Share

Bab 3

Aku pun keluar dari rumah Mas Zaki, ternyata di depan pintu kamar ada Bu Ayu dan Yuni. Sepertinya mereka telah menguping pembicaraan kami. 

"Huh ... dasar wanita murah*n!" ledek Yuni, aku tetap bergegas pulang ke rumah papa tanpa menjelaskan siapa aku sebenarnya.

"Ana!" teriak Mas Zaki menyusul. Namun, aku sudah tak peduli dengan panggilannya. Ia sudah menalakku. Semua sudah berakhir, Mas, tanpa kamu tahu kebenarannya lebih dulu. Aku tak habis pikir, kamu tak percaya bahwa aku ini anak orang kaya.

Aku setir mobil dengan kecepatan tinggi. Kulajukan ke rumah papa kembali. Tak ada air mata yang menetes di pipi. Entahlah, mungkin air mata ini sudah kering hingga tak lagi berurai.

Mas Zaki, pria yang telah memintaku menjadi istrinya setahun lalu. Kini, ia menalakku. Memang baru sekali ia menalakku. Namun, aku tidak bisa kembali dengannya begitu saja, setelah apa yang ia katakan terhadapku tadi.

Kata-kata yang ia lontarkan akan menorehkan luka di hati. Mungkin baginya ini hanya sebuah emosi, tapi bagiku ini adalah jati dirinya, begitu rendahnya diriku di hadapannya.

Jadi teringat setahun silam, di saat Mas Zaki bertemu dan langsung menyuntingku.

***

Setahun lalu

Aku yang terbiasa bermain dengan anak-anak jalanan, sedang duduk di tepi jalan bersama-sama. Kami menyanyi bersenda gurau di pinggir jalan. Hingga akhirnya datang laki-laki yang tidak sengaja menabrak salah satu dari kami.

Brugh ....

"Au ...." Lita menjerit saat kakinya terlindas sebuah motor yang dikendarai oleh pria berjaket kulit.

"Eh, kamu tuh kalau naik motor liat ke jalan. Kita tuh dah di pinggir, tapi masih aja kamu lindas!" teriakku sembari menunjuk wajahnya yang tertutup helm. Kemudian, ia membuka helm dengan segera.

Setelah ia buka, laki-laki berjaket kulit itu mengucek matanya. Ia memang kesulitan membuka matanya. Sepertinya terkena debu di jalan.

"Maaf, Dek. Saya benar-benar tidak melihatnya. Maaf ya!" ucapnya sembari mengucek matanya. Kemudian ia terus menerus mengedipkan matanya. Hingga akhirnya bisa memperhatikan wajah kami.

"Jadi kamu itu tidak lihat ada kami di sini?" tanyaku lagi.

"Iya, Dek. Maaf ya. Ini uang untuk berobat ke rumah sakit." Ia menyodorkan uang sekitar satu juta rupiah.

Aku raih uangnya, kemudian kuberikan pada Lita yang sudah agak lebih mendingan.

"Maaf, Dek. Ada yang bisa antar saya dengan motor ini tidak, ya?" tanya laki-laki yang belum memperkenalkan namanya.

"Saya bisa antar," tunjukku. Kemudian, aku antarkan ia kembali ke tempatnya. Sebuah bengkel mobil yang lumayan besar dan ternama di kota ini.

Setibanya di sana, aku memberikan motornya kembali. Lalu aku berkenalan dengannya. 

"Namamu siapa? Rumah di mana?" tanya Mas Zaki.

"Aku Ana Melissa, rumahku rahasia." 

"Loh, kenapa rahasia?"

"Hanya laki-laki yang mau menyuntingku dengan segera yang boleh tahu alamat rumahku," pungkasku. Kemudian, ia meminta nomor kontakku untuk kenalan lebih lanjut.

"Kalau begitu, aku meminta nomer telepon selulermu, boleh?" tanyanya sembari memegang layar ponsel dan bersiap save kontak. Lalu aku sebut nomor kontak dan ia pun menyimpan kontakku.

"Aku pamit," tukasku.

"Hati-hati, terima kasih sudah mengantarkan aku ke bengkel. Ini bengkel milikku." Sombong sekali laki-laki ini, tapi boleh juga dengan tanggung jawabnya terhadap kecelakaan tadi.

Kemudian aku pulang, dan bertemu dengan papa dan mama. Ia sudah pulang dari kantor, seperti biasa aku dimarahi karena ketahuan bolos kuliah.

"Ana, dari mana kamu?" tanya papa.

"Pulang kuliah, Pah."

"Bohong, Papa tahu kamu bohong," cecarnya. Kemudian aku duduk di sampingnya.

"Papa akan menikahkan kamu dengan Roy, anak dari Pak Darun." Aku tersentak mendengar ucapan papa. 

"Pah, aku belum siap. Lagi pula aku sudah memiliki calon laki-laki yang akan menjadi suamiku!" jawabku dengan percaya diri.

Tidak lama aku berucap seperti itu, telepon berdering. Dari nomor yang tak dikenal. Kemudian, aku mengangkatnya sebentar saat papa hendak membicarakan pernikahanku.

"Halo, Ana." 

"Ya, ini siapa?"

"Aku Zaki, bisa bicara sebentar?" 

Aku segera pergi meninggalkan mereka, bicara dengan Mas Zaki, si laki-laki yang tanpa sengaja menabrak Lita tadi.

"Ada apa?" 

"Kamu bersedia menikah denganku?" Aku tersentak mendengar ajakannya. Ada apa ini? Papa memintaku untuk menikah dengan Roy. Di sisi lain, ada Mas Zaki yang menyuntingku secara tiba-tiba.

"Loh kenapa aku?" tanyaku terkejut.

"Mama memintaku menikah dengan wanita pilihannya. Aku tidak mau, karena tidak mencintainya. Bolehkah aku menjadikan kamu seorang istri?" Aku terdiam, tapi tak henti-hentinya berpikir. Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Aku dan dia sama-sama dipinta untuk menikah dengan pilihan orang tuanya.

"Baiklah, aku setuju. Aku pun sama dengan kamu. Diminta untuk menikah cepat, tapi dengan pilihan orang tua."

"Oh ya? Berati kita jodoh, bisakah aku melamarmu besok?" tanyanya.

"Aku bicara pada orang tuaku terlebih dahulu. Nanti aku hubungi kamu kembali!" Telepon pun terputus. Aku kembali berkumpul dengan papa dan mama.

"Siapa?" tanyanya sinis.

"Pah, aku akan menikah."

"Syukurlah, akhirnya kamu mau menikah dengan Roy." Mama sebegitu bersyukurnya mendengar ucapanku yang baru setengah.

"Mama, aku menikah bukan dengan Roy. Ada laki-laki lain pilihanku." 

Mama dan papa saling beradu pandangan sembari menggelengkan kepalanya.

"Ana, Papa tidak akan menyetujui. Khawatir laki-laki pilihanmu hanya memanfaatkan kamu, Ana!" tegasnya.

"Apa Roy tidak memanfaatkan Papa?" tanyaku.

Papa dan mama bergeming, tidak lama kemudian, papa melontarkan kata-kata yang mengejutkanku.

"Papa tidak akan merestui kamu, tapi Papa bersedia menjadi wali nikah untukmu!" tekannya. Ia menuturkan kata-kata dengan penuh ancaman.

"Maksud Papa?" tanyaku.

"Kamu boleh menikah, tapi jangan beri tahu pada keluarganya siapa jati diri kamu sebenarnya. Setelah kamu menikah pun ikut dengan suamimu!" Papa mengancam atau serius?

"Sesak dada Mama, Nak. Kenapa kamu memilih laki-laki itu?" 

"Mah, aku baru bertemu dengannya sekali, tapi kok aku merasa kami jodoh."

"Sudah, Mah. Kita masih memiliki Sinta yang nurut dengan kemauan orang tua!" tegasnya.

"Baiklah, aku setuju dengan keinginan Papa." Aku menantangnya. Dari pada harus menikah dengan Roy, si laki-laki hidung belang, lebih baik aku menikah dengan Mas Zaki saja.

Kemudian, aku memberikan kabar kepada Zaki. Bahwa aku telah menyetujui ajakannya untuk menikah dengannya. 

Perkenalan singkat dengan Mas Zaki telah menumbuhkan benih cintaku padanya. Begitu juga dengannya, yang lebih memilihku ketimbang gadis pilihan mamanya.

Acara lamaran dilakukan di rumah kecil yang papa sewa. Ia tidak mau memperlihatkan kekayaan kami karena belum mengenal Mas Zaki lebih dalam.

***

Aku melewati jalanan tempat kami bertemu dulu. Kemudian, aku turun dari mobil. Sedikit mengenang tempat ini, tempat awal mula Mas Zaki menabrak Lita. Kira-kira bagaimana kabarnya Lita sekarang ya? Sejak menikah dengan Mas Zaki, aku tak lagi bertemu dengannya.

Aku raih ponsel yang ada di tas, tapi ternyata kontak sudah tidak aktif lagi. Ah rasanya ingin cerita padanya bagaimana rumah tanggaku saat ini.

Aku kembali ke mobil dan hendak pulang ke rumah papa. Namun, papa sudah menghubungiku terlebih dahulu.

"Halo, Pah."

"Bagaimana?" tanyanya. Aku tahu ia sudah mengetahui jawabanku tapi berpura-pura menanyakan lagi padaku.

"Aku sedang on the way pulang, Pah."

"Jangan dulu, Papa punya tugas untukmu, tolong belikan bunga mawar berduri dan kirim ke alamat Jl. Tiga Dimensi nomer 5. Tolong Papa kirim bunga itu, ya!" suruhnya. Aku pun menyatukan kedua alis. Kenapa harus aku yang kirim? Bukankah papa memiliki banyak anak buah?

"Pah, kenapa aku? Males ah!"

"Ana, tolong Papa, ya!" perintahnya lagi.

"Baiklah, aku akan antar. Pengirim dari siapa?"

"Tak usah kasih nama pengirimnya," sahutnya. Kemudian telepon pun terputus.

Aku pun membeli bunga mawar berduri seperti perintah papa. Kemudian mengirimkan bunga itu ke alamat yang papa berikan.

Setelah sampai, di sebuah rumah minimalis, kelihatannya rumah orang berada. Di depan garasi juga ada sebuah mobil lumayan mahal terparkir. Entahlah, bunga ini papa kirim untuk siapa. Aku hanya mengikuti perintahnya.

Aku tekan bel rumah yang ada di depan. Kemudian keluarlah si pemilik rumah. Seorang wanita cantik yang berpakaian modis, wajah manis yang terpancar dari balik pintu itu tersenyum tipis kepadaku. Sepertinya aku kenal wanita itu?

Bersambung

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Daud Ariwibowo
ya elah yg bener aja d jodohin bapak ya ga mau. eh.... d lamar laki2 yg baru ketemu langsung mau. ta'aruf jg ga gt2 amat.
goodnovel comment avatar
dila padmana
lumayan buat isi waktu luang baca novel ini
goodnovel comment avatar
Kenzo Nova Yandi
jd d bikin penasaran baca ny...lanjutt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status