RUDI langsung datang ke apartemen Heru setelah mendapat khabar dari temannya itu bahwa dia dikeroyok orang dekat mall.
Heru menceritakan kronologi kejadian itu.
“Kamu punya nomor telepon Bunga?” tanya Rudi.
Heru memberikan nomor telepon Bunga. “Tetapi jangan kasih tahu Bunga kalau aku dikeroyok!” pinta Heru.
“Hmm, gimana aku bisa cari tahu siapa si Hendra kalau nggak tanya sama Bunga?” tanya Rudi bingung.
Tetapi dia kemudian mendapat akal. “Aku akan minta bantuan Astrid, kebetulan aku punya nomor teleponnya.”
Heru ingat, Astrid adalah teman Bunga yang mirip artis Luna Maya. ‘Wah, rupanya Rudi sudah menjalin kontak dengan si Luna Maya itu…’ pikir Heru.
Heru mengubungi Astrid. “Hallo sayang…”
‘Gila, udah sayang-sayangan saja!’ bathin Heru hampir tidak dapat menahan ketawanya. Dia kenal sifat Rudi, orangnya memang tidak panjang sungkan, mudah akrab dengan orang, dan tidak banyak tedeng aling-aling.
Cukup lama juga Rudi berusaha membujuk Astrid untuk mengorek keterangan tentang Hendra dari Bunga. Rupanya, dari apa yang didengar Heru dari percakapan Rudi, Astrid merasa enggan mengorek keterangan dari Bunga, walaupun mereka berteman.
Tetapi setelah percakapan telepon itu selesai, Rudi berkata kepada Heru, “tenang, kita akan mendapatkan info tentang si Hendra ini.”
“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Heru penasaran.
“Sudahlah bro, kamu tenang saja. Ini urusan aku!”
Pertemanan Rudi dengan Heru memang sudah seperti saudara. Rudi bahkan mau mensupport keuangan Heru, jika Heru membutuhkan.
Memang, kadang-kadang Heru berada di posisi kritis jika pasokan dari ayahnya di Malang (sebuah kota di Jawa Timur, pulau Jawa, Indonesia) terlambat, sementara penghasilan Heru yang masih belum stabil membuatnya belum mampu mengatasi semua kebutuhan hidupnya di kota metropolitan Jakarta.
Ketika mereka asyik ngobrol, tiba-tiba ponsel Rudi berdering.
“Ya, hallo sayang…” sapa Rudi.
‘Itu pasti Astrid’, pikir Heru.
Tidak lama kemudian, Rudi menutup teleponnya.
“Rupanya si Hendra ini anak bos Sinar Bangunan! Kebetulan, gue dapat juga cecurutnya!” gumam Rudi. Heru tidak begitu mengerti apa yang dimaksud Rudi, namun membiarkan saja Rudi yang kemudian menelepon seseorang.
“Hallo, Samson! Kau ada kerjaan, lae!” sapa Rudi di telepon.
Rudi lalu memberikan instruksi kepada orang yang bernama Samson itu untuk mencari si Hendra, anak bos Sinar Bangunan, yang tinggal di daerah sekitar Pancoran, Jakarta Selatan. Setahu Heru, Sinar Bangunan adalah rangkaian toko swalayan yang menjual material bangunan dan alat-alat rumah tangga.
“Kamu tenang saja, brother!” kata Rudi setelah menutup telepon. “Ayo, kamu siap-siap, kita jalan-jalan.”
Heru agak tercengang juga. “Jalan-jalan? Ini sudah malam.”
“Kamu mau ketemu si Hendra, nggak?”
Sebenarnya, Heru tidak ingin terlibat masalah lebih jauh. Memang dia sakit hati terhadap Hendra yang telah mengeroyoknya, dan masih merasakan sakit di sekujur badannya. Tetapi apa yang bisa dia lakukan untuk membalas sakit hatinya itu?
Namun dia juga menjadi penasaran. Apa mungkin anak buah Rudi bisa secepat itu menemukan si Hendra?
Tanpa berpikir lebih lama lagi, karena memang Heru sudah tidak mampu berpikir banyak, dia kemudian mengganti baju dan menutupi memar dan lebam di wajah dan tubuhnya.
…
Mobil Rudi adalah Mazda CX! Mobil SUV (Sport Utility Vehicle) yang mirip sedan ini kalau tidak salah berharga setengah miliar rupiah. Rudi memang termasuk penggila mobil, suka ganti-ganti mobil. Walaupun mobilnya ini bukan yang termahal dari produsen mobil Jepang itu, namun hampir seluruhnya sangat memukau. Orang bilang, mobil Mazda tidak seperti mobil Jepang, namun lebih terkesan sebagai mobil Eropa. Ada juga yang bilang kalau Mazda itu mobil ‘genit’, karena kalau diucapkan, terdengar seperti “mas… daahh…”
Di bawah sinar temaram lampu di parkiran basement, mobil berwarna merah metalik itu tampak berkilau.
“Tut-tut…” bunyi lembut dari locking system mobil menandakan pintu sudah terbuka.
Heru sudah sering jalan dengan Rudi, namun menggunakan mobil yang ini, baru kali ini Heru merasakannya.
Ketika menghempaskan pantatnya ke jok mobil di samping Rudi, Heru merasakan kenyamanan yang luar biasa. ‘Pantas saja mobil ini mahal,’ bathin Heru. Dia merasakan seperti berada dalam kokpit pesawat jet pribadi yang lux.
“Mobil baru lagi, Rud?” tanya Heru basa-basi.
“Sudah beberapa hari sih,” jawab Rudi santai.
“Hmm.. kapan ya gue punya mobil kayak gini,” gumam Heru masih merasa kagum.
“Tenang Her, kalau kamu mau, kamu bisa pakai mobil ini. Ntar aku ganti yang lain…”
Gila! Gampang banget orang ini ngomong. “Ah, bercanda kamu Rud!”
“Serius! Kamu mau coba bawa ini?” tawar Rudi.
“Ah, sudahlah. Lain kali saja. Ayo kita jalan!” Heru merasa nggak enak hati. Dia tidak mungkin percaya apa yang baru saja didengarnya itu. Rudi mau memberikan mobil baru yang mahal ini begitu saja kepadanya?
MEMANG sih Rudi anak orang kaya, bos perusahaan properti yang memiliki perumahan dan apartemen di mana-mana. Tetapi mana bisa dia menyerahkan mobil seperti itu begitu saja? Kawan sih kawan, tetapi apa keuntungan bagi Rudi sehingga begitu baiknya kepada Heru? Tiba-tiba ponsel Rudi berdering. “Ya, hallo?” Sejenak Rudi mendengarkan berita via telepon itu, lalu katanya, “Catcha!!” “Dapat?” tanya Heru. “Yoi! Dia lagi pesta di daerah Tebet, sama kawan-kawannya.” Mobil mereka pun meluncur ke daerah Tebet, masih di area Jakarta Selatan. Oleh karena sudah malam, sudah jam sebelas malam, jalanan sudah mulai sepi sehingga tidak lama mereka sudah sampai di TKP. Seorang lelaki tinggi besar dan beberapa orang lainnya menghampiri mobil mereka. Lelaki tinggi besar itu layaknya si BA di dalam film jadul “The A Team”. Pantas saja namanya Samson! Tetapi ketika berbicara, si Samson ini berlogat seperti orang Batak (sebuah suku di Sumatera Utara, I
RUDI mengantar Heru kembali ke apartemen. Di dalam mobil, Heru hanya diam, tidak tahu harus ngomong apa. Peristiwa tadi benar-benar mencekam bathinnya. Walaupun dia yang menjadi korban pengeroyokan dan mengalami sakitnya, namun dia tidak akan memberikan hukuman sekeras itu. “Sudahlah, Her. Nanti kamu akan terbiasa juga,” kata Rudi memecahkan kekakuan di antara mereka. “Aku tidak tahu kamu bisa sekejam itu,” sahut Heru dengan suara yang tercekat. Rudi menyeringai. “Aku terlalu kejam, ya?” Heru tidak menjawab, jadi Rudi melanjutkan ucapannya, “bukan aku yang melakukannya, kan?” “Tapi atas perintahmu,” tukas Heru. “Her, dunia ini lebih kejam lagi. Samson dan anak buahnya itu hanya mencari makan dengan cara itu, mereka tidak bisa yang lain. Mereka mau kerja kantoran tidak bisa. Lalu siapa yang memberi makan mereka? Aku hanya memanfaatkan jasa mereka, memberi mereka pekerjaan. Aku juga mendidik anak-anak kurang ajar macam Hendra itu agar ti
“MAS, ada apa?” tanya Mila melihat Heru yang berubah jadi murung.Heru menghela nafas, lalu mencoba tersenyum kepada Mila. Kasihan gadis itu, dia pasti sudah jatuh cinta kepadanya.Bagi Heru, Mila cukup manis, dan mempunyai daya tarik atau sex appeal yang sangat tinggi terhadap Heru. Melihatnya saja sudah membuat Heru birahi, apalagi berdekatan, mencium bau harum di rambut dan badannya, menyentuhnya!Heru merasakan kelezatan yang tiada tara ketika mengecup bibir Mila, mengejar-ngejar lidahnya yang menari-nari di rongga mulutnya! Heru merasakan kasih sayang yang luar biasa ketika memeluk Mila, mendekapnya seerat-eratnya, menindihnya. Walaupun sampai saat ini mereka belum sampai bersenggama, hampir-hampir saja karena mereka sudah mabok birahi, namun ada saja yang menghalangi hal itu terjadi.Tetapi, dibandingkan dengan Bunga, Heru lebih memilih Bunga!Bunga termasuk gadis impiannya. Gadis itu tampak lebih putih dan ranum, lebih sumringah.
KETIKA keluar dari kamar mandi, Heru tidak melihat Mila lagi. Gadis itu sudah pergi meninggalkan apartemennya. Heru buru-buru menelepon Mila, tetapi teleponnya di-reject! Beberapa kali Heru mencoba, kuatir ada masalah sambungan telepon, tetapi tetap saja, teleponnya memang di-reject oleh Mila. Heru akhirnya mengirim pesan WA saja. “Mil, kok pergi?” Muncul jawaban dari Mila. “Sudahlah, mas. Jika sudah ada orang lain, lupakan aku!” Astaga! Heru terkulai, duduk di tempat tidurnya walaupun masih bersarung handuk. Dia melempar ponselnya ke atas tempat tidur. … Mila tentu saja mendengar Heru berbicara di telepon dalam kamar mandi. Apartemen Heru hanya sebuah studio kecil, mirip kamar hotel saja. Walaupun dia tidak bisa mendengarkan pembicaraan itu dengan jelas, namun hati kecilnya sudah merasakan bahwa ada seorang wanita lain yang sedang menghubungi Heru. Pantas saja Heru mematikan telepon itu tadi. Pantas saj
SETELAH sampai di mobil, Heru menelepon Bunga. Tidak lama, telepon itu diangkat. “Ya?” terdengar suara Bunga namun ketus.Heru mengatur nada suaranya. “Hallo sayang…”Diam. Bunga tidak menyahutnya.“Bunga sayang, aku sudah di mobil. Siap meluncur ke tempat kamu.”Sesaat Bunga diam saja, tetapi kemudian menyahut, “emang tahu rumahku di mana?”Heru tersenyum. Sebuah lampu sudah menyala, tinggal menyalakan lampu-lampu yang lainnya.“Justru karena itu aku telepon, sayang…”“Sayang… sayang… gombal!”Heru tertawa geli, tetapi menutup mic di ponselnya agar tidak terdengar Bunga.“Bunga sayang, kasih tahu alamatmu biar aku segera jalan nih,” rayu Heru. Tetapi, Bunga malah menutup telepon!Heru kaget lalu melihat ponselnya. Apakah terputus?Tiba-tiba sebuah pesan WhatsApp masuk, dari Bunga. Isinya adalah s
“BY THE WAY, kok kamu marah sih di telepon tadi pagi?” tanya Heru ingin membuka simpul kesalahpahaman mereka. Tetapi Heru lupa kalau Bunga itu orangnnya cerdas dan teliti. Pertanyaan itu seperti menggali kuburnya sendiri! Sejenak Bunga menatap Heru. Pandang mata Bunga begitu teduh, menenggelamkan, namun indah karena dihias oleh bulu mata yang lentik. Tetapi, pandangan itu mampu menyelami hati hingga yang paling dalam. “Kamu tadi sama siapa?” akhirnya dia bertanya, sambil tangannya menopang dagu. Pertanyaan itu tentu saja mengejutkan Heru, betapa stright to the point-nya, menembak dengan sangat jitu! Heru tidak bisa menjawabnya. Jika dia bohong, Bunga akan tahu! Tetapi jika dia jujur, sedang bersama Mila sahabat Bunga sendiri, maka kiamat akan segera tiba! Terpaksa Heru berlagak bego! “Waktu kamu telepon, aku lagi di kamar mandi,” jawab Heru, jauh dari konteks pertanyaan. Memang seperti itulah cara lelaki menghadapi todongan se
“BUNGA, sorry ya…” kata Heru dengan perasaan bersalah. Bunga tersenyum. Senyum yang manis sekali, tiada duanya di mata Heru, membuat pemuda itu yakin bahwa Bunga tidak marah. “Aku ambilin minum dulu, ya. Sorry, sampai lupa…” kata Bunga sambil bangkit dan berjalan ke dalam. Heru memandangi gadis itu hingga hilang di balik gorden. ‘Ya Tuhan, aku cinta padanya! Aku cinta pada Bunga…’ Sekilas tiba-tiba terlintas Mila dalam pikirannya. ‘Maaf Mila, aku mengecewakanmu…’ Heru tahu kalau Mila sudah mulai jatuh cinta kepadanya, bahkan rela berkorban apa saja yang diinginkan Heru. Tetapi Heru masih tidak tergerak hatinya untuk menyatakan itu cinta atau sayang. Heru hanya merasakan desakan birahi yang sangat kuat jika berdekatan dengan Mila, dan Mila pun merasakan yang sama. Jadi, hubungan mereka memang karena perasaan birahi antara laki-laki dan perempuan. Tetapi apakah seorang perempuan bisa beranggapan seperti itu? Pada dasarnya, perempuan tida
“UDAH, ah, interogasinya. Aku jadi lapar!” celetuk Heru sambil bergeser mendekati Bunga. Bunga kembali tersenyum. Sekarang dia harus waspada terhadap Heru, karena pemuda itu mempunyai penyakit birahi, bisa tiba-tiba saja menangkapnya. “Kita pesan saja ya?” tanya Bunga sambil meraih ponselnya. “Kita keluar,” sahut Heru cepat. Sejenak Bunga kelihatan berpikir. “Tapi nggak usah jauh-jauh ya, aku malas ganti baju.” “Oke, kamu nggak pakai baju juga cantik kok…” goda Heru. “Apa?” Bunga melotot, pura-pura tersinggung. Tetapi Heru sudah menemukan kembali jati dirinya. Dia bangkit lalu menarik Bunga berdiri. Sebelum Bunga sadar, sebuah ciuman telah mendarat di pipinya! “Ih, dasar! Main nyosor saja!” protes Bunga. “Maaf say, diriku tak tahan…” jawab Heru seenaknya. Bunga menatap Heru. “Kamu sering cium Mila, kan?” Ah, pertanyaan itu lagi! Tetapi, masa bodoh lah. Bunga tidak akan melepaskan sesuatu pun yang membuat