Share

Tujuh

Obatnya benar-benar paten, sampai aku baru saja terbangun dari tidur. Tubuh ini masih lemas dan terasa lapar. Memindahi sekeliling, rasanya sepi. Tidak terdengar suara anak-anak, apalagi Ayu. 

"Ma," panggilku. 

Tidak ada jawaban. Perlahan aku bangkit dan mencari mereka. Namun, aku sama sekali tidak menemukannya. Kemana mereka? Apa iya, Ayu tega meninggalkan aku saat sedang sekit seperti ini?

Gegas aku mengambil ponsel untuk menghubunginya. Namun, sebelum itu, ponselku masih terbuka pesan dari ibu. Aku ingat sebelum tidur, aku mengirim pesan padanya.

Ibu sudah membalas pesan dariku, tapi aku sama sekali tidak merasa membukanya. Apa jangan-jangan Ayu yang membacanya?

Kepala ini semakin sakit, jangan-jangan Ayu pergi karena membaca pesan dari ibu. Kutepuk kening ini, rasanya hancur sekali mengingat pesan Ibu pastilah Ayu sangat sakit hati.

Gegas aku menelepon Ayu. Sial! Sama sekali tidak diangkat. Bagaimana ini? 

Tubuh masih lemas, terpaksa aku menelepon ibu agar datang membantu. Mana bisa aku melakukan semua sendiri saat sakit seperti ini.

[Bu, bisa ke rumah sekarang]

Pesan langsung kukirim pada Ibu.

[Nggak ada yang antar. Asih pergi tadi]

Kuketik lagi agar ibu datang setelah Asih datang.

[Telpon Asih saja. Bilang pulang cepat]

[Nanti ibu coba]

Kembali aku menaruh ponsel di nakas. Mencoba tenang, tetapi hati ini begitu sulit untuk ditenangkan.

***

"Aduh, istrimu itu benar-benar nggak tahu diri. Suami lagi sakit, malah ditinggal. Emang benalu itu!" 

Sejak datang ibu terus saja mencerca Istriku. Kenapa dia tidak pernah mencoba akur? Padahal, aku sudah mendahului kebutuhannya. Sampai Ayu terus mendiamkan ku.

"Bu, sudah, jangan salahkan Ayu terus. Dia pergi juga gara-gara Ibu," keluhku. 

Mau bagaimana pun Ibu harus tahu. Pesan masuknya membuat Ayu sakit hati. Bahkan sampai pergi dari rumah. Padahal, saat tadi saja dia masih sibuk mengurusku. Kalau dia sudah seperti itu, pasti Ayu marah besar.

"Loh, kok gara-gara Ibu?" Ibu menatap tidak suka.

"Iya, Mas, kenapa jadi salah Ibu. Istri Mas saja yang nggak bisa ngurus, Mas." Asih malah ikut berkomentar. 

"Kamu diam saja, Sih. Jangan ikut campur!" bentakku padanya. Seketika Asih diam dan kembali memainkan ponselnya.

Memindahi sekeliling, Ibu saling pandang dengan Asih. Lalu, saat aku melihat ke arah mereka, kembali dua orang itu sibuk dengan kesibukan masing-masing.

"Aku minta tolong sama Ibu dan kamu ke sini untuk mengurusku. Bukan mencerca Istriku. Cukuplah, Ibu jangan ikut campur urusan aku dan Ayu," ucapku.

Wajah ibu masam seperti tak terima saat aku menyalahkan dia. Gegas ia melangkah ke dapur, sepertinya mengambil piring karena aku memintanya membelikan bubur tadi.

"Kamu, kok malah membela dia? Bukan ibu yang sudah melahirkan dan mengurus kamu." Sembari memberikan aku bubur yang tadi ibu beli di luar, dia pun terus saja mengoceh.

Drama apa lagi ini? Sudah tahu aku masih sakit, masih saja diajak berdebat. Habis ini pasti akan ada drama Isak tangis. Lalu, seperti yang sudah-sudah, ujung-ujungnya uang.

"Bu, aku tahu itu dan nggak akan amnesia. Tapi, kan ibu juga harus tahu aku sudah menikah. Jadi, urusan rumah tangga aku biarlah kami yang menyelesaikan." Kali ini aku merasa tidak enak, tapi ibu harus ditegaskan. Lelah aku setiap hari harus bertengkar dengan Ayu. Bahkan, dia pergi saat aku butuh dia.

"Tuh bener, kan. Harusnya ibu nggak izinin kamu nikah sama dia. Ayu bawa pengaruh buruk buat kamu. Bahkan, kamu rela mengeluarkan uang banyak untuk perawatannya. Belum baju baru, kemarin saja ke undangan kamu belikan gamis bagus. Lah, ibu, kamu lupakan." Ibu terlihat mengusap sudut mata. Kini, ia malah sesegukan di hadapanku.

Astaga, gara-gara skincare dan gamis bikin ibu iri pada Ayu. Aku harus bagaimana menjelaskannya, jika semua bukan uangku. Dan mungkin Ayu sengaja mengatakan hal itu untuk membuat Ibu iri atau apalah, aku tidak mengerti juga.

"Mas, jangan begitu. Kasihan Ibu, sampai menangis," ucap Asih.

"Sudahlah, Sih. Mas bilang kamu diam saja, nggak usah ikut-ikutan bicara. Bikin tambah panas saja." Aku mengusap wajah kasar, pastilah Ayu di sana sedang menceritakan hal yang terjadi pada kami. 

Bagaimana aku menghadapi ibu mertuaku? Duh, rumit-rumit.

"Bu, masalah gamis, kan ibu bisa beli sendiri. Skincare kalau mau juga bisa. Aku memberikan gajiku lebih besar pada ibu. Apa masih kurang?" tanyaku pelan.

"Kebutuhan ibu banyak, belum jajan Asih saja sehari bisa 200.000. Belum masak, listrik, air dan uang bulanan RT." Ibu menjelaskan rincian pengeluarannya sampai membuat aku melongok.

"Uang jajan Asih kenapa banyak banget?" Aku menoleh pada Adikku.

"Ya, aku, kan kuliah butuh ongkos, butuh makan, belum keperluan lain," jawabnya membela diri.

"Cobalah kamu bekerja part time. Mas pusing kalau seperti ini. Taruhannya rumah tangan Mas berantakan cuma gara-gara gaji Mas banyak kukasih ke ibu."

Harus mengadu pada siapa aku kalau seperti ini. 200.000 dikalikan 24 hari saja sudah 4.600.000. Pemborosan sekali itu. Sepertinya harus kurubah. 

"Gini aja, mulai sekarang uang jajanmu 100.000 saja. Kamu pikir Mas gudang uang?" 

Seketika wajah Asih murung. Aku tidak peduli, enak saja dia menghabiskan banyak uang dengan gratis. 

"Mar, kasihan Asih, nanti dia sakit kalau nggak makan di kampus, lebih parah, kan?" Ibu membela Asih kali ini.

"Ya ibu buat bekel saja buat dia. Biar irit, kan?" 

Mereka diam tanpa kata. Sesekali saling melempar pandang. Bubur di meja sudah tidak hangat, tetapi aku harus minum obat dan terpaksa kumakan saja.

***

"Duh, kok bisa Ayu pergi pas kamu sakit?" tanya Mba Laras. 

Kakakku datang karena di telepon Ibu. Bersama Mas Anton, sepulang kerja Mba Laras langsung mampir ke rumahku.

"Gara-gara Ayu baca pesan Ibu di ponselku," jawabku.

"Haduh, ibu buat ulah apa?" tanya Mba Laras pelan sembari melirik ibu yang berada di ruang TV.

Kuceritakan semua pada mereka, tentang kepergian Ayu. 

"Mba sudah bilang, jangan pernah mengikuti maunya ibu. Mba saja memberi ibu secukupnya. Kan, ibu dapat uang pensiun dari alm. bapak. Cukuplah buat makan berdua," ujar Mba Laras.

"Kasihan Ibu, Mba. Takut mau beli sesuatu," ujarku.

"Iya, tapi nggak mengorbankan pernikahan kamu juga. Gila aja kamu kasih Ayu uang belanja minim." Mba Laras tertawa membuat aku kesal. 

Wajar aku ingin ibu bahagia. Sejak Bapak meninggal, siapa lagi yang akan mencari nafkah kalau bukan aku yang memberi.

"Mas Anton saja memberi sebulan lebih dari yang kamu kasih ke Ayu. Bisa ngamuk Mba kalau Mas Anton kaya kamu. Bukan ngamuk, deh tapi langsung gugat cerai hahaha ...."

Tawa Mba Laras semakin kencang hingga membuat ibu melongok ke luar.

"Ma, ketawanya kaya gitu. Kasihan, kan tuh yang otw jomblo meringis," ledek Mas Anton.

Mereka memang kompak mentertawakan aku. Sial sekali punya kakak yang selalu saja berbeda pendapat denganku.

"Mba juga perempuan dan seorang istri. Dengan gaji minim mana bisa mba hidup. Untung istrimu kuat, nggak stres kaya kebanyakan orang." Penuturan Mba Laras membuat aku merasa bersalah pada Ayu.

Ayu, pulang Sayang. Mas kangen ini, Mas janji akan menambahkan 5 persen lagi untuk kamu asal kamu pulang.

"Lo, kebalik Bro. Harusnya Ibu yang dapat jatah 1.500.000 dan Ayu dapat lebih dari itu. Gue kira Ayu lo fasilitasin sampe kinclong." Mba Laras menyenggol Mas Anton saat wajah ini sudah tidak tahu bentuknya.

"Mas, jangan muji Ayu. Si Damar itu cemburuan, nanti kamu dikira naksir sama istrinya. Hahaha ...." Tawa Mas Laras semakin kencang. 

"Lagian, istri cakep, modalin lah. Laki cemburuan, tapi nggak bisa nyenengin bini. Hati-hati, kalau di jomblo, Mba yakin, deh yang ngantri jadi Bapaknya anak-anak kamu banyak." Lagi ucapan Mba Laras semakin membuat aku jengkel.

Untuk apa mereka datang kalau semakin membuat aku kesal dan jengkel. Ucapan Mba Laras saja bikin hati keki. Andai saja tubuh ini tidak lemas, sudah kudatangi rumah ibu mertua.

"Sih, kamu nginep aja dulu di rumah Mas Damar sampai dia sembuh. Ibu juga, kasian nggak ada yang ngurus. Ini juga ulah kalian, kan. Sampai Ayu kabur." Mba Laras sangat berani mengucapkan hal itu pada ibu.

"Ibu aja, deh, Mba. Aku jauh ke kampus dari sini. Lagian, aku, kan sibuk kuliah," tolak Asih.

"Kuliah main-main doang, kan kamu. Emang Mba nggak tahu nilai kamu semua jelek. Mas kamu saja bodoh, mau dibohongin sama kamu. Mar, berhentikan saja semua fasilitas. Suruh kerja, nyusahin saja." 

Aku terkesiap mendengar ucapan Mba Laras. Bukannya selama ini nilai-nilai Asih bagus? Lalu, kok Mba Laras mengatakan hal sebaliknya? Baru beberapa Minggu dia memberikan nilai dengan IPK 3.2 yang lumayan menurutku.

"Bukannya IPKnya 3.2, Mba?" tanyaku.

"Hahaha ... kebalik. 2.3 IPKnya."

Seketika raut wajahku berubah menatap Asih yang menunduk saat kulihat dirinya. Maksudnya apa ini? IPK 3.2 kenapa bisa berubah jadi 2.3? 

Bersambung

***

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Fradew Ku
Oke ku nanti kelanjutan nya
goodnovel comment avatar
Cantiqa Ardhiana
untung masih ada yg Waras di keluarga nya Damar.. Mba Laras dan Mas Anton
goodnovel comment avatar
Sumi Yatun
ini adek bikin gedeg aja nilai bisa ganti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status