Share

IV

Amanda menjerit kencang saat baju yang ia kenakan koyak oleh tangan besar Pangeran. “Ahh!” Gadis itu langsung menutupi bagian atas tubuhnya, sedangkan sosok tampan  itu masih mendominasi dirinya.

“Hei ... jangan berteriak seperti itu, orang-orang bisa mengira kalau akulah orang jahatnya,” bisik Pangeran Hitam sambil tersenyum penuh arti. Setelah berkata seperti itu, dengan sekali ayun Pangeran Hitam mengangkat Amanda White dalam gendongannya. Menghempaskan gadis itu di atas ranjang, segera Amanda membuat jarak sejauh mungkin dengan pria tinggi besar itu, tapi kepala ranjang mewah itu menghalanginya.

Pangeran Hitam membuka kancing baju yang ia kenakan dengan tak sabar, kemudian menjatuhkan kemeja hitam itu di sisi ranjang. Terlihat dada bidang dengan bekas guratan luka di sana-sini, seluruh tubuhnya tampak memiliki luka teriris benda tajam yang teramat dalam. Pria itu kemudian naik ke atas ranjang sembari menarik kaki Amanda sehingga gadis itu terseret dan kembali berada dalam kungkungannya. Pangeran  bernapas berat menatap lekat wajah hingga tubuh Amanda.

“Berapa penyihir tua itu membayarmu? Berapa lama ia mempersiapkan ini?” tanya Pangeran Hitam. “Mana senjatamu untuk membunuhku?”  kali ini Pangeran Hitam bertanya sambil meraba-raba tubuh Amanda mencari senjata yang tersimpan, tapi nihil  yang ada malah libidonya makin naik saat harus bergesekan dengan kulit gadis cantik itu. “Apa di dalam sini?” tanya Pangeran Hitam lagi dengan seringai menghiasi di wajah tampannya, menunjuk pakaian dalam berwarna putih tulang yang masih Amanda kenakan.

Gadis itu langsung menutupi bagian bawah tubuhnya. Air mata masih deras membasahi kedua pelupuk manik ungu itu. Kembali ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun, ketakutan menyelimutinya begitu tebal dan hanya gelengan kepala yang menjadi jawaban.

Di atasnya Pangeran Hitam tersenyum miring. Sangat tampan, andai saja ia lakukan itu di luar ruangan pada siang hari yang panas, bukannya malah di atas gadis yang ketakutan setengah mati!

“Apa kau takut padaku?” tanya Pangeran Hitam kembali sambil mengikis jarak di antara mereka.

“Tentu saja!” jerit batin Amanda.

“Kau tentu berharap aku mati di peperangan saja, seseorang yang tak layak hidup dan berbagi oksigen denganmu sekarang,” ujar Pangeran Hitam sambil mengeruk dengan serakah udara di antara ceruk leher Amanda dan dirinya.

“Pangeran seseorang yang tak layak hidup?” tanya Amanda di benaknya. “Bagaimana bisa?” Kata-kata ‘tak layak hidup’ itu yang biasa orang alamatkan pada dirinya dan Amanda tahu sendiri bagaimana sakitnya menerima kalimat itu. Jadi bagaimana mungkin ia bisa melemparkan kalimat itu pada orang lain, sedangkan ia merasa pangeran adalah orang yang nyaris sempurna hidup di dunia ini, walau itu berasal dari penilaian sesaatnya, mereka bahkan baru bertemu hari ini.

“Ti-tidak, se-setiap orang pantas untuk hidup dan berarti untuk orang lain, dan begitu pun Tu-tuan ... ,” jawab Amanda parau. Berusaha menjawab sedangkan ia ketakutan setengah mati bukan hal yang mudah, hanya saja ia ingin memberi tahu bahwa pria tampan itu berharga. Ia tak ingin Pangeran Hitam memiliki rasa sakit yang sama seperti yang ia derita.

Tepat setelah mendengar jawaban Amanda, pria tampan itu tampak membeku. Tak menyangka dengan jawaban yang tiba-tiba itu. Itu bukan jawaban yang biasa ia dengar. Berbeda. Jawaban yang entah bagaimana menyentuh satu bagian kecil di hatinya, satu bagian dari besarnya luka yang menganga di hatinya.

Ditatapnya manik ungu besar milik Amanda yang memantulkan sosok dirinya, tapi bukan sosoknya yang sekarang melainkan dirinya lima belas tahun yang lalu. Seorang pemuda kecil yang melompat ke pelukan seorang wanita yang memiliki warna rambut yang sama dengan dirinya. “Harta terbesarku adalah kau Illarion, putraku yang berharga ...,” bisik wanita itu yang sekarang terngiang di ingatan Pangeran Hitam.

Tiba-tiba pria berperawakan besar itu tertawa kecil. “Lucu, kenapa aku tiba-tiba mengingat hal remeh seperti itu di saat sekarang ini, apa karena mata indah gadis ini?” sebuah pertanyaan terlintas di benaknya.

Kembali rahang Pangeran Hitam mengeras, dengan kasar ditinjunya kepala kasur yang berada tepat di atas Amanda. Gadis itu sangat terkejut hingga memekik sesaat sebelum akhirnya menutup mulut dan matanya dengan kedua tangannya.

Pangeran Hitam kemudian bangkit membebaskan gadis itu dari kungkungannya, dan berpindah duduk di tepi ranjang. Kembali keheningan bergelayut di antara mereka, ketika pria itu mengenakan pakaiannya. “Aku tak butuh rasa simpati darimu,” ujarnya dingin sebelum menutup pintu kamar dan pergi meninggalkan Amanda sendirian.

Gadis berambut keperakan itu masih menangis sekaligus bingung dengan sikap tiba-tiba pria itu. Amanda menatap hampa pada pintu yang tertutup. “Apa aku salah?” tanya Amanda pada dirinya.

Tak lama dari luar terdengar bunyi derap sepatu kuda berikut gesekan kerikil dengan roda kereta. Dan malam itu rombongan Pangeran Hitam langsung meninggalkan kota Sulli, tanpa berpamitan sepatah kata pun pada sang tuan rumah.

“Kenapa ia pergi meninggalkanku? Atau harusnya aku bersyukur karena ia tak membunuhku....”

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Lena Pangala
Its very good
goodnovel comment avatar
mush aidah
lanjutt......
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus cerotanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status