Tania mencari-cari Yudi, dia melihat Yudi sedang menggergaji potongan-potongan beroti dengan denim belel, sepatu bot, helm, kemeja yang di gulung sampai siku.
Tidak lupa sabuk peralatan di pinggang, menambah macho tampilannya. Entah mengapa desir-desir aneh menggelitik di hati Tania, ingin rasanya Tania menghapus keringat yang meluncur di dahi Yudi.
Haaahhh! Tania menggeleng-gelengkankan kepala dan menelan salivanya, dia sendiri bergidik membayangkan pikiran aneh yang mulai menari-nari di otaknya dia mulai mencari-cari, rahasia apa yang sudah terjadi di tubuhnya.
Yudi menoleh, ia melihat Tania mematung menatap ke arahnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa ada yang salah? Dengan semua bangunan yang aku buat? Semuanya sesuai dengan keinginan dan yang tertera di denah. Bila ada yang salah lagi, aku akan mencium bibirnya yang mulai cemberut itu, menyebalkan!" Yudi menghentikan kegiatannya.
Entah dorongan dari mana dia memiliki keberanian menghampiri Tania, mengulurkan tangannya dan mengambil kotak di tangan Tania yang hampir jatuh.
"Bila Kamu ingin membuang kotak ini, jangan di sini!" Yudi mulai kesal sendiri, karena rasanya ia ingin menarik tengkuk Tania dan melumat bibir seksinya akan tetapi, segera ditepisnya karena kotak di tangannya hampir meluncur ke tanah.
"Oh, hm. Aa-apaa? Hm, itu brownies buatmu." Tania tersadar, wangi tubuh Yudi menghipnotisnya campuran mint dan serbuk-serbuk kayu menggoda di setiap pori-pori tubuhnya.
"Hm, apakah dua minggu lagi aku sudah bisa pindah kemari Yud? Maksudku, kamar tamu di lantai bawah apakah sudah bisa aku huni?" tanya Tania
"Hm, aku rasa sudah bisa!" Yudi menjawab sekenanya saja ia mencomot sepotong brownies, memakannya.
"Sialan, rasanya enak sekali!" umpatnya, seakan baru pertama kali menikmati brownis yang super duper nikmat.
"Syukurlah, kalau kamu suka! Gak sia-sia aku memasaknya," ujar Tania mendekat dan mencomot sepotong brownies juga.
Mereka asyik memakan brownies dengan tertawa dan bercerita, Tania hanya duduk di atas potongan-potongan kayu yang di tumpuk sekenanya, begitu juga Yudi duduk di hadapannya.
Mereka melupakan debu-debu yang bertebaran, hidup higienis yang menjadi acuan hidup Tania seketika lenyap entah ke mana.
"Memang beneran, nih brownies kamu yang buat?" Tanya Yudi mencomot potongan brownies terakhir.
"Mau percaya ya syukur, nggak juga tidak masalah. Emang Gue pikirin!" Tania mulai kesal selalu saja Yudi tidak percaya.
"Sejak kapan kamu pinter masak?" Yudi mulai menyelidik
"Sejak zaman Atok Adam sampai Adam Jordan, puas?!" Tania mulai kesal.
"Hahahahhaa, masa sih? Secara seorang Tania gitu?" Yudi masih saja merasa tidak percaya.
"Maksud Kamu apa sih? Jadi selama ini, makanan-makanan yang aku bawa itu. Memang siapa yang masak?" ujar Tania sengit
"Wow! Aku kira kamu beli," Yudi memandang retina Tania tapi kejujuran yang tertera di sana.
"Rahasia kecilmu menakjubkan! seperti tahi lalat di bokong kananmu," ujar Yudi berlalu
"Apaaaa?!" Tania melempar kotak brownies ke arah Yudi.
"Hahaahahaha, masih ingat di benakku. Tahi lalat hitam yang sangat besar. Apakah sekarang semangkin besar Nia?" ucapnya.
Yudi mendekat ke arah Tania meraih pinggang ramping Tania, dan mengecup sekilas bibir Tania lalu pergi. Berlalu meninggalkan Tania yang masih terperanjat gugup.
"Sialan, brengsek! Kamu selalu mengambil kesempatan di dalam kesempitanku Yud" Tania terkesiap, ia berhasil mengontrol debar-debar jantungnya. Serangan panik antara penghinaan, dan mendamba mulai meracuninya.
"Baiklah ... lain kali, aku nggak akan mencuri kesempatan di dalam kesempitanmu, aku akan meminta ciuman pada bibir seksimu," Yudi menekankan setiap kata demi kata dan mengedipkan matanya.
"Kamu pikir, bibirku ini murahan! Toilet umum begitu? Jangan sembarangan kamu, aku akan menuntutmu. Sialaannnn, dasar mesum!" Tania mengejar Yudi, menarik lengannya.
Ia ingin menampar pipi Yudi akan tetapi pijakannya oleng, bukannya berhasil menampar Yudi malah tangannya, menarik tengkuk Yudi.
Secara repleks Yudi menangkap tubuh Tania agar tidak jatuh ke lantai, kembali ia mendaratkan ciuman ke bibir Tania, ia memukul-mukul bahu Yudi.
"Lepaskan, berengsekkk!!" umpat Tania kesal. Tanpa rasa kasihan Yudi melepaskan pegangan pinggang Tania
Brukkkk!
Tania mendarat kelantai."Aduhhh .... " umpat Tania kesal."Maaf apakah sakit? Di manakah yang sakit Nia? Maafkan aku!" ujar Yudi berjongkok menggendong Tania ala bridal style ada penyesalan di hatinya.
Tania melupakan amarahnya, ia lebih mementingkan sakit di bokong dan kakinya.
"Aku ... akan menuntutmu karena pelecehan seksual," ujar Tania sambil meringis, Yudi hanya tersenyum mendudukan Tania di atas tong cat.
Meraih kaki Tania dan mengurut betisnya, "Maaf!" Yudi menyesal dari hatinya yang paling dalam
"Bila ingin menuntutku, tuntut saja Bu Pengacara karena aku serius ingin menciummu dan ingin menjadikan bibirmu hanya milikku." Tegas Yudi tanpa rasa malu ataupun bersalah.
****
Tania sibuk mengoleskan salep pereda sakit dan berulang kali adegan ciuman yang dilakukan Yudi bagaikan slide di kepalanya terus berputar bagaikan slide film-film tempo doloe."Dasar kampret sialan! Kenapa sih? Pria ini selalu tidak berubah, malah makin menjadi-jadi. Awas! Besok kalau ketemu lagi aku akan benar-benar meninjunya ... aakkhh, ggrrr!" tania meluapkan emosinya dengan memukuli bantal gulingnya.
"Non, Non. Ada apa, Non?" Bik Ina tergopoh-gopoh memasuki kamar Tania.
"Gapapa Bik, cuman kesel saja. Bisa-bisanya ... pinggang, bokong dan kakiku sakit semua. Ini ulah Si Kulkas!" ujar Tania.
"Memang, Non nabrak kulkas? Kok, bisa? Asal nambrak si non. Mending nambrak cowok, Non!" Bibik mulai kumat onengnya.
"Hadehh ... Bibikkkk !! Ada-ada saja sih, akhh?" Tania makin kesel atas kelakuan pengasuhnya dari bayi ini.
Ting tong! Ting tong!
"Bik, ada tamu kayaknya? Siapa ya Bik? Sudah malam juga!" Tania melihat ke arah Bik Ina yang sudah nyantai di depan TV.
"Bibik lihat dulu, Non!" Bik Ina secepat peluru langsung cus dan kembali dengan satu pot bunga matahari.
"Hah ... ! Siapa yang kasih bunga matahari, Bik? Memang Bibi beli bunga ya?" Tania merasa heran bunga matahari dengan angkuhya menjulang tinggi di ruangan itu.
"Bukan, Non ... ! Ini buat si Non Nia nih, ada suratnya." Si bibi memberikan sebuah surat kecil, dan meletakkan bunga plastik matahari di sudut kamar dekat dengan jendela.
"Ada-ada saja! Ngirim kembang matahari, mana plastik lagi?" cerocos Tania sambil membuka surat kecil kuning.
Dear Xena
Maaf ... karenaku pinggang, bokong dan kakimu sakit. Sebagai permintaan maaf dariku, bunga matahari ini mewakilinya.
Tetaplah ... menjadi inspirasi buat semua orang-orang yang menyayangimu.
Maaf dariku
Yudi
Tania melongo membacanya, ada desir indah dan tanpa sadar Tania memeluk surat kecil itu, seakan-akan ia memeluk Yudi. Beranjak turun walaupun, tertatih menuju bunga matahari pemberian Yudi.
Mengulurkan telunjuknya menyusuri indah kelopak bunga matahari ia menunduk juga menciumnya.
"Si Non mulai aneh? Itu mah ... plastik Non? Di mana-mana bunga matahari ga ada wangi-wanginya Non. Apa lagi ... plastik" Bik Ina memperhatiakan apa yang dilakukan Tania dan memegang kening Tania,
"Apaaan si Bik? Ganggu aja!" jawab Tania.
"Yee ... si Non! Kemarin dapat mawar dari Pak Bastian wangi, cantik malah masuk tong sampah, kemarin dari Pak Broto juga dapat bunga lili, malah dikasih sama Mang Parno, kemarin-kemarin dapat kiriman bunga banyak ... nggak ada satu pun dipeluk-peluk. Apa lagi dicium, asli lagi bukan plastik!" Bik Ina geleng-geleng kepala.
"Biarinnn! Masa bodo!" Tania masih terus memeluk bunga mataharinya.
Tania mulai membaringkan tubuhnya, meraih ponsel di nakas dan mencari kontak Yudi, tertera di layar ponsel si Babang tamvan sudah berganti nama menjadi Si Kulkas omes
"Telepon ... ngga ... telepon ... ngga ... gimana dong? Akh, Pusinggggg! Akukan cuman mau bilang, makasih bunganya. Tapi ... entar Si Kulkas malah besar kepala lagi!" Tania mulai dilema
Di kediaman keluarga Rangga, Yudi membolak-balik kertas denah pekerjaannya. Akan tetapi pikirannya tidak luput akan Tania, Tania dan Tania lagi.Seakan-akan Tania berlarian di pikiran, hati dan di ruangan kamarnya dengan senyuman, cemberut serta omelannya.“Akh, sialan .., kenapa sih? Wajah Si Xena ini, ga bisa hilang sedikit pun,” bantah batinnya. Yudi beranjak dari tempat tidurnya, meraih jaket, helm dan kunci sepeda motornya.Di sinilah ia sekarang, di depan apartemen Tania.Yudi dengan jelas melihat Tania, di balik tirai jendela kamar apartemen lantai 2.Dengan bahagianya memeluk bunga matahari plastik yang diberikannya, lewat kurir yang sengaja dia kirimkan. Yudi tersenyum akan tingkah lucu kekanak-kanakan Ta
Begitu juga Tania, dia selalu dengan diam-diam mencuri-curi pandang akan kehadiran Yudi. Akan tetapi, seminggu sudah berlalu, Yudi juga tidak pernah muncul. Ada rasa kehilangan, kerinduan dan kecewa menyatu."Ke mana si Kulkas ya? Mau tanya kok, rasanya malu." Tania membatin, ia dirundung dilema menggigit bibir bawahnya.Ia melihat setiap ruangan yang selalu dipenuhi canda tawa Yudi beserta kru-nya, kini sepi lengang tanpa ada canda tawa Yudi.Tania kembali keruangannya, memandang bunga matahari yang masih saja dengan indahnya di sudut jendela kamarnya.Saat Tania memutuskan pindah ke rumah barunya, entah mengapa hal pertama yang ada di benaknya adalah bunga matahari ini. Baginya seakan Yudi selalu ada di sisi menemaninya,"Maafkan aku, seharu
Yudi pergi meninggalkan Tania, dengan sejuta perasaan amarah yang mau meledak di kepalanya. Ia tidak ingin mereka semangkin terpuruk seperti masa kanak-kanak dulu. Tania pun balik kanan ke ruangan kamarnya, ia segara menutup pintu dan membanting dirinya ke kasurnya. Ia menangis sesenggukan, "Dasar Kulkas, bodoh! Kenapa ga ada sedikit pun pengertiannya. Hiks hiks .... " Tania menangis di atas bantalnya. Ia merasakan sedikit rasa kesal dan benci juga rindu, yang menjadi satu di relung hati dan jiwanya. Ia tidak mengerti entah sejak kapan, ia menjadi sedikit cengeng. Sejak Yudi kembali di kehidupannya,
"Apa yang kau lakukan di sini, Yud?" tanya Tania heran. "Apa?! Enak saja kalau ngomong. Bukankah kamu yang merengek kepada Ayahku, untuk memasangkan pegangan pintu malam ini juga?" sanggah Yudi kesal. "Apa?!" Tania memijat keningnya, ia merasa ada kesalahan di dalam semua ini. "Ya ampun! Aku hanya membawa pegangan pintu kepada Om Rangga, hanya untuk berdiskusi mengenai pegangan pintu yang unik dan indah ini. Bukan untuk memintanya segera memasangkannya?" jelas Tania. Ia berusaha naik ke lantai atas, ke ruangannya mengambil aspirin dan menelannya sebutir. Ia benar-benar pusing akan semua kejadian semalaman ini. Kolega yang membuat pusing, Martin yang menyebalkan, semua b
Ditempat lain .... "Bagaimana kemajuan Anak-Anak Kita, Zah?" tanya Rangga. Ia menelepon Hamzah dengan berbisik-bisik, tidak lupa menghisap rokok cerutu dan berusaha mengibas-ngibaskan kertas, agar Rini sang istri tidak mengetahuinya. "Akh, keduanya sama-sama keras kepala, aku tidak yakin. Apakah keduanya akan bersatu?" jawab Hamzah. Ia menerawang mengingat Tania dan Yudi "Jangan menyerah, kita harus memberikan sedikit dorongan pada mereka, agar mereka benar-benar menyadari bahwa keduanya sedang jatuh cinta." Rangga menjawab, ia tidak mau kalah. Ia begitu yakinnya bila suatu saat nanti Tania akan menjadi menantunya,
Yudi masih sempat-sempatnya menghampiri Hamzah dan Rangga, yang masih terbengong di kursi meja makan hanya untuk permisi, membawa Tania. Tania memejamkan matanya, gulungan rambutnya sudah lepas dan dia masih saja terus memukul-mukul punggung Yudi. Rini dan Noni pun masih tidak percaya dengan apa yang dilakukan Yudi, "Ya, Allah. Ini anak kok, semakin kurang ajar. Maaf ya, Jeng. Kita harus menikahkan mereka secepatnya, apa kata orang-orang?" ucap Rini. Ia malu setengah mati melihat kelakuan putranya, "Iya, Mbak. Aku juga bingung," jawab Noni. Sementara Hamzah dan Rangga malah saling tos,
Yudi menuju rumah Tania mengetuk pintu kamar Tania tetapi, tidak ada sahutan. Yudi memberanikan diri, ia membuka kamar Tania. Di dalam kamar ia tidak menemukan Tania, ia telah pergi meninggalkan segalanya.Kesedihan tiba-tiba menyeruak di jiwanya, ia merasakan kekosongan yang dalam. Ia tidak menyangka Tania akan pergi meninggalkannya.Yudi hanya tertegun menyaksikan semua kehampaan itu, ingin rasanya Yudi menjerit sekuat tenaga. Ia sangat menyesali segala perbuatannya, ia begitu bodohnya telah menyia-nyiakan Tania, "Betapa bodohnya, aku!" umpat batinnya."Tania .... " lirihnya. Yudi tanpa sadarnya, menyebut satu nama yang terucap dari bibirnya yang setajam silet.Ia masih saja termenung, men
"Hmm, sebaiknya begitu. Biar mereka semua, jadi gembel!" omel Kakek Jatmiko."Apakah Kakek akan tenang di Alam Baka? Bila mereka jadi gembel? Jangan- jangan, Kakek akan jadi hantu penasaran dan kembali menghantuiku. Untuk merevisi ulang surat warisan lagi, dan aku tidak mau Kakek!" jawab Tania bercanda."Hahaha, dasar kamu ini! Baiklah, tidak usah revisi ulang lagi. Besok Kita bertemu di cafe X saja, Nak! Assalamu'alaikum," ucap Kakek Jatmiko riang."Wa'alaikumsalam!" balas Tania tersenyum simpul. Ia sedikit lega, ia memandang sinar bulan yang indah di balik tirai kamarnya. Kesedihan bergelayut mesra di sanubari, mengenang seraut wajah yang sudah menorehkan luka di sana.Namun, Tania masih s