Mari kita bercerai, Mas.
Aku tertegun mendengar perkataannya yang menghadirkan denyutan di dalam sini. Sejenak kami saling beradu tatap dalam diam.
Hingga pada akhirnya, aku kembali tersadar dengan detak jantung yang lebih cepat. Mencoba mengontrol amarah yang terpantik saat mendengar dengan mudahnya dia berkata cerai.
"Apa aku tidak salah dengar? Kamu minta cerai?" tanyaku sembari berjalan maju mendekatinya.
"Demi kebaikan kita bertiga, Mas. Lepaskanlah aku. Aku ikhlas menjadi yang tersisih," ucapnya dengan tenang, tapi tidak denganku.
Perkataannya berhasil menghadirkan gejolak amarah di dada. Membuat harga diriku merasa terinjak karena dia menganggapku tidak mampu berbuat adil.
"Kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" tanyaku dingin. Mengatupkan rahang dengan keras sembari mengepalkan tangan di samping badan.
Karin tersenyum dan menggeleng.
"Justru aku melakukan ini karena aku mencintaimu, Mas. Level tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan. Aku ikhlas Mas menjadi milik Ayu seutuhnya."
"Kamu meragukan kemampuanku untuk berbuat adil, hm?" tanyaku dengan kening berkerut dalam. "Mungkin perasaan ini memang tidak bisa dibagi dengan adil karena pasti akan lebih condong pada salah satu. Kamu tahu siapa itu? Kamu, Karin. Perasaanku lebih condong padamu meskipun rasaku pada Ayu mulai tumbuh." Sesuatu yang ingin kusembunyikan akhirnya terucap juga.
Aku menelan ludah. Tersadar dengan kata-kata yang baru saja terucap dari mulut. Kata-kata yang akan membuat hatinya semakin sakit. Namun, untuk menariknya kembali pun tidak mungkin.
"Meskipun perasaanku tidak bisa dibagi rata, tapi dalam hal lainnya aku akan berusaha adil pada kalian berdua termasuk dalam membagi waktu. Apa kamu meragukan itu?" tanyaku pelan, tapi penuh penekanan.
"Aku tahu, Mas. Aku hanya tidak ingin kamu menjadi suami yang dzalim. Tidak ada manusia yang bisa adil seadil-adilnya kecuali nabi. Aku takut tidak bisa ikhlas sepenuhnya dengan ketidakadilanmu."
"Jangan khawatirkan itu! Aku akan membagi harta, waktu, pakaian dan lain sebagainya dengan adil, kecuali perasaan ini." Aku menunjuk dada sebelah kiri.
"Apa Mas yakin? Tidakkah Mas menyadarinya kalau Mas lebih condong pada Ayu? Hanya baru beberapa hari berpoligami, tapi Mas sudah menunjukkan ketidakadilan itu."
Aku bungkam. Benarkah aku lebih condong pada Ayu? Tapi kurasa tidak. Semua masih dalam batas normal.
"Perceraian memang dibenci, tapi itu lebih baik daripada terus menghadirkan pertikaian dan kedzaliman di dalam rumah tangganya," ucapnya dengan raut wajah tenang. Terlalu tenang sampai aku merasa terancam dengan ekspresinya.
Mungkinkah Karin tidak mencintaiku lagi? Kenapa dia tidak menunjukkan sedikit pun raut sedih seperti kemarin? Atau ... jangan-jangan dia sudah memiliki pria lain makanya berani meminta cerai?
"Kamu berani meminta cerai begini karena sudah punya laki-laki simpanan lain. Benar begitu?"
"Astaghfirullah," gumamnya dengan tatapan kecewa. "Kenapa Mas bisa berpikir buruk seperti itu? Aku bersumpah, sampai detik ini ... hanya Mas yang aku cintai. Apa pernah aku pergi keluar rumah ini tanpa seizinmu?"
Aku mengusap wajah kasar, Mengacak-acak rambut dengan gemas, lalu kembali menatapnya dengan rasa bersalah.
"Maaf. Aku tidak bermaksud menuduhmu. Aku hanya terlalu takut kamu berpaling."
"Mas takut aku berpaling, tapi Mas sendiri dengan mudahnya berpaling pada wanita lain. Mengabaikan semua janji manis yang Mas buat sendiri. Berkata ingin mengukir sejuta kenangan manis berdua denganku, tapi kenyataannya?" Dia tersenyum sembari menggeleng pelan.
"Dengar, Karin! Aku tidak mau berdebat tentang ini lagi. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah menceraikanmu! Jika suatu hari kamu mendapatiku tidak berbuat adil, maka tegurlah aku. Ingatkan aku! Bantu aku supaya tetap menjadi suami yang baik dan adil untuk kalian berdua. Apa itu terlalu sulit untukmu, hm? Bukankah kamu sendiri yang berkata hati akan lebih lega dan tenang jika kita ikhlas?" desakku penuh penekanan.
"Ya. Mas benar. Aku memang berkata akan menerima pernikahan kedua Mas ini dengan ikhlas. Tapiβ"
"Sudahlah diam! Fokus saja pada kesehatanmu dulu. Kita tidak perlu membahas hal yang tidak penting ini lagi. Karena apa pun yang kamu katakan, keputusanku tetap bulat! Aku tidak akan menceraikanmu. Pun tidak akan melepaskan Ayu!" tegasku penuh penekanan.
"Kalau aku yang mengajukan khulu'?" tanyanya yang seketika membuat mulutku sedikit terbuka karena kaget.
Hening. Tatapan kami bertemu dan saling mengunci. Aku dengan tatapan tajam. Karin dengan tatapan tenangnya, tapi berhasil membuat jiwa ini gelisah hebat.
"Apa kamu pikir itu hal yang gampang dan tidak butuh biaya? Memangnya kamu punya uang? Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau seluruh uang tabunganmu hilang entah ke mana?"
Karin menunduk.
"Ke mana memangnya kamu mau pergi kalau kita bercerai? Apa kamu punya tujuan lain selain panti, hm?"
"Bumi Allah itu luas, Mas. Aku bisa pergi ke mana saja dan mencari rezeki dari mana saja," jawabnya lembut.
Aku terdiam dengan hati yang panas. Tidak pernah menyangka Karin akan berani mengajukan permintaan seperti ini. Tanpa menanggapi ucapannya lagi, aku bergegas pergi. Mengabaikan Karin yang masih memanggilku dengan suara lembutnya.
Berjalan cepat melewati Papa dan Mama yang tengah santai menonton televisi. Mengabaikan ucapan Mama yang masih saja terus berceloteh menjelek-jelekkan Karin. Membuat kepala dan hatiku semakin memanas seperti mau meledak.
Dengan kesal kutendang ban motor untuk melampiaskan amarah. Mengaduh sakit saat tendanganku meleset dan terkena besinya. Aku terdiam sejenak, lalu terduduk di lantai garasi. Mengusap-usap dada sambil menggumamkan istighfar saat menyadari sudah terpancing amarah.
πΈπΈπΈ
Aku melajukan motor dengan kecepatan sedang menuju kediaman orangtuanya Ayu. Emosi mulai kembali stabil. Aku yakin Karin tidak sungguh-sungguh mengatakan tentang perceraian itu. Dia sangat mencintaiku. Tidak mungkin semudah itu dia ingin pergi dan mengakhiri pernikahan kami.
Spontan aku menarik rem saat sekilas melihat Ayu dibonceng oleh pria dari arah yang berlawanan. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung memutar balik motor dan mengejarnya.
Siapa pria itu? Kenapa mereka terlihat sangat dekat? Bahkan, Ayu melingkarkan kedua tangannya di pinggang pria itu tanpa risih.
Emosiku yang baru saja mereda, akhirnya kembali terpancing. Tidak akan kumaafkan kalau ternyata dia mengkhianatiku di pernikahan kami yang baru hitungan hari. Kupacu kuda besi ini dengan cepat, menyalip dan langsung menyilangkan motorku di depannya.
Ayu memekik kaget. Hampir saja motornya menabrak motorku jika si pria dengan helm full face itu tidak menarik rem. Kami bertiga serempak turun dari motor. Ayu menatapku dengan gelisah. Sesekali menunduk, sesekali menatapku lagi dengan tangannya yang saling meremas.
Dengan kedua tangan mengepal kuat dan dada yang naik turun menahan gejolak amarah, aku melangkah cepat mendekati keduanya.
"MβMas ...." Raut wajah Ayu yang biasanya terlihat merona jadi sedikit memucat.
"Apa yang kamu lakukan dengan pria ini, huh? Siapa dia? Kenapa kamu memeluknya dengan mesra?" tanyaku penuh penekanan.
"Anu, Mas. Itu ... anu ... diaβ"
"Jawab yang benar, Ayu!" bentakku keras dengan sorot mata tajam hingga dia tersentak kaget.
"Dia ... dia hanya temanku, Mas. Tadi ... tadi aku minta tolong diantar pulang setelah mencari Mas," jawabnya gelagapan dengan wajah tertunduk.
"Siapa kamu? Berani-beraninya kamu membonceng istriku, huh?" Aku menatap tajam pada pria yang berdiri santai di samping Ayu. "Buka helmmu. Tunjukkan wajahmu kalau berani!" Aku menantangnya.
Ayu menoleh padanya sambi menggeleng samar.
Apa dia pikir aku tidak melihatnya? Awas saja kalau dugaanku ini benar.
Pria itu mengedikkan bahu, lalu dengan santainya membuka helm. Amarahku semakin menggebu mengetahui siapa pria itu. Dialah pria yang pernah mencampakkan Ayu setelah merebut mahkotanya.
"Sial!" Tanpa aba-aba, aku langsung melayangkan bogem mentah di wajahnya hingga dia terhuyung ke belakang.
Tak cukup sampai di situ, aku kembali menghajarnya. Berkali-kali memberikan hantaman di wajah dan perut pria itu. Mengabaikan Ayu yang berteriak takut dan memintaku agar berhenti memukulinya.
Namun, pria itu juga tidak mau tinggal diam. Dia membalas pukulanku. Beberapa kali mendaratkan kepalan tangannya di wajah ini. Hingga terasa sesuatu yang hangat menetes dari hidungku.
"Berani-beraninya kamu mendekati Ayu lagi, huh? Ayu sudah sah menjadi istriku!"
"Sudah, Mas. Sudah!" Ayu menahan tubuhku yag hendak maju kembali untuk menghajarnya.
Pria itu malah tersenyum miring. "Kamu pikir, Ayu bisa secepat itu move on dariku, hm? Dia masih tetap mencintaiku sampai detik ini."
"Aldi!" sentak Ayu, lalu menoleh takut-takut kepadaku.
"Benar yang dikatakannya itu, Ayu?" tanyaku. Sekuat mungkin menahan emosi sampai gigi gemelutuk. Aku tidak mau sampai berakhir dengan memukulnya seperti aku memukul Karin.
"Tidak, Mas. Jangan dengarkan dia! Aldi bohong. Tadi ... tadi kami tidak sengaja bertemu, kok," bantahnya dengan suara sedikit bergetar. Jelas sekali terlihat kalau dia tengah berbohong.
"Tidak perlu menutupinya lagi, Ayu. Apa kamu lupa kalau kitaβ"
"Kamu jangan berkata yang tidak-tidak, Aldi! Berhenti mengada-ada!" potong Ayu.
"Sudah diam!" sentakku dengan dada naik turun. "Ayo pulang!" Aku menyeret paksa Ayu menuju motor kami.
"Terima kasih untuk malam ini, Sayang. Sampai ketemu lagi!" ucap Aldi dengan santainya.
Hampir saja aku turun kembali dari motor dan menghajarnya, jika Ayu tidak menahan. Dengan cepat kupacu motor ini meninggalkan pria berengsek di belakang sana yang sempat melemparkan senyuman mengejek. Mengabaikan Ayu yang berteriak takut dan memintaku untuk mengurangi kecepatan.
Emosiku bertambah berkali-kali lipat. Di rumah, Karin meminta cerai. Belum lagi ocehan Mama yang membuat telinga ini panas. Sekarang, Ayu menambahnya lagi dengan ketahuan jalan bersama mantannya.
Ada hubungan apa sebenarnya antara mereka berdua? Apa jangan-jangan ... diam-diam Ayu masih menjalin hubungan dengan pria itu?
Kurang ajar! Akan kucari tahu dan kuceraikan Ayu kalau sampai benar dia ada main dengan pria itu di belakangku.
β β β
Mama dan Papa bingung melihatku pulang dengan luka lebam di pipi. Hidung dan sudut bibir masih menyisakan darah kering yang menempel. Tak kupedulikan semua pertanyaan yang mereka lontarkan.Dadaku masih bergemuruh karena tindakan Ayu di luar sana. Meskipun, dia sudah berupaya menjelaskan Aldi dan dirinya tidak ada hubungan apa-apa, tapi firasat ini mengatakan lain. Aku masih belum yakin dia jujur."Mas!" Ayu mengejar. Mencekal pergelangan tangan tepat di anak tangga tengah. "Biar kuobati dulu lukanya.""Tidak perlu!" Aku menepis tangannya kasar, lalu kembali melangkah."Mas!" Ayu kembali mengejar dan menghalangi langkahku. "Aldi dan aku sudah tidak ada hubungan apa-apa, Mas. Tadi kami tidak sengaja bertemu. Untuk apa aku kembali pada pria bejat sepertinya? Coba saja Mas pikir baik-baik.""Kamu pikir aku bodoh? Mana mungkin kalian tidak ad
Entah berapa lama kami menghabiskan waktu untuk mengobrol. Sesekali tertawa kecil saat mengingat kekonyolan kami berdua di awal pernikahan.Rindu ini begitu menggebu-gebu meminta dituntaskan. Andai saja kondisi Karin sedang tidak sakit, pasti kami sudah saling melebur rindu. Bersatu dalam lautan cinta demi mencapai titik puncak kebahagiaan."Apa kamu benci Ayu?" tanyaku sembari mengusap kepalanya dengan lembut.Karin menggeleng pelan dengan mata terpejam."Kenapa? Apa kamu tidak menyalahkannya karena sudah menjadi duri dalam rumah tangga kita? Menjadi orang ketiga yang membuat hati dan cintaku terbagi?"Lagi. Karin menggeleng."Tidak sepenuhnya Ayu bersalah, Mas. Hati ini mungkin sakit dan kecewa, tapi aku tidak mau menyimpan dendam. Ayu tidak akan pernah masuk dan menjadi orang ketiga jika si pemilik hati tidak mengizinkannya. Tidak memberikan akses untuk dia masuk ke dalam rumah tangga kita."
Aku terperanjat bangun dan secepatnya menyibak selimut. Memunguti pakaian yang tercecer dan berlari masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, aku sudah selesai membersihkan diri. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. "Ayu, bangun, Ay!" Aku mengguncang bahunya pelan. Ayu menggeliat malas dengan matanya yang masih terlihat berat. "Ada apa, sih, Mas?" "Bangun, sudah siang. Kamu tidak mau berangkat kerja?" Ayu langsung memposisikan dirinya duduk sembari mengucek mata. "Jam berapa memangnya?" "Setengah tujuh. Sudah cepat mandi! Aku tunggu kamu di meja makan," titahku, kemudian langsung pergi keluar kamar. Aku melangkah dengan jantung berdetak cepat dan kedua tangan yang saling meremas gelisah.
Sepanjang perjalanan, pikiranku masih terbayang-bayang Karin yang berada sendirian di rumah. Sampai-sampai, Papa menegur dan memintaku tetap fokus mengemudi. Namun, baru setengah jalan kami pergi, Mama tiba-tiba memerintahkanku untuk memutar balik karena hadiah untuk Bude tertinggal.Lagi-lagi, aku terpaksa harus menuruti kemauannya. Ketika sudah sampai di depan rumah, Mama menolak turun dan memintaku yang mengambil hadiah itu. Namun, dahiku berkerut saat mendapati ternyata pintu rumah tidak dikunci.Apa Karin lupa?Aku masuk, lalu menyalakan saklar lampu ruang tamu. Sepi. Mungkin saja Karin sudah tidur.Lekas kuambil kado yang dimaksud Mama dari kamarnya, lalu segera keluar. Tadinya mau langsung pergi tanpa menemui Karin karena takut membuatnya semakin sedih. Akan tetapi, aku penasaran dan ingin memastikan dulu kalau dia baik-baik saja di sini.
Aku melajukan mobil dengan sangat kencang. Meliuk-liuk menghindari kendaraan lain yang menghalangi jalan. Rasa sakit di buku-buku tangan tak kupedulikan. Itu semua tidak sebanding dengan rasa sakit dan kecewaku terhadap Karin."Aarrgh!" Aku menggebrak stir mobil berkali-kali penuh emosi.Rasanya aku ingin menyiksa dan membunuh pria sialan itu andai tidak ada hukum. Wanita yang begitu kucintai ternyata diam-diam menyimpan bangkai. Pantas saja dia tidak keberatan saat kami tinggal. Ternyata Karin punya niat lain."Aaargh! Berengsek!" umpatku sembari terus menggebrak stir. "Mati saja kalian berdua! Mati! Berani-beraninya berbuat kotor di kamarku! Kurang ajar!"Aku menambah kecepatan saat mobil mulai memasuki jalanan yang cukup lebar dan lengang. Mengabaikan klakson kendaraan lain yang kesal karena aksi ugal-ugalan ini. Ponsel berdering berkali-kali. Melihat siapa yang m
Biarpun Ayu merengek minta sarapan bersama di luar, tapi aku tak mempedulikannya. Rasaku padanya yang sempat menggebu, hilang begitu saja setelah mengetahui dia ada main dengan Aldi. Ayu kuantar langsung ke kantornya. Setelahnya, aku melesat menuju kantor.Di kantor, aku benar-benar tidak bisa fokus dengan pekerjaan. Bayangan pertengkaran malam itu selalu hadir memenuhi kepala. Hati ini berdenyut sakit setiap kali ingat dengan perlakuan Mama terhadap Karin. Lebih sakit lagi saat aku teringat telah menamparnya untuk pertama kali."Aaargh!" Tanpa sadar aku menggebrak meja hingga membuat karyawan lain menoleh dan menatap heran padaku. "Maaf," ucapku dengan senyum terpaksa.Saat jam istirahat, terpaksa aku makan di kantin meskipun tidak begitu bernafsu. Kehilangan wanita yang dicintai bukan berarti jalan hidupku juga harus berhenti, bukan? Apalagi kehilangannya karena dia berkhianat.&nbs
Aku terperanjat bangun ke posisi duduk dengan napas terengah. Bahkan, rasa sakit itu masih terasa begitu nyata di dalam sini. Air mata pun masih ada jejaknya di pipi."Kenapa mimpinya begitu terasa nyata?" gumamku sembari mengusap air mata. "Apa maksudnya mimpi tadi? Apa Karin baik-baik saja?"Aku menggeleng cepat, berupaya mengenyahkan segala pikiran buruk yang melintas.Aku harus bisa melupakan Karin, tapi kenapa di sini sangat terasa sakit? Seolah Karin tidak akan pernah kembali. Lalu, siapa anak yang dituntunnya tadi? Apa itu anak dari selingkuhannya itu?""Aaargh!"Aku Mengacak-acak rambut frustasi, lalu beranjak turun dari kasur dan pergi ke kamar mandi. Membasuh wajah dan tertegun menatap diri di cermin besar.Tiba-tiba saja seolah aku melihat bayanganku yang pernah menggoda Karin di kamar mandi ini. Tanpa sadar, kedua sudut bibir ini terangkat naik mendengar tawa r
Sepanjang perjalanan, Ayu terus mengoceh, tapi aku hanya menanggapi dengan seperlunya saja. Ia merengek meminta ikut ke tempat pertemuan. Tentu saja aku menolak. Bagaimana bisa dia ikut, sedangkan keperluanku ada sangkut pautnya dengan perselingkuhannya? "Mas, nanti aku ikut, ya?" Ayu masih merengek dari balik kaca mobil setelah ia turun. "Tidak bisa, Ayu. Ini urusan bisnis. Kamu nanti langsung pulang saja, ya. Tunggu aku di rumah." "Tapi, Masβ" "Daah!" Aku melambaikan tangan sesaat sebelum mobil melaju meninggalkannya. Kulirik ia dari kaca spion. Ayu masih berdiri terpaku di tempat dengan wajah cemberutnya. Aku hanya menggeleng pelan lalu menancap gas menuju kantor. Merasa konyol dan bodoh pernah terbujuk oleh Mama dan