Share

VI

Dan waktu terus berjalan, tetapi siksaan dari ayah kandungnya tak pernah reda, begitu pun dari ibu dan adik tirinya. Mereka merasa Amanda adalah aib besar di keluarga Broke, selain karena gadis itu yang terlahir berbeda dari kebanyakan orang, ia juga ditinggal begitu saja setelah malam pernikahannya dengan Pangeran Hitam seolah menambah daftar panjang kenapa Amanda White begitu dibenci seluruh keluarga Broke.

“Sepertinya sudah mulai memudar,” gumam Amanda, bukan merujuk pada noda hitam yang sudah tersingkir pada pantat kuali yang ia gunakan untuk bercermin melainkan pada luka memar di atas tulang pipinya. “Ayah tak pernah seperti ini. Ayah tak pernah memukulku, walau ia tak menyukaiku.”

Amanda sadar, sejak lama Baron Broke seakan kehabisan napas ketika harus satu ruangan dengan dirinya. Tapi hanya saat mereka berdua, begitu ibu kandung Amanda masuk ke ruangan yang sama, suasana jadi begitu berbeda, hangat dan penuh cinta, seperti keluarga kebanyakan.

“Cinta akan merubah segalanya,” ujar ibu Amanda di saat-saat terakhir hidupnya.

Kenyataan seolah membenarkan perkataan Ibunda Amanda. Semenjak kematian istrinya, Ben Broke mengalami kehilangan yang begitu dalam. Kepala keluarga Broke yang biasanya senang berada di rumah itu, mulai jarang pulang, dan perlakuannya yang tak suka ketika melihat Amanda mulai Ben Broke tunjukkan dengan terang-terangan.

“Kau terlalu mirip dengannya,” ujar Ben suatu hari sambil membuang mukanya ke arah lain saat melihat Amanda. “Hanya saja kau versi rusaknya,” lanjut pria itu sambil menenggak kembali botol anggurnya.

Mencoba memahami kesedihan Ayahnya, Amanda hanya diam saja menerima perkataan kasar itu. “Semua akan kembali seperti semula,” gumam Amanda saat itu.

Tapi semua tak pernah kembali, Ben Broke tenggelam terlalu dalam. Tiap hari pria tua itu hanya mencari sesuatu yang mampu mengisi kekosongan di hati, tak mempedulikan anak semata wayangnya.

“Amanda, kenalkan ini Brenda, dan ini putrinya Gisella, kalian sepantaran ia hanya terpaut delapan bulan denganmu,” begitulah Ben Broke mengenalkan keluarga baru Amanda.

“Terima kasih sudah menjadi keluargaku,” ujar Amanda waktu itu dengan tulus. Mengira dengan hal ini, ayahnya bisa kembali menjadi sosok seperti yang ia kenal sebelumnya.  

Seorang pelayan bar murahan dan anaknya menatap janggal sebagai balasan pada Amanda, menurut Brenda dan Gisella, Amanda adalah sosok paling aneh yang pernah mereka temui seumur hidup, dengan kulit seputih salju, manik mata ungu besar, dan rambut keperakkan. Dan selanjutnya keberadaan Amanda dibuat semakin ganjil di kediaman itu. Mereka tak akan pernah menganggap gadis berkulit pucat itu sebagai keluarga, bahkan manusia.

Begitupun Ayah Amanda tak pernah kembali seperti dulu, ia benar-benar berubah ketika menemukan cintanya yang baru. Ben Broke biasanya merasa cukup dengan harta yang ia miliki sebagai bangsawan kelas rendah, mulai merasa tak puas. Pria itu mencoba peruntungan di meja judi, hingga berhutang di sana-sini, hal itu semata ia lakukan guna memenuhi gaya hidup istri barunya. Seolah belum cukup, Baron Broke juga menjual anak gadisnya sendiri.

Hal itu terjadi ketika Duke Alantoin yang merupakan kakak kandung sang Ratu Minerva menawarinya sebuah kesepakatan kala itu. “Bukankah kau punya anak gadis berambut tembaga yang kulihat sering berpenampilan seronok di pesta jamuan para bangsawan. Kau berhutang untuk membesarkannya, ‘kan? Kenapa tidak sekarang kau buat ia untuk membalas budimu?”

“Dengan cara?” Ben Broke balik bertanya, perasaan takut tapi juga senang membuncah di hatinya.

“Menikahkan putrimu dengan Pangeran Hitam.”

“Bunuh diri.”Itu kalimat pertama yang melintas di benak Ben Broke saat Duke Alantoin menyebutkan syarat untuk melunasi hutang-hutang Baron tua itu berikut menambah pundi-pundi harta miliknya dan menaikkan derajat kebangsawanannya menjadi seorang Duke. “Ta-tapi siapapun tahu kalau Pangeran Hitam sangat membenci keluarga sang Ratu, dan hamba pun masih memiliki keturunan yang sama dengan sang Ratu, T-tuan?” tanya Ben lagi, sekaligus mengingatkan kalau mereka memiliki hubungan kekeluargaan walau sangat jauh.

“Aku tak pernah mengatakan syaratnya mudah, bukan?” ujar Duke Alantoin mengakhiri pembicaraan.

Ben Broke pun berpikir keras, istri tercintanya tak mungkin membiarkan putri tunggal yang paling ia sayangi dikorbankan untuk kesejahteraan mereka.

“Bukannya kau punya satu anak gadis lagi, Ben?” tanya mantan pramusaji bar-brenda- dengan lengkungan tipis di bibirnya. Karena itulah kesepakatan pernikahan Pangeran Hitam dan Amanda White terjadi.

Namun, tampaknya kesepakatan yang terakhir itu kurang menguntungkan keluarga Broke, keuntungan yang Ben Broke harapkan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, bahkan gelar ‘Duke’ yang akan ia dapatkan lenyap begitu saja. Dan dengan dalih untuk mengurangi segala pengeluaran anggaran rumah tangga, alhasil Amanda White yang telah resmi menikah dengan Pangeran Hitam empat bulan yang lalu, sekarang malah bekerja layaknya pembantu di kediaman Baron Broke.

“Kenapa kau kerja begitu lambat?!” bentak seorang pelayan pada Amanda, menyadarkan gadis bersurai perak dari lamunannya. Segera ditaruhnya kuali itu di atas perapian, dengan cekatan Amanda memasukan bahan-bahan masakan ke dalamnya.

“Ia payah sekali!” timpal pelayan lain yang meletakan sekeranjang labu di atas meja, “Hei! Kupas ini juga segera!” perintahnya, kemudian pelayan itu malah duduk santai tak membantu Amanda yang sedang sibuk meniup bara api hingga mukanya berjelaga.

Tak lama kuah di kuali itu mendidih. Pelayan yang sedari tadi membentak Amanda, tanpa ijin mengambil semangkuk sup. Melihat hal itu Amanda menurunkan pisau dan labu di tangannya, “Kumohon supnya jangan dihabiskan, ayam yang tersisa tinggal dua ekor saja. Aku bisa dimarahi lagi oleh Nyonya Besar ...,” ujarnya memelas.

“Dan? Apa peduliku?” tanya pelayan itu balik sambil menaruh seporsi sup lagi dari kuali di bawah perapian. Amanda hanya membalas dengan menghela napas berat.

Tiba-tiba saja pintu dapur terbanting membuka, belum sempat teriakan protes terlontar dari dua orang pelayan di dalam ruangan itu, seseorang yang tampak di balik pintu itu ternyata Nesa si pelayan.

“Kembali! DIA KEMBALI!” teriak Nesa lantang dengan napas tersengal-sengal.

Tiga orang di dapur itu menampakan wajah bingung dan penasaran. “Siapa kembali? Dia siapa?”

“PANGERAN HITAM!” jerit Nesa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status