Satu bulan sudah berlalu. Semua berjalan dengan lancar dan sesuai rencana Carla. Urusan rumah juga sudah selesai, sayangnya, Carla tidak bisa mengelak ketika hari pernikahan Jovan datang. Sudah dipastikan ia akan bertemu dengan Kaluna di sana."Mas, bangun!" Carla yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung menggeram kesal melihat Savian yang masih terlelap nyenyak di atas ranjang. "Mas, aku tinggal, ya?" ancam Carla. Detik berikutnya mata Savian perlahan terbuka."Masih pagi, Sayang." Savian mengucek sepasang matanya yang masih berat. Ia tidak tahu kenapa Carla bisa bangun dengan begitu semangat pagi ini, padahal mereka baru sempat tidur subuh tadi, tepatnya tiga jam lalu."Akadnya jam sembilan, dua jam lagi. Cepat bangun!" Savian berdecak, ia bergerak menegakan tubuhnya sebelum Carla benar-benar marah. Setelah nyawanya sudah terkumpul semua, barulah ia berjalan menuju kamar mandi."Astaga, mas!" Carla menjerit di depan cermin riasnya. Cewek itu berdesis kesal melihat suaminya y
"Saya kasih waktu lima menit untuk kamu bicara." Savian menghentikan langkahnya tepat di ujung lorong yang sepi."Aku mau minta maaf, Savian." ungkap Kaluna dengan nada penyesalan. Savian melipat kedua tangannya di depan dada, matanya yang tajam tidak teralihkan sedikitpun dari wajah yang menunduk sendu dihadapannya. "Lalu?" Kaluna mengangkat pandangannya, memberanikan diri untuk membalas sorot obsidian Savian yang dingin. "Mungkin kamu mengira hubungan kita sudah selesai, tapi bagi aku enggak." emosi mulai terlihat dari wajah Kaluna yang menunjukkan ekspresi menggelora. Mendengar itu, Savian berdecih. Tapi Savian masih setia merapatkan mulutnya, memberikan kesempatan Kaluna untuk berbicara lagi."Selama bertahun-tahun, pikiran aku nggak pernah lepas dari kamu." Kaluna mengusap air matanya yang meleleh. "Aku tahu apa yang aku lakuin di masa lalu itu kesalahan fatal. Tapi, aku juga nggak mau itu terjadi. Aku dijebak,
Savian masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Tidak ada gairah kehidupan di wajah kusut itu. Perlahan badan besar Savian jatuh ke atas sofa, diiringi helaan napas panjang pria itu meraih ponselnya dari dalam saku celana.Untuk sesaat fokus Savian tertuju pada benda pipih digenggaman, mengetik sebuah pesan manis untuk sang istri."Nanti kalau mau pulang kabarin aku ya sayang, biar aku jemput." begitu isi pesannya.Savian melempar ponselnya asal ke atas meja, lalu ia memijat keningnya yang terasa mencekam. Pikirannya bekerja keras, mencari cara agar Carla mau memaafkannya. Meski bukan dirinya yang menginginkan pelukan dari Kaluna, tapi Carla tidak tahu hal itu, dan sudah pasti istrinya banyak berasumsi.Tak ingin membuat pikirannya semakin kusut, Savian segera berajak bangkit. Ia berjalan memasuki area dapur dan mengecek isi kulkas. Savian sudah menemukan ide agar Carla mau memaafkannya. Malam ini ia akan membuat dinner romantis. Setidaknya hal-hal manis seperti itu dapat menyurut
"Nggak mau ke Tangkahan aja, Pak?" "Ubud aja, Pak." Miera mendelik jengkel ke Jordi yang menyela ucapannya. Pagi ini sehabis meeting mingguan, Savian memberitahukan kepada pegawainya kalau minggu depan dia akan ambil cuti bulan madu selama lima hari. Memang, tadinya Savian hendak berangkat bulan madu hari ini sesuai yang ia janjikan ke Carla, tapi Papanya tidak mengizinkan. Bukan karena tidak membolehkan Savian untuk bulan madu, tapi Miko tidak ingin Savian mengambil cuti dadakan dan membuat pegawai di kantornya jadi kuwalahan karena harus menghandle pekerjaannya tanpa persiapan. "Istri saya maunya ke Bali, Mi." Miera semakin memelas. "Padahal Tangkahan bagus loh, Pak. Nggak kalah bagus dari Bali." ujarnya tak menyerah. Savian terkekeh kecil, "Makasih sarannya, mungkin lain kali saya liburan ke sana." "Jadi, kalian gakpapa ya kalau saya tinggal cuti?" tanya Savian menatap pegawainya satu per satu."Tenang, Pak. Selama masih ada saya di sini, aman!" jawab Jordi tengil. "Iya, Pa
“Janinnya baik-baik saja, hanya kontraksi karena dijenguk Ayahnya. Sebaiknya kalau janin belum berusia enam belas minggu tidak boleh dijenguk dulu ya, Mas.” Kening gue mengernyit. Janin? Dijenguk? Maksudnya gimana?“Maksudnya, Dok?” Carla bertanya. Muka dia sama bingungnya kayak gue, walaupun masih campur panik. Dan ekspresi Ibu Dokternya juga sedikit terkejut pas istri gue nanya. “Lho, Mbaknya belum tahu kalau mbak lagi hamil?” Hening.Gue sama Carla sama-sama diam dan membatu. Dan didetik berikutnya, secara kompak gue dan Carla saling bertatap mata. Saat itu juga gue langsung membawa Carla ke dalam dekapan. Carla terisak, sementara gue berusaha menahan air mata sambil terus berucap syukur dalam hati. Demi apapun, perasaan gue benar-benar campur aduk saat ini. Gue beneran senang, tapi rasanya gue juga pengen nangis. “Selamat ya, Mas, Mbak,” Suara Ibu Dokter menyadarkan kami, perlahan gue melepas pelukan. Gue hapus jejak air mata Carla sebelum kami fokus ke Dokter lagi. “Berapa
Savian melepas kacamata beningnya. Ia melirik jam dipergelangan tangan, lalu beranjak bangkit dari kursi kebesaran. "Pak," panggil Miera membuat Savian lantas menghentikan langkahnya. Savian hanya diam seraya menunggu Miera menghampirinya dengan IPad di tangan gadis manis itu. "Ini saya sudah list hotel dengan view—""Saya nggak jadi honeymoon." sela Savian membuat Miera menghentikan kalimatnya. Bersamaan dengan itu, pegawainya yang lain praktis menatap ke arah Savian dengan wajah terkejut. "Kenapa, Pak?" tanya Jordi penasaran bercampur cemas. "Istri saya lagi hamil, jadi nanti aja sekalian babymoon. Sekarang istri saya harus banyak istirahat di rumah." "HAH?" kompak mereka melongo. Namun didetik berikutnya wajah kaget itu berubah cerah. Tentu saja mereka turut bahagia atas kabar menyenangkan dari atasannya. "Udah berapa bulan, Pak?""Dedeknya tahu aja kondisi kantor lagi rumet, akhirnya dia muncul duluan." "Selamat ya, Pak!"Savian hanya tersenyum sekilas. Bukannya tidak sena
"Gue mau nikah." "HAH?" respon kaget itu serentak disuarakan oleh yang jadi lawan bicara Dinne, ada Carla, Mahen, Marcel dan Alvero yang dengan kompak menampakan ekspresi wajah yang sama. Melongo. "Sama siapa, Nne?" tanya Marcel sambil memajukan wajahnya ngegas.Dinne menundukkan pandangannya, dia terlihat cemas saat matanya tidak sengaja beradu tatapa dengan mata elang Mahen. "Sama Mas Gama." jawab Dinne dengan suara pelan. Tangannya yang disembunyikan di bawah meja meremas jemarinya gelisah. "Nne?" Carla menutup mulutnya tak percaya. Bagaimana mungkin Dinne memilih untuk menikah dengan pria yang pernah menyelingkuhinya. "Lo serius? Beneran nggak lagi ngeprank, kan?" sahut Marcel masih tidak percaya. Tapi ketika Dinne mengeluarkan kertas undangan dari dalam totebag yang gadis itu bawa, mereka kompak mendesah pasrah."Kita perlu bicara, Nne." Mahen beranjak bangkit. Wajahnya mengeras, menampilkan kesan marah yang sedang pemuda itu tahan. Suasana berubah mencekam. Ramainya pengun
“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” Savian bertanya, melirik bingung pada Carla yang sedang duduk anteng di jok sebelah. Tubuhnya memang diam, tapi sedari tadi bibir Carla tidak berhenti mengeluarkan kekehan ringan. Carla langsung meletakan ponselnya ke atas paha. “Nggak. Chaka ngirim foto kami pas dulu, muka aku kocak banget di situ, lucu aja.”“Foto kayak gimana? Coba lihat.” pinta Savian sambil menyodorkan tangannya.“Nggak usah di lihat, jelek, Mas.” Serius, menurut Carla fotonya memang tidak bagus. Ia terlihat seperti orang tolol karena belum siap untuk di foto. Carla masih ingat jelas kapan foto itu diambil. “Mana lihat.” Tapi Savian tidak kenal kata menyerah. Ia mau lihat foto seperti apa yang masih Chaka simpan. Carla berdecak, ia menyodorkan ponselnya pasrah sambil mempoutkan bibir bawahnya. Sejenak Savian mengalihkan pandangannya dari jalanan, ia menatap ke layar ponsel Carla, mengamati fotonya sebentar lalu berdecak kesal dan melempar ponsel Carla asal. “Dulu kita ngg