Share

Gara-gara si hitam berenda

Begitu juga Tania, dia selalu dengan diam-diam mencuri-curi pandang akan kehadiran Yudi. Akan tetapi, seminggu sudah berlalu, Yudi juga tidak pernah muncul. Ada rasa kehilangan, kerinduan dan kecewa menyatu.

"Ke mana si Kulkas ya? Mau tanya kok, rasanya malu." Tania membatin, ia dirundung dilema menggigit bibir bawahnya.

Ia melihat setiap ruangan yang selalu dipenuhi canda tawa Yudi beserta kru-nya, kini sepi lengang tanpa ada canda tawa Yudi.

Tania kembali keruangannya, memandang bunga matahari yang masih saja dengan indahnya di sudut jendela kamarnya.

Saat Tania memutuskan pindah ke rumah barunya, entah mengapa hal pertama yang ada di benaknya adalah bunga matahari ini. Baginya seakan Yudi selalu ada di sisi menemaninya,

"Maafkan aku, seharusnya aku tidak begitu kasar padamu Yud."  Tania membatin, membelai kelopak bunga mataharinya.

Tania hanya menghela napas tanpa disadarinya bulir-bulir air mata meluncur, Tania menghapusnya.

"Aku sudah mulai kacau, dasar kulkass!! Ngapain juga pakai nangis-nangis segala? Ada-ada saja! Memang siapa sih, dia?" Tania berusaha menguatkan hatinya.

Akan tetapi semangkin dia mencoba, semangkin besar rasa cintanya. Tania tidak menyangka ia merasa rindu akan Yudi, ia selalu berharap Yudi akan datang menyapanya.

Namun sudah berhari-hari Yudi juga tidak muncul, "Ke mana sih, kok ga muncul?" batin Tania bertanya.

Ingin rasa hatinya bertanya, namun egonya terlalu tinggi, untuk menanyakan kepada salah satu kru Yudi.

Sehingga Tania hanya mampu, untuk memandang ke luar pintu kamarnya. Ia sudah membukanya lebar-lebar, berharap Yudi akan datang, tetapi yang ditunggu tidak juga datang.

Tania merasakan sesuatu, kehampaan yang menggerogoti jiwanya. Ia tidak menyangka begitu besarnya pengaruh Yudi di kehidupannya.

Padahal dulunya, ia begitu membenci Yudi dan berharap tidak akan pernah bertemu kembali dengannya.

Namun lagi-lagi takdir mempertemukan"Siapa yang menyangka bila kami, bertemu lagi?" batinnya bertanya.

Ia masih saja terus menantikan Yudi,  akhirnya suara sepeda motor besar memasuki pekarangan rumah Tania. Sebuncah rasa bahagia merayap di hati Tania, ia mengintip dari balik tirai jendelanya.

Namun Yudi hanya di lantai bawah, ia tidak naik ke lantai 2. Tania berusaha memasang kuping, mendengarkan semua pembicaraan Yudi dengan krunya.

Setelah itu Yudi pun meningalkan rumah Tania, Yudi hanya ingin menyampaikan semua keinginannya dan hal-hal yang harus dikerjakan oleh krunya saja.

Dengan diam-diam Yudi pun melirik ke lantai 2, ia berharap Tania akan turun dan mereka akan bercerita banyak hal. Ia ingin meminta maaf kepada Tania,

namun si pemilik rumah tidak kelihatan batang hidungnya. Yudi takut bila ia ke lantai atas, ia akan menyeret Tania dan akan melakukan kesalahan lain lagi, hingga mereka berakhir di lantai.

Ia sudah sangat tersiksa beberapa hari ini, ia memendam rindunya kepada si Xena yang keras kepala itu,

"Dasar Xena ....!" umpat batinnya marah dan kesal.

Ia sudah lumayan lama berada di lantai bawah, namun ia tidak melihat Tania turun sekedar menyapanya. Yudi yakin Tania ada di rumah, karena mobilnya terparkir di halaman rumah.

"Mengapa sih, dia tidak turun juga?" batin Yudi bertanya-tanya, "apakah ia masih sakit hati karena masalah kemarin?" batinnya. Ia terus saja bertanya-tanya penasaran,

bayangan bra berenda hitam itu terus saja mengusik malam-malam Yudi, membuat dirinya susah tidur. Ia membayangkan sesuatu yang indah rersembunyi di baliknya.

Membayangkannya saja Yudi sudah merasa sangat gila, apalagi sampai ia menyentuhnya. Yudi berusaha menepis bayangan benda berenda berwarna hitam, yang mengundang sesuatu di tubuhnya naik-turun.

Yudi meninggalkan rumah Tania dengan perasaan kesal, yang teramat dalam yang tidak bisa ia rangkaikan dengan kata.

Keduanya teramat egois dan tidak pernah menyadari, bahwa mereka sangat merindukan satu dan yang lainnya. Mereka saling menyiksa diri dengan menahan sejuta rindu yang menyesakkan dada.

Mereka berharap, salah satu dari mereka yang pertama kali mengalah untuk meminta maaf, mereka tidak ingin menjadi yang pertama kalinya meminta maaf.

"Rasanya aku tidak salah! Mengapa aku yang harus minta maaf dulu?" batin Yudi.

Ia berjalan ke arah sepeda motornya, untuk terakhir kalinya ia menoleh ke lantai 2, berharap Tania mengintipnya dari balik gorden jendelanya.

Tanpa sepengetahuan Yudi, Tania mengintip dari balik tirai jendelanya.

Ia melihat yudi begitu gagah dan tampannya, di balik sikap dingin yang ditampilkannya.

Dan hal itu pulalah yang membuat Tania merindukannya, keduanya benar-benar sudah memiliki satu jiwa. Hanya karena sebuah keegoisanlah yang membuat keduanya enggan untuk mengakui perasaan masing-masing.

keesokan paginya ....

Keduanya berkomunikasi melalui kru Yudi, Tigor sampai pusing dibuat ulah keduanya, "Gor, tolong katakan kepadaTania, wall paper buat kamar depan warna apa?" kata Yudi suatu pagi.

Padahal ia melihat Tania melintas di depannya, Tigor begitu bingungnya memandang bos dan si mbak cantik.

"Kalian ada masalah apa sih, bos?" tanya Tigor penasaran.

"Aku suruh kamu tanya kepadanya, bukan kepadaku?" balas Yudi sedikit keras. Membuat Tigor langsung gercep ke arah Tania.

"Mbak, si bos nanyak tuh! Wall paper buat kamar depan mau warna apa?" tanya Tigor.

Tania hanya memandang Tigor dengan malas dan memandang Yudi sekilas, "Katakan kepada bosmu, aku mau warna ungu gelap!" balas Tania tidak kalah sengitnya.

Tigor yang berdiri di antara keduanya pun, berteriak ke arah Yudi mengulangi semua perkataan Tania.

"Katakan kepadanya Gor, mau pakai motif atau tidak?" balas Yudi di balik kertas-kertas wall paper.

Kembali Tigor melakukan hal yang sama berulang, "Bilang sama bosmu, aku mau ungu dengan motif bunga mawar putih!" jawab Tania.

Berulang tigor seperti penerjemah, kepada dua anak manusia yang sedang marah-marahan layaknya anak kecil.

Tigor merasa sedikit kesal, "Mereka seperti anak-anak, padahal sudah bisa buat anak!" batin Tigor kesal.

"Aku kabur, saja!"batin Tigor. Ia pun tersenyum nakal ia mulai berpikir,

"Mereka lagi marahan kali ya? Aku kerjain saja," batin Tigor sedikit nakal.

"Katakan kepadanya, Gor. Keramik dapur warna apa?" teriak Yudi.

"Apa?! Aku cinta padamu?" ucap Tigor ke arah Tania.

"Apaa? Cinta? Siapa yang cinta!" hardik Tania, menelengkan kepalanya seakan ia tidak mendengar perkataan Tigor.

"Katanya!" jawab Tigor menunjuk ke arah Yudi.

"Siapa yang ngomong cinta! Dasar budek, Lu!" Yudi melemparkan kertas yang dikepalnya ke arah Tigor.

"Oh, bukan cinta Bos?" tanya Tigor, memasang tampang blo'on di wajahnya.

"Siapa yang cinta-cintaan? Siapa juga yang mau jatuh cinta, sama Nenek Lampir!" umpat Yudi kesal.

"Apa kau bilang?! Aku juga ga bakal jatuh cinta, dengan kepala batu? Apa lagi hantu Gerandong, kayak kamu!" ketus Tania sengit, ia berjalan mendekati  Yudi.

"Aduh, Bos! Maaf saya mau ke toilet sebentar," Tigor permisi ngacir. Ia tidak menyangka keduanya langsung seperti kucing dan tikus.

Tom and Jerry pun kalah dengan kelakuan mereka yang seperti kanak-kanak, keduanya dengan berkacak pinggang saling memelototkan mata memandang tajam satu sama lainnya.

"Dasar kepala batu!" umpat Tania.

"Kepala batu pun kamu suka!" balas Yudi.

"Aku tidak pernah menyukaimu?" jawab Tania ketus.

"Sama, aku juga tidak!" balas Yudi dengan angkuhnya.

Keduanya menahan amarah, yang membuncah ke angkasa dengan sejuta emosi di dalam dada. Andaikan mereka masih kanak-kanak seperti dulu, mereka sudah berakhir di lantai saling gumul dan pukul.

Namun harga diri mereka dan kedewasaanlah, yang membuat keduanya menahan diri untuk tidak saling menyerang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status