Share

VIII

Perhelatan besar untuk menyambut sang tuan rumah digelar di kediaman Pangeran Hitam. Tapi sebelum ke kediamannya, Illarion Black atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Hitam memberi hormat terlebih dahulu pada sang Raja Abraham di ruang peristirahatan pribadinya. Raja tua itu masih terbujur lemah di atas ranjang yang tertutup oleh kelambu mewah berwarna merah maron. Pangeran Hitam berlutut memberi hormat pada sang Raja.

“Kali ini Exilas?” tanya Raja sedikit parau tapi tak sedikit pun mengurangi karisma yang dimiliki penguasa Anarka itu.

“Ya,” jawab Pangeran Hitam singkat.

Raja tua itu terkekeh. “Sebuah kemenangan besar kau dapatkan, tapi kenapa nada suaramu seperti kau kalah perang, Rion?”

“Maaf,” jawab Pangeran Hitam singkat sekali lagi. Tak berminat sedikit pun menjawab panjang lebar pertanyaan sang Raja.

Sedikit bangkit dari sandaran kepala kasurnya, Raja tersenyum sinis. “Ah rupanya kau masih membenciku, Rion.”

Pangeran Hitam masih bergeming dari tempatnya, hanya menatap tajam ke Raja tanpa memperlihatkan emosi sedikit pun di wajahnya. Raja Abraham benar, Illarion Black sangat membenci ayahnya. Jika kebenciannya pada Ratu Minerva dapat dengan mudah ia tunjukkan kepermukaan, maka kebenciannya pada Raja Abraham selalu Pangeran Hitam kubur dalam-dalam. Illarion Black memiliki alasan tersendiri bersikap seperti itu.

“Terima kasih atas hadiah yang kau berikan” ujar Raja Abraham sambil melirik kubah kaca kecil berisi jari manis Raja Exilas lengkap dengan cincin naga tanda kekuasaan yang telah diawetkan. “Hanya saja hadiahmu tak bisa menutupi pengkhianatan kecil dari perintah yang telah kuberikan, Rion.”

Pangeran Hitam menautkan kedua alisnya. “Maksud baginda Raja?”

“Istrimu, ia tak pernah sekalipun memberi salam hormat untukku. Hal ini bukan karena kau meninggalkannya sendiri ‘kan?” tegas sang Raja ketimbang bertanya. “Aku memberimu perintah menikah dengan keluarga Ratu bukan untuk menghinanya, Rion.”

“Sial!” batin Pangeran Hitam, tiba-tiba bayangan gadis berkulit seputih salju dengan manik secantik batu ametyst melintas di kepalanya. “Sa-saya akan memberi hormat bersamanya, segera!” ujar Pangeran Hitam sedikit gugup.

Mendengar kepanikan di nada suara Pangeran Hitam, Raja tersenyum. “Baiklah, kali ini kuanggap itu bukan masalah besar. Lanjutkanlah pestamu, kau berhak menikmatinya.

Pangeran Hitam hanya mengangguk sebagai balasan, tapi sebelum ia pamit undur diri sang Raja bergumam pelan. “Aku harap kau bahagia dengan pernikahanmu, Rion.”

Hingar bingar lantunan musik terdengar hingga luar istana, rakyat di luar istana kerajaan pun ikut serta menikmati jamuan hasil perang dengan suka cita. Saat Pangeran Hitam masuk ke aula pesta, semua bangsawan hingga prajurit menangkat gelas-gelas mereka bersorak dengan menyebut bangga nama pria tampan itu.

“Kejayaan untuk Pangeran Hitam!” teriak Jendral Andreas yang diikuti seluruh tamu yang hadir. Gemuruh suara terdengar hingga luar, rakyat pun turut mengumandangkan hal yang sama.

Ratu tersenyum kecut mendengar itu. Sebagai kepala pemerintahan sementara, Ratu mau tak mau harus menghadiri acara itu mewakili sang Raja. Ratu Minerva semakin geram saat melihat tingkah laku anak tunggalnya di acara itu, Pangeran Alexander yang mabuk berat tampak menari-nari bersama para wanita dan para tamu yang hadir terlihat menertawakannya.

“Si ‘domba’ itu hanya mampu mempermalukanku saja!” rutuk sang Ratu.

“Adikku! Kau semakin tampan!” ujar Pangeran Alexander sambil memeluk Pangeran Hitam. Pria dengan manik hitam itu hanya berdiri kaku tanpa niat membalas pelukkan hangat itu.

“Ah adikku yang manja tak seperti dulu lagi, ia selalu menangis saat aku tak ada di sisinya,” lanjut Pangeran Alexander sambil tertawa masih merangkul Pangeran Hitam. Para bangsawan kebingungan menanggapi candaan Pangeran Alexander, mereka takut kehilangan nyawa jika harus menertawai Pangeran Hitam.

“Hei! Ku dengar kau telah menikah, kenapa tak mengundangku?” ujar Pangeran Alexander sambil menepuk-nepuk pipi Pangeran Hitam, bau alkohol menguar dari mulut pria itu. Pangeran Hitam membalas perlakuan itu dengan tatapan dingin dan rahang yang mengeras.

“Bawa pulang Pangeran Alexander!” perintah Ratu Minerva yang tiba-tiba berdiri di hadapan mereka. Sedikit keributan terjadi saat Pangeran Alexander yang mabuk berat tak ingin pergi dari sana dan enggan melepas pelukannya dari Pangeran Hitam.

“Selamat atas kemenanganmu, Pangeran Illarion,” ujar Ratu Minerva dengan senyuman yang tampak dipaksakan. “Aku akan undur diri sekarang, begitupun dengan Pangeran Alexander-“ terdengar teriakan Pangeran Alexander yang ingin balik ke tempat pesta, “yang sudah sangat ingin pulang,” lanjutnya.

Pangeran Hitam yang malam itu mengenakan pakaian serba hitam dengan ornamen singa emas di dadanya tampak tersenyum sinis sambil menelengkan kepala. “Seekor domba.”

“Domba! Kau menyebut Pangeran Alexander seekor domba?!” pekik Ratu Minerva sambil membelalakan matanya. “Bocah busuk ini berani-beraninya menghina putraku!” umpat Ratu Anarka itu dalam hatinya. Para tamu tampak tegang melihat perdebatan itu dan mulai mencuri-curi dengar. 

Pangeran Hitam menaikkan sebelah alisnya. “Aku hanya menawari domba guling, Ratu. Bukankah malah kau yang mengatakan ‘Pangeran Alexander seekor domba’?” tanyanya balik sembari tertawa licik.

Ratu Minerva mengepalkan kedua tangannya dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih kemudian berbalik pergi meninggalkan kediaman Pangeran Hitam. Ia tak ingin berdebat lebih panjang dengan Pangeran Hitam di acara yang dipenuhi kaki tangan dan para kolega pria tampan itu. Suasana pesta yang tadi sempat memanas sudah kembali meriah seperti semula.

Pangeran Hitam merasa bosan, ia tampak menyelinap ke balkon menghindari keramaian pesta. Dan Andreas yang melihat hal itu ikut menyusul ke luar ruangan.

“Ah! Tuan di sini!” seru Andreas.

Pangeran Hitam berbalik sambil memperlihatkan sorot mata malas. “Kenapa kau kesini? Tak bisakah kau diam saja di dalam sana?” tukas Illarion Black kesal.

Andreas tersenyum. “Apa acaranya tak menyenangkan, Tuan? Atau kau ingin beberapa gadis di tempat tidur menemanimu?” Pengawal setia Pangeran Hitam itu masih ngotot untuk membuat Tuannya bahagia malam ini. Mereka sudah berperang empat bulan dan meraih kemenangan besar, itu hal yang harus dirayakan bukan dengan berdiam sendirian di balkon, bukan?

Mendengar kata ‘gadis’ tiba-tiba Rion mengingat sosok yang membebani pikirannya sedari tadi. “Mana gadis itu? Aku tak melihatnya sedari tadi.”

Andreas menautkan alisnya telihat bingung. “Siapa?”

“Ck, gadis itu siapa sih namanya? White? Sesuatu White? Ah! Aku lupa!” tanya Rion lebih kepada dirinya sendiri.

Andreas masih tak mengerti, gadis mana yang tiba-tiba diingat Tuannya. Hal ini sangat langka bahkan ia sendiri sebagai orang yang selalu berada di samping Pangeran Hitam, tak mengingat seorang gadis pun yang dekat dengan pria bersurai gelap itu.

“Keluarga Ratu Minerva yang ku nikahi,” jelas Pangeran Hitam.

“Maksud Tuan wanita dengan penampilan aneh itu?” tanya Andreas keheranan. Mereka sudah empat bulan di medan perang, dan sekarang Rion bisa meniduri wanita manapun yang ia mau. Tapi kenapa ia tiba-tiba mengingat wanita dengan kulit pucat itu?

“Mana dia? Kenapa ia tak pernah sekalipun memberi salam pada Baginda Raja. Apa ia tak pernah diajarkan sopan santun menjadi seorang Lady?” tanya Illarion balik tak mempedulikan Andreas yang keheranan.

“Kurasa karena ia tak memiliki akses ke kerajaan. Dia masih di kediamannya semula, rumah Duke Broke.”

Rion tampak terkejut. “Tunggu ... maksudmu ia masih di sana?”

“Bukankah anda sendiri yang mengatakan bunuh siapapun mata-mata yang tinggal di kastil Black? Dan gadis itu sudah pasti mata-mata. Tuan tak mungkin meninggalkannya di istana sementara kita pergi berperang, kan?” ujar Andreas meyakinkan kalau keputusan meninggalkan gadis itu di rumah orang tuanya adalah tindakan yang benar.

“Jadi dia masih di rumah Duke- ah siapa namanya tadi, yang di Sulli?”

Andreas mengangguk, masih keheranan. “Jika Anda mau, aku akan memintanya menghadap Tuan, besok,” tawar Jenderal pasukan berkuda itu. Jarak Sulli dan ibu kota kerajaan Anarka memang tak begitu jauh, hanya saja Andreas masih tak ingin tuannya menghabiskan waktunya dengan perempuan penyakitan itu.

“Ah sial! Pantas saja Raja berkata seperti itu,” seru Rion. “Kau besok susul aku dengan kereta kuda, kita harus menjemput gadis itu. Segera!” perintah Pangeran Hitam sebelum meloncat dari balkon kemudian menghilang dari pandangan Andreas.

“Gadis itu merepotkan Tuanku saja,” geram Andreas yang tak sempat menahan kepergian Pangeran Hitam.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
mush aidah
menarik....lnjut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status