Share

Kakek dan Cucu

Matahari hampir terbenam saat bocah bernama Fang dan sang kakek selesai memancing. Keduanya lalu meninggalkan tempat itu untuk kembali ke rumah mereka.

"Fang'er, apakah kau masih merasakan kedinginan?" Tanya Kakek dengan khawatir.

"Tidak kek, setelah kau mengalirkan tenaga dalam ke tubuhku, aku langsung merasakan kehangatan." Balas sang bocah sambil tersenyum lebar, senyuman yang mampu membuat orang melihatnya akan merasakan kenyamanan dan kedamaian.

Fang, itu adalah nama bocah tersebut. Tidak memiliki marga atau tambahan nama seperti kebanyakan orang. Pernah Fang menanyakan hal tersebut kepada sang Kakek, tetapi pria sepuh itu hanya mengatakan ia akan mengetahuinya setelah waktunya tepat. Fang hanya bisa memanyunkan bibirnya, sebab itu tidak tahu kapan waktu yang tepat itu akan datang.

Sesuai perawakannya yang mungil, Fang berusia enam tahun. Meskipun demikian, Fang tidak lemah seperti yang terlihat, dengan tubuh kecilnya ia bisa memikul benda atau hewan yang memiliki berat cukup besar sekali pun. Hal itu sudah sering dilakukannya, misalnya saja mengangkat batang pohon untuk dijadikan kayu bakar atau hewan hasil tangkapannya di hutan.

Hal tersebut bisa terjadi karena bocah itu selalu mengkonsumsi Ginseng Air yang diambilnya di dasar sungai tempat mereka mancing sebelumnya. Ginseng Air itu sendiri berkhasiat untuk meningkatkan kualitas tulang dan memperkuatnya.

Selain itu, ia juga sering membantu sang Kakek untuk membelah kayu, dengan demikian otot-ototnya mulai terbentuk dan membuatnya lebih kuat daripada anak-anak seusianya.

"Kek, apakah aku juga bisa belajar ilmu beladiri sepertimu?" Tanya Fang di sela-sela perjalanan mereka.

"Tentu saja bisa! Kapan kau mau memulainya?"

"Besok!"

Mendengar pernyataan bocah itu, sang Kakek hanya bisa tersenyum tipis. Ia sudah sangat mengenal watak sang bocah, yang selalu ingin mempelajari hal yang baru dan haus akan ilmu.

Sebab itulah, meskipun masih berusia enam tahun, Fang memiliki kecerdasan yang sulit ditemukan pada anak seusianya. Ia juga sudah pandai berhitung, membaca, menulis dan beberapa hal yang harus dikuasai oleh manusia untuk memudahkan aktivitasnya.

Hebatnya, bocah itu mempelajari semua hal tersebut sendirian dari buku yang sering dibawakan sang Kakek ketika pulang dari bepergian. Sebab itulah Fang selalu bersemangat saat Kakek mengatakan akan pergi ke sebuah tempat, karena ia yakin sang Kakek akan membawakan sesuatu yang bisa dipelajarinya saat kembali.

Tanpa disadari, keduanya sudah sampai di depan kediaman mereka. Sebuah gubuk sederhana dengan dinding yang terbuat dari papan dan atap yang terbuat dari daun rumbai. Saat keduanya masuk ke dalam pun, lantai rumah mereka hanyalah tanah.

"Sebaiknya kau beristirahat sejenak sementara Kakek akan membuatkan air hangat untuk kau mandi." Setelah berkata demikian, sang Kakek langsung pergi ke dapur untuk meletakkan ikan hasil tangkapan mereka dan Ginseng Air sebelum membuatkan air panas untuk Fang. Sementara Fang sendiri menuruti perintah Kakek dengan berbaring di sebuah ranjang yang terbuat dari bambu itu.

"Kakek begitu menyayangiku, tapi sampai saat ini belum ada yang bisa kulakukan untuk membuatnya bangga." Gumam sang bocah di dalam hatinya.

Tanpa Fang sadari, lamunannya itu membuatnya mengantuk dan ia pun tertidur dengan pulasnya.

"Fang'er, bangun. Ayo mandi, setelah itu kita makan. Kakek sudah memasakkan makanan kesukaanmu." Bisik Kakek pelan sambil menggoyangkan tubuh Fang untuk membangunkannya.

Fang menggosok matanya, rasa kantuk masih belum mau pergi dari tubuhnya. Tapi ia memaksa dirinya untuk bangun dan menuruti perintah Kakek. Ia pergi ke luar dan mandi air panas yang telah disiapkan Kakek untuknya.

Seperti biasa, selain air hangat terdapat juga beberapa tumbuhan dan campuran lainnya yang tidak diketahui nama maupun jenisnya oleh Fang. Saat Fang mencoba menanyakannya, Kakek lagi-lagi mengatakan ia akan mengetahuinya saat waktunya tepat.

"Kenapa Kakek selalu mengatakan aku akan mengetahuinya saat waktunya tepat untuk menyembunyikan sesuatu dariku? Apa sebenarnya yang harus ku ketahui saat itu dan kapan waktu tepat itu akan tiba?" Fang tidak bisa menahan rasa penasarannya, lama-lama dia bosan mendengar kata-kata itu.

"Cepat mandi setelah itu kita makan!" Kakek tidak menjawab pertanyaan Fang, ia memilih mengalihkan topik pembicaraan mereka.

Dengan wajah kesal, Fang masuk ke dalam bak dan mulai mandi. Setengah jam berlalu, Fang keluar dari bak mandi itu dan memakai pakaiannya kembali lalu masuk ke dalam rumah. Ternyata ia sudah ditunggu oleh Kakek di meja makan dengan hidangan yang membuat perut kenyang sekali pun ingin kembali menyantapnya.

"Dari bau nya saja sudah enak. Kakek memang koki terbaik." Ucap Fang dengan segera berlari ke meja makan. Rasa marah yang terlihat di wajahnya sebelumnya kini sepenuhnya hilang, digantikan senyuman yang merekah lebar.

"Eeeeeuuuummmmm!"

Fang menciumi bau makanan yang ada dihadapannya, setelah itu tanpa basa-basi ia langsung memakannya.

"Pelan-pelan Fang, tidak akan ada yang merebutnya darimu. Kalau kau makan seperti itu, kau bisa tersedak."

Uhuk-uhuk

Belum kering air ludah Kakek saat memperingatkan Fang, bocah itu sudah terbatuk-batuk dan mencari air minum.

Sang Kakek hanya bisa menggelengkan kepalanya dan menuangkan air putih untuk diminum bocah itu.

"Maafkan aku kek, habisnya makanan buatan Kakek begitu enak sayang untuk dilewatkan." Ucap Fang sambil mengelus perutnya yang membesar karena kekenyangan. Setelah itu ia membereskan bekas makanan mereka. Sementara sang Kakek pergi keluar rumah sambil membawa seguci arak di tangannya.

Fang menghampiri Kakek yang sedang minum arak tersebut setelah selesai membereskan meja makan. Ia duduk tepat di sebelah sang Kakek.

"Meminum arak sambil memandangi langit malam yang indah, mengingatkanku pada masa mudaku." Ucap Kakek sambil terus menenggak arak di tangannya. Tanpa diminta Fang, sang Kakek menceritakan masa lalunya.

***

Saat sang Kakek masih muda, waktu itu usianya dua puluh tahunan. Sang Kakek memiliki seorang kekasih. Keduanya saling mencintai, mereka bahkan berjanji untuk hidup bersama.

Akan tetapi, pada suatu malam, sang Kakek mendapati kekasihnya itu terbunuh oleh adik seperguruannya. Ia tidak mengetahui apa permasalahannya, sang Kakek hanya melihat wanita pujaannya itu terbaring lemah tak berdaya dengan sebuah tusukan pedang di perutnya.

Sang Kakek murka kepada adik seperguruannya itu, ia juga tidak mendengarkan penjelasan saat adik seperguruannya itu mencoba menjelaskan pokok permasalahannya. Ia langsung menyerang adik seperguruannya dan hampir membunuhnya. Akan tetapi itu tidak ia lakukan, sebab sang Kakek sebenarnya sangat menyayangi adik seperguruannya itu.

Dengan perasaan emosi dan murka, sang Kakek muda meninggalkan sektenya dan memutuskan untuk hidup sendirian mencari kesenangan yang bisa menguatkan hatinya agar tidak mengingat lagi kekasihnya.

Saat-saat itulah langit malam menjadi penting untuknya. Ia selalu menyaksikan hal itu dengan seguci arak di tangannya. Hal itu berlangsung sampai saat ini. Sejak kematian kekasihnya, sang Kakek hanya menghabiskan waktunya untuk berlatih dan mabuk-mabukan.

***

Fang yang mendengar cerita sang Kakek menjadi sedih dan iba. Ia memeluk pria tua yang sudah dianggapnya Kakek kandungnya itu dengan erat dan berkata, "Kakek tidak perlu bersedih, aku akan selalu bersamamu."

Fang sendiri sudah mengetahui sejak lama bahwa pria tua di sampingnya itu bukanlah Kakek kandungnya, tetapi ia tetap menyayanginya seperti Kakek kandungnya sendiri. Begitupun sebaliknya, sang Kakek juga menyayangi Fang dan menganggapnya seperti cucunya sendiri.

Sang Kakek hanya tersenyum pahit saat Fang berkata akan selalu bersamanya, sebab ia mengetahui bahwa suatu saat nanti, ia dan Fang akan berpisah karena bocah itu harus mencari jati dirinya dan mengetahui kebenaran identitasnya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Andi Setianusa
cukup bagus
goodnovel comment avatar
Sri Tanti
bagus ceritanya.........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status