Share

Saya Mau Fitting!

Setelah melewati perjalanan yang melelahkan akhirnya Narendra dan Badi sampai di salah satu mal di pusat ibukota. Mal ini terkenal dengan prestige-nya karena hampir seluruh gerai yang ada di sini merupakan luxury brand. Perjalanan ini melelahkan bukan karena letak mal ini jauh dari kontrakan petak mereka melainkan karena Narendra yang tidak berhenti mengeluarkan komentar ajaib.

Sejak melihat mobil taksi daring yang menjemput mereka Narendra sudah berkomentar. Terbiasa dengan mobil berukuran besar selama tinggal di Boston, dia cukup kaget melihat low cost green car yang berukuran kecil. Bukan komentar buruk melainkan ketertarikan karena ini pertama kalinya dia menaikinya.

Di sepanjang perjalanan, pria itu juga tidak berhenti berceloteh. Persis seperti anak kecil yang senang diajak jalan-jalan oleh orang tuanya di akhir pekan. Badi dengan sabar menjawab semua pertanyaan dan mendengarkan komentar bos yang harus dijaganya sejak beberapa tahun lalu.

Ketika pertama kali ditugaskan untuk menjaga Narendra, dia berpikir akan menghadapi seorang tuan muda yang angkuh dan dingin. Dugaan yang sepenuhnya salah. Narendra yang hanya berbeda beberapa tahun darinya itu serupa dengan mahasiswa lain di kampusnya. Pria itu selalu penuh semangat, ramah pada siapa saja dan memanfaatkan semua fasilitas dan kemudahan dari keluarganya dengan sebaik mungkin.

Pria itu memang penuh priviledge dan dia menyadarinya itu dengan baik.

Begitu menjejakan kaki di lobi mal, Narendra seakan berubah menjadi sosok yang berbeda. Tidak ada lagi anak kecil yang sibuk berceloteh. Dia kembali menjelma menjadi seorang pria yang penuh dengan kepercayaan diri. Walau hanya mengenakan kaos putih dan jeans auranya tidak kalah dengan pengunjung lain yang mengenakan pakaian dari berbagai luxury brand.

“Langsung ke restoran yang biasa?” Badi bertanya. Bukan karena lapar tapi hanya sekadar penasaran.

“Nggak. Abi nyuruh aku fitting buat acara ulang tahun pernikahan Papa,” pria itu memutar mata malas, “Ngapain coba ngerayain tiap tahun? Kayak kurang kerjaan aja.”

“Tapi makanannya enak, Bos”

Spontan Narendra tertawa. Badi sudah sering mencicipi berbagai makanan enak. Apa yang dia makan biasanya juga dinikmati oleh bodyguard-nya. Tapi sampai sekarang pria itu selalu bersemangat setiap ada kesempatan makan gratis. Kata Badi kebiasaan itu sudah menempel di dirinya. Mau semampu apa pun dia, makanan gratis selalu jadi yang terbaik.

“Iya, sih,” Narendra memilih untuk menggunakan lift. Tidak ada rencana untuk window shopping apalagi belanja.  Dia meninggalkan tiga teman baiknya – Visa, Mastercard, dan American Express – di rumah ketika memutuskan untuk mencoba kehidupan menjadi orang biasa. Saat ini hanya ada satu kartu debit di tangannya.

Segera setelah pintu lift terbuka, Narendra keluar diikuti Badi. Dia masih ingat letak tailor yang biasa digunakan oleh keluarganya. Sejak kecil entah sudah berapa kali dia mengunjungi tailor itu. Pemiliknya bahkan cukup akrab dengannya. Tapi itu dulu sebelum dia sekolah di London.

“Maaf, Anda ingin mencari apa?” Seorang pramuniaga dengan cepat menyapa Narendra yang baru melangkah masuk.

Pria itu mengernyit mendengar nada suara pramuniaga itu. Ramah tetapi terselip sinis dengan tatapan yang seakan merendahkan. Bahkan dengan berani pramuniaga itu memperhatikan penampilan Narendra dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Narendra hanya mengenakan kaos dan jeans dengan rambut berantakan dan kacamata membingkai wajahnya. Orang yang tidak begitu dekat dengannya mungkin tidak akan mengenalinya dengan penampilannya saat ini.

Suits,” Narendra mengedarkan pandangan, “Sepupu aku nyuruh fitting.”

“Sepertinya Anda salah toko, Pak,” masih ramah tetapi dengan senyuman mengejek menghias wajah pramuniaga tersebut.

“Oh ya? Ini The Tailor, kan?”

“Pramuniaga itu mengangguk, “Tetapi pelanggan kami dari kalangan VVIP, Pak.”

“Terus masalahnya apa? Saya pelanggan dan mau fitting,” Narendra berujar dingin. Dia mulai terpancing karena perlakuan pramuniaga tersebut sangat menyebalkan.

“Kalau Bapak pelanggan kami, kami pasti akan mengenali Anda,” jawaban yang terlontar dari mulut pramuniaga itu semakin memperparah suasana hati Narendra, “Selain itu, maaf, dari penampilan Anda kelihatannya Anda tidak mungkin mampu membayar harga suits di sini. The Tailor hanya memberikan yang terbaik untuk pelanggannya dan itu tidak murah.”

“Gitu?” Narendra mengangkat sebelah alis dan membalas tatapan merendahkan Si pramuniaga, “Jadi karena penampilan saya, Anda pikir saya tidak mampu?”

“Bukan begitu, Pak,” Badi yang sudah berdiri di samping Narendra cukup menyiutkan nyari Si pramuniaga, “Tetapi kami tidak mengenali Anda.”

“Saya Sabda Narendra Widjaja. Masih nggak kenal?” Nada suaranya tidak hanya dingin tetapi mengintimidasi lawan bicara.

Pramuniaga itu terkesiap mendengar nama yang diucapkan oleh Narendra. Dengan cepat dia mengetuk beberapa kali layar tablet dalam genggamannya. Berusaha mencari data tentang Sabda Narendra Widjaja secepat mungkin. Setelah mendapatkan data yang dicari baru Si pramuniaga dapat bernapas lega. Foto anggota keluarga Widjaja itu jauh berbeda dengan pria yang ada di depannya.

“Kebohongan tidak akan membuat Anda dilayani. Silakan keluar atau saya panggil keamanan,” tegas pramuniaga itu berucap.

“Kamu ngusir saya?!”

Komen (80)
goodnovel comment avatar
Novi Kalila
mantap, lanjutkan
goodnovel comment avatar
herianto Nasir
bikin penasaran...tapi harus tukar poin terusssss...
goodnovel comment avatar
Muhamad As Hari
mantap saya suka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status