Share

Rahasia kecilmu

Tania mencari-cari Yudi, dia melihat Yudi sedang menggergaji  potongan-potongan beroti dengan denim belel, sepatu bot, helm, kemeja yang di gulung sampai siku. 

Tidak lupa sabuk peralatan di pinggang, menambah macho tampilannya. Entah mengapa desir-desir aneh menggelitik di hati Tania, ingin rasanya Tania menghapus keringat yang meluncur di dahi Yudi.

Haaahhh! Tania menggeleng-gelengkankan kepala dan menelan salivanya, dia sendiri bergidik membayangkan pikiran aneh yang mulai menari-nari di otaknya dia mulai mencari-cari, rahasia apa yang sudah terjadi di tubuhnya.

Yudi menoleh, ia melihat Tania mematung menatap ke arahnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Apa ada yang salah? Dengan semua bangunan yang aku buat? Semuanya sesuai dengan keinginan dan yang tertera di denah. Bila ada yang salah lagi, aku akan mencium bibirnya yang mulai cemberut itu, menyebalkan!" Yudi menghentikan kegiatannya. 

Entah dorongan dari mana dia memiliki keberanian menghampiri Tania, mengulurkan tangannya dan mengambil kotak di tangan Tania yang hampir jatuh.

"Bila Kamu ingin membuang kotak ini, jangan di sini!" Yudi mulai kesal sendiri, karena rasanya ia ingin menarik tengkuk Tania dan melumat bibir seksinya akan tetapi, segera ditepisnya karena kotak di tangannya hampir meluncur ke tanah.

"Oh, hm. Aa-apaa? Hm, itu brownies buatmu." Tania tersadar, wangi tubuh Yudi menghipnotisnya campuran mint dan serbuk-serbuk kayu menggoda di setiap pori-pori tubuhnya.

"Hm, apakah dua minggu lagi aku sudah bisa pindah kemari Yud? Maksudku, kamar tamu di lantai bawah apakah sudah bisa aku huni?" tanya Tania

"Hm, aku rasa sudah bisa!" Yudi menjawab sekenanya saja ia mencomot sepotong brownies, memakannya.

"Sialan, rasanya enak sekali!" umpatnya, seakan baru pertama kali menikmati brownis yang super duper nikmat.

"Syukurlah, kalau kamu suka! Gak sia-sia aku memasaknya," ujar Tania mendekat dan mencomot sepotong brownies juga.

Mereka asyik memakan brownies dengan tertawa dan bercerita, Tania hanya duduk di atas potongan-potongan kayu yang di tumpuk sekenanya, begitu juga Yudi duduk di hadapannya. 

Mereka melupakan debu-debu yang bertebaran, hidup higienis yang menjadi acuan hidup Tania seketika lenyap entah ke mana.

"Memang beneran, nih brownies kamu yang buat?" Tanya Yudi mencomot potongan brownies terakhir.

"Mau percaya ya syukur, nggak juga tidak masalah. Emang Gue pikirin!" Tania mulai kesal selalu saja Yudi tidak percaya.

"Sejak kapan kamu pinter masak?" Yudi mulai menyelidik

"Sejak zaman Atok Adam sampai Adam Jordan, puas?!" Tania mulai kesal.

"Hahahahhaa, masa sih? Secara seorang Tania gitu?" Yudi masih saja merasa tidak percaya.

"Maksud Kamu apa sih? Jadi selama ini, makanan-makanan yang aku bawa itu. Memang siapa yang masak?" ujar Tania sengit

"Wow! Aku kira kamu beli," Yudi memandang retina Tania tapi kejujuran yang tertera di sana.

"Rahasia kecilmu menakjubkan! seperti tahi lalat di bokong kananmu," ujar Yudi berlalu

"Apaaaa?!" Tania melempar kotak brownies ke arah Yudi.

"Hahaahahaha, masih ingat di benakku. Tahi lalat hitam yang sangat besar. Apakah sekarang semangkin besar Nia?" ucapnya.

Yudi mendekat ke arah Tania meraih pinggang ramping Tania, dan mengecup sekilas bibir Tania lalu pergi. Berlalu meninggalkan Tania yang masih terperanjat gugup.

"Sialan, brengsek! Kamu selalu mengambil kesempatan di dalam kesempitanku Yud"  Tania terkesiap, ia berhasil mengontrol debar-debar jantungnya. Serangan panik antara penghinaan, dan mendamba mulai meracuninya.

"Baiklah ... lain kali, aku nggak akan mencuri kesempatan di dalam kesempitanmu, aku akan meminta ciuman pada bibir seksimu," Yudi menekankan setiap kata demi kata dan mengedipkan matanya.

"Kamu pikir, bibirku ini murahan! Toilet umum begitu? Jangan sembarangan kamu, aku akan menuntutmu. Sialaannnn, dasar mesum!" Tania mengejar Yudi, menarik lengannya.

Ia ingin menampar pipi Yudi akan tetapi pijakannya oleng, bukannya berhasil menampar Yudi malah tangannya, menarik tengkuk Yudi.

Secara repleks Yudi menangkap tubuh Tania agar tidak jatuh ke lantai, kembali ia mendaratkan ciuman ke bibir Tania, ia memukul-mukul bahu Yudi.

"Lepaskan, berengsekkk!!" umpat Tania kesal. Tanpa rasa kasihan Yudi melepaskan pegangan pinggang Tania

Brukkkk!

Tania mendarat kelantai.

"Aduhhh .... " umpat Tania kesal.

"Maaf apakah sakit? Di manakah yang sakit Nia? Maafkan aku!" ujar Yudi berjongkok  menggendong Tania ala bridal style ada penyesalan di hatinya.

Tania melupakan amarahnya, ia lebih mementingkan sakit di bokong dan kakinya.

"Aku ... akan menuntutmu karena pelecehan seksual," ujar Tania sambil meringis, Yudi hanya tersenyum mendudukan Tania di atas tong cat.

Meraih kaki Tania dan mengurut betisnya, "Maaf!" Yudi menyesal dari hatinya yang paling dalam

"Bila ingin menuntutku, tuntut saja Bu Pengacara karena aku serius ingin menciummu dan ingin menjadikan bibirmu hanya milikku." Tegas Yudi tanpa rasa malu ataupun bersalah.

****

Tania sibuk mengoleskan salep pereda sakit dan berulang kali adegan ciuman yang dilakukan Yudi bagaikan slide di kepalanya terus berputar bagaikan slide film-film tempo doloe.

"Dasar kampret sialan! Kenapa sih? Pria ini selalu tidak berubah, malah makin menjadi-jadi. Awas! Besok kalau ketemu lagi aku akan benar-benar meninjunya ... aakkhh, ggrrr!" tania meluapkan emosinya dengan memukuli bantal gulingnya.

"Non, Non. Ada apa, Non?" Bik Ina tergopoh-gopoh  memasuki kamar Tania.

"Gapapa Bik, cuman kesel saja. Bisa-bisanya ... pinggang, bokong dan kakiku sakit semua. Ini ulah Si Kulkas!" ujar Tania.

"Memang, Non nabrak kulkas? Kok, bisa? Asal nambrak si non. Mending nambrak cowok, Non!" Bibik mulai kumat onengnya.

"Hadehh ... Bibikkkk !! Ada-ada saja sih, akhh?" Tania makin kesel atas kelakuan pengasuhnya dari bayi ini.

Ting tong! Ting tong!

"Bik, ada tamu kayaknya? Siapa ya Bik? Sudah malam juga!" Tania melihat ke arah Bik Ina yang sudah nyantai di depan TV.

"Bibik lihat dulu, Non!" Bik Ina secepat peluru langsung cus dan kembali dengan satu pot bunga matahari.

"Hah ... ! Siapa yang kasih bunga matahari, Bik? Memang Bibi beli bunga ya?" Tania merasa heran  bunga matahari dengan angkuhya menjulang tinggi di ruangan itu.

"Bukan, Non ... ! Ini buat si Non Nia nih, ada suratnya." Si bibi memberikan sebuah surat kecil, dan meletakkan bunga plastik matahari di sudut kamar dekat dengan jendela.

"Ada-ada saja! Ngirim kembang matahari, mana plastik lagi?" cerocos Tania sambil membuka surat kecil kuning.

Dear Xena

Maaf ... karenaku pinggang, bokong dan kakimu sakit. Sebagai permintaan maaf dariku, bunga matahari ini mewakilinya.

Tetaplah ... menjadi inspirasi buat semua orang-orang yang menyayangimu.

Maaf dariku

Yudi

Tania melongo membacanya, ada desir indah dan tanpa sadar Tania memeluk surat kecil itu, seakan-akan  ia memeluk Yudi. Beranjak turun walaupun, tertatih menuju bunga matahari pemberian Yudi.

Mengulurkan telunjuknya menyusuri indah kelopak bunga matahari ia menunduk juga menciumnya.

"Si Non mulai aneh? Itu mah ... plastik Non? Di mana-mana bunga matahari ga ada wangi-wanginya Non. Apa lagi ... plastik" Bik Ina memperhatiakan apa yang dilakukan Tania dan memegang kening Tania,

"Apaaan si Bik? Ganggu aja!" jawab Tania.

"Yee ... si Non! Kemarin dapat mawar dari Pak Bastian wangi, cantik malah masuk tong sampah, kemarin dari Pak Broto juga dapat bunga lili, malah dikasih sama Mang Parno, kemarin-kemarin dapat kiriman bunga banyak ... nggak ada satu pun dipeluk-peluk. Apa lagi dicium, asli lagi bukan plastik!" Bik Ina geleng-geleng kepala.

"Biarinnn! Masa bodo!" Tania masih terus memeluk bunga mataharinya.

Tania mulai membaringkan tubuhnya, meraih ponsel di nakas dan mencari kontak Yudi, tertera di layar  ponsel si Babang tamvan sudah berganti nama menjadi Si Kulkas omes

"Telepon ... ngga ...  telepon ... ngga ... gimana dong? Akh, Pusinggggg! Akukan cuman mau bilang,  makasih bunganya. Tapi ... entar Si Kulkas malah besar kepala lagi!" Tania mulai dilema

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status