Bunyi jam weker menggema di kamar Shesa. Tepat pukul lima pagi, suara itu membuat matanya harus terbuka. Jika saja hari ini bukan jadwalnya dia harus berangkat ke Bali mungkin dia akan terbangun pukul tujuh dan masih menyempatkan dirinya untuk menikmati secangkir kopi latte di meja makan.
Shesa harus bergegas, dia harus sampai di bandara pukul sembilan sedangkan situasi jalan di pagi hari kota besar ini begitu padat merayap, belum lagi Shesa harus menunggu orang bengkel untuk mengambil kunci di apartemennya, agar bisa membawa mobilnya ke bengkel.
"Mas nya dimana? Atau gini aja deh, saya taruh kunci mobil di lobby apartemen ya ... nanti Mas bilang aja sama resepsionisnya, atas nama saya," ujar Shesa pada orang bengkel di seberang sana.
Terburu-buru Shesa masuk ke dalam taksi yang akan mengantarkan dia ke bandara pagi ini. Jika saja urusan mobil bisa dia selesaikan semalam mungmjn dia tidak akan telat untuk urusan kunvu saja.
Shesa sudah melewati pintu pemeriksaan lalu dia menghubungi Reta jika dia sudah berada di bandara dan akan menuju ke pesawat. Dengan berlari kecil akhirnya dia sudah berada di antara para penumpang yang akan memasuki pesawat.
"Sha," panggil Reta.
"Hai ... sorry telat, aku ada urusan mendadak tadi," ujar Shesa mendatangi Reta.
"Sha, duduk di sana ya ... aku ada beberapa hal yang harus di bahas dengan Pak Robby, untuk meeting sore nanti," ujar Reta.
"Oh, ok ... di sana ya," ujar Shesa menunjuk tempat duduk yang sudah berisi seseorang di sana.
"Terimakasih," ujar Shesa pada salah satu pramugari yang membantunya meletakkan travel bag ke dalam kabin.
"Maaf, saya bisa duduk di sebelah jendela?" tanya Shesa pada lelaki yang sedang menunduk membaca sebuah majalah lalu menengadahkan kepalanya "Kamu?"
"Kamu?" pertanyaan yang sama yang di lontarkan oleh lelaki itu.
Shesa menoleh ke arah Reta sayangnya wanita itu sedang sibuk membahas sesuatu. Lalu kemudian dia menjatuhkan kembali pandangannya pada lelaki yang duduk di sebelahnya.
"Kalo mau duduk ya duduk aja, apa mau di pangku?" Lelaki itu kembali membaca majalahnya.
"Kalo di dekat jendela boleh?" tanya Shesa.
"Oh, silahkan ... mau di luar jendela juga gak apa-apa sih," ujar lelaki itu asal.
"Ish." Shesa seakan memipihkan tubuhnya melewati lelaki itu.
Shesa meraih laptopnya, dia kembali sibuk membuka email yang berisi beberapa file untuk pembahasan meeting tiga hari ini di Bali. Kenapa harus di Bali? Kabarnya keluarga besar pemilik perusahaan ini tinggal di Bali, setelah meeting usai, pemilik perusahaan akan mengadakan acara di sana.
"Pemilihan bahan yang baik itu di lihat dari teksturnya," ujar lelaki itu lagi.
"Hah?"
"Itu, kata-kata kamu kurang pas kalo seperti itu," ujarnya menunjuk sepenggalan kata dari isi pembahasan meeting.
"Sok tau," ujar Shesa menutup laptopnya.
"Maaf, Ibu bisa di pasang safety belt nya, kita sebentar lagi akan take off," ujar salah satu pramugari yang menghampiri.
"Mau aku pasangin?" bisik lelaki itu mengedikkan alis matanya.
Shesa berdecik dan menggeleng, dia seperti duduk bersebelahan dengan lelaki yang selalu suka tebar pesona. Tebar pesona? Shesa tersenyum samar.
Penerbangan menuju Bali dengan memakan waktu tempuh selama dua jam itu akhirnya sampai di tujuan. Shesa mengemasi barang-barangnya saat semua penumpang satu per satu mulai turun.
"Sha ...," panggil Reta. "Kita di mobil itu," ujar Reta menunjuk sebuah minibus berhenti di depan mereka.
Shesa mengikuti arahan Reta, mereka menaiki mobil menuju salah satu hotel bintang lima. Sesampai di lobby hotel betapa terkejutnya Shesa ketika matanya beradu pandang dengan lelaki yang dua hari ini seperti membuntutinya.
"Ayo, Sha."
Pintu lift itu berhenti di lantai lima, sebuah kamar dengan dua tempat tidur dan fasilitas yang mengesankan untuk staf kantor seperti mereka.
"Setelah ini kita istirahat sebentar lalu turun ke bawah langsung meeting, Sha."
"Perusahaan sering ngadain meeting di luar kota ya, Ya? dengan fasilitas seperti ini?"
"Sebenarnya gak sih, ini karena kebetulan ada acara keluarga Atmaja makanya beberapa staf terpilih di kirim kesini termasuk kita dari divisi Humas."
"Acara apa?"
"Kurang tau juga aku," kata Reta lalu masuk ke dalam kamar mandi.
"Ta, setelah makan siang kan meeting nya?" seru Shesa.
"Iya," jawab Reta dari kamar mandi.
Shesa membuka jendela kamarnya yang langsung ke balkon menyajikan hamparan laut lepas di depan sana. Sudah tiga bulan ini dia tak menginjakkan kaki ke Bali.
Rindu liburan gumamnya dalam hati.
Pukul dua siang, Shesa sudah memasuki ruang meeting ya g di sediakan oleh hotel. Pantas saja perusahaan mengadakan meeting di luar kota dan di hotel, peserta yang mengikuti hotel pun dari cabang-cabanh perusahaan di berbagai kota.
Shesa duduk di barisan meja kursi nomer dua dari depan, matanya masih fokus pada laptop, mendengarkan beberapa pemimpin rapat menyampaikan perkembangan perusahaan dalam satu tahun ini.
Dan betapa terkejutnya Shesa ketika matanya bersitatap dengan lelaki yang beberapa hari ini seperti membuntutinya. Ah, membuntutinya? Tapi kenapa dia ada di atas podium?
"Perkenalkan saya Alvin Atmaja, pewaris nomer dua perusahaan ini, senang bisa bertemu dengan petinggi perusahaan beserta staf terpilih yang mengikuti acara ini."
"Ta, aku permisi sebentar ke toilet ya."
"Oke ... eh Sha, udah di kirim file nya ke Pak Robby? Setelah ini Pak Robby yang akan presentasi."
"Udah, itu udah beres ada beberapa yang aku revisi untuk kata-katanya." Reta mengangguk tanda mengerti. "Aku keluar sebentar ya, lagian kayaknya masih lama yang di podium memperkenalkan diri," ujar Shesa tersenyum.
Shesa merapikan kembali penampilannya, wanita itu hanya menggunakan celana bahan bermodel pensil dan kemeja press body berwarna maroon serta stiletto setinggi tujuh centimeter menambah keanggunan wanita berambut hitam legam yang terurai sebahu itu.
"Kayaknya gak betah banget ada di dalam ya," ujar suara itu mengagetkannya saat keluar dari dalam toilet.
"Astagaaa." Shesa menepuk dadanya. "Ngagetin banget sih," ujar Shesa kesal lalu melangkah mendahului Alvin.
"Mau kemana?" tanya Alvin masih berdiri di ambang pintu toilet
"Ya ke dalem lah, masa di sini ... meeting nya kan di sana bukan di sini," ujar Shesa membenarkan tali name tag yang melingkar di lehernya.
Alvin mendekat, lalu meraih name tag itu.
"Shesa ... divisi PR, lumayan namanya."
"Ya iyalah." Shesa menatap jengah. "Daripada Alvin ... kayak naman film kartun favorit aku," ujar Shesa terkekeh lalu melanjutkan langkahnya.
"Apa?" Alvin mengikutinya dari belakang.
Shesa berhenti lalu memutar tubuhnya, "Alvin and the chipmunk setiap hari jam sembilan malam channel Disney Junior, tonton deh lucu dan ... menyebalkan kayak kamu."
Wanita itu melangkah memasuki ruangan meeting meninggalkan Alvin yang berdiri terpaku dengan satu tangan berada di kantung celananya, dan menyisakan sedikit senyum.
Meeting selesai dalam waktu hampir dua jam, dengan agenda jika besok akan di mulai kembali. Dan perusahaan membebaskan acara malam ini untuk para staff. Shesa berjalan menuju lift seorang diri, seperti biasa Reta selalu meninggalkannya dengan alih masih harus membahas beberapa poin saat meeting tadi, padahal sebenernya besok pun masih bisa di lakukan. "Jangan di tutup," seru suara dari luar lift saat Shesa sudah menekan tombol close, buru-buru Shesa menahannya. "Makasih," ujar lelaki itu. "Astaga, dia lagi," gumam Shesa. Lelaki itu bersandar di dinding lift, dengan satu tangan berada di kantung celananya memperhatikan Shesa yang menggulir layar gawainya. "Ketemu lagi kita," ujarnya membuka pembicaraan. "Iya, padahal aku udah berdoa, semoga gak ketemu lagi," kata Shesa dengan senyum tipis. "
Pagi itu Shesa berjalan sedikit terburu-buru bersama Reta. Memasuki ruangan rapat yang sudah di penuhi oleh banyak orang di dalamnya. Shesa hari itu mengenakan rok sepan hitam sebatas lutut dengan kemeja berwarna baby pink, dan laptop di tangan kanan serta tas yang berada di kiri lengannya. Duduk di meja yang bertuliskan namanya , mata Shesa seperti mencari seseorang. Mata itu bersitatap dengan obyekyang dia cari. Alvin sedang menatapnya, lelaki itu melempar senyuman. Meeting hari kedua ditujukan pada masing-masing divisi untuk melakukan presentasi di bagian masing-masing. Dan, hari ini divisi yang Shesa tempati mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kelebihan serta bagaimana mereka membantu perusahaan agar selalu di pandang baik sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di negara ini. Shesa di tunjuk sebagai pembicara dari divisi Humas, wanita berumur 27 tahun itu berjalan sangat anggun. Aura model papan atas yang dulu sempat membawanya d
"Vin," lirih Shesa. "Hhmm." Alvin membuka satu per satu kancing kemeja Shesa, tangannya meraba dada Shesa sementara tautan bibirnya tak berhenti. Alvin menikmati permainan lidah Shesa di dalam rongga mulutnya. Ciuman Shesa begitu menghanyutkan, mereka sama-sama terbuai. Hingga akhirnya Alvin menarik mundur tubuhnya, menata mata Shesa yabg masih sendu. Kemeja Shesa sudah terbuka, buah dadanya begitu sempurna, pandangan Alvin turun pada dada yang masih terbalut bahan berenda berwarna nude itu. Alvin mengecupi dada Shesa, tubuh Shesa menegang ketika perlahan Alvin membuka pembungkus dadanya. "Vin,"lirih Shesa membusungkan dadanya. Alvin hanya bergumam, dia lebih memilih menikmati permainan lidahnya di puncak dada Shesa dan mendengarkan lenguhan suara Shesa yang merdu di telinganya. "Sha ... aku mau kamu," ujar Alvin, tangan lelaku itu turun menyusuri perut datar milik Shesa sampai pada pembatas rok yang Shesa kenakan. "Jangan," ujar Shesa
Sebuah minibus mengantarkan Shesa dan beberapa orang menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai. Shesa tak habis pikir atas apa yang dilakukan oleh Alvin saat terakhir mereka bertemu tadi, tiba-tiba menarik tubuhnya lalu mendaratkan ciuman yang sama seperti malam sebelumnya. Shesa menggeleng lalu tersenyum, sudah dipastikan wajahnya merona merah. Jatuh cinta? Apa itu? Shesa belum pernah merasakannya sedalam ini bahkan dengan Catur si brengsek itu sekalipun. Senyum samar itu seketika hilang saat mengingat nama Catur kembali hinggap di benaknya "Sha, ayo ... siap-siap boarding," ujar Reta yang berjalan di depan Shesa. "Hari Senin, Pak Alvin gosipnya sudah bergabung di perusahaan kita," kata Reta menghempaskan tubuhnya duduk di sebelah Shesa. "Oh, selama ini ... maksud aku sebelumnya dia dimana?" "Gak tau ... gak jelas juga, ada yang bilang dia punya usaha sendiri di luar negeri ada yang bilang menghamburkan uang keluarga, entah mana yang benar."
"Membicarakan apa?" tanya Alvin yang langsung saja masuk ke ruangan sekretaris sang Ayah. "Pak Alvin, silahkan duduk," ujar Bu Sinta. "Biar di sini saja, Bu Sinta ... tadinya saya ingin meminta bantuan untuk mencarikan file produk, ternyata Bu Sinta sedang ada tamu." Alvin berdiri di samping Shesa. "Ah ... hanya berbincang mengenai posisi kosong sebagai sekretaris Pak Alvin, sudah ada dua kandidat dan satu lagi saya menawarkan posisi itu pada Shesa." "Hasilnya?" tanya Alvin melirik Shesa dengan ekor matanya. "Saya pikirkan dulu, Pak Alvin ... saya baru bekerja hitungan minggu di perusahaan ini, jadi saya tidak ingin gegabah mengambil keputusan, apalagi untuk posisi yang di tawarkan pada saya bukan lah bidang yang saya geluti," ujar Shesa. Alvin hanya mengangguk, "ok ... silahkan dipikirkan," ucap Alvin lalu berlalu keluar dari ruangan itu. "Sebaiknya dipikirkan lagi, Sha ... aku lebih tertarik sama kamu di banding yang lain, ta
"Sha." Suara itu terdengar lirih, seakan meminta sesuatu yang menjadi candunya. Alvin semakin mendekatkan tubuhnya, sapuan nafasnya semakin terasa hangat menerpa wajah Shesa. Alvin menautkan bibirnya pada bibir Shesa, menyesapnya lama. Shesa menikmati setiap gigitan-gigitan kecil di bibirnya, matanya terpejam sedangkan tangannya membelai lembut rahang lelaki itu. Alvin menarik pagutannya, matanya menatap sendu mata Shesa yabg baru terbuka saat ciuman itu berakhir. "Aku gak tau ini apa, tapi aku ngerasa sesuatu berbeda saat pertama kali ketemu kamu," bisik Alvin di telinga Shesa. Alvin kembali menautkan bibirnya, kali ini lidah mereka saling menari di dalam sana, tangan Alvin menahan tengkuk leher Shesa, menciumnya semakin dalam. Tangan lelaki itu turun ke dada Shesa, payudara wanita itu terasa padat di tangan kekar milik Alvin. Shesa melenguh saat cengkraman itu semakin kuat meremas dadanya. "Vin ...." Shesa menarik dirinya,
Suara ketukan di pintu membuyarkan konsentrasi Alvin dalam mengerjakan pekerjaannya. Budiman Atmaja, ayah Alvin datang menemui putranya bersama seorang wanita berkulit putih bening, bermata indah dan mempunyai rambut berwarna coklat keemasan. "Hai, Alvin," sapa Soraya. Wanita dengan tinggi badan 165 sentimeter itu berjalan mendekati Alvin dan memberikan kecupan di pipi lelaki itu. "Papa kesini mau nganterin Soraya, ajak Soraya makan malam ya ... jauh-jauh dari Bali sudah pasti harus kamu jamu dengan baik," ujar Budiman pada Alvin. "Kenapa gak Papa sama mama aja yang makan malam sama Soraya? Alvin masih banyak pekerjaan." Alvin berusaha menolak, jelas dia ingat sekali janjinya pada Shesa malam ini. "Papa masih ada urusan, kalo mama kamu ... tau sendiri lah jadwalnya padat, kan." Budiman menepuk pundak Soraya. "Soraya, Om tinggal dulu ya ... butuh apa-apa selama di sini, bilang aja sama Alvin." Budiman lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.
Suara ponsel Shesa berbunyi kala dua sahabat itu sedang membahas tentang masalah percintaan yang dialami oleh Shesa. "Siapa?" tanya Nina. "Alvin," jawab Shesa dengan mata yang terbelalak lalu menatap Nina. "Nin ... gimana?" "Eh, gimana? malah nanya gue." Nina mengangkat kedua bahunya. "Angkat aja." Shesa meletakkan jari telunjuk di bibirnya memberikan isyarat pada Nina untuk diam. "Halo," sapa Shesa dengan wajah yang datar. "Kamu dimana?" "Kenapa?" "Aku tanya kamu dimana, jangan balik bertanya," ujar Alvin. "Sedang di suatu tempat, kenapa?" "Aku jemput, katakan dimana?" "Aku lagi sama teman-teman," ujar Shesa. "Lain kali saja ...." "Sha ...." "I got to go now, bye (aku pergi dulu)" ujar Shesa menutup telponnya. "Ish ... kejam lo," ujar Nina. "Biar gak kebiasaan maenin hati anak perawan," ujar Shesa terkekeh meski hatinya perih. "Anak perawan, njiirr." Nina