Share

BAB 2 ANMAR HARIS

Dari beberapa pilihan antara dijemput di rumah, diantar ke rumah tuan Anmar, atau datang ke kantornya, ternyata Alea pilih datang sendiri ke kantornya.

Entah apa alsan Alea, tapi dalam bayangannya bertemu dengan seseorang dalam suasana kantor sepertinya tidak akan terlalu menakutkan walau ternyata anggapannya tidak selalu benar.

Alea sudah menjadi pusat perhatian sejak dirinya mulai masuk dari pintu lobi. Alea baru sadar jika dirinya sudah salah kostum karena datang ke gedung perkantoran semewah itu hanya dengan memakai celana jeans dan sweater rajut. Alea terus berjalan mengabaikan pandangan sebagian orang, dia langsung masuk ke dalam lift menuju lantai yang tadi sudah diberitahukan oleh resepsionis.

Selama di dalam lift Alea terus berusaha mengabaikan semua ketakutannya dan berpura-pura seolah dirinya cuma datang untuk sebuah wawancara kerja, karena setiap kali teringat kembali apa tujuannya datang ke tempat tersebut seluruh konsentrasinya akan segera kembali buyar. Alea harus kembali membangun tekat dan keberaniannya. Jemari tangannya gelisah, berpegang pada tali srempang tas kecilnya yang melintasi punggung, ujung sol sepatunya mengetuk-ngetuk di atas lantai lift agar tidak panik. 

Begitu keluar dari pintu lift di lantai dua puluh lima, ternyata di sana sudah ada seorang wanita bersetelan rapi yang sudah menunggunya. Alea langsung diantar sampai di depan pintu ruangan tuan Anmar dan dipersilahkan masuk.

Alea masuk sendiri karena wanita yang mengantarkannya tadi langsung berpamitan pergi.

Ini adalah kali pertama Alea bertemu langsung dengan tuan Anmar. Meskipun sudah pernah beberapa kali melihatnya di media tapi memang sangat berbeda ketika berhadapan dengan orangnya langsung. Dari penampilan dan postur tubuhnya tuan Anmar memang bisa dibilang terlihat lebih muda dari pria berumur empat puluh tahun pada umumnya. Orang kaya wajar jika lebih terawat dan sangat menjaga penampilan. 

Tuan Anmar yang tadinya sedang duduk segera berdiri menyambut Alea, dan tersenyum untuk menyapa. 

Pria tinggi tegap itu juga langsung berjalan menghampiri Alea yang masih berdiri kikuk di depan pintu. Gadis muda itu benar-benar seperti anak ayam yang kehilangan induknya ketika dihadapkan pada pria seperti tuan Anmar. 

Alea bukan tipe anak penakut dan tidak terlalu pendiam, tapi jika dibandingkan tuan Anmar, Alea benar-benar merasa kecil. Bukan hanya secara fisik tapi juga karisma dari pria itu yang bisa membuat nyali siapapun yang berada di hadapannya seketika menyusut. Selain masih sangat fashionable, tuan Anmar juga memiliki tubuh yang terlihat sekali sangat terjaga staminanya. Semuanya sangat rapi dan berkelas, menunjukkan jika pria itu memang bukan orang sembarangan.

"Terima kasih sudah datang." Suaranya terdengar berat layaknya pria dewasa yang tegas dan berwibawa.

Alea langsung diajak duduk karena dari tadi ternyata dia hanya berdiri canggung seperti anak tersesat.

Ruangan itu sangat Luas bernuansa biru gelap dan hitam. Pencahayaannya agak remang meskipun di siang hari.  Ada sofa abu-abu di dekat dinding kaca berbingkai baja, Alea duduk di sana dan tuan Anmar ikut menyusul duduk di depannya.

Sofa tersebut sebenarnya cukup besar dan nyaman tapi tetap saja Alea merasa sangat canggung dan tidak tenang dengan posisi duduknya. Alea berusaha merapatkan pahanya karena tidak biasa duduk begitu dekat dengan seorang pria dewasa di sebuah ruangan yang agak remang dan hanya berdua.

Tuan Anmar justru malah beringsut lebih dekat sehingga kedua ujung lutut Alea berada di antara kedua pahanya. Tuan Anmar memang duduk dengan posisi paha agak terbuka layaknya cara duduk seorang pria. Tuan Anmar sebenarnya hampir sama seperti rata-rata dosennya di kampus dan Alea coba memposisikan konsentrasinya seperti itu agar tidak terlalu panik. Cuma bedanya, pria yang kali ini sedang memperhatikannya itu terlihat jauh lebih mahal dan tidak ada dosen di kampusnya yang bisa membuat jantung Alea berdegup sekencang ini.

Berulang kali, sebenarnya Alea bukan anak yang terlalu pendiam atau pemalu tapi pria yang sedang dihadapinya kali ini memang jauh melampaui kapasitas mentalnya.

Karena Alea belum juga bicara akhirnya tuan Anmar yang yang bicara lebih dulu.

"Kudengar usiamu sudah sembilan belas tahun?"

"Ya," jawab Alea dengan sangat singkat.

"Jangan takut padaku."

Bahkan ketika sedang menuduh seperti itu pun tuan Anmar tetap terlihat sangat tenang. Benar-benar mencerminkan sikap dari seorang pria yang sudah sangat berpengalaman menangani berbagai situasi, termasuk ketika harus menghadapi gadis muda yang sedang merasa seperti terhimpit di celah dinding.

Untuk lebih santai pria itu sengaja meletakkan lengannya di atas punggung sofa, menjulur sampai ke sisi tubuh Alea karena posisi mereka memang sedang duduk saling berhadapan dan sangat dekat.

Alea mulai memberanikan diri untuk menatap pria di depannya, walaupun masih belum berani memikirkan apa-apa. Otaknya kosong sepeti loading jaringan internet yang terjeda.

"Kau cantik Alea," tuan Anmar malah bicara seperti itu.

Sontak dada Alea jadi berdentam-dentam menjijikkan, dia takut luar biasa tapi tidak mau ketahuan dengan ketakutannya.

Tuan Anmar juga membelai surai lembut di sisi wajah Alea mengunakan tangannya yang lain, menyelipkannya kebelakang telinga kemudian kembali memperhatikan gadis muda itu baik-baik.

"Paman dan bibimu pasti sudah menceritakan semuanya."

Alea cuma mengangguk karena entah pita suaranya sedang hilang ke mana. Alea masih kesulitan untuk sekedar berkonsentrasi, tapi dia tetap memperhatikan bagai mana bibir pria itu ketika bergerak untuk bicara. Setiap ucapannya selalu diselingi dengan sedikit kombinasi senyum yang seharusnya membuat siapapun yang menatapnya merasa nyaman.

"Aku ingin memiliki seorang anak, satu orang anak saja sudah cukup." Tuan Amar kembali menghela napas sebelum kemudian kembali bicara. "Kau tidak perlu selalu melayaniku jika kau tidak mau."

Alea masih tidak sanggup bicara tapi udara yang dia hirup rasanya jadi lebih sesak dan menghimpit hingga ke pangkal paru-paru. Alea sedang membahas tentang anak dengan seorang pria dewasa yang akan membuatnya hamil. Entah caranya bagaimana Alea belum berani membayangkan. 

"Aku tahu sudah terlalu tua untukmu. Tapi kembali lagi kukatakan, aku ingin menikah dengan wanita yang lebih muda karena aku benar-benar hanya ingin istriku masih bisa memberiku keturunan."

"Paman dan bibi sudah menjelaskannya," ucap Alea ketika mulai mau ikut bicara.

"Kau juga tidak harus memberitahu semua orang jika kau tidak mau, aku bisa merahasiakannya. Jika nanti kau sudah memberiku seorang keturunan aku juga berserah padamu dan aku akan melepaskanmu jika itu yang kau inginkan."

Tuan Anmar sengaja mengambil jeda sejenak untuk melihat reaksi Alea sampai kemudian gadis itu mengangguk pelan. Entah artinya cuma sekedar mengerti atau sudah setuju.

"Aku tetap akan menjamin semua kehidupanmu dan memberikan semua hakmu," lanjut tuan Anmar. " Aku hanya ingin menikahimu dulu secara hukum agar anak itu nanti ikut memiliki hak atas semua milikku."

Alea kembali mengangguk dan tuan Anmar merasa lega.

"Apa aku akan tinggal bersama Anda?" tanya Alea dengan sangat canggung bahkan untuk sekedar memilih kata ganti yang tepat untuk pria di depannya.

"Aku akan meberikan rumah untukmu, kau bisa membawa ibumu dan akan kusiapkan perawat untuknya."

"Terimakasih."

"Kau tidak perlu berterima kasih."

Tapi menurut Alea dirinya tetap perlu mengucapkan terima kasih atas keperdulian tuan Anmar terhadap ibunya.

"Alea, bolehkah aku bertanya sesuatu?"

Dari tadi Alea lebih banyak mengangguk dan kali ini gadis itu juga cuma kembali mengangguk.

"Apa kau masih perawan?"

Alea masih terkejut dan lidahnya seketika kelu untuk dapat ia gunakan menjawab pertanyaan macam itu.

"Maaf jika kau merasa tidak nyaman dengan pertanyaanku, aku hanya ingin tahu dan aku juga tidak menuntutmu harus perawan."

"Aku belum pernah," jujur Alea.

Tuan Anmar langsung berhenti untuk bertanya dan memperhatikan gadis itu lagi sampai beberapa lama.

"Kudengar kau juga teman putraku?"

Alea kembali mengangguk.

"Apa kau tidak apa-apa?"

Alea menatap pria di depannya mengenai pertanyaan itu.

"Kami tidak kenal terlalu dekat."

Napas tuan Anmar sedikit bergetar karena tiba-tiba teringat putranya. "Aku tahu wanita-wanita seperti apa yang bergaul dengan putraku."

Alea kurang paham dengan apa yang membuat seorang orangtua seolah bisa memaklumi kelakuan putranya layaknya lelucon. Memang sudah bukan rahasia jika putra tuan Amar yang terkenal tampan itu paling banyak dikelilingi wanita-wanita cantik. Tapi jika diperhatikan menurut Alea mereka sebenarnya mirip tapi dalam rentan usia berbeda dan 'mungkinkah saat masih muda tuan Amar juga memiliki kelakuan seperti putranya?' Alea buru-buru mengerjapkan pikirannya, dia tidak mau berpikir macam-macam dan tidak pantas.

"Apa tadi kau kesini sendiri?" tuan Anmar kembali bertanya.

Alea mengangguk lagi.

"Nanti akan kuantar kau pulang."

"Tidak usah, aku tidak mau merepotkan Anda," jawab Alea yang masih kaget dan belum sempat berpikir.

"Tidak apa-apa, kau tidak perlu merasa seperti itu padaku, karena nanti kau juga harus terbiasa."

"Sebenarnya aku masih ingin mampir ke rumah teman," bohong Alea ketika buru-buru mencari alasan.

"Oh, baiklah mungkin lain kali."

Untung tuan Anmar masih cukup santai menanggapinya dan Alea merasa lega. Alea segera beranjak berdiri untuk berpamitan dengan sopan.

"Terima kasih atas waktu Anda Tuan."

Tuan Amar yang kebetulan masih duduk langsung mendongak dan mengerutkan dahi.

"Jangan memangilku seperti itu." Tuan Anmar mengatakannya sambil sudah kembali tersenyum karena ternyata dia sendiri juga bingung bagaimana nanti gadis semuda Alea harus memangilnya. 

"Mungkin kita bisa membahas perkara ini di pertemuan selanjutnya."

Alea mengangguk setuju seolah cuma menyetujui janji interview.

"Bilang kepada paman dan bibimu aku akan datang ke rumah kalian segera."

Berulang-ulang kali Alea cuma kembali mengangguk layaknya anak gadis yang patuh.

"Akan saya sampaikan."

Paman Alea juga bekerja di salah satu perusahan milik tuan Anmar dan karena itu lah kemarin tuan Anmar mendengar tentang Alea dan langsung menawarkan pernikahan pada pamannya.

"Hati-hatilah di jalan."

Alea mengangguk tapi kali ini sambil tersenyum karena ingat bahkan ayahnya sendiri pun tidak pernah berpesan seperti itu ketika Alea keluar rumah. Dulu biasanya cuma ibunya yang mengingatkan agar Alea pulang tepat waktu supaya ayahnya tidak marah.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ling Ling
baru BAB 2.... sudah terlove, suka.... lanjuttttttt
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
masa ngk ada yg membaca novel
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status