Share

Gundah

Meski manusia memang makhluk paling istimewa, ada satu yang menguasai manusia dan menjadikannya lemah, perasaan.

Perasaan manusia bisa berubah kapan pun, keadaan apa pun dan susah dikontrol. Terkadang senang berlebihan, esoknya sedih berlebihan, terkadang bisa jadi pendiam, bisa juga jadi cerewet, seiring waktu yang berjalan.

Begitu juga dengan Josh dan Verana, yang setahun lalu berpacaran menganggap dunia milik mereka berdua, tidak peduli dengan pandangan orang lain. Namun sekarang mereka berdua tengah pusing menghadapi masalah yang mereka perbuat. Merasa orang paling menderita di dunia ini.

Setelah cek dengan dokter kandungan, menebus susu ibu hamil, makan di restoran, kini kedua sejoli itu berada di kontrakan Verana. Verana yang tiduran menggunakan paha pacarnya sebagai bantalannya, dan Josh yang fokus memainkan ponselnya.

“Kita sudah cek ke dokter, jadi sebelum perut aku besar, kita harus nikah.” Keheningan mulai meninggalkan mereka setelah Verana membuka suara, mengutarakan pendapat yang berisi harapan besar.

“Cowok apa cewek, ya?” gumam Josh pelan, namun masih dapat didengar Verana.

“Kamu pasti gak sabar, ya?” tebak Verana yang membuat Josh mendelik tajam.

“Enggak,” jawab Josh cepat.

Verana terdiam, tersenyum pahit. Tiba-tiba saja dia menyesali berkenalan dengan Josh, yang membuat kehidupannya menjadi seperti ini.

“Aku mau tidur.” Merasa bosan, Verana bangkit dari posisinya dan pergi ke kamarnya. “Kunci pintu ada di meja,” selanya melihat Josh hendak protes, setelah itu dia menutup pintu kamar dengan keras.

Merasa diusir, Josh hanya menghela napas lelah.

.

“Widih, pacar lo mana, Bro?” tanya Jafin ketika Josh sudah sampai di sebuah warung sederhana yang menyediakan kopi. Warung sederhana ini tidak hanya menyediakan kopi, tetapi banyak juga pemuda pemudi maupun orang tua yang menyimpan minuman alkoholnya di warung ini.

“Hmm?” Josh hanya bergumam, setelah itu meneguk segelas alkohol dosis tinggi yang dibeli Jafin dan langsung membawanya ke warung tempat mereka nongkrong.

“Nanti mabuk, woi!” sarkas Jafin sembari menjauhkan cangkir kopi kuning yang sudah diisi dengan alkohol.

“Parah anak ini,” gerutu Jafin kesal. Dia kemudian menyuruh pacarnya duduk dan menunggunya di meja yang paling dekat dengan pintu keluar.

“Masalah apa, sih?” Jafin menggerutu, dalam hati ingin menjambak rambut sahabatnya itu, tapi dia memilih membopong tubuh yang berat itu menuju pintu keluar.

Setelah pamit pada pemilik warung juga teman-teman nongkrongnya yang masih betah di sana, Jafin langsung menyetir mobil menuju kontrakan Verana. Tidak mungkin dia memulangkan lelaki mabuk itu ke rumah orang tuanya, sudah pasti dia akan diomeli juga, sementara apartemen Josh jauh dari tempat tongkrongan. Kontrakan Verana menjadi pilihan, selain dekat, Verana pasti akan mengurus pacarnya itu.

“Aku gak mau kehilangan kamu, Ra, gugurin anak itu.” Josh meracau di mobil yang dikendarai Jafin. Soal mobil Josh, biarlah urusan besok.

“Kok dia ngomong gitu, Yang?” tanya Tiana penasaran mendengar racauan Josh yang semakin melantur.

“Gak tahu, Yang, apa Verana hamil, ya?” tebak Jafin. Tiana hanya mengangkat bahunya sebelah, dia tidak bisa memastikan hal itu.

.

“Aduh, maaf, ya kalian berdua. Makasih juga udah antar Josh pulang.” Verana berulang kali meminta maaf dan mengucapkan terima kasih pada pasangan yang mengantar Josh ke kontrakannya.

“Iya, Ra. Kita balik, ya, udah larut.” Jafin pamit dan berjalan menuju mobilnya. Sementara Tiana berhenti sebentar dan mengajak gadis yang memakai piama tidur motif beruang itu untuk berbicara.

“Aku gak tahu ini benar atau enggak, tapi Josh tadi meracau panggil-panggil nama kamu dan bilang untuk ... gugurin kandungan kamu.” Tiana langsung terus terang, tidak mau berbasa-basi. Apa yang mengganjal di pikirannya pasti akan dia bongkar habis, sampai tuntas.

Meski suara Tiana pelan di akhir ucapannya, Verana langsung menunduk dan memegang perutnya. “Kamu sudah tahu, ya?” tanya Verana lirih.

“Benar?” tanya Tiana memastikan. Verana mengangguk pelan.

“Kok bisa?”

“Sayang, sudah larut, ayo balik!” Teriakan Jafin membuat Verana bisa bernapas lega untuk sementara.

“Ya sudah, aku balik, ya. Besok cerita!” Gadis dengan pakaian mini itu berlari menemui Jafin.

Setelah memastikan mesin mobil tidak terdengar lagi, Verana segera mengunci semua pintu karena sudah larut malam. Dengan ragu, dia mendorong pintu kamarnya pelan. Melihat Josh yang tidur telentang di ranjangnya menimbulkan sedikit rasa khawatir karena keadaan lelaki itu sangat mengenaskan. Rambutnya acak-acakan dan terus meracau.

Mengingat pembicaraannya dengan Tiana beberapa menit yang lalu, dia menghela napas lelah. Jadi lelaki itu tidak menginginkan bayi yang dikandungnya? Lalu untuk apa Josh menemaninya periksa ke dokter?

“Ra, gugurin kandungan kamu itu ....”

Bagai dibebankan batu besar, tubuh Verana langsung lemas mendengar racauan Josh. Tubuhnya bergetar hebat, bibirnya terus terus terisak, otaknya terus bertanya bagaimana nasibnya ke depan?

Benar, ya, penyesalan itu paling akhir.

.

Sedikit demi sedikit, cahaya matahari mulai memasuki jendela dan ventilasi ruangan yang ditempati Josh dan Verana. Gadis itu sengaja membuka gorden lebar kemudian memeluk Josh yang masih tertidur di ranjang.

Verana mencoba memejamkan matanya, tangannya memeluk erat perut pacarnya. Dalam hati dia bertanya, entah pelet apa yang dipakai Josh sehingga dia tidak mau kehilangan Josh. Lelaki itu masih bau alkohol, sudah menyakiti hatinya secara tidak sengaja melalui racauannya kemarin malam dan Verana masih menyukai lelaki itu. Dalam hati, Verana selalu berharap agar Josh mau bertanggung jawab.

"Ayo, bangun. Kamu ada kelas nanti siang.” Verana mencium pipi Josh dengan lembut, sedikit lama.

“Kok bisa di sini?” Josh menggeliat meregangkan tubuhnya agar lebih segar.

“Diantar sama Jafin,” jawab Verana singkat. Josh mengangguk kemudian membenamkan kepalanya di perut Verana dengan manja.

“Kamu ada kelas hari ini, Sayang.” Verana membujuk lelaki itu dengan suara lembut, menyisir rambut panjang lelaki itu menggunakan jemarinya. Dalam hatinya terus berharap dengan perlakuan lembutnya Josh akan menikahinya.

“Mau bolos,” jawab Josh manja. Helaan napas Verana kembali menyapa, membiarkan lelaki itu manja pagi hari ini. Hari ini juga, Verana tidak ingin membahas menikah dan dia mencoba menahan bibirnya untuk tidak membicarakan hal itu. Dia ingin menikmati pagi ini sebelum dia hamil namun dalam hati tidak absen mengharapkan agar Josh mau bertanggung jawab.

.

Verana sengaja datang ke kampus pukul tiga sore karena dia tidak ada kelas hari ini. Dia hanya ingin bertemu dengan Tiana dan menceritakan semuanya sekaligus meminta solusi yang tepat. Tanpa meminta bantuan dari Josh, karena lelaki itu pulang ke apartemennya.

“Kita bicara di cafe aja.” Tiana yang susah menunggu lama di kantin yang mereka janjikan langsung menukar tempat. Verana hanya pasrah saja.

“Jadi gimana?” tanya Tiana tidak sabaran, dia ingin memastikan bagaimana keadaan sahabatnya itu. Sebelum menjawab, Verana menyempatkan meneguk jus mangga yang dipesannya.

“Gimana? Kamu udah tahu, Ti.” Mendengar jawaban Verana yang pasrah itu membuat Tiana merasa kasihan.

“Dia kapan tanggung jawab?” Verana menggeleng pelan.

“Pas kalian melakukan itu, tidak pakai pengaman?” Pertanyaan itu membuat Verana menoleh ke sekitar setelah itu menarik rambutnya untuk menutupi wajahnya yang memerah malu.

“Pelankan suaramu.” Verana menaruh jari telunjuknya di bibirnya.

“Sorry, tap—

“Biasanya pakai pengaman, tapi kemarin kecolongan,” jawab Verana cepat.

“Jadi, dia mau tanggung jawab?” Verana menggeleng lagi. Hal itu membuat Tiana menenangkan Verana, mengucapkan kata-kata penenang hati dan jiwa.

“Nanti kita ke rumah orang tuanya Josh, ya? Aku temani kamu.” Verana menggeleng cepat, dia tidak mau menyusahkan orang lain lagi, dia akan berusaha semaksimal mungkin.

“Enggak usah, Ti. Aku coba lagi sendiri.”

“Hmm, ya sudah, deh. Tapi kalau kamu butuh bantuan aku, telepon aja, ya, jangan sungkan.” Verana mengangguk, ini sudah lebih membantu daripada mendengar cemoohan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status