Share

MENYESAL MENDUAKANMU
MENYESAL MENDUAKANMU
Penulis: Airi Mitsukuni

Part 1

"Happy Anniversary, Mas!" seru Karin sesaat setelah pintu terbuka.

Karin tersenyum lebar dengan kue di tangannya. Namun, seketika senyum itu hilang, ketika dia melihatku berdiri di ambang pintu dengan seorang wanita berambut cokelat yang bergelayut manja di lengan. Senyum bahagianya telah berubah dengan raut penuh tanya.

"Mas?" Karin menatapku dan Ayu bergantian.

Aku tersenyum hambar. Mencoba melepaskan tangan Ayu, tapi dia menolaknya.

"Aku pulang, Karin," ucapku dengan rasa yang sulit dijelaskan. Kebahagiaan yang sempat kurasakan tiga hari lalu saat berbulan madu kedua bersama Ayu, kini hilang seketika melihat sorot mata Karin yang penuh tanya.

"Apa kita mau berdiri terus di sini, Malik?" tanya Mama dari belakangku dengan suara ketus.

"M–Masuk, Mas," ucap Karin setelah lama dia terdiam menatapku.

Aku berjalan melewati Karin dengan Ayu yang terus saja menempel bak perangko. Kami duduk  di sofa panjang bersama Mama, sedangkan Papa duduk di kursi single.

Aku menoleh pada Karin. Dia masih termenung di dekat pintu dengan kue di tangannya. Ada yang berdenyut nyeri di dalam sini melihatnya seperti itu. Namun, semua sudah terjadi. Bagaimanapun juga, Karin harus bersedia berbagi dan menerima semuanya dengan ikhlas.

"Karin! Sini, Nak!" panggil Papa padanya.

Karin mengangguk, lalu melangkah perlahan mendekati kami. Meletakkan kue hari jadi pernikahan di meja, lalu duduk di sofa yang berseberangan denganku. Tatapan kami beradu. Lewat sorot matanya, dia seakan bertanya siapa wanita yang tak pernah mau berhenti merangkulku.

"Ada apa ini, Mas?" Setelah cukup lama diselimuti keheningan, akhirnya Karin membuka suara.

"Dengar, Karin! Mulai malam ini—"

"Ma!" potong Papa. "Biarkan Malik sendiri yang menjelaskannya pada Karin. Ayo, Malik! Katakan yang sejujurnya tanpa ada yang ditutup-tutupi." Papa menatapku dengan sorot mata tajamnya.

Aku mengangguk, lalu menatap kembali Karin yang semakin terlihat kebingungan.

"Karin," panggilku, lalu menelan ludah dan menarik napas dalam-dalam. Segala kata yang sudah kupersiapkan dari awal, seketika lenyap saat melihat raut wajah tak berdosa itu.

Sejahat ini ternyata aku padanya.

"Ada apa, Mas? Mas membuatku takut saja." Karin tertawa kecil. Tawa yang jelas terlihat dipaksakan hanya untuk menyembunyikan perasaannya.

"Ayolah, Mas! Katakan saja yang sebenarnya. Tidak perlu ragu apalagi takut. Atau aku saja yang bilang. Ya?"

"Diamlah, Ayu!" tukasku penuh penekanan.

Ayu mencebik kesal, tapi tak juga melepaskan rangkulannya di lengan. Ditambah lagi, dia dengan sengaja menyandarkan kepalanya di bahu ini.

"Karin ...." Aku menjeda ucapanku untuk kembali menarik napas dalam-dalam. "Ini Ayu, Karin—Madumu," ungkapku pada akhirnya.

Karin terpaku sejenak menatapku, tapi tak lama dia tertawa kecil.

"Mas ini lucu. Mas lagi mengerjaiku, 'kan?" tanyanya di sela tawa kecilnya. "Kalau begitu ... selamat, Mas! Mas berhasil membuatku hampir terkena serangan jantung," ujarnya, lalu kembali tertawa.

Aku dan Papa saling melempar pandang. Papa mengisyaratkan dengan matanya agar aku melanjutkan penjelasan tadi.

"Karin ...."

"Ya, Mas?" Karin berusaha menghentikan tawanya, lalu kembali tersenyum menatapku. Senyum manis yang dulu membuatku tergila-gila.

"Aku sedang tidak bercanda, Karin. Ayu istri keduaku. Kami sudah menikah tiga hari yang lalu," ungkapku dengan lancar meski ada yang berdenyut nyeri di ulu hati.

Hening.

Karin menatapku dalam diam. Mata bulat indahnya mulai dipenuhi kaca-kaca. Dia menangis tanpa sepatah kata terucap. Tetesan demi tetesan air matanya cukup menjelaskan betapa dia terluka dengan keputusan sepihak ini.

"Maafkan aku, Karin."

"Untuk apa kamu minta maaf, Malik? Memangnya apa yang kamu lakukan ini salah? Memiliki istri lebih dari satu bukan sesuatu yang tabu, 'kan? Toh, kalau saja dia hamil juga kamu tidak akan menikah lagi!"

"Cukup, Ma. Tolong ... biarkan aku menyelesaikan masalah ini sendiri," kataku pelan, tapi ada penekananan di setiap katanya.

Mama mendelik tajam, lalu kembali duduk bersandar dengan kedua tangannya dilipat di dada.

"Apa salahku, Mas?" tanya Karin dengan suara bergetar.

"Kamu tidak salah, Karin. Aku hanya—"

"Salahmu itu karena kamu mandul!"

"Ma, cukup!" sentakku. Aku tak tahan dengan sikapnya yang selalu menyalahkan Karin karena tak kunjung hadirnya seorang bayi di keluarga ini.

Mama terkejut, begitu juga dengan Papa. Ini pertama kalinya aku berkata dengan nada tinggi pada orangtuaku sendiri.

"Kamu berani bentak mama demi wanita mandul ini, Malik?" Mama melotot tajam seraya berdiri. "Mama ini wanita yang melahirkanmu! Menyusui dan mendidikmu sampai bisa sukses seperti ini! Dan sekarang ... kamu berani berteriak pada mama hanya karena anak yatim piatu ini, begitu?" murkanya dengan suara melengking.

"Ma, sudah, Ma. Nanti darah tinggi Mama kambuh lagi." Papa berusaha menenangkannya.

"Mama bisa kena serangan jantung karena ulah anakmu ini, Pah! Dia lebih membela wanita mandul itu daripada mamanya sendiri!"

"Karin tidak mandul!"

Semua orang terlonjak kaget saat aku menggebrak meja dengan kuat. Tak terkecuali Karin yang sedari tadi menunduk dengan isakan lirihnya. Ayu pun langsung melepas rangkulannya dari tanganku.

"Karin tidak mandul, Ma!" tegasku sekali lagi, tapi dengan nada lebih pelan. "Kami sudah memeriksakannya ke dokter. Baik Karin atau aku, kami berdua sama-sama sehat. Hanya belum waktunya saja kami diberi kepercayaan untuk memiliki anak."

"Ya sudah. Kamu tidak perlu minta maaf padanya!" Mama menunjuk Karin yang semakin menundukkan wajah dengan bahunya yang berguncang. "Mau tidak mau, dia harus rela dimadu! Kalau tidak, kamu ceraikan saja dia!"

"Aku tidak akan pernah menceraikan Karin, Ma. Tidak akan pernah!" tegasku dengan sorot mata tajam.

"Terserah!" Mama mengibaskan tangannya. "Hey, Karin! Jangan pernah menyalahkan putraku atas apa yang terjadi sekarang. Salahkan saja nasib burukmu! Kami sudah tua! Sudah waktunya untuk menimang cucu! Mengerti kamu, huh?"

"Pah ...," mohonku dengan tatapan memelas.

Papa mengangguk, lalu membawa Mama pergi ke kamar dengan sedikit memaksanya dan meninggalkan kami bertiga di ruang keluarga ini. Tak ada suara selain isak tangis wanita yang dulu pernah kuperjuangkan untuk bisa menikahinya.

"Kamu duluan saja ke kamar," perintahku pada Ayu.

"Tidak mau!" Ayu menyandarkan punggung, melipat kedua tangan di dada dengan menopangkan satu kakinya. "Aku juga istrimu. Tidak boleh ada rahasia di antara kita bertiga, Mas. Aku mau mendengar semua pembicaraan kalian!"

"Ayu!" geramku, tapi dia tidak peduli.

Kusentak napas kasar sembari mengusap wajah, lalu menatap kembali Karin yang sedari tadi menunduk sedih. Wanita yang pernah merajai hati sebelum akhirnya sosok Ayu hadir. Cinta ini memang telah terbagi, tapi cinta untuk Karin tetap yang paling besar.

"Jadi, alasan Mas ada tugas ke luar kota itu bohong?" tanyanya terbata-bata.

"Maaf." Aku menunduk dengan segumpal rasa penyesalan.

Tiga hari yang lalu, aku sangat yakin bisa dengan mudah melewati semua ini. Namun, kenyataannya ini sangat sulit dan menyakitkan. Melihat wanita yang pernah kuperjuangkan menangis tersedu-sedu, hati ini ikut tercabik-cabik.

"Tidak apa-apa, Mas. Benar kata Mama, aku mandul. Aku ... aku tidak sempurna."

"Karin!" tegurku karena tak suka mendengarnya merendahkan diri sendiri.

"Ayolah, Mas! Sampai kapan mau basa-basi seperti ini terus, sih? Aku lelah. Ayo kita ke kamar!" rengek Ayu manja sembari menarik-narik lenganku.

"Sebentar, Ayu. Aku masih bicara dengan Karin."

"Tapi, Mas ... aku mau tidur. Sudah jam sebelas malam, lho."

"Ya sudah. Kamu tinggal ke kamar lebih dulu. Apa susahnya, sih?" kataku kesal seraya menatapnya dengan kening berkerut dalam.

"Aku tidak mau! Kita ini masih pengantin baru, Mas. Aku tidak mau tidur kalau tidak sama Mas!" tolak Ayu sembari melirik tajam pada Karin.

"Jangan bersikap kekanak-kanakan, Ayu! Jangan membuatku tambah pusing!"

"Pergilah, Mas."

Aku menoleh saat mendengar Karin kembali bersuara. Dia tersenyum, tapi air matanya terus berlomba membasahi pipi tirusnya. Dulu, pipi itu sedikit chubby. Namun, satu bulan terakhir ini Karin terlihat lebih kurus.

"Karin ...."

"Tidak apa-apa. Pergilah, Mas. Nikmati masa-masa indah pengantin baru kalian berdua. Aku ... baik-baik saja," ucapnya sembari menghapus jejak-jejak air mata.

"Ayolah, Mas! Dia saja tidak keberatan. Tunggu apa lagi coba? Ayo!" Ayu yang sudah berdiri langsung menarikku dengan paksa.

Terpaksa aku mengikuti kemauan Ayu. Berjalan perlahan meninggalkan Karin yang menatapku masih dengan senyuman penuh luka.

Air matanya tak bisa menyembunyikan perasaan Karin saat ini. Hatinya hancur berkeping-keping dan akulah tersangkanya. Satu tanganku ditarik Ayu, sedngkan satu lagi menggeret koper besar.

Karin ....

Sesaat sebelum pintu kamar tamu ditutup sempurna, aku kembali melihat ke ruang keluarga. Karin masih duduk termenung di sana. Sendirian. Setitik bulir bening lolos dari sudut mata ini, ketika kulihat dia menikmati kue tart itu sendirian.

Hampir aja aku kembali berlari ke sana kalau saja Ayu tidak menarikku, menutup pintu dengan kasar, lalu menguncinya.

"Ini masih malam pengantin kita, Mas. Waktunya untuk bersenang-senang denganku, bukan dengan istri pertamamu."

★★★

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
ya ampun ada ya mertua kyk gitu udah deh Karin lebih baik tingglkan suAmi mu
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
tolol aja klu masih mau bertahan kecuali kamu benalu dan g bisa mandiri.
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
udah karin lebih baik kmu ngalah dgn laki2 yg g tegas itu dn biarin laki2 itu s penghianat dn pelakor hidup bersama blum tentu perempuan itu cpt hamil bisa juga perempuan itu yg mandul hukum karma berlaku ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status