"Alea kau jangan ke mana-mana, hari ini tuan Anmar akan ke mari."
Bibi Rosita baru kembali dari arisan keluarga ketika membawa berita itu untuk Alea.
"Tuan Anmar ingin mengajakmu ke luar," lanjut bibi Rosita.
Alea belum selesai dari keterkejutannya yang pertama dan sekarang sudah terkejut lagi karena akan di bawa keluar oleh tuan Anmar.
"Mau ke mana, Bibi?" tidak tahu kenapa tiba-tiba Alea panik meskipun tidak berani menunjukkan kecemasannya.
"Aku juga tidak tahu, pamanmu juga cuma berpesan seperti itu."
Bibi Rosita sudah kembali pergi dan masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian.
"Jadi kau sudah di lamar?" tanya sepupunya. Kebetulan Beni sedang ada di rumah karena sedang libur kuliah, dia baru datang akhir pekan ini dari Jogyakarta.
Beni juga baru kembali setelah tadi disuruh menjemput ibunya dari Arisan. Kali ini pemuda itu sengaja duduk untuk menunggu Alea bercerita.
"Paman dan bibi sudah menerima mahar dari tuan Anmar," cuma itu yang dikatakan Alea dan menurutnya sudah cukup untuk memberi tahu Beni seserius apa rencana pernikahannya.
"Dia duda, Alea, apa kau tidak apa-apa?" Beni sampai mengerutkan alis nyaris tidak percaya, jika sepupunya yang cerdas itu mau begitu saja dinikahkan.
Alea dan Beni sebenarnya masih seumuran, Beni kuliah di Jogyakarta karena mendapat beasiswa di sana, berbeda dengan Alea yang kemarin bisa kuliah di universitas Elite. Bahkan sejak sekolah dasar Alea sudah berada di sekolah kalangan atas dan teman-temannya tidak ada yang miskin.
"Tapi tuan Anmar sangat kaya," tambah Beni yang langsung menyimpulkan sendiri jika sepupunya itu mungkin hanya tidak biasa hidup miskin.
"Tuan Anmar akan menikahiku."
"Baguslah, karena tidak sedikit teman-teman wanitaku yang cuma berakhir sebagai simpanan bos-bos kaya."
"Aku juga sedang tidak memiliki banyak pilihan," jujur Alea yang sebenarnya juga tidak ingin menikah jika Beni bermaksud menyepelekan keputusannya.
"Untung kau wanita, cukup mudah mencari solusi dengan pernikahan."
Beni tidak pernah iri terhadap Alea dia hanya akan selalu bicara jujur tentang semua pendapatnya. Alea juga tidak pernah sakit hati dengan semua perkataan sepupunya itu. Alea tidak keberatan jika masih ada yang mengkritiknya dengan jujur.
"Hanya itu yang kupunya sekarang, aku tidak sedang menjual harga diri tapi aku akan dinikahi." Alea sendiri sebenarnya tidak tahu kata-kata itu untuk menyangkal tuduhan Beni atau untuk sekedar meyakinkan dirinya sendiri.
"Semoga kau tetap pada keyakinanmu itu, karena bisa jadi lebih berat mempertahankan keyakinan dibanding menjalaninya."
"Terima kasih untuk nasehatnya."
Sebenarnya Alea sedang tidak ingin dinasehati walaupun yang dikatakan Beni juga tidak sepenuhnya salah, karena manusia memang akan cenderung mencari pembenaran untuk tindakannya.
"Jangan ganggu sepupumu!" tegur bibi Rosita kepada putranya setelah Alea kembali ke dalam kamar.
"Ingat, Alea! sebentar lagi tuan Anmar akan menjemputmu sebaiknya segera bersiaplah!" seru bibi Rosita mengingatkan dengan nada suara sedikit dikeraskan agar Alea mendengarnya.
"Berapa ibu mendapat mahar dari duda kaya itu?" tanya Beni pada ibunya.
"Tuan Anmar pria yang baik, jadi sama sekali bukan karena jumlah maharnya ibu mendukung Alea."
"Dia pria empat puluh tahun, Bu!" Beni memelankan suaranya hingga hampir seperti desisan untuk mengkritik ibunya sendiri.
"Jauh lebih baik dari pada pemuda yang masih tidak becus dan hanya merepotkan keluarga."
"Itu bukan aku!" tolak Beni untuk sarkas ibunya.
"Karena itu diamlah, jangan ganggu sepupumu!"
"Ibu hanya tidak mau mengakui jika sudah ikut menjual Alea dan kecerdasannya."
"Anak muda hanya terlalu lantang tapi belum tentu benar, nanti kau juga akan segera belajar dari pengalaman dan banyak kesalahan."
"Orang tua memang selalu lebih benar!" sarkas Beni.
"Pernikahan tetap hal yang benar!" tegas bibi Rosita pada putranya.
Tak berapa Lama Tuan Anmar benar-benar datang menjemput Alea. Sepertinya pria itu baru pulang dari kantornya dan langsung kemari. Bibi Rosita yang menyambutnya karena Alea masih berada di dalam kamar dan Beni pilih naik ke kamarnya yang terletak di loteng.
Bibi Rosita tetap saja gugup ketika harus mempersilahkan pria seperti tuan Anmar utuk masuk ke rumah sederhana mereka.
"Tunggu sebentar tuan, Alea masih bersiap."
"Tidak apa-apa aku akan menunggu."
Kejadiannya jadi hampir sama seperti kemarin ketika putra tuan Anmar yang datang ke rumah mereka mencari Alea. Tiba-tiba bibi Rosita juga jadi membayangkan jika saat tuan Anmar masih muda pasti dia juga bakal setampan putranya, mereka sangat mirip. Bahkan sekarang saja menurut bibi Rosita tuan Anmar masih sangat gagah dan tampan. Entah apa yang membuat pria seperti itu sampai mau menduda hingga puluhan tahu dan baru sekarang tiba-tiba mau menikah lagi. Yang pasti tuan Anmar sangat mencintai istrinya, dia pria baik bagaimanapun seharusnya Alea merasa beruntung andai dia paham.
Alea keluar dari kamarnya hanya dengan memakai celana jeans dan baju rajut agak longgar bermotif kupu-kupu merah muda. Tuan Anmar langsung menyambutnya dengan senyum dan Alea gugup. Pria itu sangat rapi dengan setelan yang terlihat mahal sementara Alea langsung merasa terlihat seperti bocah salah kostum lagi.
"Maaf aku tidak tahu akan kemana jadi ... " Alea pasrah mengenai penampilannya agar tuan Anmar menilainya sendiri dan tidak apa-apa jika Alea disuruh untuk berganti baju lagi, dia tidak keberatan.
"Tidak apa-apa begitu saja," kata tuan Anmar setelah mengoreksi penampilan Alea.
"Aku akan mengajak Alea keluar sebentar tidak akan sampai malam." Kali ini tuan Anmar bicara pada bibi Rosita, menunjukkan sopan santunnya yang tetap terjaga dan sangat menghargai siapapun keluarga Alea.
Rasanya itu saja dulu sudah cukup sebagai pegangan awal bagi Alea untuk meyakinkan dirinya sendiri jika langkahnya kali ini tidak sepenuhnya buruk. Tuan Anmar pria yang baik dan akan menghargainya, tidak akan menghinanya terlepas apapun alasannya untuk mau dinikahi. Sekarang Alea sudah tidak memiliki apa-apa dan ayahnya seorang koruptor, hampir tidak ada yang mau menghargainya. Bahkan teman-temannya dulu banyak yang merasa jijik serta ikut menggunjingkannya di mana-mana. Alea bukan hanya sudah tidak memiliki masa depan, dia juga sudah tidak memiliki pergaulan atau pun lingkungan yang mau menerimanya.
Setelah berpamitan dengan sangat sopan pada bibi Rosita, tuan Anmar juga menggandeng tangan Alea ketika berjalan membawanya ke mobil. Telapak tangan Alea dingin tapi tangan pria itu hangat menggenggamnya dengan lembut tapi mantap. Sulit untuk Alea jelaskan bagaimana jantungnya bisa berdebar-debar.
"Aku baru dari kantor dan tidak sabar langsung kemari mungkin lain kali aku yang seharusnya menyesuaikan diri." Tuan Anmar justru menilai pakaiannya sendiri.
Alea tidak berani berkomentar kecuali hanya memberi senyum.
"Aku ingin kau memilih cincin dan kebaya yang ingin kau pakai nanti."
Jujur saja Alea terkejut dan langsung berpaling kepada pria yang kali ini mengajaknya bicara.
"Terimakasih Tuan, tapi sepertinya tidak harus serepot itu."
"Kau tetap harus memiliki cincin dan aku tidak tahu berapa ukuran jarimu."
Tuan Anmar tiba-tiba meraih tangan Alea, memperhatikan jemarinya sejenak kemudian mencium jemari tangannya. Hanya sepersekian detik tapi sungtgu Alea nyaris pingsan, tengkuknya dingin rongga perutnya berpusar-pusar.
Alea tidak pernah menyangka dirinya akan diperlakukan seperti itu oleh pria yang sudah begitu dewasa.
"Pilihlah kebaya yang cantik meskipun kau hanya sebentar memakainya. Karena itu akan tetap menjadi pernikahan pertamamu."
Alea cuma bisa mengangguk dan yakin jika kali ini pita suaranya bukan hanya putus tapi sudah lenyap entah ke mana. Alea cuma bisa meremas-remas jemari tangannya sendiri untuk diam-diam mengusir kegusaran hatinya yang sedang tidak tidak karuan. Seharusnya pernikahan menjadi momen yang sangat spesial dan dinantikan, tapi sepertinya tidak sedang seperti itu bagi Alea.
Alea sangat takut, bukan hanya takut jika keputusannya akan salah, tapi dia juga takjut menghadapi pria dewasa.
Tuan Anmar sudah kembali memegang kemudi dan mulai menjalankan mobilnya. Mobil mahal berbodi kokoh itu mulai berjalan meninugalkan gang komplek menuju jalan utaman sehingga tidak terlalu terlihat mencolok lagi. Alea sempat menyibukkan otaknya dengan berpikir jika mobil tersebut mungkin dilapisi baja anti peluru karena bodinya sangat tidak biasa, gelap tapi tetap elegan dengan nuansa yang sulit untuk dijelaskan. Tak mengherankan jika Troy juga memiliki selera yang tinggi mengenai kendaraannya, ibarat buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Untuk sekian kalinya Alea menyimpulkan jika mereka mirip, bukan cuma secara fisik tapi juga gaya.Tiba-tiba ponsel tuan Anmar yang terletak di atas dashboard menyala dan Alea langsung memperhatikan tampilan wallpaper. Sepertinya itu foto tuan Anmar dan putranya beberapa tahun lalu ketika Troy mungkin masih berumur belasan tahun. Mereka sedang tersenyu
Karena semalam Alea tidak juga membuka pesannya, pagi harinya Troy kembali mengirim pesan ke pada Alea yang isinya masih sama saja. [Alea] cuma seperti itu lagi. Seolah Troy hanya sekedar ingin memanggil Alea agar gadis itu mau menoleh dan menghiraukan pesannya, tapi ternyata tidak sama sekali. Alea tetap tidak membuka pesan darinya meskipun Troy melihat jaringannya aktif. Kemarin bibi Rosita juga mengatakan kepada Troy jika Alea pergi dengan teman laki-laki, jadi mau tidak mau Troy mulai berpikir mungkin ia sedang mengganggu Alea. Troy kesal merasa seperti itu, Troy tidak pernah ingin mendekati seorang gadis seperti dirinya ingin mendekati Alea. Tapi jika benar Alea sudah memiliki seseorang, Troy juga tidak ingin menjadi pemuda brengsek yang tiba-tiba mengganggu hubungan mere
"Alea, maaf aku kemari." Alea masih kaget karena melihat Troy sudah berdiri di depan pintu. "Kuharap aku tidak mengganggumu." "Kenapa, Kak?" Alea bertanya pada Troy yang terlihat gugup dan risau. "Besok aku akan pergi dan aku hanya ingin melihatmu." Troy belum bicara lagi kecuali hanya menatap Alea yang juga jadi kelu menyaksikan kegugupannya. "Aku, menyukaimu Alea. " Akhirnya kata-kata itu terucap juga dari bibir Troy. Alea sudah hendak bicara ketika Troy lebih dulu mencegahnya. "Kau tidak perlu mengatakan apa-apa." Troy
Ini adalah kali pertama Alea mengunjungi ayahnya sejak penangkapannya sekitar dua bulan lalu. Bahkan Alea tidak pernah mau mengikuti pergelaran sidang ayahnya. Tapi sebenci apapun Alea dengan semua perbuatan ayahnya tapi pria itu tetap ayahnya dan Alea tetap harus memberitahunya mengenai rencana pernikahannya. Alea diijinkan bertemu dengan ayahnya di sebuah ruangan tiga kali tiga meter yang hanya memiliki pintu tanpa ventilasi dan jendela. Hanya ada satu meja dan dua kursi metal saling berhadapan yang kali ini mereka duduki masing-masing. Sebenarnya Alea juga tidak tega ketika menatap ayahnya yang sekarang terlihat lebih kurus, sayu dan seolah tanpa gairah hidup lagi. Wibawa yang dulu sering ikut Alea banggakan dari sosok ayahnya seolah telah ikut lenyap. "Maafkan aku Alea." Ayah Alea hendak meraih tangan putrinya tapi Alea menariknya
Ternyata tuan Anmar tidak membawa Alea pulang, tuan Anmar membawa Alea kesebuah hotel paling besar di pusat kota yang merupakan salah satu milik tuan Anmar sendiri. Alea tidak pernah membayangkan dirinya akan dibawa oleh seorang pria ke hotel seperti ini. Karena jika membandingkan penampilannya dan setelan rapi yang dipakai tuan Anmar, Alea jadi benar-benar terlihat seperti gadis tidak benar yang suka dibawa pria-pria mapan ke hotel.Sejak keluar dari mobil, tuan Anmar juga terus menggenggam tangan Alea tanpa pernah melepaskannya sedikit pun. Alea merasa benar-benar sangat canggung, bukan hanya karena penampilannya yang tidak cocok utuk berjalan di samping tuan Anmar, tapi karena semua orang yang kali ini juga sedang memperhatikannya.Beberapa karyawan hotel yang berpapasan dengan mereka ikut berhenti sebentar dan meny
Tubuh Alea terasa kebas dan masih malas bergerak, dia terbangun di antara gulungan selimut kusut yang cuma melilit tubuh sekenanya. Alea belum mau mengingat apapun karena rasanyeri di pangkal pahanya terasa lebih dominan sekarang. Alea coba berinsut sedikit untuk menggeser pinggulnya ketika menyaksikan layar ponselnya berkedip-kedip dan segera meraihnya dari atas nakas. Muncul beberapa notifikasi pesan baru yang beruntun. [Alea...] [Alea...] [Alea...] [Jika kau tetap tidak menoleh aku akan memanggilmu lagi] Alea masih sama sekali belum pulih dari apa yang dia alami tadi malam dan pagi-pagi ia sudah harus kembali melihat pesan dari Troy yang mendebarkan jantungnya. Pesan sederhan
Alea bukan hanya mendadak menikah di usia yang masih sangat muda, dia juga telah menikah dengan pria yang masih benar-benar asing baginya. Jadi sebenarnya bukan hanya kesenjangan usia yang menjadi masalah Alea sekarang, karena banyak pria yang jauh lebih tua pun sebenarnya juga belum tentu bisa bersikap dewasa. Kesenjangan usia tiba-tiba bisa jadi hal sepele jika dihadapkan pada pria seperti tuan Anmar. "Ke marilah Alea," panggil tuan Anmar ketika menoleh pada Alea. Alea benar-benar belum merasa nyaman ketika tiba-tiba harus begitu dekat dengan seorang pria. Tapi bagaimana Alea bisa menolak ajakan seperti ini dari pria yang sudah menikahinya. "Kemari lah, jangan malu dan takut padaku." Tuan Anmar masih menunggu tapi kaki Alea justru serasa lemas di atas ranjang. Meski baru saja mereka telah bersetubuh, tapi tengkuk Alea tetap merinding ketika diminta untuk mendekat.&nb
Alea duduk memperhatikan tampilan dirinya di depan cermin, entah apa yang telah berubah dari dirinya sekarang. Sudah satu minggu dia menjadi seorang istri. Diam-diam Alea menyentuh bibirnya sendiri, bibir yang sama tapi rasanya sudah tidak seperti dulu lagi setelah berulang kali dijamah oleh seorang pria. Alea berusaha membiasakan diri dengan suaminya, membiasakan diri dengan sentuhan tangannya, membiasakan diri dengan kehangatan kulitnya, bibirnya, napasnya, dan membiasakan bangun di sampingnya setiap pagi. Sepertinya Alea memang harus membiasakan diri untuk bisa menerima semua ini. Satu minggu memang bukan waktu yang cukup untuk membiasakan begitu banyak hal sekaligus, tapi paling tidak Alea sudah tidak merasa terlalu terganggu lagi dengan kedekatan fisik mereka. Alea hanya baru tahu jika manusia memiliki kebutuhan seintim itu untuk saling dipenuhi.