Share

Raina
Raina
Author: itsluvi_

Prolog

Bagaimana rasanya merindukan seseorang yang tidak merindukan kita?

Rasanya seperti memeluk pohon kaktus. Semakin erat kamu memeluk, maka akan semakin sakit.

Aku melintas pada satu masa. Di mana kebahagiaanku menyertakan dirimu. Bila saja dulu aku peka terhadap perasaanmu, mungkin aku tak akan menderita seperti ini saat kehilanganmu. Meratapi semua waktu yang terlewatkan begitu saja, tak pernah sedikit pun aku bayangkan jika kehilanganmu jauh lebih menyeramkan dibanding berhadapan dengan dosen pembimbing skripsi. Jauh lebih sulit daripada mencari jarum ditumpukan jerami dan jauh lebih menyiksa daripada sakitnya datang bulan.

Aku mencintaimu, tapi aku sadar cintaku ini terlambat sebab kamu memilih bersanding dengan wanita lain. Sedangkan aku hanya seonggok raga yang tak punya arti lagi di hidupmu. Meronta pada Tuhan pun tidak akan pernah mengembalikan apa yang sudah menjadi masa lalu.

Akan tetapi, mengenang masa lalu kurasa lebih menyenangkan daripada mendikte masa depan.

Terima kasih sudah mencintaiku sedemikian sabarnya, tanpa rasa pamrih dan menuntut balasan. Maaf atas segala penolakanku, yang membuatmu memilih pergi karena terlalu lelah untuk menunggu hatiku. Walaupun kebersamaan kita sudah berakhir, minimal aku tahu jika kamu pernah mencintaiku.

Udara kota Bandung pagi ini cukup dingin, meski begitu tetap saja tak bisa mendinginkan suhu hati yang sedang memanas. Menarik napas berulang kali, aku menegapkan langkah menyongsong asa. Kuharap apa yang kutapaki sekarang hanyalah bualan mimpi yang membelenggu.

Sekalipun tetesan embun masih melekat pada hijaunya daun, sekalipun burung camar masih bersorak ramai, kenyataannya hari ini tidak pernah ingin aku lalui.

Bunda menggandeng lenganku, tersenyum manis menjadi penguat hati. Meski tahu, Bunda tak pernah sedikit pun menyinggung soal hubunganku dan dia. Bunda pasti peka terhadap ketidaknyamananku berada di tempat ini, bagaimana terlukanya hatiku hari ini. Tempat ini yang akan menjadi saksi bagaimana aku akan kehilangan dia yang selalu merengkuhku saat aku terluka tempo dulu.

Mengumbar senyum palsu pada setiap tamu yang menyapa dengan senyum ramah. Aku tahu jika orang Bandung memang terkenal ramah tamah. Duduk bersembunyi di antara ribuan orang yang hadir menyaksikan, hatiku sesak dipenuhi nestapa yang menertawakan.

Dia di sana, duduk gagah di depan penghulu dan wali nikah dengan balutan beskap putih yang membalut tubuhnya. Aku tak bisa menebak gurat ekspresinya, tapi kutahu dia bahagia. Lelaki yang semakin tampan dan matang di usianya yang bahkan baru menginjak angka duapuluh tiga tahun itu.

Dia berdiri, menyambut calon pengantin wanita dengan senyuman merekah. Melempar tatapan syarat makna. Indah, saat aku melihat senyumnya lagi. Walaupun senyum itu kini bukan lagi tersemat untukku. Aku sendiri, memilih untuk menyerah. Membiarkan dia meneruskan kebahagiaan bersama wanita yang akan resmi menjadi ratu dalam hidupnya. Mengarungi lautan rumah tangga tanpa adanya peranku di dalamnya.

Lalu pantaskan aku marah pada Takdir? Takdir yang berkonspirasi dengan alam untuk menjauhkan aku dengan dia.

Semua yang sudah menjadi kenangan tidak mungkin bisa kuputar ulang.

“Saya terima nikah dan kawinnya Adinda Maheswari binti Rahman Yusuf dengan maskawin tersebut, tunai.”

Ribuan nuklir meledak dalam hati. Jika saja aku tak berada dalam keramaian sudah bisa kupastikan air mataku akan mengalir sederas hujan semalam. Ah, hujan yang bersenandung pun tak mampu membawa dia kembali padaku.

“Haii...” Aku menyapa, tatkala dia menyempatkan diri menghampiriku saat resepsi. Aku memang belum naik ke pelaminan untuk mengucapkan selamat, rasanya terlalu berat menyaksikan sendiri betapa bahagianya mereka yang sudah terikat dalam status suami-istri.

“Datang sendiri?” Aku tahu dia sedang berusaha menahan kecanggungan.

Aku tersenyum miris. “Memangnya siapa lagi? Gandenganku udah jadi milik orang.” Berusaha bercanda, seenggaknya menghibur diri. Dia tak menanggapi sindiranku. Sadar Raina, itu tidak akan berpengaruh apapun lagi.

“Cie, yang udah nikah. Gimana rasanya?”

“Ya gitu.”

“Aku pikir kamu bakal nikah di atas tigapuluh tahunan. Mengingat bagaimana antipatinya kamu terhadap kaumku. Ternyata justru kamu yang nikah duluan sementara aku jodohnya pun belum ada.” Aku terkekeh, menahan rasa sakit yang terus meremas hati.

Aku merindukannya, Tuhan.

Si Manusia Flat...

Raka....

Nama itu berlagu lirih dalam sanubari. Terpenjara dalam hati yang mendalam. Menyisakan kesakitan yang kian tak terpadamkan.

Lalu harus bagaimana aku sekarang? Aku menatapnya yang sejak tadi memang memusatkan perhatiannya padaku tanpa banyak bicara. Wibawanya semakin terlihat seiringin berjalannya waktu. Aku ingin memeluknya saat ini juga. Aku ingin menangis dalam rengkuhan lengan kokohnya.

“Aku minta maaf, Rain.”

“Huh...” Kuembuskan napas berat. Tertawa hambar sambil mengusap air mata sialan yang jatuh tanpa tahu malu. “Boleh nggak sih, kalau aku nangis?”

Dia adalah Raka. Lelaki yang menyayangiku dengan tulus namun kubuang tiada arti. Raka adalah alasan penantianku. Raka adalah alasan kenapa sampai saat ini aku betah dengan status single. Tapi sekarang, lelaki yang berdiri tegap di depanku ini bukan lagi Raka yang dulu mencintaiku. Cintanya padaku mungkin habis dimakan waktu.

“Aku nggak mau munafik, Ka. Jujur aku berharap aku yang jadi mempelai kamu. Namaku yang kamu sebut dalam ijab kabul tadi pagi. Aku berharap tangan kamu yang menyambut tangan Ayah di depan penghulu.”

Dia mematung.

“Aku tetap di sini, Ka. Nunggu kamu buat datang melamarku pada Ayah. Tapi ternyata penantianku kamu balas sama surat undangan.”

“Rain....”

“Aku tidak pandai menyembunyikan luka, Ka. Sekalipun lima tahun yang lalu kamu bilang, jika jalan kita berbeda kita harus tetap bahagia. Kenyataannya aku sakit melihat kamu bersanding tapi bukan denganku.”

“Rain....”

“Sudah cukup, Ka. Aku tidak mungkin jadi duri dalam rumah tangga kalian. Bahagia selalu, Ka. Jaga Dinda.”

“Boleh peluk kamu?”

“Asalkan setelahnya aku nggak diusir tamu undangan karena berani peluk-peluk pengantin cowoknya.”

Dia merengkuh tubuh hampa ini dengan eratnya. Menyalurkan kerinduan yang sudah mengudara. “Kalau kamu balik ke Jakarta, kamu harus udah kasih aku keponakan.”

“Aku sayang kamu, Rain.”

Kalau sayang, kenapa kamu tidak menikahiku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status