Share

Melati

Bilik pojok yang Wira huni mendadak sepi setelah Jaka dan Ario pamit pulang. Pasien sebelah mungkin sudah bernapas lega sekarang. Beberapa kali Wira mengucapkan permintaan maaf namun tak ada jawaban. Mungkin pasien beliau sudah beristirahat. Atau justru meminta pindah bilik agar tidak terlalu berisik.

Kehadirian dua sahabatnya tadi cukup mengusir sejenak kejenuhan Wira. Ia merasa sudah lama rebah di tempat tidur ini. Kini tenaganya sudah mulai pulih. Ia sudah tak bersandar, punggungnya sudah dapat ditegakkan. Beberapa kebutuhannya sudah dapat ia lakukan sendiri.

“Udah pulang temanmu, Wir?” Mamak muncul dari balik tirai hijau.

“Udah, Mak. Kasian tuh pasien sebelah kebrisikan. Becanda mulu tu Jaka Ario,” ujar Wira.

“Pasien sebelah mana?”

“Ya ini sebelah kita. Kenapa, Mak?” Wira penasaran, ekspresi Mamak seketika berubah.

“Kosong sebelah kita, Wir. Dia meninggal sebelum kamu sadar!”

“Serius, Mak? Tadi aku denger suaranya kok. Kalo kami berisik, dia mukul-mukul rangka ranjang lho. Aku kira kode biar kami diem,” seru Wira. Ia masih terkejut dengan apa yang terjadi.

Mamak terdiam, matanya terbelalak. Ia menjadi tegang, entah dari mana tiba-tiba keningnya sudah dipenuhi keringat. Ia melangkah mendekat ke tirai hijau batas dengan bilik sebelah. Perlahan ia dekatkan telinga dengan hati-hati. Wajahnya diliputi ketegangan dan ketakutan. Kalau saja mendadak ada suara, Mamak pasti otomatis teriak.

“Coba diliat, Mak.”

“Mamak takut lah, Wir....”

“Yaelah, Mak. Mamak keluar dulu, kalo biliknya kosong kan tirainya pasti kebuka,” bujuk Wira.

“Oh iya ya,” Mamak tersenyum. Namun tetap saja ragu untuk memeriksa bilik sebelah. “Ah, nggak berani ah....” Mamak kembali lagi.

“Lah, tadi kan Mamak pas mau ke sini lewat situ dulu. Kebuka nggak tirainya?”

“Nggak perhatiin, Wir.”

“Ya udah, Mak kalo nggak berani. Nanti kalo ada perawat aku tanyain aja. Mamak jadi mau pulang? Aku nggak apa kok ditinggal dulu,” sambung Wira.

“Iya, Mamak mau ambil baju-baju sekalian cuci yang kotor ini,” jawab Mamak. Ia lalu mulai membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang.

Wanita ini jadi begitu mandiri sejak suaminya meninggal. Sebagai orang tua tunggal berbagai macam profesi dan usaha pernah ia jalani. Berbekal keahlian menjahit hasil kursus singkat selama tiga bulan, Mamak membuka usaha jahit pakaian. Hasil usaha inilah yang membiayai hidup mereka berdua sejak Wira berusia tujuh tahun.

Sebagai seorang Utility Manager di perusahaan agribisnis, Bapak banyak melakukan perjalanan ke luar daerah bahkan luar negeri. Hidup Mamak dan Wira kecil makmur dan serba berkecukupan. Setelah Bapak meninggal barulah kehidupan mereka mengalami penurunan drastis. Mereka pun terpaksa menjual aset dan membeli rumah sederhana di pinggiran kota.

“Mamak pulang ya, Wir? Kamu mau dibawain apa nanti?” pamit Mamak.

“Bawa ini, Mak. Mamak pasti butuh. PIN-nya tanggal lahirku.” Wira menyodorkan kartu ATM miliknya.

“Nggak usah, Wir. Mamak ada kok uang. Simpan saja itu.”

“Mak ... Aku tahu, uang yang Mamak pegang itu sebenarnya buat beli bahan jahitan kan? Ayolah, Mak ... terima saja, ini kan buat kebutuhanku juga,” bujuk Wira.

Mamak menerima kartu ATM dari tangan Wira. Kalau tidak sedang terdesak, ia tak ingin menerima uang dari anaknya ini. Mamak merasa belum memberikan yang terbaik untuk Wira sampai ia dewasa. Hak-haknya menerima kehidupan yang layak tercabut paksa pasca tragedi itu. Sekarang pun ia banyak dibantu Wira untuk memenuhi kebutuhannya.

“Mamak pulang dulu ya,”

“Iya, Mak. Hati-hati.”

Mamak menghilang di balik tirai. Sayup terdengar langkah cepat Mamak bahkan setengah berlari. Ia pasti takut melewati bilik sebelah. Wira tersenyum, Mamak memang penakut. Nanti pasti ia akan berusaha kembali ke rumah sakit sebelum malam karena takut sendirian di rumah.

Wira memiringkan tubuhnya ke kanan menghadap dinding. Ia bersandar lagi pada tempat tidur yang masih tegak, ditegakkan oleh perawat Niken tadi. Selain pegal, tubuh bagian bawahnya terasa gerah karena terus menerus menempel pada tempat tidur. Ia buka gawai dan mulai berselancar di dunia maya.

“Mas....” suara seorang perempuan memanggil Wira. Ia juga merasakan pundaknya di tepuk. Perlahan Wira membalikkan lagi tubuhnya.

“Loh? Kamu ... Melati kan?” Wira terkejut. Bagaimana bisa perempuan ini tahu ia sedang di rawat di rumah sakit ini?

“Gimana kondisimu? Sudah baikan?” tanya Melati. Ia tersenyum manis, sama seperti senyumnya saat menyerahkan arloji kuno dalam kotak hitam.

“Mmm ... sudah lebih baik. Kok kamu bisa tahu saya ada di sini?” tanya Wira. Ia lalu mengambil arloji kuno pemberian Melati yang ia sembunyikan di bawah selimut. “Oh iya, makasih ya hadiahnya. Kata Mamak ini mahal lho.”

Melati hanya tersenyum. Ia melangkah mendekati jendela. Ia buka tirainya, cukup lama ia berdiri di sana memandang sesuatu di luar jendela. Sepertinya kendaraan yang lalu lalang di bawah. Wira juga baru menyadari ternyata dia tidak berada di lantai dasar.

“Sudah paham kelebihanmu?” tanya Melati, ia kembali menghadap ke arah Wira.

“Kamu tahu?” tanya Wira kembali.

“Tentu saja, aku tahu semua hal yang terjadi padamu. Dan Arloji itu, penghubung antara aku dan kau,” terang Melati, tatapannya kini tak seramah tadi.

“Apa maksudnya? Sebenarnya kamu siapa?” Wira menegakkan lagi tubuhnya.

Tak seperti yang terjadi pada Mamak, Niken, Jaka dan Ario, Wira tak bisa melihat masa lalu Melati meski tadi mereka sempat bertemu pandang. Memang seperti ada jeda di penglihatannya. Ada fase dimana penglihatannya itu akan berubah tak berwarna, namun seketika kembali ke bentuk semula seiring Melati menajamkan tatapannya. Melati seperti dapat melawan proses pergantian penglihatan masa kini dan masa lalu.

“Aku beruntung, ternyata Barata punya anak yang kuat sepertimu. Kau mudah memahami sesuatu,” kata Melati lagi.

“Kamu ngomong apa sih? Kamu kenal Bapakku?” Melati tak menjawab. Ia bersedekap di depan jendela, pandangannya ia lemparkan lagi ke luar.

“Kau akan tahu banyak hal dengan kemampuanmu itu. Aku harap kau bisa lebih bijak menggunakannya. Kalau tidak kau akan kehabisan tenaga seperti kemarin lusa.”

“Kamu dari mana sih? Bahasanya resmi amat kaya ujian bahasa Indonesia? Mana pertanyaanku nggak ada yang dijawab!” protes Wira.

Melati tersenyum simpul. Gaun putih selutut yang ia gunakan seperti berpendar terkena cahaya matahari. Ia sungguh menjadi orang yang berbeda dibanding tempo hari saat ia memberikan arloji ini pada Wira. Kini ia tampak acuh dan dingin. Tapi dia seolah tahu segalanya.

“Permisi, Mas....” Dua orang perawat masuk ke dalam bilik. Niken dan seorang temannya. “Lho, Mas Wira ngomong sama siapa?” tanya Niken.

“Itu....” Wira tertegun, telunjuknya masih menunjuk ke arah jendela. Namun tak ada siapa-siapa di sana. Melati tiba-tiba saja lenyap, menguap. Tak mungkin ia bisa menyublim. “Lho, kemana tu orang?”

“Orang yang mana, Mas? Nggak ada siapa-siapa di situ,” terang Niken. Wira masih terdiam, rambut-rambut halus di tangannya berdiri. Pori-porinya terbuka lebar.

“Oh, ada apa ya, Mbak Niken?”

“Ini, kami mau ganti shift ya, Mas. Kalau perlu apa-apa sama perawat Shinta, atau telpon aja di 110,” terang Niken sembari menunjuk pada pesawat telepon di atas lemari.

“Oke, Mbak.”

“Saya pamit ya, Mas. Terima kasih,” Shinta meninggalkan bilik Wira. Namun tidak dengan Niken.

“Lho, Mbak Niken nggak pulang?”

“Mmm ... begini, Mas. Saya boleh nggak tanya sesuatu?” Niken agak ragu. Namun ia memberanikan dirinya, toh jam kerjanya sudah selesai. Ia kemudian duduk di kursi penunggu pasien.

“Tanya apa, Mbak?”

“Saya rasa Mas Wira punya suatu kelebihan, betul kan?” tanya Niken, tatapannya penuh curiga.

“Maksud Mbak apa?”

Niken menatap mata Wira lekat-lekat. Beberapa kali Wira berusaha mengalihkan pandangannya. Namun mata Niken seperti memiliki daya tarik tersendiri. Seperti tadi, penglihatan hitam putih Wira memperlihatkan seorang anak perempuan yang terlihat begitu sedih. Tidak ada air mata yang meleleh di pipi. Atau rengekan anak kecil seusianya. Matanya hanya berkaca-kaca. Ia memeluk boneka teddy bear sambil melambaikan tangan pada Niken.

Niken mengendarai sepeda motor, seperti berangkat menuju rumah sakit. Ia mengenakan seragam dinas kebanggannya. Anak perempuan itu masih memandang punggung ibunya yang perlahan menghilang. Sebuah tangan kekar lalu menuntun anak itu masuk ke dalam rumah.

“Apa Mas lihat anak saya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status