Share

Part 9

Entah berapa lama kami menghabiskan waktu untuk mengobrol. Sesekali tertawa kecil saat mengingat kekonyolan kami berdua di awal pernikahan.

Rindu ini begitu menggebu-gebu meminta dituntaskan. Andai saja kondisi Karin sedang tidak sakit, pasti kami sudah saling melebur rindu. Bersatu dalam lautan cinta demi mencapai titik puncak kebahagiaan.

"Apa kamu benci Ayu?" tanyaku sembari mengusap kepalanya dengan lembut.

Karin menggeleng pelan dengan mata terpejam.

"Kenapa? Apa kamu tidak menyalahkannya karena sudah menjadi duri dalam rumah tangga kita? Menjadi orang ketiga yang membuat hati dan cintaku terbagi?"

Lagi. Karin menggeleng.

"Tidak sepenuhnya Ayu bersalah, Mas. Hati ini mungkin sakit dan kecewa, tapi aku tidak mau menyimpan dendam. Ayu tidak akan pernah masuk dan menjadi orang ketiga jika si pemilik hati tidak mengizinkannya. Tidak memberikan akses untuk dia masuk ke dalam rumah tangga kita."

Aku menelan ludah susah payah. Perkataan Karin selalu berhasil menampar secara tidak langsung. Aku tertegun memandangi Karin yang memejamkan mata dengan tenang.

Tidak sadarkah dia bahwa perkataannya selalu berhasil meluluhlantakkan hati ini. Membuatku merasa begitu bodoh sekaligus jahat.

"Karin."

"Hm," sahutnya pelan tanpa membuka matanya.

"Bukalah matamu," pintaku sembari mengusap pipinya dengan punggung telunjuk.

"Kenapa, Mas?" Dia menatapku dengan sayu.

Perasaan takut ini belum bisa terhapus. Entah kenapa, setiap kali melihatnya memejamkan mata, ada ketakutan tersendiri yang membuatku gelisah. Takut mata itu tertutup selamanya.

"Mas?" panggilnya lagi karena aku hanya diam.

Aku tersenyum meski ada yang terasa mengganjal di hati.

"Tidak apa-apa. Tidurlah," ujarku sembari melingkarkan tangan di pinggang rampingnya.

Karin tersenyum, lalu kembali memejamkan mata. Aku pun sama. Daripada terus dilanda perasaan gelisah, akan lebih baik bila ikut tidur.

Namun sayang, belum lama mata kami terpejam, suara gedoran dan teriakan Mama di pintu memaksa kami kembali membuka mata. Aku dan Karin pun saling melempar pandang bingung.

"Mama, Mas."

"Sudahlah, abaikan saja. Pasti bukan hal yang penting. Kita pura-pura tidak mendengar saja."

"Jangan, Mas! Tidak boleh seperti itu. Coba Mas buka dulu. Siapa tahu ada masalah penting. Itu Mama sampai teriak-teriak begitu."

Dengan berat hati, akhirnya aku kembali menyibak selimut dan bangun.

"Aku tidak akan lama," ucapku sembari memandangnya.

Karing mengangguk dan tersenyum.

Aku melangkah dengan malas dan perasaan yang sedikit kesal. Mama sudah mengganggu momen kebersamaanku dengan Karin. Hubungan kami berdua baru saja sedikit membaik.

Tidak bisakah beliau sedikit memahaminya? Mama dan Ayu memang sama saja.

"Ada apa, Ma?" tanyaku dengan wajah cemberut saat pintu dibuka.

"Kenapa kamu cemberut begitu? Tidak suka mama ganggu?" Mama mendelik tajam.

Aku menghela napas pelan. "Tidak, Ma. Maaf. Ada apa? Aku hanya lelah."

"Cepat kamu ke kamar Ayu!" Mama langsung menarik tanganku begitu saja keluar dari kamar Karin.

"Tidak bisa, Ma. Malam ini giliranku bersama Karin. Aku harus adil, Ma. Aku tidak mau jadi suami dzalim," tolakku sembari melepaskan cekalan tangannya.

"Tapi ini situasinya beda, Malik." Mama menatap tajam.

"Beda bagaimana, sih, Ma?" desahku frustasi. "Harusnya Mama tahu kalau akuβ€”"

"Ayu pingsan, Malik!" potongnya yang sontak membuatku kaget.

"Ayu pingsan?" ulangku dengan jantung berdetak sedikit lebih cepat.

"Iya, dia masih terbaring di kamar mandinya. Cepat kamu tolong dia!"

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berlari meninggalkan Mama. Menuruni tangga dengan terburu-buru agar cepat sampai di kamar istri keduaku.

🌸🌸🌸

"Ayu," gumamku kaget saat melihatnya terbaring di ambang pintu kamar mandi.

Aku melesat masuk ke dalam kamar dan langsung mengangkat tubuhnya. Membaringkannya dengan perlahan di atas ranjang.

"Ayu, buka matamu, Ay!" Aku menepuk-nepuk pipinya pelan. "Kamu kenapa, sih, Ay?" gumamku khawatir.

Baru saja hendak pergi mengambil minyak angin, Mama sudah lebih dulu masuk dan memberikan minyak angin itu padaku.

"Ayu kenapa, Ma?" tanyaku sembari mengolesi pelipis juga hidung Ayu dengan minyak angin tersebut.

"Ya, mana Mama tahu. Tadi Mama ke sini hanya mau tanya dia sudah makan malam atau belum. Eh, ternyata Ayu sudah pingsan."

"Astaghfirullah." Aku menepuk kening sendiri. "Mungkin Ayu belum makan, Ma."

"Tuh, 'kan, kamu itu memang tidak adil. Karin saja yang terus kamu perhatikan. Sementara, Ayu sendiri tidak kamu pikirkan sudah makan atau belum."

Aku merutuki diri sendiri. Karena marah atas insiden di luar tadi, aku sampai lupa dengan hal itu. Mungkin saja Ayu belum makan dari sepulang kerja tadi karena ditinggal ke rumah sakit.

"Ayu," gumamku saat melihatnya perlahan membuka mata. "Alhamdulillah, kamu sudah sadar." Aku mengusap kepalanya lembut.

"Ya sudah, kamu rawat Ayu dulu. Mama mau kembali ke kamar," katanya, kemudian berlalu pergi.

"Kamu kenapa, Ay?" tanyaku khawatir sembari membantunya untuk duduk bersandar kepala ranjang.

"Kepalaku tahu-tahu pusing, Mas. Mungkin kebanyakan nangis tadi," lirihnya pelan.

"Yaa, lagian kenapa kamu nangis terus?" tanyaku sembari merapikan anak rambutnya yang menutupi wajah.

"Habisnya Mas marah-marah terus. Padahal, aku tidak salah apa-apa. Aku sungguh tidak ada hubungan apa-apa dengan Aldi, Mas. Aku tadi hanya takut jatuh dari motor saja." Ayu terisak sembari menutupi wajah dengan kedua tangannya.

"Ya sudah, jangan nangis lagi!" Aku melepaskan kedua tangannya dari wajah.

"Mas tidak marah lagi?" tanyanya dengan nada manja.

Aku menggeleng, meski tidak sepenuhnya rasa kesalku sudah pergi.

"Mas percaya padaku, 'kan? Aku tidak bohong, Mas. Tadi itu akuβ€”"

"Aku percaya," potongku.

"Benarkah?" Dia langsung menegakkan tubuhnya dengan raut wajah ceria.

"Hm, tapi jangan diulangi lagi. Kamu tidak boleh pergi dengan laki-laki lain apa pun alasannya," kataku sembari menjawil hidungnya yang tidak lebih mancung dari Karin.

Ayu mengangguk cepat dengan senyuman lebarnya.

"Kamu harus mencontoh Karin. Dia tidak pernah keluar atau pergi ke mana pun tanpa seizin dariku."

"Karin lagi." Ayu kembali bersandar dengan wajah ditekuk, kedua tangannya dilipat di dada.

"Jangan marah! Aku hanya ingin kamu mencontoh apa yang baik darinya. Tolong ... sikapmu yang kekanak-kanakan dan manja itu sedikit dikurangi. Belajarlah menjadi lebih dewasa. Kamu harus paham, istriku itu tak hanya kamu. Aku harus adil membagi waktu, Ayu. Aku tidak mau jadi suami dzalim. Kamu mengerti, 'kan?"

Ayu bungkam dengan wajah cemberutnya yang berpaling ke samping.

"Kamu mendengarku tidak?"

"Males, ah. Kalau Mas ke sini hanya untuk membanding-bandingkanku dengan Karin, lebih baik Mas keluar," ujarnya ketus.

Aku menghela napas pelan. "Ya sudah kalau begitu."

Aku hendak berlalu pergi, tapi dengan cepat Ayu mencekal pergelangan tanganku.

"Jangan pergi!" rengeknya manja.

"Tadi katanya disuruh pergi."

"Iyaa, habisnya Mas buat aku tersinggung." Dia mencebik kesal. "Jangan pergi, ya!" pintanya lagi dengan menarik-narik tanganku supaya duduk kembali.

"Ini malam giliranku bersama Karin, Ayu. Tolong ... jangan bertingkah egois seperti ini," pintaku dengan lembut. Berharap dia mengerti dan bisa bersikap lebih dewasa lagi.

"Aku, 'kan, sedang sakit, Mas. Kalau pingsan lagi, bagaimana?"

"Tapi kamu tidak panas. Kamu pura-pura, ya?" Aku menatapanya penuh selidik. Membuat Ayu terlihat sedikit salah tingkah.

"Kok, Mas malah nuduh aku pura-pura, sih? Aku benar-benar pusing tadi," lirihnya dengan wajah tertunduk.

"Iya, maaf. Aku tidak bermaksud menuduhmu. Kamu sudah makan belum?"

Ayu kembali mengangkat wajahnya, menatapku sambil menggeleng.

"Aku ambilkan makan, ya."

"Tapi suapin." Dia kembali merengek manja.

Aku menghela napas pelan, tapi tetap menuruti permintaannya. Ketika hendak kembali ke kamar Ayu dengan sepiring makanan, aku melirik ke lantai atas. Merasa bersalah pada Karin karena sudah berjanji padanya tidak akan lama.

"Apa kamu sudah tidur?" gumamku pada diri sendiri, lalu kembali melangkah menuju kamar Ayu.

Ketika aku masuk, Ayu terdengar sedang tertawa-tawa kecil. Melihatku masuk, dia langsung mematikan ponselnya dan menatapku gugup.

"Telepon siapa?" tanyaku curiga.

"Teman, Mas." Ayu membenarkan posisi duduknya.

"Teman, kok, telepon malam-malam begini. Teman atau si Aldi kunyuk itu?" tudingku kesal.

"Teman, Mas. Kok, Mas masih curiga saja, sih. Nih, lihat!" Ayu memperlihatkan layar ponsel. Di sana terpampang jelas nama Dila yang melakukan panggilan padanya. "Masih curiga?" 

Aku menggeleng, lalu mulai menyuapinya.

"Berhenti mencurigaiku, Mas. Kita harus saling percaya satu sama lain. Kalau tidak, kita pasti akan ribut terus seperti tadi."

"Akan kucoba," sahutku cuek.

Beberapa menit kemudian, Ayu sudah selesai makan. Aku hendak kembali ke kamar Karin, tapi dia mencegah. Ayu kembali merengek dan mengandalkan jurus air matanya supaya aku tidak pergi.

Dengan terpaksa, aku menyetujui kemauannya. Berjanji akan menemaninya dulu di kamar ini sampai dia tertidur pulas. Namun, sayangnya aku malah ikut ketiduran sampai adzan subuh berkumandang.

🌺🌺🌺

Aku terperanjat bangun dengan jantung berdebar. Tak kutemukan Ayu di samping, tapi gemericik air di dalam kamar mandi menandakan dia ada di dalam sana.

Aku hendak keluar, tapi ternyata pintu terkunci. Entah ke mana itu kunci kamarnya, aku tak menemukannya setelah mencari-cari ke sekeliling kamar.

"Cari apa, Mas?" tanya Ayu yang keluar dengan wajah basah.

"Kamu yang sengaja mengunci kamar ini, 'kan? Mana kuncinya? Aku harus segera ke kamar Karin."

"Ya sudah, sih, Mas. Sudah terlanjur pagi juga. Salat subuh di sini saja dulu," ujarnya cuek sembari melenggang pergi mendekati meja rias.

"Tidak bisa, Ayu. Karin pasti kecewa karena aku sudah ingkar janji lagi padanya. Gara-gara menemanimu sampai tidur, aku malah ikutan pulas. Cepat berikan kuncinya! Aku mau ke masjid."

Namun, Ayu malah bersenandung kecil di depan cermin tanpa mempedulikan kata-kataku.

"Ayu!" geramku.

Ayu menoleh dengan tatapan santainya. "Salat di sini saja dulu, baru Mas kembali ke kamar Karin. Nanti aku berikan kuncinya."

Aku menggeram kesal dalam hati dan terpaksa menuruti permintaannya untuk salat di sini. Ayu memang masih sangat sulit untuk diajak beribadah. Namun pada akhirnya, dia mau salat berjamaah setelah aku memaksanya.

Usai menunaikan kewajiban dua rakaat, aku menagih janji Ayu yang akan memberikan kunci. Namun, bukannya melakukan apa yang kuminta, dia malah melucuti satu per satu pakaiannya sambil tersenyum miring.

Ayu mendekat, menempelkan tubuh sintalnya itu dengan jemari yang bergerak mengusap lembut lengan ini. Membuat darah di sekujur tubuh seketika berdesir hebat. Mataku terpejam erat seraya menelan ludah berkali-kali. Aku berusaha mati-matian menahan sesuatu yang tengah meronta dan meminta dituntaskan.

Ah, sial! Pada akhirnya, aku luluh dan kalah melawan nafsu sendiri.

Apakah semua laki-laki akan cepat tergoda dan kalah dengan 'hal' seperti ini?

Kami berdua akhirnya sama-sama hanyut akan sentuhan yang memabukkan. Hingga membuatku seketika lupa dengan janji pada wanita lain.

β˜…β˜…β˜…

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
emang qm gk ada otak baru tahu dan baru sadar yg dipikiran mu hanya nafsu halim
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
suami pecinta selangkangan ini yg harus dipertahankan? dibuka dikit aja langsung lupa diri
goodnovel comment avatar
Isabella
ayu kayaknya wanita gak bener. Lana siapa tau hanya namanya saja siapa tau itu aldy
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status