Share

Part 5

Setelah mobil terparkir, dengan tergesa aku menggendong tubuh Karin dan berlari cepat menuju ruang UGD. Perawat langsung membantu membaringkan tubunya di brankar. Sayangnya, aku diminta menunggu di luar. Padahal, ingin sekali menemani Karin di dalam sana.

Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Perasaan gelisah dan takut bercampur aduk menjadi satu.

Bagaimana kalau ternyata Karin mengidap penyakit berbahaya? Sebulan terakhir ini, dia memang terlihat semakin kurus dan lesu. Ditambah lagi, kado terburuk yang kuberikan pasti membuatnya semakin terpuruk.

Astaghfirullah! Tidak! Aku tidak boleh berpikir negatif. Karin hanya demam. Ya! Hanya demam.

"Kenapa lama sekali, sih?" gerutuku dengan tidak sabar.

Sudah cukup lama Karin diperiksa, tapi belum ada tanda-tanda perawat atau dokter keluar dari ruangan. Karena tak sabar, akhirnya kuputuskan untuk masuk saja. Namun, baru saja hendak meraih handle pintu, perawat sudah lebih dulu membukanya.

Di dalam sana, Karin ternyata sudah sadar dan terlihat tengah berbincang serius dengan dokter.

"Silakan masuk, Pak!" ucap perawat tersebut.

Keduanya serempak menoleh dan berhenti berbicara saat menyadari kehadiranku. Karin memalingkan wajah, tapi terlihat jelas dia menyeka sudut matanya dengan telunjuk.

"Silakan duduk!" Dengan ramah dokter bernama Affandi itu mempersilakanku duduk di kursi depan mejanya.

Aku yang melihat Karin hendak bangun dari brankar pun langsung berdiri dan menghampirinya.

"Berbaring saja kalau masih pusing," ucapku sembari membantunya turun.

"Aku tidak apa-apa, Mas." Karin melempar senyum manis yang menghiasi wajah pucatnya.

Dengan perlahan, aku memapahnya untuk duduk bersamaku di kursi depan meja dokter.

"Sebenarnya istri saya kenapa, Dokter? Dia baik-baik saja, 'kan? Ini pertama kalinya istri saya pingsan seperti ini," cecarku.

"Istri Anda baik-baik saja. Hanya perlu istirahat. Jangan terlalu kelelahan, apalagi dengan kondisinya yang sekarang."

"Kondisinya yang sekarang? Maksudnya ... istri saya sakit keras?" tanyaku terkejut.

Dokter Affandi menatap Karin yang membuatku mau tak mau ikut menatapnya juga. Melihatku yang kebingungan, Karin hanya tersenyum, lalu kembali menatap dokter itu dengan raut wajah tenang.

"Ada apa, sih, Dokter?" tanyaku tak sabar.

"Tidak ada apa-apa. Maksud saya, kondisi kesehatan istri Anda sedang tidak baik. Jika sedang sakit seperti ini, sebaiknya jangan terlalu lelah dengan pekerjaan rumah. Jangan terlalu stres juga karena bahaya untukβ€”"

Perkataan Dokter Affandi terhenti karena Karin tiba-tiba terbatuk-batuk.

"Kamu tidak apa-apa?" tanyaku khawatir sembari mengusap-usap punggungnya.

Karin menoleh, menggeleng dan tersenyum.

"Lanjutkan, Dok. Maksudnya bagaimana tadi? Bahaya untuk apa?" tanyaku penasaran sekaligus khawatir. Takut dugaanku tentang Karin yang sakit keras itu benar adanya.

"Ehm ... maksud saya, bahaya untuk kesehatan Bu Karin. Berat badannya kurang beberapa kilo dari batas normal. Jadi, tolong diperhatikan nutrisi dan gizinya, ya. Harus banyak makan buah dan sayur."

"Ooh ... begitu. Dokter membuat saya takut saja. Saya kira istri saya mengidap penyakit berbahaya." Aku tersenyum lega sembari mengusap dada. "Saya akan menjaga istri saya dengan baik, Dokter. Terima kasih," ucapku sembari merangkul Karin yang duduk dengan tenang.

"Ini saya buatkan resep. Nanti silakan ditebus di apotek, ya." Dokter menyerahkan secarik kertas padaku.

"Baik, Dokter." Aku mengangguk sembari menerima kertas resep tersebut. "Tapi istri saya beneran sudah tidak apa-apa, 'kan? Wajahnya masih sedikit pucat soalnya," tanyaku memastikan.

"Tidak apa-apa, Pak. Istirahat saja yang banyak. Jangan lupa diminum obat dan vitaminnya. InsyaAllah istri Anda akan segera membaik. Tapi tolong diingat pesan saya tadi, ya. Jangan sampai kelelahan dan stress!"

"Baik, Dokter. Saya akan mengingatnya. Jadi, istri saya sudah boleh pulang?"

"Boleh, Pak. Silakan."

"Baiklah, terima kasih." Aku menyalami dokter tersebut, lalu memapah Karin keluar ruangan menuju apotek.

Tak berselang lama, obat sudah berada di tanganku. Beruntung sekali suasana rumah sakit sore ini tidak terlalu ramai. Langkah ini terhenti sejenak saat melihat Karin tengah menyandarkan kepala ke dinding dengan mata terpejam. Tanganku bergerak menyentuh dada. Ada yang berdenyut nyeri di dalam sini.

"Karin," panggilku lembut sembari menyentuh pundaknya.

Karin membuka mata. Lagi-lagi dia tetap tersenyum manis, meskipun aku sudah menyakitinya sedemikian rupa.

"Sudah, Mas?" tanyanya pelan.

"Sudah. Ayo kita pulang! Kamu bisa istirahat di rumah nanti." Aku membantunya untuk berdiri.

Belum sempat Karin melangkah, dia terkesiap kaget karena tanpa aba-aba aku langsung mengangkat tubuh kurusnya itu. Membopong Karin keluar rumah sakit sambil tersenyum.

"Turunin, Mas. Malu. Aku masih kuat jalan, kok." Karin menutup wajah dengan satu tangannya karena kini kami menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di rumah sakit.

"Kenapa harus malu?" Aku tertawa kecil sembari terus berjalan santai menuju parkiran.

"Mas ...."

"Hm?"

"Maafkan aku," lirihnya sembari menyandarkan kepala di dada dengan kedua tangannya melingkari leher.

"Maaf untuk apa?" Aku meliriknya sekilas, lalu kembali melihat ke depan.

"Maaf karena aku tidak bisa menjadi istri yang sempurna untuk Mas," lirihnya.

"Kenapa kamu bicara begitu? Bagiku kamu sempurna," sahutku untuk membesarkan hatinya. Aku tidak mau Karin selalu merasa kecil.

"Mas ...."

"Ya?"

"Selamat untuk pernikahan keduanya. Maaf aku baru bisa mengucapkannya sekarang. Semalam aku masih sangat syok," ucapnya lembut.

Aku berhenti melangkah. Menghela napas berat saat merasakan seperti ada batu yang menghimpit dada.

Kulirik Karin yang memejamkan mata. Terlihat tenang, tapi justru menghadirkan rasa yang ... entahlah. Seperti ada sesuatu yang salah dengan perasaanku sendiri. Aku takut mata itu tidak akan pernah terbuka lagi.

Harusnya aku senang dengan ucapan itu, bukan? Tapi kenapa hati ini malah berdenyut sakit? Ini, 'kan, yang kuharapkan? Karin bisa menerima pernikahan keduaku dengan ikhlas.

"Karin," panggilku lembut.

Karin membuka matanya. Mata bulat dengan bulu mata lentik itu mengerjap pelan. Dia tersenyum. Tak kulihat ada keterpaksaan di wajahnya.

"Maafkan aku," gumamku dengan hati yang berdesir perih.

Karin terdiam dan menatap lekat kedua mataku untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya, satu tangannya bergerak menyentuh pipi ini.

"Aku sudah memaafkanmu, Mas. Memaafkan semua orang yang pernah menyakitiku. InsyaAllah aku ikhlas," ujarnya dengan lembut.

Tak ada air mata yang menggenang, apalagi tumpah ruah seperti semalam. Hanya ketulusan yang tersirat jelas dari sorot matanya

"Hidup ini terlalu singkat untuk sebuah penyesalan dan dendam, Mas. Maafkan dan lupakan siapa pun yang menyakiti kita. Di sini ...." Dia menjeda perkataan. Tangannya turun dari pipi dan berhenti tepat di dada kiriku. "Di sini terasa lebih lega kalau kita ikhlas."

"Jadi, kamu ikhlas dengan pernikahan keduaku?" tanyaku memastikan.

"Apa Mas bersedia menceraikanku kalau aku memintanya?" tanyanya dengan menatap lekat mataku.

"Tidak akan pernah!" tukasku cepat. "Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah menceraikanmu."

Lagi. Karin tersenyum, lalu menyandarkan kembali kepalanya di dada dengan mata terpejam.

"Kalau begitu, tidak ada yang perlu kita perdebatkan lagi. Aku akan belajar ikhlas dan berdamai dengan luka ini. Aku tahu kalau hati Mas tak sepenuhnya lagi milikku. Tidak apa-apa. Soal hati ... itu sepenuhnya hak kamu, Mas. Aku tidak bisa memaksa Mas untuk selamanya hanya mencintaiku."

"Karin ...," desahku dengan helaan napas berat. Kata-katanya kembali berhasil menamparku.

Kenapa aku tega menyakiti wanita sebaik dirinya?

Aku menengadahkan wajah seraya membuang napas kasar. Andai saja mesin waktu itu benar-benar ada.

"Mas," panggilnya lembut.

Aku menunduk, menatapnya dengan sejuta rasa bersalah di dada.

"Ayo pulang! Aku ... ingin istirahat."

Aku mengangguk, lalu kembali melanjutkan langkah.

"Kamu mau beli sesuatu?" tanyaku ketika mobil mulai melaju sedang meninggalkan parkiran rumah sakit.

Karin yang sedari tadi memandang lurus ke depan pun menoleh. Menatapku dengan raut wajah tenangnya.

"Apa mesin waktu ada yang menjualnya, Mas? Kalau ada, aku ingin membelinya."

Aku menelan ludah, kembali menatap lurus ke depan dengan perasaan tak karuan.

"Mas," panggilnya lagi yang mau tak mau membuatku kembali menoleh. "Jangan marah, ya! Aku hanya bercanda."

"Aku tidak marah." Aku melempar senyum dan  kembali fokus mengemudi.

Aku bukan marah padamu, Karin. Aku marah pada diri sendiri. Benar kata Anthony, aku memang pecundang dan pengecut! Tidak bisa tegas dengan pilihan hidup sendiri. Hingga akhirnya, Mama bisa menyetirku semaunya.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Mengurai rasa sesak yang memenuhi rongga dada.

"Mas ...."

"Hm?" sahutku tanpa menoleh.

"Jangan pernah menyalahkan takdir atas apa yang terjadi pada kita! Semua yang hidup pasti akan mati. Di mana ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Siap tidak siap, mau tidak mau, semuanya pasti akan berakhir."

"Maksud kamu apa?" Aku menatapnya sekilas dengan kening berkerut dalam. Sungguh. Setiap kata yang keluar dari mulutnya membuat hati ini semakin tidak nyaman. "Dari tadi, kok, kata-katamu aneh begitu."

"Ini tidak aneh, kok, Mas. Aku hanya sedang mengutarakan apa yang ada di pikiranku sekarang."

"Sudahlah. Kamu istirahat saja. Nanti aku bangunkan kalau sudah sampai," tukasku sedikit kesal.

"Maaf, Mas," lirihnya, tapi aku tak menjawab ataupun menoleh.

Cukup lama kami berdua berada dalam keheningan. Karin tak lagi bersuara. Saat aku menoleh, dia tengah memandang keluar jendela dengan jemarinya yang bergerak menghitung garis-garis di jari.

Apa lagi kalau bukan tengah menyebut kebesaran-Nya?

Aku pun lebih memilih diam seribu bahasa. Semua ucapannya tadi membuat hati ini gelisah, kesal dan tidak nyaman. Aku tidak tahu alasannya apa. Seperti ada sesuatu yang mengganjal.

Ah, entahlah.

Namun, detik berikutnya aku menoleh saat mendengar Karin menggumam sesuatu. Pelan, tapi masih bisa kudengar dengan jelas.

"Andai boleh meminta kepada-Mu, izinkan aku sekali saja bertemu dan mengenal siapa orangtuaku."

β˜…β˜…β˜…

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Ochinae Kinah
jawaban dokter Koch ambigu banget antara jgn stress jrn hamil atau sakit lainnya ? knp TDK minta cerai saja toch Ayu jg dr awal sdh memonopoli malik ?
goodnovel comment avatar
Isabella
ah alasan mama yg menyetirnya dasar km emang doyan. kalau gak mau ngapain melakukan hubungan suami istri di waktu yg meruntuhkan hati Karin sedang km bisa tegas dg ayu .
goodnovel comment avatar
Isabella
bagaimana bisa istirahat dg tenang madu , mertua tidak ada yg suka dg Karin Malik Malik ente waras
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status