Meeting selesai dalam waktu hampir dua jam, dengan agenda jika besok akan di mulai kembali. Dan perusahaan membebaskan acara malam ini untuk para staff.
Shesa berjalan menuju lift seorang diri, seperti biasa Reta selalu meninggalkannya dengan alih masih harus membahas beberapa poin saat meeting tadi, padahal sebenernya besok pun masih bisa di lakukan.
"Jangan di tutup," seru suara dari luar lift saat Shesa sudah menekan tombol close, buru-buru Shesa menahannya.
"Makasih," ujar lelaki itu.
"Astaga, dia lagi," gumam Shesa.
Lelaki itu bersandar di dinding lift, dengan satu tangan berada di kantung celananya memperhatikan Shesa yang menggulir layar gawainya.
"Ketemu lagi kita," ujarnya membuka pembicaraan.
"Iya, padahal aku udah berdoa, semoga gak ketemu lagi," kata Shesa dengan senyum tipis.
"Terkadang doa di kabulkan di saat-saat yang baik," balas Alvin. "Lantai 5 juga?" tanya Alvin.
"Aku ada tekan tombol lain selain angka itu?"
Alvin mendengus, menarik sudut-sudut bibirnya, lalu melangkah mendekati Shesa.
"Mau apa kamu?" Shesa melangkah mundur.
"Mau kasih pelajaran sama mulut kamu yang judes banget ini," ujar Alvin menyudutkan wanita itu.
"Minggir!" Shesa menahan dada Alvin yang semakin mendekat.
"Tau pepatah mulutmu harimaumu?"
Hembusan nafas Alvin menerpa wajah Shesa. Jarak itu begitu dekat, lelaki itu benar-benar tak menyurutkan niatnya menggertak Shesa yang berlidah tajam dalam berkata-kata.
"Minggir gak!"
"Dari awal kita ketemu, mulut kami dan seluruh rongga yang berada di dalamnya itu harus di kasih pelajaran."
Alvin meletakkan kedua tangannya di dinding lift, dia harus menahan wanita itu di dalam kungkungannya.
"Mimpi kamu," jawab Shesa memberanikan menatap wajah lelaki itu, mendorong tubuh Alvin sekuat tenaganya, hingga pintu lift berbunyi terbuka.
Betapa terkejutnya Shesa ketika di luar lift ada beberapa orang yang sedang tercengang melihat kelakuan Shesa dan Alvin.
Shesa menunduk, lalu melangkah cepat pergi meninggalkan Alvin yang masih berada di sana.
"Sial." Shesa menggerutu kesal saat merogoh tasnya mencari kartu akses masuk ke dalam kamarnya.
"Karma itu di bayar tunai," kekeh Alvin yang melihat Shesa kebingungan memikirkan caranya untuk masuk ke dalam.
"Kamu kenapa sih ngikutin aku terus, jangan mentang-mentang kamu anak pemilik perusahaan jadi bisa semena-mena sama karyawan." Kesal Shesa.
"Dih, percaya diri sekali Anda," ujarnya membuka kamar yang berhadapan langsung dengan kamar milik Shesa.
Wajah Shesa merona merah menahan malu, siapa sangka lelaki itu hanya berseberangan kamar dengannya.
"Mau ikut masuk?" tawar Alvin.
Shesa diam tak menjawab, lalu pintu itu pun tertutup. Shesa kembali menghubungi Reta namun tak ada jawaban, jika dia turun ke bawah lalu meminta kunci duplikat apa mungkin bisa.
"Astaga, masa gue harus nunggu di sini sih."
Shesa terduduk di lantai, menunggu entah sampai kapan Reta akan datang menyelamatkannya.
Pintu di depan kamar itu kembali terbuka, Alvin sudah mengenakan celana pendek berwarna krem dan kaos berwarna hijau army. Bentuk tubuh lelaki itu begitu sempurna, alisnya yang tebal dan kontur wajah blesteran menambah ketampanan lelaki itu.
"Masih mau nunggu di situ?" tanya Alvin yang melihat Shesa menundukkan mukanya di antara dua lutut yang tertekuk.
Shesa masih terdiam dia sama sekali tak menggubris perkataan Alvin yang berdiri di depannya.
"Ayo," ujar Alvin meraih tangan Shesa.
"Eh, mau kemana?"
"Ikut aja, dan jangan berpikiran yang aneh-aneh," ujarnya masih menggenggam tangan wanita itu.
Shesa tergopoh-gopoh mengikuti langkah kaki Alvin, dia sedikit kerepotan dengan tas dan laptop yang ada di tangannya. Keluar dari lift, lelaki itu masih menarik tangan Shesa.
"Mobilnya udah siap, Pak," ujar salah satu pelayan hotel memberikan kunci mobil hotel yang telah disediakan.
"Makasih," ujarnya datar.
"Naik."
"Ih, siapa lo maen suruh masuk aja," ujar Shesa.
"Udah masuk aja, mau jalan-jalan gak? Rugi ke Bali kalo gak kemana-mana,"ujarnya sedikit mendorong tubuh Shesa agar masuk ke dalam mobil berwarna putih itu.
Mau tidak mau, suka tidak suka Shesa mengikuti titah Alvin. Duduk bersebelahan untuk kedua kalinya dengan orang yang baru beberapa jam yang lalu memperkenalkan diri.
Canggung? Jelas. Baru kali ini Shesa berkenalan dalam waktu singkat dan dalam keadaan sadar. Karena sebelum-sebelumnya dia pasti mabuk jika berkenalan, berciuman bahkan berhubungan intim dengan orang yang baru dia kenal.
Shesa mengikat tinggi rambutnya yang tergerai, harum tubuh wanita itu menyeruak masuk ke indera penciuman Alvin. Lelaki itu tersenyum.
"Hermes 24 Faubourg? 20 juta untuk harga satu botol saja, luar biasa," ujar ya menebak parfum yang Shesa kenakan. "Seorang model dengan bayaran termahal bekerja sebagai staf biasa di perusahaan tekstil terbesar di negara ini ... ada angin apa?"
Shesa menoleh ke arah lelaki yang masih fokus menatap jalan raya di depan sana.
"Kamu terlalu kepo untuk seorang S2 lulusan luar negeri," jawab Shesa.
"Apakah ada undang-undang yang melarang seorang S2 untuk tahu kehidupan seseorang?"
"Biasakan untuk tidak mengurusi hidup seseorang itu sepertinya baik buat kamu," ujar Shesa tak mau kalah.
"Keras kepala, mandiri, biasa hidup sendiri, bersenang-senang lalu merasa kesepian, bener?" Alvin menghentikan mobilnya di sebuah pantai.
"Ingin tau kehidupan orang, rese, gak mau ngalah, manja, dan selalu hidup dengan aturan sepanjang hidupnya, bener begitu?" Shesa membalikan pertanyaan pada Alvin.
Alvin mengukir senyuman, wanita di depannya ini ternyata wanita tangguh dan pintar bersilat lidah.
"Aku laper, mau turun gak? di sini banyak restoran seafood yang enak," ujar Alvin
"Aku tau."
"Oh iya, aku lupa ... model papan atas liburannya bukan hanya di Indonesia tapi juga luar negeri," ujar Alvin menyindir.
Berjalan bersisian, Shesa melepaskan stilettonya, menjinjing sepatu yang dia gunakan. Alvin menarik kursi untuk Shesa, perlakuan seorang lelaki yang selama ini Shesa inginkan.
"Makasih."
"Kalo lembut ternyata manis," ujar Alvin tersenyum.
"Kurang lebih sama seperti kue, keras di luar setelah di rasakan dan masuk ke rongga mulut maka yang terasa lembut dan manis." Shesa menaik turunkan alisnya.
"Senang kenalan sama kamu," ujar Alvin mengulurkan tangannya. "Alvin Atmaja."
"Shesa ... Shesa Larasati." Shesa menyambut uluran tangan Alvin.
Awal mula perkenalan yang di mulai dengan perdebatan dan perkataan sinis itu pun akhirnya melebur dengan segala perbincangan dan celotehan konyol dari Shesa dan Alvin.
"Jadi akhirnya memutuskan pulang ke Indonesia?"
Alvin mengangguk, "demi perusahaan ini, dan keluarga."
"Bukannya masih ada saudara kan, kakak pertama kamu?"
"Iya, tapi hanya formalitas, anak dari istri sirih sebenernya, jadi bukan pewaris pertama."
"Tapi di pidato kamu tadi, kamu pewaris kedua."
"Aku menghargai dia karena dia baik, selayaknya seorang kakak, ibu juga sayang sama dia, ibu gak pernah lihat dia lahir dari rahim siapa meskipun dulu hati ibu tersakiti."
"Oh i see ... Ibu kamu seperti malaikat."
"Iya ...."
"Mau pulang sekarang? angin pantai semakin dingin." Alvin berdiri dari duduknya.
"Iya," jawab Shesa.
"Makasih makan malam nya," ujar Shesa saat mereka berada di depan pintu kamar masing-masing.
"Sama-sama ... sudah bersedia menjadi teman curhat malam ini."
Alvin tersenyum lalu melangkah mendekat pada Shesa.
"Mimpi indah," bisiknya lalu menyematkan helaian rambut Shesa yang teruntai turun.
Pagi itu Shesa berjalan sedikit terburu-buru bersama Reta. Memasuki ruangan rapat yang sudah di penuhi oleh banyak orang di dalamnya. Shesa hari itu mengenakan rok sepan hitam sebatas lutut dengan kemeja berwarna baby pink, dan laptop di tangan kanan serta tas yang berada di kiri lengannya. Duduk di meja yang bertuliskan namanya , mata Shesa seperti mencari seseorang. Mata itu bersitatap dengan obyekyang dia cari. Alvin sedang menatapnya, lelaki itu melempar senyuman. Meeting hari kedua ditujukan pada masing-masing divisi untuk melakukan presentasi di bagian masing-masing. Dan, hari ini divisi yang Shesa tempati mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kelebihan serta bagaimana mereka membantu perusahaan agar selalu di pandang baik sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di negara ini. Shesa di tunjuk sebagai pembicara dari divisi Humas, wanita berumur 27 tahun itu berjalan sangat anggun. Aura model papan atas yang dulu sempat membawanya d
"Vin," lirih Shesa. "Hhmm." Alvin membuka satu per satu kancing kemeja Shesa, tangannya meraba dada Shesa sementara tautan bibirnya tak berhenti. Alvin menikmati permainan lidah Shesa di dalam rongga mulutnya. Ciuman Shesa begitu menghanyutkan, mereka sama-sama terbuai. Hingga akhirnya Alvin menarik mundur tubuhnya, menata mata Shesa yabg masih sendu. Kemeja Shesa sudah terbuka, buah dadanya begitu sempurna, pandangan Alvin turun pada dada yang masih terbalut bahan berenda berwarna nude itu. Alvin mengecupi dada Shesa, tubuh Shesa menegang ketika perlahan Alvin membuka pembungkus dadanya. "Vin,"lirih Shesa membusungkan dadanya. Alvin hanya bergumam, dia lebih memilih menikmati permainan lidahnya di puncak dada Shesa dan mendengarkan lenguhan suara Shesa yang merdu di telinganya. "Sha ... aku mau kamu," ujar Alvin, tangan lelaku itu turun menyusuri perut datar milik Shesa sampai pada pembatas rok yang Shesa kenakan. "Jangan," ujar Shesa
Sebuah minibus mengantarkan Shesa dan beberapa orang menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai. Shesa tak habis pikir atas apa yang dilakukan oleh Alvin saat terakhir mereka bertemu tadi, tiba-tiba menarik tubuhnya lalu mendaratkan ciuman yang sama seperti malam sebelumnya. Shesa menggeleng lalu tersenyum, sudah dipastikan wajahnya merona merah. Jatuh cinta? Apa itu? Shesa belum pernah merasakannya sedalam ini bahkan dengan Catur si brengsek itu sekalipun. Senyum samar itu seketika hilang saat mengingat nama Catur kembali hinggap di benaknya "Sha, ayo ... siap-siap boarding," ujar Reta yang berjalan di depan Shesa. "Hari Senin, Pak Alvin gosipnya sudah bergabung di perusahaan kita," kata Reta menghempaskan tubuhnya duduk di sebelah Shesa. "Oh, selama ini ... maksud aku sebelumnya dia dimana?" "Gak tau ... gak jelas juga, ada yang bilang dia punya usaha sendiri di luar negeri ada yang bilang menghamburkan uang keluarga, entah mana yang benar."
"Membicarakan apa?" tanya Alvin yang langsung saja masuk ke ruangan sekretaris sang Ayah. "Pak Alvin, silahkan duduk," ujar Bu Sinta. "Biar di sini saja, Bu Sinta ... tadinya saya ingin meminta bantuan untuk mencarikan file produk, ternyata Bu Sinta sedang ada tamu." Alvin berdiri di samping Shesa. "Ah ... hanya berbincang mengenai posisi kosong sebagai sekretaris Pak Alvin, sudah ada dua kandidat dan satu lagi saya menawarkan posisi itu pada Shesa." "Hasilnya?" tanya Alvin melirik Shesa dengan ekor matanya. "Saya pikirkan dulu, Pak Alvin ... saya baru bekerja hitungan minggu di perusahaan ini, jadi saya tidak ingin gegabah mengambil keputusan, apalagi untuk posisi yang di tawarkan pada saya bukan lah bidang yang saya geluti," ujar Shesa. Alvin hanya mengangguk, "ok ... silahkan dipikirkan," ucap Alvin lalu berlalu keluar dari ruangan itu. "Sebaiknya dipikirkan lagi, Sha ... aku lebih tertarik sama kamu di banding yang lain, ta
"Sha." Suara itu terdengar lirih, seakan meminta sesuatu yang menjadi candunya. Alvin semakin mendekatkan tubuhnya, sapuan nafasnya semakin terasa hangat menerpa wajah Shesa. Alvin menautkan bibirnya pada bibir Shesa, menyesapnya lama. Shesa menikmati setiap gigitan-gigitan kecil di bibirnya, matanya terpejam sedangkan tangannya membelai lembut rahang lelaki itu. Alvin menarik pagutannya, matanya menatap sendu mata Shesa yabg baru terbuka saat ciuman itu berakhir. "Aku gak tau ini apa, tapi aku ngerasa sesuatu berbeda saat pertama kali ketemu kamu," bisik Alvin di telinga Shesa. Alvin kembali menautkan bibirnya, kali ini lidah mereka saling menari di dalam sana, tangan Alvin menahan tengkuk leher Shesa, menciumnya semakin dalam. Tangan lelaki itu turun ke dada Shesa, payudara wanita itu terasa padat di tangan kekar milik Alvin. Shesa melenguh saat cengkraman itu semakin kuat meremas dadanya. "Vin ...." Shesa menarik dirinya,
Suara ketukan di pintu membuyarkan konsentrasi Alvin dalam mengerjakan pekerjaannya. Budiman Atmaja, ayah Alvin datang menemui putranya bersama seorang wanita berkulit putih bening, bermata indah dan mempunyai rambut berwarna coklat keemasan. "Hai, Alvin," sapa Soraya. Wanita dengan tinggi badan 165 sentimeter itu berjalan mendekati Alvin dan memberikan kecupan di pipi lelaki itu. "Papa kesini mau nganterin Soraya, ajak Soraya makan malam ya ... jauh-jauh dari Bali sudah pasti harus kamu jamu dengan baik," ujar Budiman pada Alvin. "Kenapa gak Papa sama mama aja yang makan malam sama Soraya? Alvin masih banyak pekerjaan." Alvin berusaha menolak, jelas dia ingat sekali janjinya pada Shesa malam ini. "Papa masih ada urusan, kalo mama kamu ... tau sendiri lah jadwalnya padat, kan." Budiman menepuk pundak Soraya. "Soraya, Om tinggal dulu ya ... butuh apa-apa selama di sini, bilang aja sama Alvin." Budiman lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.
Suara ponsel Shesa berbunyi kala dua sahabat itu sedang membahas tentang masalah percintaan yang dialami oleh Shesa. "Siapa?" tanya Nina. "Alvin," jawab Shesa dengan mata yang terbelalak lalu menatap Nina. "Nin ... gimana?" "Eh, gimana? malah nanya gue." Nina mengangkat kedua bahunya. "Angkat aja." Shesa meletakkan jari telunjuk di bibirnya memberikan isyarat pada Nina untuk diam. "Halo," sapa Shesa dengan wajah yang datar. "Kamu dimana?" "Kenapa?" "Aku tanya kamu dimana, jangan balik bertanya," ujar Alvin. "Sedang di suatu tempat, kenapa?" "Aku jemput, katakan dimana?" "Aku lagi sama teman-teman," ujar Shesa. "Lain kali saja ...." "Sha ...." "I got to go now, bye (aku pergi dulu)" ujar Shesa menutup telponnya. "Ish ... kejam lo," ujar Nina. "Biar gak kebiasaan maenin hati anak perawan," ujar Shesa terkekeh meski hatinya perih. "Anak perawan, njiirr." Nina
Alvin menatap Shesa dengan tatapan tajam saat Shesa meminta izin meninggalkan ruangan kerjanya. Sedangkan Soraya masih asyik mengingat ingat, semahal apa bayaran Shesa hingga mantan model itu memutuskan untuk bekerja di perusahaan Alvin."Aku keluar sebentar," ujar Alvin beranjak dari kursinya."Kemana?""Ke ruangan Ibu Sinta," bohong Alvin yang sebenarnya ingin mengejar Shesa.Langkah lebar Alvin keluar dari ruangannya mengejar Shesa sampai ke depan pintu lift, dan nasib baik berpihak padanya. Wanita itu masih berada di depan lift, pintu lift terbuka Alvin berlari kecil dan berhasil menahan pintu lift dengan tangannya."Tunggu!" seru Alvin.Shesa memutar tubuhnya saat satu kakinya baru saja masuk ke dalam lift, cepat-cepat dia menekan tombol close namun kalah cepat dengan Alvin yang buru-buru ikut masuk ke dalam."Dengerin dulu," ujar Alvin meraih tangan Shesa."Apa-apa sih," sungut Shesa menepis tangan Alvin.Alvin men