawab Amanda singkat mendengar kabar itu, sedangkan tiga pelayan lainnya menatap ke arahnya dengan gugup.“Dia tak akan melaporkan perbuatan kita pada suaminya, ‘kan?” bisik pelayan yang sedari tadi memerintah Amanda pada pelayan lain yang urung memakan sup di depannya.“Tenang saja ia sudah dilupakan, bahkan jika ia memberi tahu suaminya kurasa Tuan Besarlah yang pertama mati.”Amanda melirik sekilas pada mereka, kemudian kembali melanjutkan memotong tumpukan labu di hadapannya.“Kau tak tahu? Pangeran tak pernah memberimu kabar? Ayahmu tak memberi tahu?” tanya Nesa bertubi-tubi.Amanda menggeleng pelan. “Tidak” jawabnya lirih.Pelayan yang tadi berbisik itu tersenyum sambil menaikkan kedua alisnya. “Lihat aku benar ‘kan, ia tak memiliki daya tarik! Pangeran terlalu jijik padanya hingga tak mau menyentuhnya dan sekarang malah sudah melupakannya!” u
Perhelatan besar untuk menyambut sang tuan rumah digelar di kediaman Pangeran Hitam. Tapi sebelum ke kediamannya, Illarion Black atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Hitam memberi hormat terlebih dahulu pada sang Raja Abraham di ruang peristirahatan pribadinya. Raja tua itu masih terbujur lemah di atas ranjang yang tertutup oleh kelambu mewah berwarna merah maron. Pangeran Hitam berlutut memberi hormat pada sang Raja. “Kali ini Exilas?” tanya Raja sedikit parau tapi tak sedikit pun mengurangi karisma yang dimiliki penguasa Anarka itu. “Ya,” jawab Pangeran Hitam singkat. Raja tua itu terkekeh. “Sebuah kemenangan besar kau dapatkan, tapi kenapa nada suaramu seperti kau kalah perang, Rion?” “Maaf,” jawab Pangeran Hitam singkat sekali lagi. Tak berminat sedikit pun menjawab panjang lebar pertanyaan sang Raja. Sedikit bangkit dari sandaran kepala kasurnya, Raja tersenyum sinis. “Ah rupanya kau masih membenciku, Rion.” Pangeran Hitam masi
Pangeran Hitam menembus dinginya malam dengan berkuda. Tujuan yang di tempuh tak begitu jauh, hanya sekitar beberapa jam saja dibanding ke kota-kota lain yang harus memakan waktu berhari-hari dari ibu kota Anarka. Sedikit cemas mengingat perkataan Raja tadi, Illarion jadi mengingat perkataanya ketika meninggalkan kediaman gadis itu terakhir kali. “Kita balik keperbatasan dan bawa semua pengawal. Dia akan aman karena syarat dari Raja sangat melindunginya, ia pun masih keluarga sang Ratu. Lagipula Raja tak memberi syarat bahwa aku harus bersamanya selama setahun.” Rion tak menyangka celah kecil dari perintah Raja yang ia temukan dianggap sebagai sebuah pengkhianatan oleh Raja. “Pria tua itu benar-benar ingin aku berkubang dengan keluarga setan wanita,” umpat Pangeran Hitam sambil terus memacu kudanya menuju Sulli. Sesampai di sana, Illarion Black heran melihat kediaman keluarga Broke yang temaram, tak semegah terakhir seperti terakhir kali yang ia ingat. Dan ha
“Duduk? Kurasa kau sudah tak menyayangi nyawanmu lagi! Benar-benar kurang ajar, hanya karena ku nikahi kau jadi besar kepala dan berani memerintahkanku untuk duduk! Kau kira aku binatang apa! Eh... .” Tiba-tiba Rion menyadari sesuatu, terlebih saat Amanda kembali berteriak hal yang sama, tapi kali ini tangan putih itu menunjuk pada kucing hitam yang sekarang sedang duduk manis sambil menjilat-jilat kaki depannya.“Nama kucing itu-,“ Rion menghentikan kalimat tanyanya.Amanda yang berlinang air mata menatap pria itu dengan ketakutan. “Ma-maaf sa-saya benar-benar minta maaf, Tuan. Tapi saya memberi nama kucing itu jauh sebelum saya mengenal Tuan. Saya benar-benar minta maaf....” Amanda masih mengucapkan beribu kali kata ‘maaf’ sambil bersujud dengan tubuh gemetar, sedangkan di sampingnya si kucing dengan polosnya masih menjilat-jilat tubuh berbulu hitamnya.Rion tercenung menyadari apa yang terjadi, ia nyaris saja me
Amanda tampak berpikir sejenak, kemudian ia memeras kain steril itu sambil membuka mulutnya dan menelan cairan merah yang menetes dari perasan itu. Rion berdecih. “Kau bisa saja menahan cairan itu dengan lidahmu.” Mendengar Rion yang tampak kurang puas dengan cara pembuktiannya, Amanda kembali memeras kain kemerahan itu dan meneteskan ke matanya, tak lupa ia juga meneguk sedikit cairan merah di cawan yang berada di atas meja. Rion tersenyum saat melihat kerutan di dahi gadis berkulit putih itu. Amanda tampak menahan mati-matian rasa pahit yang sekarang menjalar di lidahnya. Gadis itu berdiri tegak di hadapan Pangeran Hitam, menunggu jikalau ada reaksi dari tindakannya barusan. Beberapa menit berlalu, Amanda mulai tampak gugup karena tatapan tajam Illarion yang seolah mempelajari dirinya. “Menjijikan, kulit yang putih seperti ular derik seperti kata Gisella, pasti ia berpikir seperti itu,” batin Amanda sambil menunduk memperhatikan kulitnya. “Dan rambu
“Kau kira sekarang jam berapa Amanda! Kau belum menyiap-,“ teriakan Nesa terhenti di sana, saat sebuah belati melintas cepat di sampingnya dan langsung tertancap sempurna pada bingkai pintu kayu jati di belakangnya. Mata pelayan itu terbelalak tak percaya, di hadapannya -lebih tepatnya- di atas ranjang Amanda duduk pria tampan dengan tatapan keji menatap ke arahnya. “Apa begini cara pelayan di kediamanmu membangunkan majikannya?” tanya Rion dingin pada Amanda. Sedangkan gadis bersurai perak itu tak bereaksi apapun, ia hanya menatap beku pada belati yang baru saja di lemparkan oleh Rion. Dan Nesa tak kalah terkejutnya karena ia lah yang dilempari senjata tajam itu. Pelayan itu tak menyangka mendapat pengalaman menuju kematian justru dari pria tampan bertelanjang dada yang persis Dewa Ares di pagi hari cerah ini. “Aku akan membuat keluarga pelayan ini menerima peti matinya sekarang juga.” Mendengar itu Nesa berlutut sembari memohon. “Ma-ma
Amanda mengigit bibirnya panik, ia benar-benar bingung ketika pagi tadi Pangeran Hitam hendak sarapan. “Aku akan membawakannya ke kamar,” tawar Amanda. “Aku tak terbiasa makan di kamar, tunjukkan saja jalan ke ruang makan,” tukas Rion dengan nada memerintah. Ruang makan adalah salah satu tempat di kediaman keluarga Broke yang Amanda hindari, karena keluarga tirinya sangat tak menyukai kehadirannya ketika mereka sedang bersantap. “Menjijikan.” Begitu kata mereka, yang langsung melemparkan makanan itu ke arah Amanda, karena nafsu makan mereka menghilang begitu saja akibat kehadiran gadis itu. Namun, di sinilah mereka, di depan ruang makan milik mewah keluarga Broke. Dan Amanda semakin panik saat mengetahui keluarganya belum selesai sarapan. “Lanjutkan sarapan kalian,” ujar Pangeran Hitam sembari mengangkat tangan kanannya seolah menolak salam hormat khas Anarka yang Ben Broke lakukan. Amanda yang berada di belakang Pangeran Hitam