Share

Bab 2 - Pizza Untuk Mila

GADIS-gadis itu, berjumlah lima orang, adalah teman-teman sejak SMA. Setelah mereka berpisah untuk melanjutkan kuliah masing-masing, hari ini mereka mengadakan reuni kecil-kecilan.

Yang tinggal di apartemen Kalimaya, tempat Heru tinggal, bernama Mila. Anaknya cukup manis, namun tidak secantik teman-temannya yang mirip artis. Tetapi, yang Heru rasakan, Mila mempunyai sex appeal yang tinggi. Memandanginya saja sudah membuat pucuk hidung Heru berdenyut, ingin memeluk dan menciumnya.

Yang mirip BCL memang bernama Bunga Lestari, alias BL saja.

“Kok nama dan mukanya mirip banget, sih?” tanya Rudi menggoda.

“Gak tahu tuh, mami yang memberi nama,” jawab Bunga.

Yang mirip Luna Maya bernama bernama Astrid.

“Kok beda namanya?” tanya Rudi lagi, yang memang tidak bisa diam tidak berkomentar.

“Kenapa harus sama?” Astrid balik bertanya.

“Ya biar asyik gitu,” jawab Rudi sembarangan, sambil tertawa.

“Enak saja, emang gue gak asyik, gitu?” cemberut si Astrid sambil mengarahkan tangannya ingin mencubit tangan Rudi.

“Hehe kamu tentu asyik, sayang… apalagi kalau digitu…” sahut Rudi semakin menggoda. Dia dengan gampang memanggil Astrid dengan kata sayang.

“Ih, kamu genit ya. Digitu apa maksudmu?” desak Astrid pura-pura tersinggung.

“Yah, tahulah. Masak udah gede nggak tahu. Udah sering kali…” sambut Rudi sambil meraih badan Astrid seakan-akan ingin memangku dan memeluknya.

“Dasar buaya lu!” jerit Astrid bangkit menghindar dari jangkauan Rudi. Teman-temannya pada tertawa melihat adegan itu.

“Cie.. cie… tambah mesra nih!” goda teman-temannya.

Mereka sekarang sedang duduk bergerombol di salah satu sudut di sebuah kafe yang ada di apartemen Kalimaya, setelah mereka berganti pakaian.

Gadis keempat bernama Asti, dan mukanya memang mirip Asti Ananta, begitu juga rambutnya, serta tingginya.

“Asti Ananta?” kali ini Heru yang mencoba bersuara, biar tidak diborong oleh Rudi.

“Bukan,” jawab Asti.

“Jadi, Asti apa?”

“Asti aja.”

“Huh, pelit banget orang tuamu. Masa anaknya yang cantik begini cuma dikasih nama ‘Asti Aja’,” sahut Rudi menggoda.

Gadis bernama Asti itu tersenyum berwibawa, kayaknya dia keturunan ningrat sehingga dalam bergaul pun masih jaim alias jaga image. Tetapi senyumnya benar-benar seperti Asti Ananta si artis dan presenter cantik asal Semarang itu. Apalagi rambutnya yang cukup panjang dan di ujungnya bergelombang. ‘Ya Tuhan, rezeki apa aku hari ini,’ seru Heru dalam hati memandang Asti.

Gadis kelima berwajah etnis Sunda banget, namanya Aura Kinasih, mirip Aura Kasih, artis penyanyi dan pemain sinetron. Selain wajahnya, terutama bibirnya, kemiripan juga ada pada dadanya yang membusung, yang membuat Heru tidak berani menatap langsung tetapi selalu mencuri pandang.

“Kenapa lu?” tanya Rudi ketika menangkap basah lirikan Heru.

“Hahaha…” meledak tawa teman-temannya yang juga melihat gerak-gerik Heru mencuri pandang.

Tentu saja Heru menjadi merah mukanya karena malu. Tetapi Rara, panggilan akrab Aura, hanya tersenyum. Dia lembut banget, dan sangat menjanjikan kedamaian dan ketenangan.

Dua hari kemudian, Heru memberanikan diri menelepon Mila.

“Mil, kamu ada di apartemen gak?”

“Iya ada. Kenapa?”

Suara Mila terdengar agak lemas, mungkin dia sedang tiduran. Jam 12 siang begini tiduran? Hari Selasa pula.

“Aku mampir ya, tadi aku beli pizza, gak enak kalau makan sendiri.”

“Bener? Wah, kebetulan aku juga udah lapar.”

Apartemen Mila cukup luas. Mila tinggal bersama kedua orang tuanya, namun kedua-duanya bekerja.

“Tumben lu ingat gue?” tanya Mila ketika mereka sudah duduk di sofa ruang tamu.

“Tiap hari sih ingat. Bahkan ingat banget,” sahut Heru merayu. Mila pun pengertian dan tersenyum.

Setelah makan pizza yang dibawa Heru, keduanya terus ngobrol dan semakin akrab. Seperti ketika jumpa pertama, Heru merasakan sex appeal Mila sangat mempengaruhinya. Bagian dirinya yang vital sudah menegang, bahkan meronta-ronta.

Apalagi Mila sepertinya memang sengaja memancarkan daya tarik seksnya yang luar biasa itu. Tatap matanya juga lama kalau memandang Heru. Suaranya pun mendesah-desah. Bahkan bajunya yang longgar, model daster atau yang semacam itu, seakan-akan sengaja dibiarkan tidak rapi.

“Mil,” panggil Heru, suaranya parau karena bergejolak.

“Ya?” sahut Mila acuh tak acuh.

Hmm… Heru tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Otaknya sudah penuh dengan imajinasi. Dia bergeser mendekati Mila sehingga mereka bersentuhan. Mila membiarkannya.

“Mil, boleh nggak?”

“Boleh apa?” Mila melirik, dan lirikan itu membuat Heru seperti dipanah hatinya.

Heru meraih tangan Mila, lalu menciumnya. Deburan ombak di dadanya sudah menderu-deru, napasnya memburu.

Mila menarik tangannya. “Ih, kenapa sih kamu?”

“Mil, sungguh mati, aku cinta kamu.”

Mila hampir tersedak mendengar rayuan gombal Heru. Dia melirik Heru beberapa saat, mencoba menaksir-naksir apakah Heru serius atau hanya sekadar merayu saja.

“Segampang itu?” tanya Mila ringan, seakan apa yang didengarnya itu biasa saja. Padahal Heru sudah terkapar, hati dan jiwanya. Tidak sanggup dia menahan daya tarik seksual yang dipancarkan Mila.

“Eh… A-aku nggak tahu Mil,” Heru mencoba menenangkan diri. “Aku merasakan hal yang aneh sejak pertama bertemu kamu.” Heru mengatur napasnya untuk membendung sex appeal yang dipancarkan Mila.

“Kita baru bertemu, baru kenalan,” kata Mila. “Tidak segitu gampangnya kamu menyatakan cinta.”

Heru diam. Secara logika mana pun, apa yang dilakukan dan diucapkannya memang konyol. Heru malu sendiri. Tetapi degup jantung yang dia rasakan ketika berdekatan dengan Mila menghalau semua logika yang ada di kepalanya.

“Mila, please…” rengek Heru.

“Kamu mau apa?” tanya Mila.

Dengan memberanikan diri, Heru menarik pundak Mila dan mencoba memeluknya. Harum semerbak rambut Mila menerpa hidung Heru membuat pemuda itu melayang jauh ke awan.

Mila memberontak, tetapi pelukan Heru semakin kuat. Heru membenamkan kepala Mila ke dadanya, dan menciumi aroma harum di rambut gadis itu dengan lahap.

Kini tubuh keduanya bergulat di atas sofa. Heru menindih badan Mila, dan mulutnya berusaha mencari-cari wajah dan mulut Mila.

Mila seperti menolak, namun dia tidak berteriak. Hal itu diartikan Heru bahwa Mila tidak keberatan untuk dipeluk dan diciumnya.

Heru akhirnya mendapatkan mulut Mila, dan langsung meumatnya.

Mila pasrah, dan akhirnya membalas juga ciuman Heru. Napas keduanya memburu, mereka saling berpelukan dan berciuman dengan rakus sekali.

Ketika tangan Heru mulai bergerilya di lekuk-lekuk tubuh Mila, gadis itu mendorongnya. “Jangan”, desis Mila.

Heru sadar dari maboknya. Dia memandang Mila yang sudah lusuh. Sebagian wajah gadis itu tertutup oleh rambutnya, sedangkan bajunya lusuh tidak karuan. Mila menunduk mengatur napasnya yang memburu.

Tetapi rasa rindu di dalam hati Heru seperti belum terpuaskan. Biasalah, laki-laki selalu ingin mendaki hingga puncaknya.

“Mil, maafkan ya,” kata Heru akhirnya.

Mila diam saja, dan tetap menunduk.

“Mila…” panggil Heru cemas.

“Iya, nggak apa-apa…” sahut Mila mencoba menetralisir suasana.

“Mila, benar aku jatuh cinta kepadamu,” berkata Heru yakin. Dia merasa seakan-akan dia sudah mengenal Mila lama sekali. Hatinya seakan-akan sudah dipenuhi oleh Mila.

Mila menoleh ke arah Heru, mencoba memahami kata-kata yang barusan didengarnya. “Kamu yakin?” tanyanya.

Heru menatap Mila dalam-dalam, seakan mencoba meyakinkan Mila tidak dengan kata-kata, tetapi melalui perasaan yang penuh dari hatinya.

“Kita akan membuktikannya,” kata Mila.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status