Share

Upgrade

Jaka keluar dari ruang Officer sambil menggerutu. Ia remas-remas selembar kertas di tangannya dan ia lemparkan ke sudut kantor tempat biasa ada kotak sampah. Ia berjalan cepat keluar menghampiri sepeda motornya yang belum selesai memuat paket-paket yang harus diantarkan hari ini. Ario memperhatikannya dari sisi pagar sambil berjongkong menghisap sebatang rokok.

“Kenapa Lu, Bro?” Ario setengah berteriak. Jaka menoleh sekilas, ia meletakkan begitu saja paket tanggung jawabnya di tanah.

“Ada lagi nggak?” tanya Jaka menempelkan dua jarinya di bibir.

Ario membuka resleting jaket dan meraih sebungkus rokok. Melihat gelagat dan mimik muka Jaka, ia pasti tengah menjalani hari yang tak menyenangkan. Jaka lelaki periang, ia baru saja dikaruniai seorang anak laki-laki dari istrinya yang seorang janda. Dari pernikahan pertama ia punya satu anak perempuan. Belakangan mungkin itu yang membebani pikiran Jaka, karena tentu kebutuhan keluarganya bertambah.

“Satu aja ... sisanya balikin ke gue, jangan satu batang yang dibalikin. Kebiasaan!” seru Ario sesaat setelah Jaka menerima rokoknya.

“Iye iye ... Tar gue ganti.” Jaka langsung menjepit ujung rokok dengan bibirnya. “Kalo inget!” Jaka tertawa sembari mencari korek api di saku jaket ekspedisinya.

“Huh! Nggak ada juga koreknya?” tanya Ario. Ia masukkan kembali rokoknya di saku jaket bagian dalam. “Nih!” Ario menyodorkan koreknya.

“Nah, gitu dong....”

Jaka menyalakan korek dan membakar ujung rokok pemberian Ario. Ia kurang terbiasa karena rokoknya berbeda. Tapi dengan kondisi keuangan dan banding atas tak dibayarnya insentif tadi ditolak, ia harus pandai-pandai berhemat.

“Dih, kaya kenal nih korek!” ujar Jaka membolak balik korek milik Ario. Ia lalu berjongkok menjajari Ario.

“Enak aja, jangan bilang gue curanrek ya!” ketus Ario. Ia segera merebut korek apinya dari tangan Jaka.

“Apaan curanrek?”

“Pencurian korek.”

“Bisa aja Lu. Eh, Yo, bantuin gue ngapa?” pinta Jaka.

“Bantuin apaan?” Ario membuang puntung rokok dan menginjaknya.

“Tuh, kirimin paket punya Wira. Separo-separo deh, masa si Bos nyuruh gue semua yang anter. Mana lembur gue nggak ACC....” keluh Jaka.

“Lah, kok bisa? Lagian Lu kebanyakan nongkrong sih,”

“Sumpah gue nggak nongkrong. Tar Lu rasain deh kalo ada bayi di rumah. Begadang tiap malem, Bro. Jadi tiap gue istirahat ya akhirnya ketiduran,” Jaka mengusap matanya yang memerah.

“Pantesan Lu jadi lemes gini kaya tisu basah. Ya udah sini gue bantuin, emang ada berapa paket?”

“Nah, gitu dong. Ayok sini sekalian kita bagi aja,” ajak Jaka.

Mereka berdua menghampiri sepeda motor Jaka yang belum juga tersusun paketnya di tas motor. Jaka kemudian membagi dua dua belas paket yang seharusnya diantarkan Wira. Berarti masing-masing menerima tambahan enam paket.

“Buset, tu anak ngapain aja sampe magrib masih nyisa 12 paket,” keluh Ario.

“Tau nih, jadi kena sampahnya aja kita. Tapi lumayan bisa dibuat lembur ini, kan wilayah Wira lumayan jauh, Yo.”

“Lah, Lu doang lah yang dapet lembur. Kan delegasinya ke Lu,” keluh Ario.

“Dah, tar gue bagi rokok sebungkus dah....”

Pandangan hitam putih itu seketika lenyap. Wira kini mendapati dua teman kerjanya ini tengah berdiri di sampingnya. Jaka tampak tak mengerti mengapa Wira terdiam cukup lama. Sedang berdiri mematung menenteng kantung plastik putih yang berisi buah-buahan.

“Sehat, Wir?” seru Jaka.

“Ah, Lu berdua ... emang cukup waktu nanti buat nganter paket? Lagi banyak kan?” sambut Wira. Ia menyimpan gawai dan arloji di balik selimut putih rumah sakit.

“Dih, kelamaan rebahan ni bocah. Harbolnas udah lewat, Wir. Udah nggak banjir paket lagi kita,” seloroh Ario sembari menyerahkan kantung plastik putih yang ia bawa kepada Mamak. Mereka berdua menyalami Mamak, sedang Mamak kemudian memberikan tempat kepada mereka dan menyingkir sementara ke luar ruangan.

“Oh iya ya, makanya bisa mampir kemari Lu berdua bisa kemari. Jek, Lu kemaren yang nganter Mamak ke sini ya?”

“Iya, Mamak Lu cuma punya nomer gue. Orang yang nolongin Lu ngubungin kantor, untung aja tu jamaah masjid mau nganter Lu kemari,” terang Jaka.

“Makasih ya, Jek. Terus yang nganterin sisa paket gue siapa? Lu apa Ario?”

“Tuuuh....” Jaka memonyongkan bibirnya ke arah Ario.

“Iya, Wir. Soalnya Jaka nggak mau,” ujar Ario datar.

“Eh, ngomong apa, Lu?” Wira tertawa. Yang mereka berdua perbincangkan ia sudah mengerti semuanya.

“Makasih, Bro dah bantuin gue.”

“Oh iya, emang Lu kenapa, Wir bisa tiba-tiba pingsan katanya ya pas lagi sholat? Lagian tumben juga Lu sholat?” seloroh Jaka.

“Nah, iya ... kapan juga Lu pernah sholat? Badan Lu nggak kuat kali denger ayat Al-quran,” serobot Ario. Wira tertawa mendengar ejekan temannya.

“Sembarangan, bejat-bejat gini gue sholat lho. Mmm ... gue kecapekan doang kayanya, lupa makan. Soalnya bagus semua tuh hasil general check up gue,” terang Wira.

“Kok bisa ya? Lu yang begadang, Wira yang oleng?” tanya Ario pada Jaka disambut tawa tiga sahabat ini. Tawa mereka ternyata cukup keras dan mengganggu. Pasien sebelah terdengar memukul-mukul rangka tempat tidur besi sebagai kode agar mereka lebih tenang.

Seorang perempuan meminta ijin masuk ke dalam bilik untuk mengambil food tray makan siang. Perempuan itu terlihat berbeda dari pada petugas dapur rumah sakit pada umumnya. Ia tampak lebih bersih dan berpenampilan menarik. Di lihat dari parasnya, ia masih berusia muda. Mungkin usianya di bawah mereka bertiga. Setelah mengambil food tray, ia pun pamit.

“Yo, bengong aja kalo liat cewek!” hardik Jaka.

“Gue kaya kenal sama tu cewek, tapi siapa ya?” Ario menggaruk-garuk kepalanya mencoba mengingat-ingat sesuatu.

“Nggak usah pura-pura, dia kan mantan Lu. Yang mutusin Lu gara-gara Lu ketauan nyimpen b***p di hape kan?”

Seketika Wira menutup mulut dengan tangannya. Spontan ia mengatakan apa yang ia lihat setelah matanya dan perempuan itu beradu sepersekian detik. Ario terbelalak menghunuskan tatapan matanya ke arah Wira. Sedang Jaka memandang Ario dengan tatapan jijik bercampur tak percaya.

“Serius, Yo?” tanya Jaka. Ia mendorong bahu Ario dengan tatapan penuh kebahagiaan menemukan aib sahabatnya itu. Ia menahan tawanya, tak enak mengganggu pasien sebelah lagi.

“Iih, enggak, Jek. Masa iya Lu percaya omongan Wira. Ni anak belom sehat nih, asal ngomong ni pasti....” bela Ario. Namun mau membela diri macam apa pun ia tak akan dipercaya.

“Nggak usah bohong dah Lu, kalo nggak kejadian ngapain Lu panik? Hah?” desak Jaka. Ia kembali menahan tawanya. “Eh, tapi mantan Lu ajib, Bro ... bener sih putus, kasian nasibnya kalo beneran jadi sama Lu!” ejek Jaka. Ia kini tak bisa lagi menahan tawanya. Ia sampai berguling memegangi perutnya.

“Ah, Lu, Wir ... kok Lu bisa tau sih? Kan soal ini cuma gue sama dia yang tau,” ujar Ario memelas.

Sorry, Yo. Gue spontan aja. Taunya beneran ya? Emang ngapain Lu nyimpen film gituan di hape sih? Buat referensi?” Kontan Wira dan Jaka kembali tertawa.

Dalam hati Wira heran dengan dirinya sendiri. Ia seperti mulai terbiasa dengan kemampuannya ini. Dalam waktu singkat ia bisa melihat masa lalu dengan begitu detail. Dan kini ia juga bisa mendengar apa yang dikatakan orang di masa lalu. Seperti saat melihat pembagian paketnya oleh Jaka dan Ario. Dan lagi, ia merasa tak memerlukan energi yang banyak untuk melihat itu semua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status