“Mas, bengong aja! Makasih ya,”
“Oh, iya, Mbak. Sama-sama,” balas Wira, ia masih menyimpan rasa tak percaya di benaknya.
“Mas, mas ... ini, makasih udah anter paketku ya.”
“Lho, ini apa, Mbak?” tanya Wira sesaat sebelum menerima sebuah kotak kecil berwarna hitam.
“Hadiah, Mas. Semoga bermanfaat buat Mas-nya,” ujar Melati. Ia tampak tersipu dan segera berbalik kembali masuk ke rumah berpagar putih itu.
Wira melanjutkan perjalanan begitu Melati menghilang di balik pintu rumah nomor 88. Ia simpan hadiah dari perempuan itu di sling bag-nya. Pemberian seperti ini amat jarang terjadi. Wira seperti baru saja memenangkan sebuah penghargaan semisal Kurir Award. Dalam hati sebenarnya ia penasaran apa isi kotak itu. Tapi tugasnya masih banyak dan harus segera diselesaikan.
Rasa penasaran Wira juga masih ada tentang keberadaan rumah yang Melati tinggali. Ia yakin betul tak bisa menemukan nomor 88, tapi rumah itu seketika ada setelah Melati muncul. Ia merencanakan untuk melewati jalan itu lagi nanti. Memang membuatnya menjadi memutar, tapi rasa penasaran bukanlah hal yang nyaman untuk disimpan.
“Paket, Mbak,” sapa Wira.
“Oh, untuk siapa, Mas?” tanya perempuan itu.
“Atas nama Tiara, Jl. Pemuda No. 98, betul ya?” lanjut Wira.
“Betul, Mas.”
Perempuan itu tersenyum dan menerima paket dari tangan Wira. Pemuda berjaket dan berhelm ekspedisi pengiriman paket itu menghidupkan sepeda motornya. Ia mundurkan sedikit dan bersiap untuk memutar arah, saat pandangannya tiba-tiba memudar seperti tadi. Lebih singkat, namun bayang kelabu dan titik hitamnya bergerak memutar berlawanan arah jarum jam dengan cepat lalu menghilang.
Rumah di hadapannya, tempat perempuan bermukena menerima paketnya tadi hilang. Hanya ada deretan pohon jati dengan belukar di bawahnya. Tempat Wira berpijak hanya jalan setapak yang terputus oleh kegelapan. Pandangannya tidak bisa menemukan warna, hanya gelap dan terang. Suara jangkrik dan binatang malam terdengar bersahutan. Udara berubah menjadi begitu dingin.
Wira menghembuskan napasnya, tampak seperti asap keputihan yang mengepul dari ujung bibir. Ia terkejut namun tak sempat membuatnya terdiam. Dari balik belukar di bawah pohon jati, muncul seorang pemuda memeluk bungkusan kain berjalan mengendap-endap. Berulang kali ia menoleh ke belakang. Wajahnya penuh dengan kegelisahan dan ketakutan.
Pemuda itu berjalan mendekat, masih dengan gelagat yang sama. Tapi ia seperti tak melihat kehadiran Wira yang kini semakin ia dekati. Tubuhnya begitu lusuh, banyak sekali bekas luka di sekujur tubuh. Dekapannya pada bungkusan kain, Wira tebak juga sebagai caranya untuk menahan dingin. Sebab ia hanya mengenakan baju tanpa lengan dan celana sepanjang betis. Ditambah ia tak memakai alas kaki.
“Mas? Ada apa?” sapa Wira saat pemuda itu melewatinya.
Pemuda itu tak bergeming. Ia mengenakan penutup kepala berupa kain dengan corak dan warna yang sama dengan bungkusan kain yang ia peluk. Kain itu terlihat basah. Mungkin oleh keringat atau juga hujan. Entah sudah berapa jauh ia berjalan seperti ini. Tiba-tiba pemuda itu berlari dan masuk kembali ke dalam belukar. Wira tak paham, apa yang sebenarnya terjadi.
Dari arah pemuda tadi keluar, muncul dua orang bertubuh tinggi tegap. Mengenakan sepatu boot hampir setinggi lutut, memakai helm di kepala, dan menggenggam senapan yang sepertinya berumur sangat tua. Salah seorang dari mereka membuka mulutnya seperti berteriak, tapi Wira tak bisa mendengar apa pun. Keduanya melewati Wira dan berlari mengejar pemuda tadi. Seorang lain lalu menembakkan senapannya ke arah belukar tempat pemuda tadi menghilang.
Wira terhenyak, ia pandangi kedua telapak tangannya dan pakaian yang ia kenakan, masih sama. Lalu mengapa orang-orang tadi tampak seperti dari masa lampau? Pakaiannya, gerak-gerik dan juga senjata yang digunakan. Tunggu dulu, dimana sepeda motornya? Wira berusaha mencari di sekitar ia berdiri. Tak dapat ia temukan. Padahal tadi ia sedang duduk di atas sepeda motor. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?
Belum dapat Wira menyadari satu hal, dari ujung jalan setapak ini muncul api yang makin lama makin membesar. Wira setengah berlari mendekati sumber api. Tampak pemandangan yang mengerikan dari jaraknya kini, sekitar seratus meter. Sebuah desa yang dibakar oleh kawanan tentara. Tubuh-tubuh hangus bergelimpangan. Ada yang mencoba menyelamatkan diri dengan tubuh masih dijilati api. Namun saat ia sudah hampir berhasil memadamkan api dengan berguling di tanah, para tentara itu langsung menembaknya.
Tentara dengan pakaian yang sama dengan dua orang pengejar pemuda tadi. Wira tak bisa mengidentifikasi dari mana tentara itu berasal dari badge di lengan mereka. Namun perawakan mereka bukanlah dari Indonesia atau asia. Apakah ini tentara Belanda? Tapi itu sudah hampir seratus tahun yang lalu. Mengapa Wira dapat melihatnya?
“Mas? Ngapain di situ?” Seseorang menepuk bahu Wira.
Wira tersentak, ia menoleh. Seketika pandangannya kembali dapat menangkap warna. Seorang pria paruh baya mengenakan kopiah putih berdiri di belakang Wira. Tatapan matanya penuh curiga. Ujung bibirnya menjepit sebatang rokok yang menyala. Ia hisap rokok itu dan dipindahkan di jari tangan kanannya, antara telunjuk dan jari tengah.
“Hah? Astaga! Kok saya di sini, Pak?” tanya Wira.
Tubuh Wira kini sudah basah oleh keringat. Jantungnya berdegup begitu cepat. Kedua tangannya bergetar sendiri. Kedua kakinya lemah tak bertenaga, bahkan untuk sekedar bergerak menghadap ke pria itu. Masih tampak jelas olehnya korban-korban bergelimpangan di desa yang dibakar tadi. Ia merasa mual, ingin meludah. Namun tentu akan tidak sopan di hadapan pria ini.
“Lah mana saya tahu! Itu kakimu kan kamu sendiri yang gerakin,” seru pria itu. “Kamu siapa? Kenapa malam-malam berdiri di depan garasi saya?”
“Hah?”
Wira terkejut, tempatnya berdiri kini sudah berbeda sekali. Terakhir kali saat pandangannya berwarna ia tengah berada di atas sepeda motornya, di depan rumah perempuan bermukena yang ia antarkan paketnya. Kini ia tengah berdiri di depan garasi sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas.
“Maaf, Pak. Saya kurir, tadi saya antarkan paket ke seseorang bernama Tiara. Saya juga bingung kenapa saya ada di sini sekarang,” ujar Wira. Perlahan ia mulai dapat menguasai tubuhnya.
“Kamu mabok ya?” Pria itu memperhatikan wajah Wira.
“Nggak, Pak. Saya nggak mabok. Sumpah....”
Wira menggaruk-garuk kepalanya. Ia perhatikan sekeliling, rumah perempuan bernama Tiara ada di samping rumah tempatnya berdiri. Sepeda motornya masih berada di sana dalam keadaan menyala. Rupanya selama pandangannya tak berwarna tadi, saat ia setengah berlari mendekati desa yang terbakar, ia menuju ke rumah pria yang menegurnya ini. Ia lalu kembali pada sepeda motornya dan mengucapkan permintaan maaf.
Wira menaiki kembali sepeda motornya. Tangannya masih gemetar. Sendi-sendinya masih terasa cukup sulit digerakkan. Masih tersisa delapan paket yang harus diantarkan. Waktu di jam tangannya sudah menunjukkan pukul delapan belas lima menit. Wira sesungguhnya masih ingin menyelesaikan tugasnya. Namun ia merasa tubuhnya tak mampu lagi untuk meneruskan.
Adzan magrib terdengar jelas berkumandang. Wira menoleh mencari arah sumber suara. Hanya berjarak dua rumah dari tempatnya berada. Ia menarik tuas gas sepeda motornya, menuju masjid. Mungkin ia bisa sholat sekaligus beristirahat, memulihkan kembali tenaganya untuk bisa pulang. Ya, ia tak peduli lagi dengan paket yang belum ia antarkan. Ia hanya ingin pulang. Kedua penglihatan aneh tadi seperti menyerap energi dalam tubuhnya.
Wira tiba di halaman masjid, adzan belum selesai. Ia memarkir sepeda motor dan segera menuju tempat wudhu. Air wudhu yang dingin membasuh wajah penuh peluhnya. Bersanding dengan suara adzan, energi dalam tubuhnya seperti diisi ulang meski tak banyak. Ada kedamaian yang menyiram kegundahan, takut dan ketakutan hati setelah dua penglihatan aneh lepas magrib tadi.
Orang-orang mulai berdatangan. Sebagian besar sama seperti Wira mengambil wudhu baru kemudian memasuki masjid. Di beranda masjid banyak anak-anak bermain dan bergurau selepas mengaji, serupa dengan Wira dulu. Anak-anak perempuan tampak bergerombol membicarakan sesuatu, bakat bergosip sudah terlihat sejak dini. Anak laki-laki lebih aktif berlari, saling menggoda, sampai perang sarung. Menunjukkan bakat berkompetisi. Wira tersenyum mendapati pemandangan ini.
Wira melangkah masuk ke dalam masjid setelah memastikan barang-barangnya aman dan iqomah dilantunkan. Jamaah dua saf terdepan didominasi pria-pria lanjut usia, lalu pemuda seperti Wira. Anak-anak di saf terkahir. Imam meminta makmum untuk meluruskan dan merapatkan saf. Segera ia berbalik dan melakukan takbiratul ihram diikuti makmum.
”Bismillahirrahmannirrahiim ... Alhamdulillahirrobbil’alamiin....”
Suara Imam terdengar bagitu fasih dan merdu, serupa dengan Imam di Mushola tempat Wira mengaji dulu. Membangkitkan kembali memori dua belas tahun lalu, mengaji iqro’ setiap hari. Ayat demi ayat surah Al Fatihah dilantunkan. Setelah ayat ke tujuh, seluruh makmum serentak berucap amin. Anak-anak di saf belakang seperti biasa mempermainkan ucapan itu dengan memanjangkannya sampai kehabisan napas. Kadang juga diselingi dengan tawa.
Wira mencoba tetap fokus pada sholatnya, meski suara gaduh anak-anak itu makin mengganggu. Wira mengedipkan matanya beberapa kali. Pandangannya lagi-lagi kehilangan warna. Bedanya kini tidak ada blur kelabu, titik-titik hitam dan pusaran waktu. Tiba-tiba saja itu terjadi, tidak ada gejala awal seperti dua momen sebelumnya.
Karpet mushola yang semula berwarna hijau, kini hanya berupa papan kayu. Mau tak mau Wira terkejut. Jamaah di depannya semula mengenakan sarung atau celana berbagai corak dan warna, kini serupa berupa gamis panjang yang tak sampai menyentuh mata kaki. Wira sedikit mencuri pandang di sisi kiri dan kanannya melalui ekor mata. Semuanya anak-anak. Anehnya Wira merasa ia sama tingginya dengan anak-anak itu.
”Allahu Akbar,” makmum mengikuti gerakan imam untuk ruku’. “Sami’allahuliman hamidah,” penglihatan Wira menjadi gelap. Ia tak bisa melihat dan mengingat apa-apa lagi.
Wira membuka matanya, lampu di ruang tempatnya berbaring begitu menyilaukan mata. Ia masih begitu lemah. Ingin sekali ia mengusap mata, namun kedua tangannya menolak untuk bergerak. Pemuda itu hanya mampu menggerakkan bola mata. Sedikit ke kiri, kanan dan ke bawah. Ke atas tak mungkin karena sinar lampu tadi. Ke kiri dan kanan ia hanya melihat tirai hijau, ke bawah yang ia liat hanya selimut putih menutupi tubuh.Tirai di sebelah kirinya terbuka, beberapa orang pun masuk, semuanya perempuan. Seorang paling depan menggantungkan stetoskop di lehernya. Seorang berpakaian serba putih dengan sedikit aksen hijau membawa berkas yang dijepit pada papan ujian. Seorang lagi berpakaian serupa datang terakhir mendorong semacam troli berisi banyak peralatan dan obat-obatan. Orang pertama tampak menanyakan sesuatu pada orang kedua. Percakapan mereka tak bisa Wira dengar.“Mas? Sudah sadar? Bisa dengar saya?” tanya orang pertama sembari mencondongkan wajahnya ke arah Wira
Wira kini sudah bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Energinya sudah terasa terisi ulang. Anehnya melihat Mamak muda tidak menguras energinya. Beda dengan tiga penglihatannya terakhir yang menguras habis energi dalam tubuhnya. Wira meraih gawainya di atas meja, tadi ia minta Mamak untuk mengisi ulang baterainya. Jemari tangan kanannya berusaha untuk melepaskan charger dari port-nya di bagian bawah gawai. Tangan kirinya hendak membantu tapi tak sampai karena infus masih terpasang. Gawai itu tak bisa ia lepaskan dari charger. Sedang kabelnya tak cukup panjang sampai ke tempat Wira berbaring. Tiba-tiba Wira teringat Melati. Perempuan dengan tampilan jadul yang memberinya hadiah dalam kotak kecil warna hitam. Kotak itu ia simpan dalam sling bag yang kini ia tak tahu ada dimana. Mamak sedang keluar membeli makan siang, tak ada yang bisa ia minta tolong mencari sling bag-nya. “Selamat siang....” Seorang perempuan
Mamak menarik kursi plastik dan ia dekatkan pada tempat tidur Wira. Ia tinggalkan makan siang nasi padang lauk rendang yang baru ia kunyah beberapa suap. Matanya nanar memandang arloji dalam genggaman tangannya. Wanita paruh baya itu duduk, beberapa kali bolak balik bola matanya beralih dari arloji ke anak semata wayangnya itu. Ada banyak hal yang tampaknya sudah seharusnya Wira tahu.“Ini beneran punya Bapak, Mak?” tanya Wira. Ia meraih rantai arloji namun Mamak menahan Arloji dalam genggamannya.“Benar, Wir. Kamu dapat dari mana?” tanya Mamak datar. Wira menyadari ada yang tak beres dengan ibunya.“Dari orang yang aku anter paketnya, Mak. Namanya Melati, dia seneng banget katanya paketnya udah lama nggak sampe. Makanya begitu aku anterin, dia kasih aku hadiah arloji ini,” tutur Wira.“Melati katamu?”“Iya, Mak. Kenapa ya?”Mamak mengusap keningnya, beberapa anak rambut yang menjun
Jaka keluar dari ruang Officer sambil menggerutu. Ia remas-remas selembar kertas di tangannya dan ia lemparkan ke sudut kantor tempat biasa ada kotak sampah. Ia berjalan cepat keluar menghampiri sepeda motornya yang belum selesai memuat paket-paket yang harus diantarkan hari ini. Ario memperhatikannya dari sisi pagar sambil berjongkong menghisap sebatang rokok. “Kenapa Lu, Bro?” Ario setengah berteriak. Jaka menoleh sekilas, ia meletakkan begitu saja paket tanggung jawabnya di tanah. “Ada lagi nggak?” tanya Jaka menempelkan dua jarinya di bibir. Ario membuka resleting jaket dan meraih sebungkus rokok. Melihat gelagat dan mimik muka Jaka, ia pasti tengah menjalani hari yang tak menyenangkan. Jaka lelaki periang, ia baru saja dikaruniai seorang anak laki-laki dari istrinya yang seorang janda. Dari pernikahan pertama ia punya satu anak perempuan. Belakangan mungkin itu yang membebani pikiran Jaka, karena tentu kebutuhan keluarganya bertambah. “Satu aja .
Bilik pojok yang Wira huni mendadak sepi setelah Jaka dan Ario pamit pulang. Pasien sebelah mungkin sudah bernapas lega sekarang. Beberapa kali Wira mengucapkan permintaan maaf namun tak ada jawaban. Mungkin pasien beliau sudah beristirahat. Atau justru meminta pindah bilik agar tidak terlalu berisik.Kehadirian dua sahabatnya tadi cukup mengusir sejenak kejenuhan Wira. Ia merasa sudah lama rebah di tempat tidur ini. Kini tenaganya sudah mulai pulih. Ia sudah tak bersandar, punggungnya sudah dapat ditegakkan. Beberapa kebutuhannya sudah dapat ia lakukan sendiri.“Udah pulang temanmu, Wir?” Mamak muncul dari balik tirai hijau.“Udah, Mak. Kasian tuh pasien sebelah kebrisikan. Becanda mulu tu Jaka Ario,” ujar Wira.“Pasien sebelah mana?”“Ya ini sebelah kita. Kenapa, Mak?” Wira penasaran, ekspresi Mamak seketika berubah.“Kosong sebelah kita, Wir. Dia meninggal sebelum kamu sadar!”
“Apa maksud Mbak Niken?” Wira menegakkan kepalanya.“Ayolah, Mas. Saya butuh pertolongan Mas Wira. Tolong lihat dimana anak saya sekarang!” Niken mulai memohon.“Kenapa Mbak Niken yakin saya bisa menolong?” tanya Wira. Ia ingin mengetahui dari mana Niken tahu tentang kemampuannya.“Melati bilang begitu.”“Melati? Mbak kenal Melati?” tanya Wira setengah histeris.“Nggak. Tapi jauh sebelum Mas Wira dirawat disini, perempuan itu datang beberapa kali di mimpi saya. Dia bilang akan datang orang yang bisa membantu saya menemukan Yura, anak saya.” Mata Niken mulai berkaca-kaca.“Terus kenapa Mbak yakin kalo orang itu saya?”“Mas sendiri tadi yang tanya soal anak saya kan? Tolong saya, Mas....” Niken mulai terisak. Kedua telapak tangannya terkatup di depan dada. Ia mendekat ke arah Wira.Kurang ajar sekali Melati. Memupuk harapan pada seoran
Wajah Niken memerah, kedua pipi yang basah semakin meranumkan wajahnya. Ia lepaskan pelukan di leher Wira. Tak ada yang dilakukannya, hanya mundur satu langkah yang justru semakin memperlihatkan wajah yang dirundung malu itu. Kini ia tak berani menatap wajah Wira. Ia takut melihat reaksinya, terlebih kalau pasien yang ia rawat ini dapat lebih banyak mendapatkan bayangan masa lalunya.Wira tak kalah salah tingkahnya. Tentu sebuah hal yang tak disangka-sangka Niken memeluknya seperti itu. Setengah hatinya merasa begitu malu, namun setengahnya lagi merasa beruntung. Untung saja hanya sebentar. Kalau tidak memang ia tak kehilangan tenaga mendeteksi Yura, tapi justru kehabisan napas karna dipeluk perawat cantik ini.“Mbak, semoga segera bertemu Yura ya?” ujar Wira mencairkan suasana.“Iya, Mas. Sekali lagi terima kasih. Saya nggak tau gimana cara bales pertolongan Mas Wira.”“Duh, Mbak. Jangan gitu dong ngomongnya, saya ini ikhlas
“Nih,” Mamak menyerahkan kacamata hitam pesanan Wira.“Wih, keren juga, Mak. Berapaan ini?” tanya Wira.Wira memperhatikan kacamata hitam itu. Ia berharap bisa sedikit menurunkan penglihatan masa lalu orang-orang yang beradu pandang dengannya. Ia takut tak bisa fokus dengan real time karena terlalu terpaku pada masa lalu orang lain. Jika sekali lagi bertemu Melati, ia akan menanyakan banyak hal terkait kemampuannya ini. Dan tentu saja hubungannya dengan Bapaknya, juga dengan Niken.“Lima belas ribu, kaya pesenanmu lah,” jawab Mamak sambil mengenakan tas ransel di punggungnya. “Yakin mau bawa motor, Wir?” tanya Mamak tak yakin.“Iya, Mak. Aku udah sehat kok,” jawab Wira.Ia kenakan kacamata hitam tadi. Tas ransel berisi pakaian selama dirawat ia kenakan di depan. Sedang barang-barang lain dalam beberapa kantung plastik ia gantung di depan sepeda motor maticnya. Ia lalu naik dan men