Share

Pemahaman Baru

Wira membuka matanya, lampu di ruang tempatnya berbaring begitu menyilaukan mata. Ia masih begitu lemah. Ingin sekali ia mengusap mata, namun kedua tangannya menolak untuk bergerak. Pemuda itu hanya mampu menggerakkan bola mata. Sedikit ke kiri, kanan dan ke bawah. Ke atas tak mungkin karena sinar lampu tadi. Ke kiri dan kanan ia hanya melihat tirai hijau, ke bawah yang ia liat hanya selimut putih menutupi tubuh.

Tirai di sebelah kirinya terbuka, beberapa orang pun masuk, semuanya perempuan. Seorang paling depan menggantungkan stetoskop di lehernya. Seorang berpakaian serba putih dengan sedikit aksen hijau membawa berkas yang dijepit pada papan ujian. Seorang lagi berpakaian serupa datang terakhir mendorong semacam troli berisi banyak peralatan dan obat-obatan. Orang pertama tampak menanyakan sesuatu pada orang kedua. Percakapan mereka tak bisa Wira dengar.

“Mas? Sudah sadar? Bisa dengar saya?” tanya orang pertama sembari mencondongkan wajahnya ke arah Wira.

Wira menggerakkan bola mata, menuju sumber suara. Sesungguhnya ia ingin bicara, tapi entah mengapa tak bisa ia lakukan. Perempuan itu kemudian mengecek botol infus yang menggantung di sisi kiri Wira. Wira pun menyadari kini ia sedang terbaring di rumah sakit. Perempuan itu memasang stetoskop di telinganya dan mulai menempelkan benda bulat yang terasa dingin di dada Wira. Ia tampak mengucapkan sesuatu ke kedua orang lain.

Perempuan yang mendorong troli tadi tampak mempersiapkan obat dalam sebuah suntikan. Wira tak tahu apa yang akan ia lakukan, ia tak bisa meliahatnya. Ia hanya merasakan nyeri di tangannya dan terus menjalar sampai mendekati ketiak. Ia lalu meninggalkan Wira dan menghilang di balik tirai. Namun sepertinya masih dekat, ada aktivitas lain di balik tirai hijau itu.

“Wir ... udah bangun, Nak?”

Sebuah sapaan yang tak asing terdengar di telinga Wira di susul dengan belaian di kepala. Belaian dan tangan yang amat Wira kenal. Sayang pemilik tangan ini tak dapat Wira lihat karena terpendar oleh sinar lampu di atasnya. Wira berusah untuk berbicara, menggerakkan sedikit bibirnya. Ia merasa ada benda yang melintang di atas bibirnya dan ada benda di lubang hidung yang terasa sungguh tak nyaman.

“Udah, Wir. Nggak usah dipaksa. Mamak udah seneng kamu udah bisa buka mata. Mamak takut, soalnya kamu nggak bangun-bangun udah dua hari.”

Apa? Dua hari? Apa yang terjadi? Wira hanya ingat ia sedang sholat isya di sebuah masjid dengan imam yang bacaannya mirip dengan imam di musholanya dulu. Lalu penglihatannya berubah. Astaga, penglihatan aneh itu. Mungkin itu penyebabnya ia sampai dua hari tak sadarkan diri. Penglihatan itu memang menguras tenaganya.

“Mak....”

“Iya, Wir?”

Wanita paruh baya itu cepat-cepat menghampiri anaknya. Ada binar bahagia di ujung matanya mendengar Wira bersuara. Ia membelai lagi anak semata wayangnya. Berharap ada kata-kata yang terucap dari dari bibir Wira.

“Kenapa, Wir? Kamu mau apa, Nak?” tanya Mamak lirih.

“Bi ... bisa tolong ambil yang di atas mulut ini? Hidungku sakit,” pinta Wira terbata.

Mamak sedikit bimbang. Ia takut terjadi apa-apa dengan Wira bila ia lepaskan selang oksigen seperti permintaan anaknya. Wira melenguh, ia kecewa Mamak tak berani melakukannya. Tapi untuk menjelaskan bahwa ia merasa tak membutuhkan bantuan pernapasan lagi tentu tak bisa. Untuk bicara pun ia butuh usaha keras dan waktu yang lama.

“Mmm ... iya Mamak lepas, tapi kalo ada dokter pasang lagi ya?” Wira memejamkan matanya tanda setuju.

Wira tersenyum kaku, ia ingin mengucapkan terima kasih. Napasnya kini menjadi lega tanpa ada alat itu di rongga hidungnya. Wajah Mamak masih ragu dan khawatir akan terjadi apa-apa pada Wira. Namun raut wajah Wira yang lebih tenang membuat kekhawatirannya sedikit berkurang.

“Mak ... boleh matiin lampunya?” pinta Wira.

Mamak tak menjawab, ia melangkah menuju saklar dan menekannya. Lampu yang menyilaukan itu padam dan Wira merasa matanya menjadi jauh lebih nyaman. Matanya mengikuti langkah orang tua tunggalnya itu menghampirinya. Mamak duduk di sebelahnya, menanti apa lagi yang dibutuhkan Wira.

“Kamu sebenarnya kenapa, Wir?”

Mamak mengernyitkan keningnya, menatap wajah lemah Wira yang ingin sekali berkomunikasi. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada anaknya itu. Untung saja ada orang baik yang bersedia menolong Wira dan membawanya ke rumah sakit. Setelah semalaman cemas karena tak ada kabar, Mamak dijemput dengan teman kerja Wira dan diantar ke rumah sakit.

“Mamak percaya kan sama Wira?” Mamak semakin tak mengerti.

“Ini soal apa, Wir? Iya lah Mamak percaya, tapi apa?” tanya Mamak.

“Mamak percaya ada orang yang bisa lihat masa lalu?”

“Apa maksudmu, Wir?”

Mamak tertegun, ia tak percaya dengan kenyataan. Dulu suaminya sempat bercerita bahwa ia bisa melihat masa lalu. Baik itu kejadian yang dialami oleh seseorang, atau pun suatu tempat. Tentu Mamak tak mempercayainya. Sebelum Bapaknya Wira itu ditemukan tak bernyawa mengambang di sungai seminggu kemudian. Suaminya adalah perenang handal, Ia pendiri club renang di perusahaan tempanya bekerja. Tak mungkin ia meninggal karena tenggelam. Tapi tak ada bekas luka di tubuhnya. Sampai sekarang Mamak masih menyimpan kecurigaan atas kematian suaminya itu.

“Aku rasa aku bisa, Mak.”

“Jangan main-main, Wir. Kemampuan itu bahaya!” larang Mamak. Ia merasa takut akan kehilangan anaknya ini dengan cara yang sama.

“Mamak tau soal ini?”

Mamak terdiam, tak jadi melanjutkan larangannya. Ia ragu apakah sudah waktunya menceritakan tentang suaminya kepada Wira. Tapi ia juga tak ingin Wira mengalami hal serupa bapaknya. Anaknya iru masih lemah, belum pulih. Ia bahkan baru saja bisa bicara. Mamak tak mau membebani pikiran Wira yang mungkin nanti berpotensi memperlambat proses penyembuhannya.

“Mak? Mamak tau sesuatu?”

“Nggak, Wir. Mendingan kamu istirahat saja, jangan ngomongin yang aneh-aneh! Kamu butuh apa? Mau makan?” Mamak mencoba mengalihkan pembicaraan.

Wira menangkap ada hal yang disembunyikan oleh Mamaknya. Tapi untuk berdebat dan memaksa Mamak untuk bicara adalah pekerjaan yang rumit. Ia tak mau menghabiskan energinya yang baru akan dikumpulkan. Wira terpejam, ia mulai memahami sesuatu. Terakhir ia mengantarkan paket adalah di seputaran Jl. Pemuda. Menurut cerita orang-orang dulu, dinamakan Pemuda karena pada jaman penjajahan dulu banyak pemuda di daerah itu berjuang dan gugur melawan Belanda.

Wira mulai mengaitkan cerita-cerita itu dengan apa yang di lihatnya waktu itu. Pria berlumuran darah, pemuda yang memeluk bungkusan kain dikejar tentara dan desa yang dibakar. Apa mungkin yang ia lihat adalah gambaran kejadian di masa lampau. Jika benar alasan dinamakan jalan pemuda itu, bisa jadi ia benar-benar memiliki kemampuan melihat masa lalu. Seperti yang ia katakan pada Mamak tadi, padahal ia hanya asal sebut saja.

“Mak ... boleh minta minum?”

“Oh iya, udah dua hari kamu nggak minum ya?”

Mamak menghampiri Wira dengan membawa air mineral kemasan gelas yang sudah ditusuk sedotan. Mamak mendekatkan gelas air mineral itu ke bibir Wira. Wira meminum air mineral itu sampai habis tak bersisa. Tenggorokannya terasa amat kering tadi.

“Makasih, Mak.”

“Haus banget ya, Wir?”

Mamak berbalik dan meletakkan gelas kosong itu ke dalam kantung plastik hitam yang digunakan sebagai tempat sampah sementara. Wanita itu kembali lagi bersiaga jika Wira memerlukan bantuannya lagi. Wira memandang wajah mamaknya. Ia mengernyitkan keningnya, sedikit menyipitkan kedua mata. Ia berkedip, dan pandangannya menjadi tak berwarna lagi. Mamaknya tampak kembali muda. Dengan wajah tanpa riasan, wanita itu terlihat begitu cantik dan natural. Wira tersenyum, ia paham apa yang tengah terjadi.

“Mak....”

“Ya?”

“Mamak cantik juga ya....”

“Apa?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status