Share

MEMBAWA PAKSA ICHA

"Icha, Din. Icha dibawa pulang paksa sama Bram," katanya sambil terbata.

"Apa?" 

"Bram bilang kamu harus pulang sekarang, Din. Kalau tidak katanya kamu nggak akan pernah diperbolehkan ketemu sama Icha lagi," kata mba Santi masih sesenggukan.

Tanpa pikir panjang lagi, aku pun segera berlari ke dalam rumah mengambil tas dari kamarku dan segera pergi menemui ibu di kamarnya. 

Mata ibu nampak masih sembab sepertinya habis menangis tadi. Kasihan sekali, dengan kejadian ini dia pasti sudah tahu bagaimana rumah tanggaku sebenarnya. 

"Bu, Dinda pamit dulu ya? Maaf nggak bisa nemenin ibu lama-lama di sini," ucapku dengan nada sesal. 

"Pulanglah, Din. Tempatmu memang di samping keluargamu. Anakmu lebih membutuhkanmu dibanding ibu. Pulanglah, Nak!" kata ibu dengan matanya yang mulai bening. 

Aku mengangguk, mencium tangannya, lalu segera keluar dari kamar itu karena tak ingin terlihat meneteskan air mata di depannya. 

Seandainya kamu tahu, Bu, Dinda sudah sangat lelah dengan mas Bram. Dinda berencana ingin lepas dari mas Bram. Apakah ibu akan bahagia jika ibu tahu semua itu? 

"Din, biar mas Hanif mengantarmu," kata mba Santi menghadangku di ruang tamu. Mas Hanif juga sudah nampak siap memberikan padaku sebuah helm yang sedang dipegangnya di tangan. 

"Aku naik kendaraan umum aja, mbak. Kasian mas Hanif capek nanti," tolakku halus.

"Nggak capek, Din. Biar lebih cepat sampai di rumah. Kasian Icha nungguin kamu," kata mas Hanif sambil menyerahkan pengaman kepala itu padaku. 

"Ya udah kalau gitu aku pamit ya, Mbak." Kupeluk tubuh kakakku erat. Rasanya berat sekali meninggalkan rumah ini dan harus kembali lagi ke rumah tanpa kasih sayang itu bagiku. 

"Semangat ya, Din. Mbak yakin kamu bisa atasi semua ini," ucap mbak Santi sambil mengepalkan sebelah tangannya. Aku mengangguk pasti, lalu kemudian mengikuti mas Hanif yang lebih dulu berjalan ke halaman menuju motornya. 

.

.

.

Hari sudah menjelang maghrib saat mas Hanif menurunkanku di depan pagar rumah ibu mertuaku. Aku sedikit kaget karena ternyata empat orang penghuninya sedang duduk di teras rumah, sepertinya sengaja menungguku, karena saat aku dan mas Hanif berjalan mendekat, mereka nampak memandangi kami dengan sorot tajam. 

"Selamat sore, Bu Lis," sapa mas Hanif dengan sopan pada ibu mertuaku. Namun tak satu pun yang membalas sapaan itu. 

"Ooh, jadi ini yang katanya mau jengukin ibunya yang sakit tapi nyatanya malah keyuluran nggak tau kemana? Anaknya ditinggal di rumah nggak terurus dengan orang sakit?" 

Kata-kata nyinyiran tak sopan itu keluar dari mulut adik iparku, Dira. Darahku rasanya mendidih mendengarnya. 

"Maksud kamu apa, Dir?" tanyaku tak terima. Namun di sampingku, mas Hanif menyentuh lenganku mengisyaratkan untuk diam. Lalu karena tidak ada satupun yang menganggapnya ada, mas Hanif pun segera berpamitan padaku untuk pulang. 

Sepeninggal mas Hanif, aku bermaksud masuk ke dalam rumah mencari Icha. Namun mas Bram menahanku di pintu. 

"Berani juga kamu pulang, Din? Aku sudah bilang sama kamu untuk pulang pagi-pagi dan kamu abaikan. Istri macam apa kamu?"

Aku pikir tak ada gunanya juga menjelaskan padanya apa yang kulakukan sampai aku tidak menuruti perintahnya untuk pulang tadi pagi. Percuma karena dia tidak akan mungkin mau mengerti. 

"Minggir, Mas. Aku mau ketemu Icha," kataku sambil berusaha mendorong tubuh kekarnya yang menghalangi pintu. 

"Ingat ya, Din. Ini terakhir kalinya kamu membangkang pada suamimu. Kalau sampai kamu lakukan lagi. Jangan harap kamu bisa ketemu sama Icha," ancamnya. 

Aku membelalakkan mata mendengar ancamannya itu. Bukan karena kaget, tapi karena aku lebih merasa seharusnya aku yang menantangnya seperti itu. 

"Maksud kamu apa, Mas? Kamu mau pisahin aku sama anakku? Gitu kah?" 

"Iya, Icha itu anakku. Aku yang membesarkannya. Kamu nggak ada hak sama sekali untuk membawanya kemana pun," katanya dengan sangat percaya diri. 

"Dasar gila kamu, Mas," ujarku sambil berjalan meninggalkannya di ambang pintu. 

Di kamarnya, kulihat anakku sedang berbaring memeluk bonekanya. Matanya nampak sembab  seperti habis menangis. Melihatku datang, gadis kecil itu segera bangkit dan berlari memelukku erat. 

"Ibuuu," panggilnya. 

"Icha lagi ngapain di kamar sendiri?" tanyaku dengan gaya khas anak kecil. Dia tak menyahut hanya mengeratkan pelukannya padaku. Lalu kugendong tubuh mungilnya dan kududukkan kembali di atas kasur. 

.

.

.

Selepas maghrib aku bermaksud mengambilkan makan malam untuk Icha. Kugandeng tangan mungilnya menuju ruang makan dimana empat orang penghuni lainnya ternyata sedang asik menikmati makan malam tanpa memikirkanku dan anakku sedikit pun. 

Ada beberapa plastik di atas meja, tandanya mereka baru saja memesan makanan dari aplikasi online. 

"Tuh, Din, lihat! Gara-gara kamu pergi, Bram jadi boros kan, makan saja harus beli. Harusnya kalau kamu di rumah kan bisa lebih irit, masak," celetuk ibu saat melihatku dan anakku muncul di ruang makan. 

Kupingku seketika panas mendengar gerutunya. 

"Saya ini pergi buat nengok ibu saya, Bu, bukannya maen," timpalku tak terima. 

"Nggak maen gimana? Orang tadi pas kita datang mbak Dindanya nggak ada kok. Kakaknya mbak Dinda juga bilang nggak tau mbak Dinda pergi kemana. Masa' kayak gitu nggak keluyuran namanya." 

Lina yang sekarang bersuara. Anak ini masih kecil tapi mulutnya juga sudah pedes juga ternyata.

"Iya, aku memang pergi, cari kerjaan," jawabku cuek sambil berjalan menuju dapur, berharap masih ada bahan makanan yang bisa kupakai untuk membuatkan makanan untuk anakku, karena sedari tadi mereka juga tidak menawari kami untuk mengambil makanan yang mereka beli. 

"Kamu mau kerja apa, Din? Jangan aneh-aneh!" teriak mas Bram dari ruang makan. Sementara aku mulai sibuk berkutat di dapur. Beruntung masih ada sedikit sayuran untuk membuatkan anakku sup hangat untuk makan malamnya kali ini. 

Sedikitpun aku tak berniat menjawab omongan suamiku. Lagi-lagi aku hanya percaya bahwa semakin aku menjelaskan padanya, semakin percuma saja. 

Mungkin karena tidak segera mendengar suaraku, mas Bram tiba-tiba sudah ada di dekatku. 

"Kamu nyari kerja?" tanyanya singkat.

"Iya, aku nggak mau terus-terusan direndahkan miskin sama kamu, Mas," ujarku sambil terus melakukan aktifitasku tanpa menghiraukannya. Lalu terdengar tawanya menggelegar memenuhi ruangan dapur.

"Memangnya kerja apaan yang bisa bikin kamu kaya mendadak?" katanya dengan nada ejekan. 

"Yang jelas bukan meminta-minta, Mas," sahutku. 

"Nggak usah macam-macam deh, Din. Tugas kamu itu di rumah aja, ngurusin rumah, masak, bersih-bersih, sama ngurusin Icha."

"Kalau cuma masak sama bersih-bersih kan adik-adikmu sama ibu juga bisa, Mas. Apalagi Ibu sama Dira juga nganggur kan?" protesku.

"Dinda! Kamu makin kurang ajar aja sih sama suami?" 

Mas Bram terlihat sangat murka kali ini. Tangannya bahkan sudah terangkat siap untuk memukul hingga membuatku kaget dan hampir menjatuhkan panci yang sedang kugunakan untuk memasak di atas kompor. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Tinggalin aja suami modelan Bram dan klrga lampirnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status