Share

4. Perkenalan Lagi

Meeting selesai dalam waktu hampir dua jam, dengan agenda jika besok akan di mulai kembali. Dan perusahaan membebaskan acara malam ini untuk para staff. 

Shesa berjalan menuju lift seorang diri, seperti biasa Reta selalu meninggalkannya dengan alih masih harus membahas beberapa poin saat  meeting tadi, padahal sebenernya besok pun masih bisa di lakukan.

"Jangan di tutup," seru suara dari luar lift saat Shesa sudah menekan tombol close, buru-buru Shesa menahannya.

"Makasih," ujar lelaki itu.

"Astaga, dia lagi," gumam Shesa.

Lelaki itu bersandar di dinding lift, dengan satu tangan berada di kantung celananya memperhatikan Shesa yang menggulir layar gawainya.

"Ketemu lagi kita," ujarnya membuka pembicaraan.

"Iya, padahal aku udah berdoa, semoga gak ketemu lagi," kata Shesa dengan senyum tipis.

"Terkadang doa di kabulkan di saat-saat yang baik," balas Alvin. "Lantai 5 juga?" tanya Alvin.

"Aku ada tekan tombol lain selain angka itu?"

Alvin mendengus, menarik sudut-sudut bibirnya, lalu melangkah mendekati Shesa.

"Mau apa kamu?" Shesa melangkah mundur.

"Mau kasih pelajaran sama mulut kamu yang judes banget ini," ujar Alvin menyudutkan wanita itu.

"Minggir!" Shesa menahan dada Alvin yang semakin mendekat.

"Tau pepatah mulutmu harimaumu?"

Hembusan nafas Alvin menerpa wajah Shesa. Jarak itu begitu dekat, lelaki itu benar-benar tak menyurutkan niatnya menggertak Shesa yang berlidah tajam dalam berkata-kata. 

"Minggir gak!" 

"Dari awal kita ketemu, mulut kami dan seluruh rongga yang berada di dalamnya itu harus di kasih pelajaran." 

Alvin meletakkan kedua tangannya di dinding lift, dia harus menahan wanita itu di dalam kungkungannya.

"Mimpi kamu," jawab Shesa memberanikan menatap wajah lelaki itu, mendorong tubuh Alvin sekuat tenaganya, hingga pintu lift berbunyi terbuka.

Betapa terkejutnya Shesa ketika di luar lift ada beberapa orang yang sedang tercengang melihat kelakuan Shesa dan Alvin.

Shesa menunduk, lalu melangkah cepat pergi meninggalkan Alvin yang masih berada di sana.

"Sial." Shesa menggerutu kesal saat merogoh tasnya mencari kartu akses masuk ke dalam kamarnya.

"Karma itu di bayar tunai," kekeh Alvin yang melihat Shesa kebingungan memikirkan caranya untuk masuk ke dalam.

"Kamu kenapa sih ngikutin aku terus, jangan mentang-mentang kamu anak pemilik perusahaan jadi bisa semena-mena sama karyawan." Kesal Shesa.

"Dih, percaya diri sekali Anda," ujarnya membuka kamar yang berhadapan langsung dengan kamar milik Shesa.

Wajah Shesa merona merah menahan malu, siapa sangka lelaki itu hanya berseberangan kamar dengannya. 

"Mau ikut masuk?" tawar Alvin.

Shesa diam tak menjawab, lalu pintu itu pun tertutup. Shesa kembali menghubungi Reta namun tak ada jawaban, jika dia turun ke bawah lalu meminta kunci duplikat apa mungkin bisa.

"Astaga, masa gue harus nunggu di sini sih." 

Shesa terduduk di lantai, menunggu entah sampai kapan Reta akan datang menyelamatkannya.

Pintu di depan kamar itu kembali terbuka, Alvin sudah mengenakan celana pendek berwarna krem dan kaos berwarna hijau army. Bentuk tubuh lelaki itu begitu sempurna, alisnya yang tebal dan kontur wajah blesteran menambah ketampanan lelaki itu.

"Masih mau nunggu di situ?" tanya Alvin yang melihat Shesa menundukkan mukanya di antara dua lutut yang tertekuk.

Shesa masih terdiam dia sama sekali tak menggubris perkataan Alvin yang berdiri di depannya.

"Ayo," ujar Alvin meraih tangan Shesa.

"Eh, mau kemana?" 

"Ikut aja, dan jangan berpikiran yang aneh-aneh," ujarnya masih menggenggam tangan wanita itu.

Shesa tergopoh-gopoh mengikuti langkah kaki Alvin, dia sedikit kerepotan dengan tas dan laptop yang ada di tangannya. Keluar dari lift, lelaki itu masih menarik tangan Shesa.

"Mobilnya udah siap, Pak," ujar salah satu pelayan hotel memberikan kunci mobil hotel yang telah disediakan.

"Makasih," ujarnya datar.

"Naik."

"Ih, siapa lo maen suruh masuk aja," ujar Shesa.

"Udah masuk aja, mau jalan-jalan gak? Rugi ke Bali kalo gak kemana-mana,"ujarnya sedikit mendorong tubuh Shesa agar masuk ke dalam mobil berwarna putih itu.

Mau tidak mau, suka tidak suka Shesa mengikuti titah Alvin. Duduk bersebelahan untuk kedua kalinya dengan orang yang baru beberapa jam yang lalu  memperkenalkan diri. 

Canggung? Jelas. Baru kali ini Shesa berkenalan dalam waktu singkat dan dalam keadaan sadar. Karena sebelum-sebelumnya dia pasti mabuk jika berkenalan, berciuman bahkan berhubungan intim dengan orang yang baru dia kenal.

Shesa mengikat tinggi rambutnya yang tergerai, harum tubuh wanita itu menyeruak masuk ke indera penciuman Alvin. Lelaki itu tersenyum.

"Hermes 24 Faubourg? 20 juta untuk harga satu botol saja, luar biasa," ujar ya menebak parfum yang Shesa kenakan. "Seorang model dengan bayaran termahal bekerja sebagai staf biasa di perusahaan tekstil terbesar di negara ini ... ada angin apa?"

Shesa menoleh ke arah lelaki yang masih fokus menatap jalan raya di depan sana.

"Kamu terlalu kepo untuk seorang S2 lulusan luar negeri," jawab Shesa.

"Apakah ada undang-undang yang melarang seorang S2 untuk tahu kehidupan seseorang?"

"Biasakan untuk tidak mengurusi hidup seseorang itu sepertinya baik buat kamu," ujar Shesa tak mau kalah.

"Keras kepala, mandiri, biasa hidup sendiri, bersenang-senang lalu merasa kesepian, bener?" Alvin menghentikan mobilnya di sebuah pantai.

"Ingin tau kehidupan orang, rese, gak mau ngalah, manja, dan selalu hidup dengan aturan sepanjang hidupnya, bener begitu?" Shesa membalikan pertanyaan pada Alvin.

Alvin mengukir senyuman, wanita di depannya ini ternyata wanita tangguh dan pintar bersilat lidah.

"Aku laper, mau turun gak? di sini banyak restoran seafood yang enak," ujar Alvin

"Aku tau."

"Oh iya, aku lupa ... model papan atas liburannya bukan hanya di Indonesia tapi juga luar negeri," ujar Alvin menyindir.

Berjalan bersisian, Shesa melepaskan stilettonya, menjinjing sepatu yang dia gunakan. Alvin menarik kursi untuk Shesa, perlakuan seorang lelaki yang selama ini Shesa inginkan.

"Makasih."

"Kalo lembut ternyata manis," ujar Alvin tersenyum.

"Kurang lebih sama seperti kue, keras di luar setelah di rasakan dan masuk  ke rongga mulut maka yang terasa lembut dan manis." Shesa menaik turunkan alisnya.

"Senang kenalan sama kamu," ujar Alvin mengulurkan tangannya. "Alvin Atmaja."

"Shesa ... Shesa Larasati." Shesa menyambut uluran tangan Alvin.

Awal mula perkenalan yang di mulai dengan perdebatan dan perkataan sinis itu pun akhirnya melebur dengan segala perbincangan dan celotehan konyol dari Shesa dan Alvin.

"Jadi akhirnya memutuskan pulang ke Indonesia?"

Alvin mengangguk, "demi perusahaan ini, dan keluarga."

"Bukannya masih ada saudara kan, kakak pertama kamu?"

"Iya, tapi hanya formalitas, anak dari istri sirih sebenernya, jadi bukan pewaris pertama."

"Tapi di pidato kamu tadi, kamu pewaris kedua."

"Aku menghargai dia karena dia baik, selayaknya seorang kakak, ibu juga sayang sama dia, ibu gak pernah lihat dia lahir dari rahim siapa meskipun dulu hati ibu tersakiti."

"Oh i see ... Ibu kamu seperti malaikat."

"Iya ...."

"Mau pulang sekarang? angin pantai semakin dingin." Alvin berdiri dari duduknya.

"Iya," jawab Shesa.

"Makasih makan malam nya," ujar Shesa saat mereka berada di depan pintu kamar masing-masing.

"Sama-sama ... sudah bersedia menjadi teman curhat malam ini."

Alvin tersenyum lalu melangkah mendekat pada Shesa.

"Mimpi indah," bisiknya lalu menyematkan helaian rambut Shesa yang teruntai turun.

Komen (12)
goodnovel comment avatar
zaza zaza
aih manis banget
goodnovel comment avatar
Indarini Rini
manis thor caranya ketemu
goodnovel comment avatar
Umie
ada yg pedekate
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status