Share

Arloji Kuno

Wira kini sudah bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Energinya sudah terasa terisi ulang. Anehnya melihat Mamak muda tidak menguras energinya. Beda dengan tiga penglihatannya terakhir yang menguras habis energi dalam tubuhnya. Wira meraih gawainya di atas meja, tadi ia minta Mamak untuk mengisi ulang baterainya. Jemari tangan kanannya berusaha untuk melepaskan charger dari port-nya di bagian bawah gawai. Tangan kirinya hendak membantu tapi tak sampai karena infus masih terpasang.

Gawai itu tak bisa ia lepaskan dari charger. Sedang kabelnya tak cukup panjang sampai ke tempat Wira berbaring. Tiba-tiba Wira teringat Melati. Perempuan dengan tampilan jadul yang memberinya hadiah dalam kotak kecil warna hitam. Kotak itu ia simpan dalam sling bag yang kini ia tak tahu ada dimana. Mamak sedang keluar membeli makan siang, tak ada yang bisa ia minta tolong mencari sling bag-nya.

“Selamat siang....”

Seorang perempuan meminta ijin masuk ke dalam bilik Wira, kamar kelas dua yang berisi tiga orang pasien. Wira taksir perempuan ini berusia tak jauh dari dirinya. Niken namanya, tampak dari badge nama di dada sebelah kanan. Perawat itu kemudian mendorong troli dan melakukan pekerjaannya. Menginjeksikan obat di selang infus, yang lagi-lagi membuat Wira merasakan nyeri. Lalu menaruh beberapa obat dalam bentuk tablet di atas meja untuk diminum nanti.

“Mbak Niken.”

“Ya, kok tau nama saya, Mas?”

“Kan kelihatan tu di badge-nya.”

“Ooh, ada yang bisa dibantu, Mas?” tanya Niken ramah.

“Bisa tolong carikan tas kecil saya, selempang gitu. Kayanya di bawah atau dalam lemari kecil itu deh,” pinta Wira.

Niken tak menjawab, ia mencoba mencarikan barang yang dimaksud Wira. Di bawah tempat tidur dan di lemari. Wira memperhatikannya dari ekor mata. Pakaian serba putih itu tampak begitu serasi membungkus tubuh Niken yang cukup tinggi. Rambutnya diikat ke atas seperti menyatu dengan suster cap-nya. Ia sedikit membungkuk mencari tas Wira di dalam lemari kecil.

“Ini, Mas?” Niken memperlihatkan sling bag hitam milik Wira.

“Betul, Mbak.” Niken menyerahkan tas itu pada Wira.

“Ada lagi yang bisa dibantu, Mas ... Wira?” tanya Niken ramah.

Wira menatap wajah Niken dari tempatnya berbaring. Senyum manis yang selalu mengembang di bibir Niken kini sedang Wira nikmati. Wira mengedipkan matanya, seketika pandangannya menjadi tak berwarna. Senyum di bibir Niken kini hilang. Wajahnya tampak murung, ada butir air mata yang meleleh di pipinya. Dia menoleh ke belakang. Seorang anak perempuan memegangi tangan kirinya, menangis dan merajuk. Wira tak bisa mendengar apa yang dikatakannya.

“Mas?”

“Eh, ini ... Mbak, bisa tolong tegakkan sandarannya. Saya mau duduk,” pinta Wira.

“Oh, tunggu sebentar, Mas.”

Niken berjalan ke ujung tempat tidur. Ia menunduk dan memutar tuas yang menggerakkan tempat tidur bagian atas. Perlahan sandaran yang menyangga tubuh Wira terangkat.

“Cukup, Mas?” tanya Niken.

“Cukup, Mbak. Terima kasih,” jawab Wira.

“Ada lagi yang bisa dibantu?”

Sebenarnya Wira ingin menanyakan perihal anak perempuan yang dilihatnya tadi memegangi tangan Niken sambil menangis. Sekaligus ia ingin membuktikan bahwa penglihatan tak berwarnanya tadi adalah masa lalu Niken. Wira ingin mengkonfirmasinya. Tapi ia ragu, hal itu terlalu pribadi untuk ditanyakan orang yang baru saja bertemu.

“Mbak, sudah berkeluarga?” tanya Wira. Ia pikir tak ada salahnya berbasa-basi, bersikap ramah tak ada salahnya apa lagi Niken sudah membantunya tadi.

“Hah? Oh, sudah, Mas.”

“Anaknya satu? Perempuan?” tanya Wira. Niken tampak terkejut, namun terus berusaha untuk tersenyum.

“Kok Masnya tau?”

“Sekarang dimana anaknya? Ikut Papanya ya?” Wira justru terus bertanya. Niken terdiam, ia merasa tak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan Wira. Wira sendiri kemudian menyadari kelancangannya setelah menemukan perubahan raut wajah Niken. “Maaf, Mbak. Itu terlalu pribadi ya? Maaf sudah lancang,” pinta Wira tulus.

“Baik, Mas. Kalo nggak ada lagi yang bisa dibantu, saya pamit melanjutkan pekerjaan saya. Permisi....”

Niken terlihat rikuh, ia masih berusaha tersenyum meski hanya di ujung bibir. Ia berbalik dan mendorong trolinya keluar dari tirai hijau pembatas Wira dengan pasien sebelah. Wira memaki dirinya sendiri. Padahal ia sudah berpikir jika itu tak pantas untuk ditanyakan. Entah apa yang ada dipikiran Niken sekarang. Ia pasti tak nyaman, keramahannya pasti akan berkurang nanti.

Satu hal yang kini Wira mulai pahami, ia benar-benar bisa melihat hal yang sudah dilalui seseorang atau suatu tempat. Melihat raut muka Niken yang tadi berubah, besar kemungkinan yang tadi dilihatnya adalah benar. Lalu pertanyaan baru mulai muncul. Darimana kemampuan ini berasal? Apa penyebabnya? Mengapa tempo hari ia merasa kehilangan tenaga sedang hari ini tidak?

Wira kembali teringat dengan Melati, kotak hitam yang diberikan padanya. Ia buka sling bag yang kini sudah ada di pangkuannya. Hanya ada dompet dan kunci sepeda motornya. Wira kembali memeriksa tasnya. Tak mungkin benda seukuran itu bisa terselip dalam tas kecil. Apakah Mamak sudah mengambil atau memindahkannya? Atau orang lain yang menolongnya?

Wira meletakkan tas di sisi kanan tubuhnya. Sekarang ia merasa gerah di area kaki. AC di ruangan ini memang ada, tapi ia tak bisa mengontrol suhu karena digunakan oleh banyak orang. Lagi pula ia tak tahu dimana letak remote AC-nya. Wira menyingkirkan selimut putih yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Kotak hitam yang tadi ia cari ada disana, diantara dua kakinya sejajar dengan lutut.

Susah payah ia menggerakkan kaki untuk mendorong kotak hitam itu agar mendekat ke tubuhnya. Tubuhnya masih begitu berat untuk ditegakkan apalagi dicondongkan ke depan. Ia meraih kotak itu dengan tangan kiri yang terpasang infus. Perlahan ia raih dan perhatikan kotak hitam itu. Ia guncangkan mencoba menerka ada apa di dalam. Cukup berat, Wira tak bisa menerkanya.

“Loh, siapa yang negakin ini, Wir?” tanya Mamak mengagetkan.

“Ah, Mamak ... ngagetin aja!” keluh Wira. “Itu, tadi ada perawat ngasih obat. Aku mintain tolong aja buat negakin ini, mulai bosen rebahan.”

“Ooh ... lah itu kotak apa? Dari perawat juga?” tanya Mamak sembari meletakkan nasi bungkus di atas meja.

“Ini mah dari orang yang aku anterin paketnya, Mak.”

“Tumben, baik banget tu orang.” Mamak mulai mengunyah suapan pertamanya.

Wira membuka kotak itu perlahan-lahan. Sebuah benda bulat berukir tersambung dengan rantai seperti kalung. Keseluruhan benda itu berwarna keemasan. Wira mengeluarkan benda itu dari kotaknya. Ia perhatikan benda bulat dengan diameter tak lebih dari lima centimeter itu. Ia dekatkan di telinga. Ada suara seperti detak jarum jam. Wira menekan semacam benjolan di sisi kiri, benda itu terbuka, dan memang itu adalah sebuah jam kuno.

“Mak, ini jam kan ya?” Wira menunjukkan benda itu pada ibunya.

“Lah, ada jarumnya kan? Angkanya juga ada?” seru Mamak sekilas lihat.

“Jarumnya ada, angkanya tapi romawi. Aku nggak paham,” jawab Wira.

Mamak bangkit dari kursinya. Mendekat ke Wira, masih memegang nasi bungkus di telapak tangan kiri dan mengunyah makan siangnya. Ia perhatikan benda arloji di tangan Wira.

“Ini mah Arloji jadul, Wir. Keren nih,” ujar Mamak. “Kelihatannya mahal, dulu Bapakmu pernah punya juga. Hadiah dari koleganya di luar negeri,” sambung Mamak.

“Beneran, Mak? Barang mahal dong ini.” Wira sibuk membolak-balik arloji kuno itu.

“Eh, bentar-bentar. Kok kaya punya Bapakmu ini?”

Mamak merebut arloji dari tangan anaknya. Wira menatap ibunya dengan penuh penasaran. Mamak kemudian memeriksa bagian belakang arloji. Matanya terbelalak, kunyahannya terhenti.

“Ini memang punya Bapakmu, Wir!” tandas Mamak.

“Hah? Kok Bisa?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status